DARI SEBUAH PERCAKAPAN: TENTANG NILAI-NILAI
KEINDONESIAAN

Oleh Tangkisan Letug

Sabtu malam kemarin aku menonton sebuah film yang
berjudul “Fiddler On The Roof” karya sutradara Norman
Jewison. Kisahnya bercerita tentang seorang miskin
bernama Tevye (Topo) sebagai “tukang susu” (milkman)
yang dengan tegarnya menghadapi penindasan di bawah
Tsar Rusia.  Sebagai orang Yahudi, dia sangat kuat
menjaga tradisi nilai-nilai leluhurnya. Digambarkan
pula bagaimana nilai-nilai tradisi membantunya
menghadapi masa-masa sulit. Kebanggaan sebagai seorang
Yahudi tidak menghalangi untuk bergaul dengan
tetangganya yang bukan Yahudi. Ia pun tetap merasa
sebagai bagian dari warga Rusia. 

Lalu pagi ini, di saat makan pagi, seorang teman
menggelitik dengan pertanyaan tentang “national
pride”. Ia bertanya secara retorikal, “Masihkah kita
memiliki kebanggaan nasional ketika begitu derasnya
arus luar negeri mempengaruhi kita?” Lalu dia menyebut
satu faktor kebanggaan nasional Indonesia yang mungkin
masih ada yakni soal bahasa nasional, bahasa
Indonesia. Ini satu faktor pengikat kebangsaan kita
yang masih ada sampai hari ini.  

Pertanyaan tentang “national pride” itu kiranya
mengena pada inti persoalan ikatan kebangsaan. Dengan
cara lain, pertanyaan itu bisa dirumuskan demikian,
“Apakah faktor pengikat jati diri kita sebagai bangsa
Indonesia, ketika kepentingan daerah dalam hal
keadilan, kesejahteraan dan kebudayaan terancam?” Bila
Soekarno dahulu dengan gigihnya meletakkan dasar-dasar
kebangsaan pada pengalaman senasib-sepenanggungan di
bawah penjajahan kolonialisme Belanda,  sekarang ini
semakin kentara rapuhnya dasar itu karena pengalaman
senasib-sepenanggungan yang dulu pernah diakui ada
kian luntur saja. Apakah faktor-faktor dekadensi
kebangsaan kita?

Pengalaman senasib-sepenanggungan itu mengandaikan
tumbuhnya solidaritas otentik antar anak bangsa.
Tetapi pengalaman sekian puluh tahun setelah Indonesia
“berdaulat” seperti terjadi reduksi atas pengalaman
itu ke dalam sebuah “persekongkolan”. Sepenanggungan
yang merupakan pengalaman solidaritas atas penderitaan
yang sama telah digeser menjadi “persekongkolan” untuk
mempertahankan elit di lingkaran kekuasaan saja dengan
sebuah jargon nama “NKRI” yang meninggalkan
nilai-nilai keadilan, kesejahteraan sosial, dan
kemanusiaan. Atas nama NKRI, elit politik dengan mudah
mengamini kekerasan, dan bukan malahan memperkuat
penegakan keadilannya. Hukum seakan identik dengan
kekerasan tindakan petugas keamanan. 

Paradigma keamanan telah tampak gagal dalam mendukung
penumbuh-kembangan ikatan kita sebagai bangsa. Bahkan
semakin tampak kontraproduktif. 

Lalu, kiranya apa yang bisa dijadikan paradigma baru
untuk menumbuhkan dan memperkuat ikatan kebangsaan
kita? 

Kawanku dalam percakapan pagi ini seperti menyadarkan
tentang pentingnya perubahan paradigma baru. Aku ingin
menyebut paradigma baru itu adalah paradigma
pendidikan. Paradigma pendidikan yang aku maksudkan di
sini kiranya tidak jauh dari cita-cita Ki Hadjar
Dewantara di masa perjungan dahulu. Namun, cita-cita
Ki Hadjar yang terlalu Jawa-sentris itu perlu
ditransformasi menjadi cita-cita nilai yang lebih
luas. Perlulah terlebih dahulu dicari nilai-nilai
kebangsaan Indonesia, yang sungguh mempunyai akar
dalam tradisi bangsa (lokal dan nasional). Nilai-nilai
kebangsaan yang merupakan perwujudan cita-cita
kemanusiaan Indonesia perlu menjadi acuan pada
gilirannya dalam paradigma pendidikan. Nilai-nilai
kebangsaan yang dimaksudkan di sini sebagai terumuskan
dalam ideologi nasional, Pancasila, harus memiliki
warna lokal tetapi terbuka pada cita-cita kemanusiaan
nasional, dan akhirnya tidak menutup diri pada
cita-cita kemanusiaan universal. Ekspresi bisa sangat
lokal, tetapi muatan nilainya bisa sangat universal.
Wajah bisa sangat lokal, tetapi jati diri tetap
Indonesia. Identitas Indonesia lalu tidak menjadi
halangan untuk memiliki kebanggaan di tingkat global.
Sebaliknya, identitas Indonesia (nilai-nilai
keindonesiaan yang berwajah lokal) bisa menjadi
penyaring segala arus pengaruh global.

Kalau demikian, paradigma pendidikan dalam membangun
Indonesia tidak hanya sekedar paradigma saja, tetapi
perlu menjadi sebuah strategi kebudayaan kita.
Membangun kebudayaan Indonesia tidak memiliki jalan
lain kecuali jalan pendidikan. Menanamkan keluhuran
nilai-nilai keindonesiaan (menjadi manusia yang
mengindonesia, berkeadilan secara nyata,
berkemanusiaan dalam langkahnya) lewat pendidikan
perlu menjadi prioritas siapa pun yang akan memimpin
pemerintahan Indonesia.  Kesadaran keindonesiaan perlu
menjadi syarat bagi para wakil rakyat untuk mengontrol
jalannya pemerintahan, dan sekaligus merealisasikan
keterwakilan rakyat. Keindonesiaan kita bila sungguh
menjunjung nilai-nilai yang tersebut di atas tidak
akan bertentangan dengan kepentingan rakyat
seluruhnya. 

Kembali ke film “Fiddler On The Roof,” aku diingatkan
kekuatan tradisi sebagai sebuah laku hidup manusia.
Pada dasarnya, tradisi yang merupakan laku hidup
manusia itu merupakan pendidikan nilai yang amat kuat
pengaruhnya. Bila daerah-daerah di Indonesia masih
ber-tradisi yang hidup dalam konteks keindonesiaan
kita, nanti orang menjadi semakin mampu lagi
membeda-tegaskan antara apa yang pantas bagi dirinya
sebagai manusia Indonesia, dan apa yang tidak pantas,
antara pengaruh luar yang merusak dan yang meneguhkan,
antara yang menggerogoti nilai keindonesiaan dan yang
memperkuatnya. Kemudian, ikatan kebangsaan Indonesia
tidak lagi susah payah dipaksakan lewat “atas nama
NKRI” tetapi dengan sendiri akan menguat lewat
tradisi. 

Akan terjadi seorang Jawa dengan penuh bangga melihat
saudara-saudara Dayak melestarikan ekspresi budayanya.
Sebaliknya seorang Dayak akan merasa bangga pula hidup
bersama dengan orang Jawa. Orang Minangkabau tidak
akan merasa terasing hidup di antara orang Flores, dan
orang Flores tidak akan pernah merasa diri terkucil di
kalangan orang Minangkabau. Dan masing-masing
komunitas etnik di Indonesia akan merasa riang berada
di tengah-tengah komunitas etnik yang beragam. Sebab,
dalam keberagaman ekspresi budaya itu, orang Papua,
orang Bugis, orang Minahasa, orang Maluku, orang
Sunda, orang Madura, dan seluruh warga suku-suku di
Indonesia, akan merasa satu seibu kandung
keindonesiaan. Sekali lagi, se-sejarah se-perjuangan
itu diserap lewat tradisi yang hidup dan pendidikan. 

Sekali lagi,  paradigma pendidikan merupakan jalan
lapang bagi pemerteguhan ikatan keindonesiaan kita
dalam menghadapi arus global yang kian tak
terbendungkan. 

26 Juli 2004



                
__________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Mail - 50x more storage than other providers!
http://promotions.yahoo.com/new_mail


------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Make a clean sweep of pop-up ads. Yahoo! Companion Toolbar.
Now with Pop-Up Blocker. Get it for free!
http://us.click.yahoo.com/L5YrjA/eSIIAA/yQLSAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih 
Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.arsip.da.ru
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Posting: [EMAIL PROTECTED]
5. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
6. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
7. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Kirim email ke