Koran » Opini Selasa, 10 Agustus 2004 Tidak Adil kepada Wiranto
Oleh : Y Herman Ibrahim Apa yang salah dengan Wiranto? kesalahan pertama Wiranto adalah dia menjadi Panglima ABRI pada tempat dan saat yang salah. Dia menjadi pejabat tertinggi di lingkungan ABRI tatkala popularitas Soeharto berada pada titik nadir. Wiranto mencapai karier puncak pada periode singkat justeru di saat-saat kejatuhan Soeharto. Bayangkan hanya dalam jangka waktu kurang dari dua tahun sejak 1996-1998, Wiranto melejit dari jabatan Pangkostrad, KSAD, sampai Pangab. Padahal periode dua tahun itu adalah hari-hari kepudaran kharisma dan kepemimpinan Soeharto. Stigma Soeharto yang buruk merembet tidak saja kepada keluarga dan para kroninya tetapi juga kepada mantan ajudan dan mereka yang memperoleh jabatan tertinggi karena tangan dan kekuasaan Soeharto. Pada dua tahun terakhir masa-masa kejatuhan Soeharto banyak peristiwa yang terjadi yang membuat Soeharto dicap sebagai penguasa yang zalim. Megawati yang dizalimi melalui peristiwa 27 Juli 1996, mengambil keuntungan popularitas dan pencitraan sebagai pemimpin rakyat yang berpihak kepada wong cilik. Sebaliknya, apa yang diperbuat oleh Soeharto bersama keluarga, kroni, maupun para petinggi sipil maupun ABRI saat itu selalu dicitrakan buruk dan dianggap sebagai biang kehancuran dan keterpurukan bangsa. Resesi ekonomi yang ditandai dengan hancurnya nilai tukar rupiah terhadap dolar memperburuk situasi dan meningkatkan tekanan atas pelengseran Soeharto. Mundurnya 14 menteri kabinet yang dipelopori oleh Ginandjar Kartasasmita serta penolakan Nurcholish Madjid dan kawan-kawan untuk membantu Soeharto, turut mempercepat proses kejatuhan rezim. Tetapi, pukulan telak yang mematikan dan membuat TKO Soeharto adalah kerusuhan 13 Mei 1998. Siapa Wiranto? Wiranto adalah prajurit profesional. Tiga persyaratan yang harus dipenuhi seorang prajurit profesional adalah, pertama, kompetensi atau keahlian dalam bidang tertentu. Kedua, loyalitas penuh kepada bangsa dan negara, kepada pimpinan, dan juga kepada para prajurit bawahan. Ketiga, keterikatan yang kuat atas nilai-nilai moral agama dan budaya bangsa, semuanya ada pada diri Wiranto. Sebagai prajurit profesional Wiranto selalu menjadi bagian yang terbaik dalam pendidikan dan berhasil dalam berbagai tugas operasi. Puncak keberhasilannya adalah ketika Wiranto memimpin latihan gabungan ABRI dalam skenario merebut Pulau Natuna untuk menjaga keutuhan wilayah dan kedaulatan Republik Indonesia. Sebuah perencanaan pemindahan pasukan yang sulit dan proses pengambilan keputusan yang rumit dalam dinamika pertempuran darat, laut, dan udara dipertunjukkan dalam latihan gabungan ABRI itu. Dan itu dipimpin serta dikendalikan penuh oleh Letnan Jenderal Wiranto saat itu. Bakat-bakat kepemimpinan Wiranto sudah tampak tatkala kami sesama menjadi Taruna Akademi Militer Angkatan ke-12. Wiranto memang bukan lulusan terbaik di angkatan kami karena yang lulus nomor satu saat itu adalah Serma Tar Lisno, terakhir berpangkat mayor jenderal. Tetapi Wiranto yang diangkat oleh teman-teman sebagai Ketua Suku "andalan" sebuah komunitas perwira lulusan 1968. Loyalitas Wiranto kepada pimpinan juga tidak diragukan. Soeharto memilihnya sebagai ajudan nyaris yang terlama kurang lebih tiga tahun. Meski demikian kecintaannya kepada bangsa dan negara serta ketaatannya kepada konstitusi, membuat Wiranto menolak dengan halus Instruksi Presiden Nomor 16 tahun 1998 yang jauh lebih dahsyat dari Super Semar 1966. Ketaatan terhadap konstitusi itu merupakan kekuatan sekaligus mungkin kelemahan Wiranto. Kekuatannya ada pada formalitas dan prosedur yang harus dipenuhi dalam sebuah sistem dan organisasi. Dalam kasus ini bisa dilihat bahwa Wiranto adalah seorang jenderal yang tidak pernah menggalang kekuatan di luar jalur-jalur formal. Jaringan Wiranto adalah jaringan resmi berdasarkan struktur organisasi yang dia tempati dalam tubuh TNI AD dan ABRI. Itulah sebabnya Wiranto tidak serta merta siap mengambil alih kekuasaan dan meredam segala sumber kerusuhan seperti yang tertera dalam instruksi Presiden itu. Wiranto memilih jalur konstitusional dengan menyarankan kepada Pak Harto agar menyerahkan kekuasaan kepada Wakil Presiden BJ Habibie. Tidak adanya jaringan khusus di luar lembaga-lembaga formal merupakan kelemahan Wiranto yang acapkali dibohongi, diakali, dan mungkin dikadalin oleh para jenderal bawahannya. Ini tampak tatkala Wiranto tidak pernah dilapori tentang kasus penculikan aktivis dan mahasiswa oleh para jenderal bawahannya. Jenderal-jenderal yang memiliki agenda sendiri di saat krisis dengan lihai melakukan kegiatan politik yang jika berhasil mereka akan meraih keuntungan, tetapi jika gagal maka segala dosa dan kesalahan bisa dipastikan akan terpulang kepada Wiranto sebagai panglima ABRI. Keterikatan Wiranto terhadap nilai-nilai moral sebagai ciri-ciri profesionalisme prajurit adalah fakta bahwa kendatipun dia sangat dekat dengan presiden RI saat itu, Wiranto tidak pernah terlibat dalam kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme. Wiranto tidak pernah berurusan dengan lembaga hukum sejauh menyangkut moral dan kriminal. Wiranto hanya terpaksa dan dipaksa beracara dengan hukum karena politik telah berlaku tidak adil terhadapnya. Wiranto menjadi saksi dalam pengadilan HAM Timor Timur dan terus menerus dituntut oleh kekuatan tertentu di luar maupun di dalam negeri ini untuk mempertanggungjawabkan pelanggaran HAM pada berbagai peristiwa menjelang kejatuhan Soeharto. Untuk kasus Timor Timur, sebagai Menhankam Pangab Wiranto harus memikul tugas dan tanggung jawab atas sebuah keputusan politik yang dibuat oleh pemerintah. Era demokratisasi saat itu membuat Presiden BJ Habibie "terjebak" dalam skenario pihak Barat melalui Jimmy Carter untuk menunjukkan niat baiknya kepada rakyat Timor Timur pada dua opsi merdeka atau otonomi khusus. "Jajak Pendapat", sebuah peristiwa yang bertolak belakang dengan "restu" Amerika Serikat dan Australia tatkala meminta Indonesia mengambil alih Timor Timur agar tidak jatuh ke tangan komunis. Tak pelak lagi, rakyat Timor Timur yang saat itu terfragmentasi pada dua kubu yang pro-RI dan yang anti-RI terlibat dalam perang sipil yang sulit dikendalikan oleh aparat keamanan. Wiranto taat kepada keputusan negara, tetapi ketika terjadi begitu banyak korban, Wiranto pulalah yang seakan-akan harus memikul tanggung jawab untuk sesuatu yang di luar rencana dan kemampuan kendalinya. Lain halnya dengan peristiwa Trisakti, 14 Mei, Semanggi, Ketapang, dan Ambon. Semua peristiwa itu jika dianggap sebagai pelanggaran HAM berat, maka salah satu persyaratannya adalah kejahatan yang direncanakan. Meski saat itu Wiranto sebagai panglima TNI, saya tidak percaya dia terlibat dalam perencanaannya. Pertanyaannya untuk apa dia merancang hal seperti itu? Wiranto membela konstitusi dan untuk itu dia berhadapan dengan kekuatan yang menolak konstitusi. Jika diterjemahkan lebih lanjut, Wiranto harus membela Habibie sebagai produk konstitusi dan dia harus berhadapan dengan sebuah konspirasi yang menolak Habibie. Saya yakin konspirasi itu melibatkan kekuatan luar karena Habibie dianggap representasi dari kekuatan Islam. Derivasi dari konflik massa di jalanan pun mencerminkan pembelahan seperti itu, yakni kelompok kiri vis a vis kelompok Islam. Wiranto tidak memiliki jaringan di kedua kelompok itu. Bahwa ada Pam Swakarsa yang mencerminkan struktur kekuatan Islam, itu sama sekali di luar kendali Wiranto. Bahwa Wiranto berharap agar prajurit yang mengamankan Sidang Istimewa MPR tidak berhadapan langsung dengan massa agar tidak terulang peristiwa Trisakti, itu wajar. Pam Swakarsa yang dimobilisasi oleh beberapa jenderal menjawab keinginan itu. Elemen-elemen Islam dari Banten, Jawa Barat, dan daerah seputar DKI dikerahkan oleh orang yang memiliki jaringan. Dan hanya perwira tinggi yang pernah bertugas di satuan elite atau satuan intelijen yang memiliki akses dan kemampuan memanfaatkan jaringan ideologis seperti itu. Itulah sebabnya, tatkala seorang pensiunan jenderal mempertanyakan uang tagihan Pam Swakarsa, teman-teman dari elemen Islam menilai perjuangannya telah direduksi menjadi masalah utang piutang. Intelijen Strategi chaos hanya ada di dalam dunia intelijen. Setahu saya Wiranto tidak pernah bertugas di pasukan elite semacam Kopassus dan itu diungkapkan dalam bukunya Kivlan. Maka kalau semua chaos lantas ditimpakan dosanya hanya kepada seorang Wiranto, itu sungguh sebuah ketidakadilan atau kezaliman baru. Kalaupun harus ada yang bertanggung jawab di balik layar, saya hanya percaya dia adalah jenderal yang pernah bertugas di dunia intelijen atau di pasukan khusus, tentu karena dia memiliki agenda dan tujuan tertentu. Kesalahan kedua Wiranto setelah lengser dari kekuasaan adalah dia mencoba mengikuti kompetisi pencalonan presiden melalui Partai Golkar. Wiranto merasa dekat dengan Golkar karena sebenarnya dialah yang mendorong orang sipil, Akbar Tandjung, menjadi ketua umum DPP Golkar. Sebagai Pangab saat itu, Wiranto adalah Ketua Jalur A yang secara diam-diam mendukung Akbar Tandjung dan bukannya Edi Sudradjat yang nota bene berasal dari Jalur A. Meski Wiranto kemudian memenangkan konvensi Golkar, dukungan internal partai terhadapnya tidaklah penuh. Mesin politik Golkar dimatikan dan kalaupun hidup hanya dengan bahan bakar yang sangat terbatas. Andai kata Golkar memberikan dukungan penuh saat kampanye putaran pertama, maka koalisasinya dengan PKB tidak akan ada yang mampu mengalahkannya. Tetapi realitas menunjukkan Wiranto tereliminasi. Yang menarik adalah keikutsertaan Prabowo pada konvensi Golkar. Saya menduga tujuan Prabowo semata-mata untuk menghadang Wiranto. Tetapi ketika Wiranto memenangkan konvensi maka Prabowo melakukan langkah Tiji Ti Beh, mati siji mati kabeh. Kivlan Zen dan Fadli Zon yang dalam pandangan saya tidak lebih dari henchman Prabowo digunakan untuk membunuh karakter Wiranto pada saat kampanye, dan itu memperoleh liputan luar biasa di media elektronika. Pertemuan Megawati dan Prabowo baru-baru ini bagi saya memperkuat sinyalemen ini. Wiranto tereliminasi oleh sebuah konspirasi yang tidak adil. Barangkali dugaan saya tidaklah seluruhnya benar. Tetapi naluri militer dan instink intelijen saya mengatakan itu. Semua peristiwa yang berangkai di negeri ini muncul dalam wajah yang bertolak belakang dengan karakter kemanusiaan dan rasa keadilan. Hampir di segala sektor kita menyaksikannya. Di bidang ekonomi tetap saja yang untung adalah pemilik modal. Sementara di bidang politik biasanya yang menang adalah mereka yang tertawa paling belakangan atau mereka yang berada di balik layar. Saya tidak tahu setelah 20 September siapa yang akan tertawa paling akhir, tetapi saya yakin salah satunya adalah intelijen selalu memainkan dua kaki di antara kedua pemenang. Purnawirawan TNI ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Yahoo! Domains - Claim yours for only $14.70 http://us.click.yahoo.com/Z1wmxD/DREIAA/yQLSAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi.4t.com *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Posting: [EMAIL PROTECTED] 5. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 6. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 7. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/