LATAR BELAKANG – JAPAN LOST DECADE
Jepang
mengalami boom ekonomi tahun 1980an. Pada masa itu dunia melihat Jepang
sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, pusat kemajuan teknologi dan entah
apalagi. Banyak hal yang dicontoh dari Jepang.

Harga-harga
perumahan dan real estate melambung tinggi. Demikian tingginya sampai
ada yang mengatakan bahwa harga tanah sebesar pulau Manhattan di Tokyo
sama dengan harga semua tanah di California. Jadi jangan heran, ketika
bubble itu kempes, yang tersisa hanya 20%nya saja. Sisanya, 80%
mengalami proses penguapan selama belasan tahun. 



Harga
saham Nikkei juga mengalami bubble. Indeks saham Nikkei mencapai level
tertinggi interday 38,951 pada tanggal 4 Januari 1990. Angka ini tidak
berarti apa-apa kalau tidak dikaitkan dengan earning (pedapatan) per
saham. Price eaning ratio (PER) rata-rata Nikkei mencapai 100 pada
puncaknya ini. Setelah tanggal 4 Januari 1990, indeks Nikkei jatuh dan
sampai saat ini – 19 tahun kemudian tidak pernah mencapai level 39,000
lagi. Tepatnya saat ini hanya di level 7900an dan masih cenderung
turun. 


Chart 2 Indeks Saham Nikkei, setelah 19 tahun belum pulih juga. 


Bank-bank
Jepang banyak yang hampir kolaps kalau tidak ditolong pemerintah.
Tetapi suntikan dana oleh pemerintah tidak membuat bank-bank Jepang
sehat, melainkan hanya mengubahnya menjadi bank zombi yang tidak mau
menyalurkan kredit.

Pemerintah Jepang banyak melakukan
usaha-usaha pemulihan ekonomi, tetapi selama belasan tahun, Jepang
kehilangan masa keemasannya. The lost decades.


STIMULASI EKONOMI– JEMBATAN HAMADA
Usaha-usaha
pemerintah Jepang untuk memulihkan ekonomi bukan main-main.
Proyek-proyek infrastruktur diaktifkan. Kalau konsumen tidak bisa
mempertahankan (tidak usah meningkatkan, cukup sekedar mempertahankan)
konsumsinya, maka menurut resep mazhab ekonomi meneterisme Keynesian,
pemerintahlah yang menggantikannya. Pemerintah mengucurkan dana
trilliunan dollar selama belasan tahun untuk menahan laju mengempisan
bubble dan menstimulasi ekonomi. Jalan-jalan, jembatan-jembatan,
lapangan udara, di tempat jin buang anak (daerah yang terisolir)
dibangun, bahkan dalam proporsi yang berlebihan. Ibaratnya, semen-semen
dituangkan dimana-mana, beton-beton dibangun dimana-mana tanpa jelas
berapa banyak yang akan menggunakannya. Demikian aggresivenya
usaha-usaha pemerintah Jepang, kebanyakan proyek-proyek itu mubazir.

Beberapa
minggu lalu di International Herald Tribune (IHT) ada cerita mengenai
usaha-usaha reflasi Jepang dalam melawan deflasi yang dimulai tahun
1990 .
Penulisnya, Martin Fackler, memulai ceritanya dengan sebuah jembatan di
sebuah desa nelayan yang sebenarnya tidak memerlukan jembatan sebesar
itu. Ini cuplikannya. Namanya jembatan Hamada, berasal dari nama
kampung nelayan cumi-cumi di sana. Jembatan ini menghubungkan Hamada
dengan sebuah pulau kecil Setogashima di dekatnya.

In Japan, a lonesome bridge offers U.S. a lesson
By Martin Fackler Published: February 6, 2009

HAMADA,
Japan: The Hamada Marine Bridge soars majestic over this small fishing
harbor, so much larger than the squid boats anchored below that it
seems out of place.

And it is not just the bridge. Two decades
of generous public works spending have showered this city of 61,000
mostly graying residents with a highway, a two-lane bypass, a
university, a prison, a children's art museum, the Sun Village Hamada
sports center, a bright red welcome center, a ski resort and an
aquarium featuring three ring-blowing Beluga whales.

Nor is this
remote port in western Japan unusual. Rural areas across the country
have been paved over and filled in with roads, dams and other big
infrastructure projects, the legacy of trillions of dollars spent to
lift the economy out of a severe downturn caused by the bursting of a
real estate bubble in the late 1980s. During those nearly two decades,
Japan accumulated the largest public debt in the developed world —
totaling 180 percent of its $5.5 trillion economy — while failing to
generate a convincing recovery.

Ada koreksi terhadap angka 180% dari GDPnya. Angka dari Economist, menunjukkan 
angka yang lebih dari 200%. 


Jembatan Hamada, megah dan jarang pengguna.

Dalam
artikel itu ada lagi, sebuah kota dengan penduduk 740,000 jiwa punya 3
airport komersial yang bisa didarati pesawat jet, dan hanya digunakan
untuk 2 penerbangan per hari. Bisa dibayangkan bagaimana keras dan
membabi-butanya usaha-usaha pemerintah Jepang untuk menahan laju
deflasi dan menstimulasi ekonomi, tetapi gagal. Harga rumah di Jepang
saat ini sama dengan harga di tahun 1975, dan sudah turun 80% dari
level tertingginya 19 tahun lalu. Indeks Nikkei, saat ini hanya 20% di
level 19 tahun lalu.

Saya mencoba meng-google search Hamada Bridge - photo, hasilnya sangat 
mengejutkan, karena yang disebut
Hamada, benar-benar kampung. Di bawah ini adalah foto yang saya
download. Sangat kampung sekali. Jembatan yang megah dan besar sangat
kontras dengan perahu-perahu nelayan cumi-cumi yang bertebaran di
sekitarnya. 


Kampung Nelayan Hamada.

Ekonomi
Hamada tidak lah besar. Pulau Setogashima yang kecil itu tidak punya
ekonomi yang cukup untuk dijadikan alasan membangun jembatan sebesar
jembatan Hamada. Artinya ekonomi di sekitar jembatan Hamada tidak bisa
membayar pembangunan jembatan itu sendiri.

Jadi apa guna
jembatan yang megah dan berharga jutaan US dollar itu? Pertanyaan itu
berlaku juga untuk jembatan, jalan-jalan, dam dan infrastruktur yang
dibangun pada masa the lost decades di Jepang, yang mubazir dan tidak mempunyai 
fungsi ekonomis atau kemakmuran.


HUTANG PEMERINTAH (JEPANG) YANG SEGUNUNG
Dari
mana dana trilliunan dollar untuk penyelamatan bank dan untuk stimulasi
ekonomi? Dari mana lagi kalau tidak dari hutang. Pemerintah bukan badan
yang berorientasi keuntungan. Sumber dana pemerintah hanya tiga, yaitu
pajak, hutang dan mencetak uang. Yang terakhir hakekatnya sama dengan
pajak. Selama the lost decade, pemerintah Jepang telah mengakumulasi hutang 
untuk melakukan stimulasi ekonomi.

Beberapa
minggu lalu, The Economist menurunkan suatu cerita mengenai
hutang-hutang negara maju. Coba terka, negara mana yang terbesar? Kalau
anda menyebut Jepang, maka anda benar. Hutang pemerintah Jepang adalah
lebih dari 200% GDPnya, disusul Italy (105% GDP) dan US (80% GDP)

Mar 9th 2009
Economist.com
Rich countries, especially, are piling up debt

AMERICA,
Britain and China are among the many countries that have adopted
spend-now-pay-later policies to stave off economic disaster. But giant
fiscal stimuluses, tax cuts and bail-outs are weighing heavily on
public finances. In a paper prepared for the forthcoming G20 summit,
the IMF sets out new forecasts for government debt. Japan's debt
burden, which is already the largest of the world's big economies, will
reach a sumo-sized 225% of GDP in 2010. Rich countries' debt is set to
grow from 83.3% of GDP in 2008 to almost 100% in 2010. Developing
economies will see much smaller growth from 35.7% to 37.8% in two
years, but these countries also have lower debt tolerance than rich ones


Chart 3 Hutang pemerintah beberapa negara (klik chart untuk memperbesar)

Kalau
dilihat ukurannya (dibandingkan dengan GDPnya) hutang pemerintah Jepang
kurang lebih tiga kali hutang pemerintah US. Ini akan menimbulkan
banyak resiko yang kaitannya dengan pembayaran hutang tersebut. Memang
selama ini Jepang mengalami surplus perdagangan yang cukup besar.
Tetapi itu terjadi ketika ekonomi dunia (US) masih hidup bergerak.
Sejak tahun 2008, Jepang mengalami defisit perdagangan yang cukup
parah. Ini adalah berita nya terakhir

Japan Suffers Record Trade Deficit Article
By Takashi Mochizuki , February 26, 2009
TOKYO
-- Japan's trade deficit widened to its biggest level on record in
January, as a global economic downturn sapped overseas demand for
Japanese goods and caused exports to fall 46%, their fastest decline
ever.

The figures indicate Japan's economy, which in past
recessions relied on exports to recover, won't be supported by overseas
demand and will continue to suffer. Analysts said there were few signs
exports will pick up any time soon.

Pascal Lamy,
director-general of the World Trade Organization, said during a visit
to Japan Wednesday that the nation's reliance on exports makes it
"particularly vulnerable" to the global slowdown.

Japan's trade
deficit was 952.6 billion yen ($9.85 billion) in January, the Ministry
of Finance said Wednesday. While the figure was better than forecasts
of a 1.15 trillion yen deficit, it was still the largest on record.

Pushing
Japan's trade scorecard deep into the red was a 45.7% fall in overall
exports to 3.48 trillion yen, while imports fell 31.7% to 4.44 trillion
yen.

Demikian juga dengan surplus neraca berjalannya. Sejak Januari 2009 surplus itu 
sudah menuap dan menjadi defisit 

Japan posts record current account deficit in January, 1st deficit in 13 years
Sunday March 8, 2009, 10:35 pm EDT
TOKYO
(AP) -- Japan posted a record current account deficit in January,
plunging into the red for the first time in 13 years due to plummeting
demand for Japanese exports and a deepening global downturn, the
Ministry of Finance said Monday.

The deficit stood at a record
172.8 billion yen ($1.8 billion) in January, far bigger than the
previous deficit record of 25.6 billion yen in January 1996, the
ministry said.

The current account is Japan's broadest measure of trade in goods and services 
with the rest of the world.

"We
incurred the current account deficit due to a plunge in exports. Our
exports to key regions, including the United States, Europe and Asia,
were all down sharply due to the deteriorating global economy," said
ministry official Michito Yamagami.

Jadi jangan heran kalau
Yen Jepang beberapa waktu lalu mengalami penurunan yang drastis. Untuk
jangka pendek, yen Jepang bisa menguat karena kredit yang dikucurkan
untuk spekulasi di pasar modal dan pasar uang, yen carry trade, selama
2003 – 2008 cukup besar, dan yen credit crunch, untuk sementara akan
mendominasi trend yen. Bila yen-deleveraging atau repatriasi yen sudah
selesai, maka yen akan kembali pada trend jangka panjangnya, yaitu
turun.

BUDAYA MENABUNG YANG SEKARAT
Saya
agak terkejut ketika memperoleh data-data kecenderungan menabung dari
rumah tangga (household saving rate). Bahwa ternyata rakyat Jepang
lebih sedikit atau kurang lebih sama dengan rakyat US dalam budaya
menabung, bagi saya agak sukar dipercaya. Sebab, Asia, termasuk Jepang
biasanya dicitrakan sebagai bangsa yang gemar menabung. Apalagi Jepang
yang dicitrakan sebagai bangsa dengan disiplin yang tinggi. Harapannya,
tentunya rakyat Jepang juga disiplin terhadap penggunaan uangnya.
Ternyata citra ini salah.

Berdasarkan google search saya, sudah
banyak artikel tentang erosi terhadap kecenderungan menabung rakyat
Jepang. Banyak diantaranya dikeluarkan oleh Bank of Japan seperti
kutipan di bawah ini.

The Decline of Japan’s Saving Rate and Demographic Effects
(Maiko Koga – Bank of Japan)

The
Japanese economy experienced a long stagnation called “the lost
decade,” but the decline in the household saving rate also continued
during this period. Our investigation provides an empirical analysis to
explain this phenomenon. In our study, the relationship among the
saving rate, demographic factor, and income factor can be described as
a cointegration and error-correction mechanism. Our results show that
there exists a force that brings deviations back to the long-run
equilibrium where the above mentioned factors are cointegrated.
Therefore, the demographic factor was a major cause of the sharp
decline in the Japanese saving rate in the 1990’s. Furthermore, in this
equilibrium we estimate that the impact each age group has on the
macroeconomy is described as a hump-shaped curve, which is consistent
with what the life-cycle model implies.

Further examinations are
left for future study. Though our framework has assumed that the effect
of the life-cycle curve is constant, the shape might be determined
simultaneously with consumers’ labor supply decision. Due to the recent
increase in the number of the elderly, giving consideration to their
labor supply is of growing importance in analyses of consumption and
saving behavior.

Maiko Koga menggunakan regressi dan model
matematik dalam analisanya. Saya agak malas untuk mencernanya, karena
lebih tepat sebagai diskusi akademis dari pada diskusi praktis pasar
modal. Disamping itu menurut saya, analisa tersebut lebih baik
menggunakan model ekonomi umum (general economic model) yang melibatkan
ratusan state-variables, dan puluhan observable-variable. Saya enggan
membahas model-model seperti ini karena lebih cocok untuk kegiatan
akademis. EOWI bukan arena akademis, tetapi lebih condong ke praktis.

Menurut
Maiko Koga dan juga periset-periset lain bahwa penurunan kecenderungan
menabung disebabkan karena faktor demografi Jepang yang menua. Sepintas
pernyataan ini agak menyimpang dari sifat psikologis orang tua. Orang
tua cenderung untuk hemat dan menabung. Tetapi kemudian saya pikir
bahwa sifat orang tua yang hemat dan cenderung menabung masih berlaku,
hanya saja penghasilannya sudah berkurang dan biaya hidup juga tinggi
(karena pajak). Oleh sebab itu yang bisa ditabung makin lama makin
sedikit. Kemampuan menabung turun. Itu lah yang membuat masyarakat
Jepang tidak bisa menabung. Bukan karena mereka tidak mau menabung.
Sekedar untuk perdebatan akademis, periset-periset seperti Maiko Koga,
tidak memasukkan faktor “emosi dan kecenderungan” masyarakat menabung
dalam variablenya. Variable ini memang bukan “observable” variable.
Variable ini bisa dimasukkan ke dalam model dengan penanganan tertentu.
Bagi pakar ‘control theory’, penanganan semacam bukanlah hal yang asing.

Kecenderungan
menabung masyarakat Jepang mengalami puncaknya tahun 1974 (Chart-4).
Sejak itu tingkat menabung ini turun. Dan di tahun 2009 adalah -0.2%
(minus 0.2%). Di pihak lain ekonomi mengalami kemajuan pesat dan bubble
sampai tahun 1990. Yang menarik ialah kecenderungan menabung naik
selama 2 tahun setelah bubble (real estate dan bursa saham) di Jepang
meletup. Tetapi kecendurungan menabung ini menurun lagi. 


Chart 4

Saya
perkirakan dari tahun 1974 sampai 1990 Jepang mengalami penggembungan
kredit. Bubble kredit ditiup. Itu yang membuat masyarakatnya tidak bisa
menabung. “Buy now and pay later with the interest”. Falsafah hidup
semacam itu tumbuh dengan cepat sejak tahun 1970an di Jepang.

Setelah
bubble meletup, terjadi deflasi asset. Pada saat ini, hutang masyarakat
sudah menumpuk (hutang/kredit untuk beli rumah, mobil, dsb), sehingga
akan lebih memberatkan masyarakat Jepang untuk menabung. Harus diingat
bahwa pada masa ‘deflationary depression’, memenuhi kewajiban hutang
akan lebih sulit. Jadi tidak heran kalau masyarakat Jepang mengalami
kesulitan untuk menyisihkan penghasilannya untuk ditabung. Jepang bukan
lagi negara matahari terbit. Hutang pemerintah nya akan membebani
rakyatnya dimasa datang. Apalagi kalau dalam krisis ini pemerintah
Jepang akan berhutang untuk mengucurkan lagi stimulasi ekonomi.

Dalam
kaitannya dengan krisis yang dimulai tahun 2007, saya ingin
membandingkan antara tingkat kecenderungan menabung US dengan Jepang
(Chart-5). Saat ini tingkat menabung di US naik ke 3% dari 1%. Dari
kasus Jepang, bisa diasumsikan bahwa 1-2 tahun lagi, trend menabung di
US akan kembali menurun, karena masyarakat US tidak mampu lagi
menabung. Dimasa ‘deflationary resession/depression’, memenuhi
kewajiban hutang akan lebih sulit. US (dan Eropa yang juga mengalami
bubble kredit) akan mengalami masa depressi seperti Jepang. Lama. 


Chart 5



RENUNGAN
Sejarah
dan alur pemikiran yang logis membuktikan bahwa stimulasi ekonomi
bukannya akan membawa manfaat, tetapi malah akan membuat kesengsaraan
lebih lama. Pemerintah tidak bisa menciptakan lapangan kerja ‘per se’.
Esensi dari stimulasi ekonomi, tidak lain adalah memindahkan konsumsi
masyarakat menjadi proyek/pengeluaran pemerintah. Bagi orang waras dan
mau berpikir, kenapa penggunaan uang saya harus pemerintah yang
menentukannya (seperti membangun jembatan yang tidak berdaya guna
banyak, infra struktur yang jarang digunakan). Dan seringnya dipakai
untuk hal-hal yang tidak punya nilai tambah untuk kemakmuran (seperti
pemilu di Indonesia saat ini).

Penyelamatan AIG, GM, Ford dan lainnya, bagai membuang uang ke dalam ‘black 
hole’.
AIG dan GM akan terus meminta tambahan dana. Seperti GM, seharusnya
sudah bangkrut karena pasar untuk produknya sudah menciut dan
konpensasi untuk karyawannya terlalu tinggi. Kapasitas produksi mobil
di US terlalu besar untuk memenuhi permintaan dan kemampuan pasar US
yang waras (yang tidak ditunjang kredit). Oleh sebab itu,
membangkrutkan GM akan lebih baik. Sehingga kapasitas produksi otomatif
US terpangkas sampai sebatas kemampuan daya beli masyarakat US. Pekerja
indutri otomotif US harus melupakan serikat pekerjanya dan mau
menurunkan standard gaji dan konpensasinya untuk meningkatkan daya
saing industri otomotif US sehingga secara keseluruhan sistem bisa
mencapai keseimbangan. Saat ini uang pajak masyarakat dipakai untuk
membayar upah pekerja GM yang ‘over paid’ atau eksekutif AIG yang ‘over-paid’.
Ini beban untuk masyarakat dan sistem ekonomi. Parasit semacam ini
harus dipisahkan dan dibiarkan beradaptasi tanpa induk semangnya.

US
dan Eropa akan menapak pada jalan yang sama dengan Jepang. Bedanya,
ketika deflasi-depressi dimulai di Jepang, tingkat kecenderungan
menabung masyarakat Jepang masih tinggi. Sedang US, memulai masa
deflasinya dengan tingkat kecenderungan menabungnya yang rendah. US
akan mengalami kepahitan yang lebih parah. Pemerintahannya akan membuat
segunung hutang seperti Jepang. GM, AIG dan ekonomi US akan menjadi ‘too big to 
bail’ seperti ekonomi Jepang bukan ‘too big to fail’.
Pernyataan ini tidak berarti bahwa Jepang sudah terbebas. Generasi
berikut di Jepang masih akan terbebani oleh hutang negaranya yang
setinggi gunung. Hutang negara seperti dosa bawaan, akan terbawa terus
sampai keanak cucu. Cara menyelesaikannya, adalah pengorbanan. Siapa
yang harus dikorbankan? Saya pikir anda tahu jawabannya.

Apakah
anda berpikir intervensi yang minimal seperti saya? Intervensi
pemerintah tidak akan mempersingkat dan meringankan kesengsaraan di
masa krisis ekonomi. Malah sebaliknya, akan memperlama dan memperdalam.
Anda perlu renungkan kembali. Raihlah kewarasan anda kembali. Kurangi birokrasi 
yang hanya membawa kesengsaraan.

Jakarta 22 Maret 2009.

Source : 
http://ekonomiorangwarasdaninvestasi.blogspot.com/2009/03/jepang-negara-matahari-terbenam.html



      

Reply via email to