From: heru atmodjo 
To: [EMAIL PROTECTED] 
Sent: Friday, July 09, 2004 3:47 PM
Subject: Re: [temu_eropa] CATATAN SEORANG KLAYABAN: GURU DAN MURID


Bung Kusni yang budiman,

Akhirnya dimunculkan juga ke permukaan masalah guru dan murid, mental intelek budak 
dan mental merdeka yang punya harga diri, masalah lama sejak  penjajahan Belanda di 
zaman yang silam.

Sejak Republik Indonesia, yang kita dirikan dan kita bela dengan darah rakyat, jatuh 
ke tangan komplotan komprador rezim Suharto, memang jarang kita mengangkat masalah 
mental dan martabat bangsa ini. Foto Camdessus, IMF, di istana Merdeka, melipat 
tangannya memandang Harto menandatangani perjanjian penjualan bangsa ini, hanya 
beberapa orang saja bisa dihitung yang menyorot gambaran seorang budak yang memakai 
predikat presiden dan tuan budaknya IMF .

Saya, mendapat pendidikan di Amerika, pendidikan militer di USAF. Klas kami terdiri 
dari perwira sekutu Amerika, Allied Forces, NATO, CENTO, SEATO dan lainnya.  Saya 
mendapat perintah dari Kepala Staf AU ketika itu untuk tidak menerima uang apapun dari 
 Amerika. Menurut pimpinan saya, kami telah diberi bekal cukup untuk belajar. Cukup, 
artinya uang saku untuk makan, dan uang buku. Di sekolah, setiap pertengahan bulan 
siswa-siswa mendapat tambahan uang dari sekolah (dari Amerika), $6.00/hari bagi 
seorang siswa.  Ada dua negara waktu itu yang tidak mau menerimanya,  Indonesia dan 
Burma (waktu itu di bawah U Than). Perwira siswa negara lainnya, Philipina, Muangthai, 
Taiwan, Jepang, Columbia, Chili, Haiti, Argentina, Belanda, dan sekutu-sekutu AS,  
lainnya semua menerimanya. Mereka senang. Bahkan seorang perwira Argentina dan negara 
amerika Latin, dimana rate US$: Peso= 1:30, gajihnya diterima di amerika dengan rate 
1:1. Karena itu mereka jadi kaya-kaya. Seorang guru, ia sipil  bukan
militer,  tapi dari Universitas terkemuka seperti Yale, Harvard, mendekati kami yang 
tidak pergi ambil uang. Ia tanya: "Apa kalian tidak mau dollar?' tanyanya. Kami, 
perwira Burma dan Indonesia, menjawab:"Masalahnya bukan tidak suka dollar, kami 
menolak  menjual negara." kata kawan kita dari Burma. Kami menimpali: "Kami suka uang, 
tapi tidak mau menjual harga diri". Instruktur kami nyengir, dan pergi. Hal demikian, 
bukan hanya sampai disitu. Kemudian ternyata, itu menjadi penilaian politik guru itu 
kepada kita. Dalam catatan mereka, kami digolongkan kepada "DIE HARD STUDENTS"

Tentang pelajaran di Amerika. Disana pelajaran kita adalah tentang perang nuklir
Bagaimana menggunakan bom satu Mega Ton (MT), lima MT, di Uni Soviet, waktu itu. 
Sedang di Nagasaki dan Hiroshima itu hanya 10 KT. Berapa jangkauan radiasinya, tingkat 
kerusakan akibat ledakan itu, yang bersifat strategis. Di darat, yang bersifat taktis, 
belajar menggunakan small nuclear warhead, 1 KT, 2 KT untuk meriam artileri mereka. 
Lebih dari 50% jam pelajaran meliputi diskusi tentang itu.Lainnya tentu perang 
konvensional. Bagi mereka bagian taktis ini kurang penting. Pertanyaannya untuk apa 
pelajaran seperti itu? Saya berpendapat, tidak ada manfaatnya.  Karena kita di 
Indonesia punya bomber, mampu melakukan operasi strategis, bahkan dapat membawa bom 
nuklir, tapi kita tak punya bom nuklir, saya mencari bahan sendiri, di luar pelajaran 
yang diberikan. Apa gunanya bagi perwira siswa dari Philipina, Vietnam( boneka), 
Kamboja, Argentina, Chile, Coloumbia? Kalau ada, tak akan lebih dari 20% dari total 
yang diberikan.  

Begitu pula teman-teman dari AD dan AL kita yang jujur dan kritis. Pelajaran mereka 
tidak relevan, hanya untuk gagah-gagahan keluaran Amerika. Ironinya, di SESKOAD 
pelajaran perang nuklir itu dijadikan mata pelajaran, disebut KIBIRA (Kimia, Biologi 
dan Radiologi). Siswanya diajari menghitung deployment nuclear artillery, bilangan KT. 
Untuk apa? Tapi sekembalinya mereka ke tanahair, mereka direkrut jadi instruktur, 
dengan menjiplak kurikulum dari US Army. 

Bagaimana dengan student-student muridnya Liddle? Lihat lagak bicaranya. "Kalau di 
Amerika", "demokrasi amerika", "pembangunan amerika", "pendidikan amerika, budaya 
amerika" dst. Anehkah kalau Chicago mafia berhasil memporak-porandakan Konstitusi 45?  
Anehkah kalau kini kita punya semacam Kongres dan Senat? Bahkan negara ini akan 
dijadikan federasi? Perhatikan pula bagaimana konsep pembangunan sosial dan ekonomi 
kita. Semua didasarkan kepada perdagangan bebas, pinjaman luar negeri. Apa yang 
dilakukan Widjojo, Sadeli, Ali Wardana, Emil Salim, Sumarlin dan Kuntjorojakti 
sekarang. Semua jiplakan. Sistem pendidikan pun jiplakan. Pemilu? Sofyan Effendi, 
Rektor UGM, mengeritik mental intelektuil pembuat undang-undang pemilu, dan perubahan 
Konstitusi 45 sekarang ini. Mentalnya sudah brainwashed. Tingkah laku mafia Berkely 
melaksanakan pesan sponsornya, untuk kehidupan klien konglomeratnya, alias komprador. 
Yang membuat Undang-Undang Penanaman Modal Asing No1/1`967, menurut David Ransom, 
sama sekali bukan Menteri PMA Sadeli, melainkan 70 orang teknokrat ekonomi Ameria, 
yang didatangkan dan tinggal 3 hari di HI dengan tak banyak orang tahu. Apa masih ada 
kata pengganti dari menjual negara? Mental-mental komprador yang tak punya harga diri, 
bercokol hingga hari ini.

Tontonan Metro TV, dengan adegan William Liddle, Andi Malarangeng, Rizal Malarangeng, 
sebenarnya tak ada bedanya dengan Camdessus dan Harto. Jadi, bukan hal yang aneh, 
kalau sesungguhnya kita berada di telapak kaki mafia dan bandit-bandit Chiucago.

Mengenai pembangunan ekonomi, masalah ekonomi negara-negara terbelakang, bekas negara 
jajahan, yang agraris, kelihatannya tabu untuk membaca tulisan Pao-yu Ching, yang 
menulis pengalaman pembangunan ekonomi Tiongkok. Pembangunan ekonomi negara 
terbelakang, sejak pre and post 1949, 1959, 1979, dimana Tiongkok dibangun dari 
reruntuhan perang, tanah pertaniannya yang rusak, embargo AS, karena tidak mau tunduk 
kepada Amerika, dan penduduknya terbesar di dunia. Dibangun tanpa  bantuan luar negeri 
selama itu. Penduduknya yang milyaran harus makan, harus hidup, harus survive dalam 
rongrongan agresor Amerika. Bagaimana pertaniannya dibangun, bagaimana hubungan 
pertanian dengan industrinya, dst.dst. Tak ada teknokrat dan pakar ekonomi yang sudi 
belajar kepada negara yang demikian. Mereka ketakutan kepada komunis, dan sekarang 
takut juga dicap teroris. Yang tidak mereka anggap hina menyembah kepada penjahat 
kemanusiaan nomor wahid. 

Kaum muda, generasi muda, harapan bangsa harus, intelektuil, yang punya kemampuan 
berpikir kritis dan mau bekerja untuk bangsanya, waktunya sadar untuk dapat  
membebaskan dirinya dari kebodohan sebagai akibat mental komprador, yang tidak 
mengerti antara nilai luhur dan hina.  Kecuali kita memang bertekad untuk bebas dan 
merdeka, membebaskan rakyat dan memerdekakan rakyat dari budaya dan mental 
penjiplakan, akan selalu membenarkan cara-cara penghisapan dan penindasan a la 
imperialisme Amerika. 

Belakangan bahkan kita dapati kawan kita, yang dulu berjuang bersama-sama melawan 
Belanda, kini malah menyatakan lebih baik dipimpin dan dikuasai Amerika daripada 
bangsanya sendiri. Pikiran dan pernyataan yang enam puluh tahun lau kita temui di 
Philipina, mereka berkampanye ingin menjadi negara bagian ke-50 dari Amerika Serikat 
Inilah gambaran mental komprador, dengan budayanya mendewakan uang. Uang adalah 
segalanya bagi mereka. Ingin jadi presiden, suap, nyogok. Ingin jadi menteri jilat, 
dan  sogokan.Ingin titel, beli. Ingin masuk universitas terkenal, beli, dengan harga 
mahal. Ingin jadi tentara, ingin jadi polisi, beli dan sogok. Apakah masih belum yakin 
bahwa budaya mereka betul-betul rendah?

Jakarta, 10 Juli 2004
Heru Atmodjo





Budhisatwati KUSNI <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
CATATAN SEORANG KLAYABAN:

GURU DAN MURID


Pada tanggal 09 Juli 2004, Harian Kompas, Jakarta, menurunkan sebuah berita berjudul 
"Pihak Asing Campuri Pemilihan Presiden" dalam mana dikemekukakan pendapat Kwik Kian 
Gie tentang suatu sikap mental yang tercermin melalui hubungan antara guru dan murid. 
Secara khusus dalam hal ini hubungan antara mantan para mahasiswa William Liddle 
dengan sang profesor yaitu William Liddle setelah mereka usai belajar dan pulang ke 
Indonesia.

"Fungsionaris Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) ini menyayangkan sikap 
pengamat Indonesia yang seolah menempatkan diri menjadi asisten bagi pengamat asing. 
Padahal, wawasan maupun pengetahuan mereka tentang Indonesia lebih utuh daripada 
pengamat asing. "Saya sendiri belajar di luar negeri, tetapi setelah selesai dan 
berpengalaman begitu lama, tidak bisa lagi menjadi murid mereka. William Liddle tidak 
tahu apa-apa tentang lapangan di Indonesia, sedangkan murid- muridnya itu sudah di 
sini dan lulusnya sudah lama, serta tahu betul lapangan. Tetapi, kenapa secara mental 
mendudukkan diri sebagai asistennya? Kalau berkomunikasi dengan profesor, saya tidak 
begitu," kata Kwik lagi [Lihat: Harian Kompas, Jakarta, 09 Juli 2004]. 

Sehubungan dengan sikap mental ini juga maka ketika berbicara tentang pembangunan 
pendidikan di Indonesia, Kwik Kian Gie juga menjelaskan bahwa: 

"Kebetulan pada akhir sidang kabinet disinggung. Ibu Presiden sendiri memberikan 
sinyal begini, jangan hanya angka-angka terus, bagaimanapun kalau bicara pembangunan 
pendidikan jangan hanya menambah ilmu, tetapi watak, karakter bangsa juga harus 
diperhitungkan dalam menyusun kurikulum," kata Kwik menanggapi pertanyaan tentang 
pemilihan presiden "[Ibid].

Perihal yang dikemukakan oleh Kwik ini, yaitu hubungan guru dan murid, peranan 
universitas dan pemberian beasiswa atau pun bantuan sebenarnya merupakan masalah yang 
cukup luas, menyangkut berbagai segi, dan tentu saja mempunyai hubungan dengan unsur 
politik. Ambil contoh grup sarjana yang di Indonesia disebut sebagai "Berkeley Mafia" 
dan yang berperanan penting selama Orde Baru [Orba] terutama pada periode-periode 
awal, atau "Chicago Boys" di Chile pada periode kekuasaan Jenderal Pinochet yang  
dengan kudeta berdarah telah menggulingkan kekuasaan Presiden terpilih Salvador 
Allende, melalui "Operasi Jakarta"-nya, belum lagi jika kita mengambil kehadiran 
profesor-profesor asing di berbagai universitas penting di Indonesia pada zaman 
Presiden Soekarno, entah  sebagai peneliti ataupun pengajar, barangkali kita bisa 
melihat dibalik semua itu ada unsur politis dan disandang sekaligus sebagai misi. Jika 
kita membaca dokumen-dokumen dan tulisan-tulisan para pakar tentang masalah Tragedi
Nasional September 1965, terutama "persiapan-persiapan" mendahuluinya, kalau kita mau 
percaya, kita akan bisa mendapatkan banyak bahan acuan yang menarik. Tapi dalam 
"Catatan" ini, saya tidak ingin memasuki masalah tersebut lebih lanjut. Melalui alinea 
ini, saya hanya ingin mencanangkan bahwa apa yang diungkapkan oleh Kwik bukanlah 
masalah baru dalam sejarah Indonesia dan dunia. Tapi seperti kata Arief Budiman ketika 
kami membicarakan masalah ornop [organisasi non pemerintah] dan dana luar, 
persoalannya terletak pada "siapa menggunakan siapa". 

Jika memusatkan masalah pada soal sikap mental dalam hubungan guru dan murid, di sini 
pun bermacam-macam pertanyaan bisa diajukan. Misalnya mengapa murid khoq bisa berulah 
selamanya seperti murid dan jika menggunakan istilah Kwik sebagai "asisten". Mengapa 
guru selalu dan selamanya dipandang sebagai "dewa". Menghormati dan berterimakasih 
kepada sang guru tidak semestinya menghilangkan kedirian mantan murid. Hanya saja saya 
menganggap bahwa sikap mental biasanya mempunyai dasar sosial, politik dan ekonomi 
serta budaya tertentu yang dominan pada suatu ketika. Ia bukan muncul begitu saja. 
Untuk itu diperlukan pengetahuan persis dan rinci tentang orang-perorang yang menganut 
sikap mental demikian.Patut juga dipertanyakan, apakah William Liddle memang ingin 
para mantan muridnya [untuk lebih keren, para mantan mahasiswanya] memperlakukan diri 
sang profesor selamanya sebagai guru dan "dewa" pegangan? Kalau Kwik, menyebut William 
Liddle turut campurtangan dalam pemilu, sekarang, semestinya
Liddle memberikan keterangan terbuka, benarkah ia punya maksud politik tertentu 
dengannya sebagai mantan profesor para mahasiwanya dan sebagai peneliti serta 
indonesianis? Tentu saja harapah ini tidak akan kita dapatkan dan tidak akan kita 
dengar dari Liddle.Kalau pun demikian, saya kira, kita tidak bisa menyalahkan Liddle. 
Masalahnya, barangkali terletak pada bagaimana kita bisa menangkal campurtangan? 
Mengapa kita sampai bisa dicampurtangani? Tidakkah keadaan demikian mempertontonkan 
diri kita yang sangat tergantung, lemah dan tidak berdaya sehingga hanya ribut 
sendiri? Sebagai bandingan, mengapa sekian banyak usaha intervensi dari  luar terhadap 
Republik Rakyat Tiongkok [RRT],tapi RRT tetap tidak meributkannya? Kuba yang dikepung 
Amerika Serikat, dihujani dengan macam-macam propaganda anti Kuba, tapi sampai 
sekarang Kubanya Fidel Castro masih saja eksis, padahal Amerika Serikat mempunyai 
basis militer di Guantanamo di ujung timur pulau itu? Berapa kilometer gerangan jarak 
Habana dan
Guantanamo? Kalau karena pendapat-pendapat dan komentarnya terhadap masalah Indonesia, 
lalu Liddle dikatakan sebagai telah melakukan campurtangan, barangkali pendapat dan 
sikap begini terlalu jauh. Saya merasa komentar seorang Liddle sebagai Indonesianis 
yang menjadikan Indonesia dan permasalahannya sebagai obyek studi dan pengamatannya, 
sangatlah wajar. Barangkali dari pendapat Liddle, Indonesia bahkan bisa memungut 
manfaat. Mengkritik dan apalagi jika sampai mencerca Liddle karena atau semata oleh 
pendapat-pendapatnya, saya kira sudah berlawanan dengan epistemologi ilmu-pengetahuan 
yang diperlihatkan melalui sikap menolak kritik. Sekali lagi, apakah ini bukan ujud 
dari kelemahan? Pendapat, mengapa tidak dijawab dengan pendapat? Argumen mengapa tidak 
dijawab dengan argumen dan data? Kecuali kalau ada bukti bahwa Liddle melakukan 
komplotan politik secara terorganisasi di luar bidang social-sciences. Tepat tidaknya 
pendapat dan argumen Liddle, layak dijawab dengan argumen dan buktikan
ketidaktepatannya. Bukan dihadapi dengan main pasang topi yang sangat tidak nalar dan 
kebingungan serta ketentuan adminsitratif seperti yang pernah dialami oleh Ben 
Anderson. Saya kira sikap adu argumen dan data, dan bukan main pasang topi dan larang 
atau main cekal dan usir, adalah sikap yang nalar.

Kalau para mantan murid Liddle masih menganggap Liddle sebagai "dewa" mereka, ini 
adalah urusan mereka, yang sekaligus memperlihatkan kadar mereka sebagai manusia serta 
taraf kesarjanaan mereka. Saya tidak terlalu hirau dan sama sekali tidak risau. Karena 
di Indonesia bukan hanya ada mantan murid-muridnya Liddle, walaupun barangkali 
sekarang ini mantan murid-muridnya Liddle mempunyai posisi dan kekuatan tertentu 
karena mempunyai ini dan itu, terutama dari segi finansil, misalnya. Sikap ini saya 
ambil berdasarkan keyakinan bahwa "seseorang bisa menipu sekali dua kali, tetapi tidak 
akan bisa menipu selama-lamanya". Apalagi saya percaya benar pada kejujuran dan 
kekuatan rakyat negeri ini, bahwa di negeri ini masih ada orang-orang jujur. Masih ada 
manusia. Mengapa takut pada Liddle dan para mantan mahasiswanya yang "mendewakan" dia 
[kalau benar!], sedangkan Bush dengan ribuan serdadunya saja sudah kalangkabut di 
Irak, Amerika Serikat sudah dikalahkan di Vietnam. Apakah pada dasarnya
rakyat Indonesia itu pengecut dan gampang digertak? Saya masih percaya, dan sejarah 
masih mencatat bahwa rakyat negeri ini bukanlah rakyat pengecut. Tidakkah rakyat ini 
juga dahulu yang pernah mencoret tembok-tembok kota dengan slogan: "Merdeka atau Mati" 
ketika mengusir kolonialisme Belanda, tak ada senapang mereka menggunakan bambu 
runcing menghajar lawan. Kita adalah turunan rakyat demikian, rakyat yang punya harga 
diri dan tahu arti martabat kemanusiaan. Yang pengecut lebih banyak orang-orang dari 
lapisan elitenya. Bukan rakyat.

Perihal para Indonesianis, memang bermacam-macam jenisnya. Ada yang sekaligus membawa 
misi politik, ada yang murni ilmuwan tanpa takut risiko,ada yang menjadi ilmuwan 
sekaligus berhitung akan periuk dan belanga nasinya sehingga sangat oportunis seperti 
"bendera di atas bukit", ujar orang Minang. Inipun urusan para Indonesianis itu, bukan 
urusan Indonesia. 

Kesimpulannya? Mengapa mesti takut kepada Liddle dan para pengikutnya? Sedangkan bagi 
yang mau membudak, yang mau jadi embel-embel seumur hidup, juga silahkan! Mereka hanya 
segelintir sangat kecil dan tidak lebih dari busa di sungai yang tak akan sampai ke 
muara. Mereka pun tak lain dari "bendera di atas bukit" itu. Yang sarjana pun bukan 
hanya mereka, kemudian yang lebih bersifat kunci lagi:  Kembalikan Indonesia kepada 
rakyat Indonesia! Cepat atau lambat, rakyat akan merebut kembali haknya.Rakyat dan 
bangsa negeri ini bukan rakyat dan bangsa cacing. Bukan rakyat dan bangsa tempe, ujar 
Bung Karno. 

Masalah sikap mental selain erat tautannya dengan pilihan politik dan masalah 
pendidikan, ia pun menjadi urusan para sastrawan-seniman.Sebaiknya setelah berguru 
dengan para profesor di dalam dan di luarnegeri, mengapa tidak kemudian kita berguru 
kepada orang kampung, menyatukan diri dengan mereka?! Jalan inikah yang ditempuh oleh 
para cendekiawan dan sarjana kita?


Paris, Juli 2004.
----------------
JJ. Kusni 


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Make a clean sweep of pop-up ads. Yahoo! Companion Toolbar.
Now with Pop-Up Blocker. Get it for free!
http://us.click.yahoo.com/L5YrjA/eSIIAA/yQLSAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih 
Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.arsip.da.ru
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Posting: [EMAIL PROTECTED]
5. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
6. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
7. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Kirim email ke