36 Tahun Kontroversi Kusmin (Sinar Harapan, 26 Juni 2004) Oleh Donny Anggoro
Kipandjikusmin, pengarang yang sampai kini masih misterius sempat menghebohkan dunia sastra kita. Cerpennya Langit Makin Mendung (LMM) lantas menyeret redaktur majalah Sastra H.B Jassin ke meja hijau. Cerpen yang dimuat di majalah Sastra 8 Agustus 1968 mengundang reaksi umat Islam. Ratusan eksemplar majalah Sastra oleh Pihak Kejaksaan Tinggi Sumatera disita di berbagai toko, agen dan pengecer di kota Medan. Kantor majalah Sastra diberangus dan dicoreti dindingnya dengan pelbagai penghinaan. Di Jakarta Umar Kayam, Taufiq Ismail, Trisno Sumarjdo, D.Djajakusuma dan Slamet Soekirnanto menyatakan protes atas penutupan majalah Sastra. Tiga puluh enam tahun berlalu sosok Kusmin masih teka-teki. Polemik yang terus berkelanjutan antara kebebasan mencipta dan agama ini dengan segera mencatatkan sejarah sastra Indonesia laiknya kontroversi novel Lolita Vladimir Nabakov dan Lady Chatterley’s Lover D.H Lawrence yang dianggap porno. H.B Jassin, sang redaktur Sastra berkeras tak mengungkap identitas Kusmin dengan berpegang pada UU Pers 1966: ”bila sang pengarang tidak membuka identitasnya redaksi mempunyai hak tolak memberitahukan identitas pengarang sesungguhnya.” Di pengadilan H.B Jassin mengaku selama ini hanya berhubungan lewat surat. Konon selama berhubungan, alamatnya selalu berpindah-pindah mulai dari Jakarta, Probolinggo, Singapura dan Surabaya. Begitu mati-matiannya Sang Paus Sastra membela Kusmin hingga terbetik gosip dia sendirilah sosok pengarang misterius itu. Kipandjikusmin sendiri bukannya tak tinggal diam. Pengarang misterius ini lewat redaksi Harian Kami tertanggal 22 Oktober 1968 mengeluarkan pernyataan mencabut cerpennya dan menganggapnya tak pernah ada. Berikut pernyataannya: ”Sebermula sekali bukan maksud saya menghina agama Islam. Tujuan sebenarnya adalah semata-mata hasrat pribadi saya mengadakan komunikasi langsung dengan Tuhan, Nabi Muhammad S.A.W, sorga. dll. Di samping menertawakan kebodohan di masa rezim Soekarno. Tapi rupanya salah menuangkannya ke dalam bentuk cerpen. Alhasil mendapat tanggapan di kalangan umat Islam sebagai penghinaan terhadap agama Islam.” *** Kepada majalah Ekspres pimpinan Goenawan Mohammad tahun 1970 Kusmin pernah mengatakan sebenarnya tak ada niat menjadikan dirinya misteri. Ia bahkan bersedia tampil saat itu. Karena melihat Jassin begitu membelanya mati-matian di pengadilan ia merasa tak pantas melangkahi orangtua, kilahnya. Dari wawancara majalah tersebut akhirnya terungkap nama asli si pengarang, yaitu Soedihartono lewat perbincangannya dengan Usamah, redaktur pelaksana Ekspres. Kusmin menempuh pendidikan di Akademi Pelayaran Nasional. Selama 6 tahun ia menjalani wajib dinas di Jakarta. Cerpen LMM sebenarnya adalah representasi kejengkelan Kusmin pada situasi Indonesia di masa Nasakom. Karena personifikasi Nabi Muhammad S.A.W sebagai ”Tuhan yang memakai kacamata model kuno terbuat dari emas” cenderung kasar dan tak metaforik, menurut Taufiq Ismail dalam Beberapa Pikiran tentang Pelarangan Sastra (harian KAMI, No. 688, 25 Oktober 1968) gagal secara literer. ”Kalau dia Islam, maka kebebasannya berfantasi sudah sampai kepada kekeliruan besar dalam aqidah. Bukan mustahil dia bukan Islam, maka dia terlalu jauh masuk ke daerah fantasi ini yang juga salah besar penggarapannya,” tulis Taufiq. Marwan Saridjo, akademisi Institut Agama Islam Negeri, Ciputat menganggap persoalan LMM adalah hipokrisi wajah sastra keagamaan. Dalam tulisannya di Pandji Masyarakat, Oktober 1969 ia mengimbau, ”Mari kita pecahkan persoalan ini seraya mengikis dan melenyapkan segala hipokrisi dalam wajah sastra keagamaan, entah itu datangnya dari pengarang berpredikat agama (ulama, pendeta) pun hipokrisi pada tren sementara pemawas sastra kita yang dianggap prominem dewasa ini,” Yahya Ismail, seorang penulis Malaysia turut berpolemik dalam Sekitar Langit Makin Mendung (Indonesia Raya Minggu, 24 November 1968) menganggap kontroversi LMM sebagai ketidakberdayaan Indonesia dalam mengambil tindakan. Ia memberi contoh lewat karangan ilmiah James L. Peacock di majalah Indonesia, 4 Oktober 1967, Peacock membuktikan bahwa ludruk memperlihatkan gejala anti-Islam dalam pementasannya. Observasi ini, tulis Yahya, konon dilakukan Peacock saat berada di Indonesia tahun 1963 jauh sebelum cerpen LMM muncul. Ia membandingkan sajak penyair Malaysia, Kassim Ahmad yang sempat menjadi polemik dalam konteks menghina Islam. Menurutnya, personifikasi Kusmin di LMM tak sebanding tiga sajak Kassim Ahmad. Tulisan Yahya dibantah Jusuf Lubis dengan fakta bahwa umat Islam pernah memprotes pentas Ludruk Marhaen yang dianggap menghina Islam (Angkatan Baru, 12 Desember 1968). Sedangkan Mochtar Lubis dalam Kebebasan Berpikir (Horison, Tahun IV No.1, Januari 1969) mengatakan kasus penutupan majalah Sastra dengan dimuatnya LMM adalah akibat sikap ketidaktoleran dunia pemikiran, bak ilmuwan Galileo di masa silam nyaris dibakar karena mengatakan bumi mengelilingi matahari. ”Yang saudara adili di sini bukan saya, bukan Kusmin, bukan LMM. Yang saudara adili di sini ialah imajinasi. Maka yang berkepentingan bukanlah saya atau Kusmin saja, tapi seniman kita yang mempunyai imajinasi itu. Saudara sedang mengadili imajinasi kreatif yang sedang menuntut kebebasannya demi kemajuan seni dan pemikiran,” tulis Jassin dalam pleidoinya di pengadilan, 2 September 1970. Wiratmo Sukito dalam Karya Seni sebagai Iriil (Sinar Harapan, 18 Desember 1968) menganggap pembelaan Jassin kurang menjelaskan apakah imajinasi Kusmin tak berhubungan dengan kenyataan. Meski tak bermaksud membela Kusmin, ia mengingatkan apa pun yang terjadi dalam proses mencapai tingkat di mana alam adalah transenden, karya seni yang tak nyata adalah potensial meletakkan ide besar dalam sejarah kehidupan. *** Setelah 36 tahun berselang apa yang bisa kita renungkan dari kontroversi LMM? Apakah setelah 36 tahun silam kehidupan sastra kita telah bersikap toleran sewajarnya dalam dunia pemikiran? Memang, pintu kebebasan telah terbuka. Tapi, di masa kini sastra yang seharusnya tengah mendapat angin tak lantas menjadi kaya dengan kreativitas. Legimitasi kepengarangan yang ada celakanya malah cenderung non-artistik sepeti merujuk pada komunitas tertentu walau regenerasi kepengarangan seolah sedang bergairah. Sementara kebebasan sastra jauh dari kualitas, para pemain baru yang potensial malah sibuk meleburkan diri agar setidaknya masuk dalam lingkaran kekuasaan hegemoni ”politik sastra”. Hipokrisi memang tak lagi riuh dari wajah sastra keagamaan seperti kasus Kusmin, melainkan datang dari sastrawan sendiri yang sibuk bersolek dari urusan non-artistik selain sikap pemawas sastra kita yang tak tekun. Legimitasi kepengarangan berlebihan malah membuat kita tak percaya akan fungsi utama sang kritikus sebagai medium antara masyarakat peminat sastra dan seniman. Pertanyaan mengusik, apakah kebebasan wajah sastra kita lantas seperti kaum agelaste yaitu menerima ide-ide tanpa berpikir laksana cetusan Milan Kundera dalam Art of Novel? Kebebasan sastra sebaiknya tak menjadi sia-sia dan sewajarnya dilihat sebagai kesempatan memperbaiki lingkungan kita. Rawamangun, April 2004. Penulis adalah editor sebuah penerbit tinggal di Jakarta. http://www.sinarharapan.co.id/hiburan/budaya/2004/0626/bud2.html __________________________________ Do you Yahoo!? New and Improved Yahoo! Mail - Send 10MB messages! http://promotions.yahoo.com/new_mail ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Yahoo! Domains - Claim yours for only $14.70 http://us.click.yahoo.com/Z1wmxD/DREIAA/yQLSAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.arsip.da.ru *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Posting: [EMAIL PROTECTED] 5. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 6. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 7. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/