Temans, Ikut nimbrung dikit soal Presiden SBY kita.
Saya ingat obrolan saya dengan Pak Kwiek Kian Gie dan Ex-Jendral Ryamizard Ryacudu (RR) setahun yg lalu di kantor RR di Pondok Indah,Jakarta.Obrolan itu sekitar soal Bencana Tsunami di Aceh dan tentu saja terkait dengan karakter/kualitas kepemimpinan Presiden kita SBY. RR menceritakan bahwa situasi saat itu, begitu urgent untuk sebuah keputusan untuk pembentukan Tim Extra-cepat khususnya daerah yg terisolir (maaf saya lupa nama daerahnya). Nah Karena RR adalah teman SBY, maka pada saat itu RR menelpon meminta ketemu secara langsung dengan SBY dan dalam waktu 15 menit ,meluncurlah RR ke istana presiden untuk bertemu dengan SBY. RR menyampaikan kondisi lapangan di Aceh khusus di daerah terisolir dan RR menyampaikan ke SBY agar segera dibentuk tim lapangan dan RR mengaku mengenal daerah tsb dan akan memimpin pasukan kecil untuk segera memberikan bantuan secepat mungkin,yg diperlukan adalah keputusan saat itu juga dari Presiden SBY, NAMUN SEKALI LAGI NAMPAK BAHWA SBY MEMANG PERAGU DAN SANGAT LAMBAN MENGAMBIL KEPUTUSAN,minimum dari kaca mata Jendral macam RR :-). Pada saat itu SBY mengatakan beri saya waktu 2 hari,dan RR terperangah dengan keputusan tsb dan RR langsung berdiri dan meninggalkan presiden SBY dan ganti SBY yang terperangah hehe dan SBY bertanya mau kemana ,saya malam ini juga akan terbang ke aceh dengan ijin mu (SBY) ataupun tidak ! dan SBY kembali terperangah namun tidak berkata2 apapun dan RR sudah langsung meluncur ke Halim dan dalam perjalanan ke Halim ,SBY menelpon supaya kembali ke istana karean SBY mau mendiskusikan lebih detail ,namun RR tidak bersedia karena yg dibutuhkan adalah KEPUTUSAN bukan DISKUSI dan ini adalah darurat kemanusiaan dan SBY bilang OK dan akhirnya menyetujui pembentukan TIM tsb. Saya yg paling Junior yg hadir dalam pertemuan tsb TERPERANGAH ,betapa parahnya kualitas determinisme Presiden Kita SBY. Saya bisa membayangkan untuk urusan kemanusiaan saja SBY cukup lamban dalam mengambil keputusan,apalagi dalam konteks politik yg tentu saja saling jalin menjalin kompleksitasnya. Sekali lagi 'Saya Terperangah' dengan kualitas Presiden RI yng ke 6 kita. salam, -herman sutarto --- On Sun, 6/14/09, Ahmad Faizal <ich_...@yahoo.com> wrote: From: Ahmad Faizal <ich_...@yahoo.com> Subject: Re: [PPIBelgia] Peran JK dalam MoU Helsinki (Kesaksian juru runding GAM) To: PPIBelgia@yahoogroups.com Date: Sunday, June 14, 2009, 8:23 PM Hahahaha.... lanJutKan!!! Salam, Ichal From: Furqon Azis <uton...@yahoo. com> To: ppibel...@yahoogrou ps.com Sent: Sunday, June 14, 2009 3:20:09 PM Subject: Re: [PPIBelgia] Peran JK dalam MoU Helsinki (Kesaksian juru runding GAM) Terima kasih atas pencerahannya Bung IChaljadi pemimpin itu memang harus "satu kata satu perbuatan" Salam-Utong- From: Ahmad Faizal <ich_...@yahoo. com> To: ppibel...@yahoogrou ps.com Sent: Sunday, June 14, 2009 2:52:09 PM Subject: [PPIBelgia] Peran JK dalam MoU Helsinki (Kesaksian juru runding GAM) Tulisan in saya kutip dari Note FB teman kuliah yang lama kerja di Aceh Peran JK dalam MoU Helsinki (Kesaksian juru runding GAM) http://www.facebook .com/note. php?note_ id=90628129884&ref=nf Today at 2:44pm Sungguh mengherankan, setelah JK kampanye ke Aceh dan menelanjangi betapa 'banci'-nya presiden kita, Sang Presiden dan tim-nya kebakaran jenggot. Pak SBY yang bilang beliau ini ksatria, tidak akan membalas hujatan dengan hujatan. Buktinya, Mega-Prabowo dibilang menghembuskan angin surga, JK dibilang tidak etis karena dalam posisinya sebagai wapres, berani nglunjak lewat statement-nya. Sebetulnya pesan SBY cuma satu, Everybody, I am the president. Tidak ingatkah beliau, lima tahun yang lalu, SBY juga menelikung Megawati, lebih parah dibanding JK yang hanya adu mulut dengan SBY. Buat yang lupa, SBY itu Menkopolkamnya Megawati (2001-2004). Betul statemen JK, bahwa SBY-lah yang menetapkan status darurat untuk Aceh yg sebetulnya sudah dihapus Wiranto saat menjabat Menkopolkam- nya Gus Dur. Dalam kapasitas sebagai menkopolkam, awal 2004, megawati tahu bahwa SBY akan maju melawannya dlm pilpres. SBY saja jengkel dan menganggap tidak etis karena JK mencalonkan diri jadi presiden. Kalau apa yang dilakukan JK padanya dianggap tidak etis, apa yang dilakukannya ke Mega 2004 tentu saja jauh lebih tidak etis. Tentu kita masih ingat juga, akhir tahun lalu, ketika memperpanjang jabatan gubernur DIY untuk ngarso dalem (Sultan HB X), SBY bilang: siapapun gubernur yang mau mencalonkan presiden, kudu seijin beliau, bahkan disindir, orang yang sudah diangkat kemudian lupa ke siapa yang mengangkatnya, yang seperti itu hanya terjadi di dunia ketoprak. SBY memang lebih cerdik tahun 2004. Supaya tidak perlu minta ijin ke Mega, dia meletakkan jabatan dulu sebelum resmi mencalonkan jadi presiden. Apa yang sebenarnya terjadi pada penghujung MoU Helsinki di detik-detik yang paling menentukan itu? Tidak ada yang memungkiri, memang tanda tangan JK-lah lewat fax yang menghiasi lembaran MOU, bukan tanda tangan SBY. Kata tim SBY, presiden memang sudah memberi wewenang kepada wapresnya untuk ngurusin MoU, tapi bos-nya tetap Sang presiden. Tim SBY menambahkan lagi, itu dilakukan supaya wapres bukan sekedar ban serep. Pak Presiden memang lucu, wapresnya selalu diberi kewenangan untuk sesuatu yang sulit, sedangkan yang enteng, dimana SBY bisa tebar pesona, ditangani sendiri. Singkatnya, di zaman SBY, wapres memang bukan ban serep, tapi bemper untuk kebijakan-kebijakan yang tidak populer. Tanggal 29 Mei 2009, bada maghrib saya mendapat sms tak terduga: Dek, Abang sedang di Bandung, on the way to restoran Gampoeng Aceh. Langsung saja saya reply: I'll be there, in 20 minutes, Bang. Orang yang meng-sms saya itu adalah Munawar Liza Zain, yang punya nickname warzain, salah satu juru runding GAM di Helsinki yang sekarang mendapat amanah sebagai walikota Sabang. Seingat saya, dialah satu-satunya orang yang saya panggil 'Abang' tanpa diikuti nama di belakangnya. Banyak sisi menarik dapat diceritakan tentang Abang. Tapi, yang saya ceritakan sekarang adalah kesaksiannya tentang babak terakhir Helsinki. Abang adalah alumni Gontor yang pernah menempuh studi di Al-Azhar, Kairo. Tim RI di Helsinki diisi oleh orang Aceh (Sofyan Djalil), orang Makassar (Hamid Awaluddin), dan orang Bali (maaf, I can't remember his name), dan ada juga seorang alumni Gontor. Secara psikologis, tim ini lebih menyejukkan dibanding jika orang-orang GAM harus berhadapan dengan tim yang dimayoritasi orang Jawa. Perjanjian sendiri buka diselenggarakan di kantor pemerintah, tapi di sebuah rumah yang terpencil sehingga tidak mungkin kabur. Rumah itu terdiri atas dua lantai. Delegasi Indonesia ditempatkan di lantai satu, sedangkan tim GAM di lantai dua. Hari terakhir bertepatan dengan hari Jumat. Materi perundingan 98% sudah disepakati, kecuali tentang partai lokal. Hamid Awaluddin sebagai pimpinan delegasi Indonesia mengajukan keberatan karena itu bertentangan dengan hukum Indonesia. "Wah, Pak. Anda khan tahu kami ini GAM. Masak iya kami harus nyoblos Golkar? Tidak ada ceritanya itu." Karena alot, akhirnya kedua tim menyatakan tutup kedai alias perjanjian batal saja. Tim GAM balik ke markasnya di lantai dua. Mereka bersiap-siap untuk pulang hari berikutnya. Tiba-tiba, menjelang malam, Hamid Awaluddin lari tergopoh-gopoh ke lantai dua berusaha untuk menegosiasi kembali. Masing-masing tidak ada yang mengalah. Hamid Awaluddin menelepon JK, ini harus bagaimana? *Kalau Anda bertanya mengapa Pak Hamid tidak bertanya ke SBY, karena jawabannya sudah pasti 'tidak' atau tidak akan dijawab, atau dijawab tapi lama, padahal pertaruhannya besar karena kalau malam itu tidak diselesaikan, perjanjian batal* Lain cerita kalau bertanyanya ke JK. Pak JK minta waktu (dan boleh jadi, itu karena JK mengajak istrinya membaca Yasin 10 kali dulu). Akhirnya, jam 2 dinihari, Pak JK bilang: tandatangani saja itu apa mau mereka. AKhirnya, tanda tangan JK-lah yang di-fax. Selesai perundingan itu, dua alumni Gontor yang duduk berseberangan akhirnya bisa berpelukan. Perdamaian itu selalu lebih baik. Jika bisa damai, mengapa harus mengorbankan yang 98% hanya untuk 2% yang tidak penting2x amat. Toh pileg 2009 membuktikan, memang partai aceh yang menang telak di Aceh. Posisi gubernur dan bupati/walikota juga banyak diisi GAM combatans. Serahkan saja urusan Aceh ke warganya sendiri. Sekarang, kalau SBY dan timnya menganggap pernyataan JK di Aceh tidak etis, dan beretorika yang manisz, lihatlah saja bagaimana respons rakyat Aceh ketika JK datang. Rakyat tidak bisa dibohongi, Pak. Memang betul sampeyan presiden RI,memang betul wapres itu 'pembantu' sampeyan, tapi dialah yang mengambil keputusan pada saat sampeyan mikir kelamaan. Memang betul, sampeyan baca pasal demi pasal dari MoU itu (saya juga baca kok, Pak), tapi sampeyan itu pada dasarnya tidak setuju dengan yang 2% itu, kan? Hayoo, ngaku saja. Apa kalau ada anak Indonesia yang menang di olimpiade fisika, terus Anda bilang: Itu kemenangan saya, karena saya setuju dengan program pembinaan tim olimpiade. Persetujuan saja tidak bisa di-claim. Sudah tercatat dalam sejarah, memang tanda tangan JK yg sudah terpatri disitu. Ok, Pak presiden. Jangan suka meng-claim sesuatu yang kerja bareng2x sbg kerja sampeyan dan tim. Jangan juga ngaku2x prestasi yang lebih layak dinisbahkan kepada orang lain. Buat my prens yang tidak percaya dengan tulisan saya tentang apa yang terjadi di detik-detik akhir Helsinki, silakan tanya ke Pak Wali, ada kok di friends saya di FB. BTW, pelajaran paling berharga yang saya dapatkan dari Abang malam itu bukan hanya tentang bagaimana kronologi Helsinki, bagaimana peran Aceh di masa-masa awal kemerdekaan RI, dan bagaimana Aceh dikhianati. Malam itu, selain saya, Elhurr, dan bapaknya, hadir juga dua alumni Gontor yang sejaman dengan Pak Wali. Pak Wali bilang, sungguh susah hidup di alam yang bukan dunianya. Panggilan hatinya adalah menjadi guru. Sedangkan saya dan kedua kawannya itu, sama-sama berprofesi sebagai guru. Bahkan, jujur saja, menjadi seorang guru SD saat ini lebih memberikan kepuasan batin bagi saya dibanding pekerjaan apapun yang pernah saya coba. Wallahualam, Salam, IChal