SBY atau Mega, Sama Saja! (1) 

Oleh HUSIN M. AL-BANJARI 

(Pikiran Rakyat, 10 Agustus 2004)

"PERSOALAN kini, kita dihadapkan pada presiden baru,
baik itu Mega atau SBY, yang sebenarnya kredibilitas
dan performance masing-masingnya sudah diketahui
rakyat yang jelas-jelas tidak memberikan garansi apa
pun untuk membawa bangsa ini keluar dari krisis dan
menciptakan kesejahteraan rakyat." Demikian Thomas
Koten, Direktur The Justice Advocates Indonesia.
Persis, kita sedang menghadapi dua figur yang
sama-sama tidak meyakinkan, namun tak tersedia lagi
pilihan lain. Kedua figur pada prinsipnya sama saja,
tak ada bedanya. Dari sudut ideologi, keduanya-duanya
sekuler berat. Dari sudut kemunculannya, sama-sama
karena karisma dan popularitas, bukan karena
kompetensi dan kredibilitas. Itulah yang disebut figur
mitos, naik ke panggung politik hanya karena harapan
ilusif, bukan karena keyakinan pemilihnya. Dari sisi
moralitas, sama-sama lemah dan dipertanyakan. Dari
sisi kemampuannya, sama-sama tidak memberi garansi apa
pun untuk membawa bangsa ini keluar dari krisis dan
menciptakan kesejahteraan. 
Menghadapi pilihan yang dilematis ini, wajarlah jika
organisasi Islam seperti Muhammadiyah akan mengambil
sikap netral dalam pilpres putaran final, 20 September
2004. Artinya, tidak memberikan rekomendasi dan
mempersilakan kepada publik untuk menentukan
pilihannya sendiri. Lalu bagaimana seharusnya kita
beriskap arif terhadap persoalan ini? Tampaknya ini
membutuhkan kajian yang agak komprehensif. Dan inilah
kiranya yang akan menjadi inti pembahasan artikel ini.
Penuh semangat dan doa, semoga dapat mencapai
sasarannya!
Sebelum memasuki diskusi ini lebih jauh, mari kita
lihat apa yang sudah dilakukan orang. Dari kajian
berbagai pakar dan opini publik yang berkembang,
berikut adalah rangkuman perbandingan kedua figur
capres (keunggulan, kelemahan, kiat menang, dan
konsekuensi jika kalah).
Menyimak perbandingan itu, ada gambaran yang jelas
bahwa pilpres putaran final merupakan pertempuran
antara "pro-perubahan" vs status quo, antara kekuatan
global vs lokal, antara ultranasionalis vs nasionalis,
antara publisitas vs fasilitas, antara figur vs mesin
politik, antara popularitas politik vs kepribadian
politik, antara challenger (penantang) vs incumbent
(penguasa), dan akhirnya antara strategi grass root vs
strategi koalisi elite. 
Namun satu hal sangat disayangkan, bahwa semua medan
pertempuran ini adalah tidak substansial bagi
perubahan bangsa ini ke depan! Tidak ada adu visi,
platform, kompetensi, program, apalagi menyodorkan
sejumlah sampel kinerja dan prestasi. Bukan persaingan
dengan menunjukkan, "Inilah yang telah dan akan saya
kerjakan," tetapi lebih ke arah propaganda "Inilah
saya, dan pilihlah saya." 
Inilah di antara alasan mengapa pesimisme begitu
menyelimuti sebagian peneliti memasuki pilpres putaran
dua. Bukan mustahil suara golput akan meningkat tajam.
Peneliti CSIS, Jusuf Wanadi, dalam tulisannya di
Kompas (27/7), Megawati atau Susilo B. Yudhoyono?,
menganggap tidak menarik membandingkan kedua figur
itu, karena sama saja dan tak ada bedanya, akhirnya
Jusuf mencoba fokus untuk memilih yang menurutnya
paling kecil risikonya. "Tetapi berbagai pihak
mempunyai perhitungan masing-masing tentang risiko
atas pilihan mereka. Megawati atau SBY? Duduk soalnya
bukan siapa yang lebih baik, tetapi siapa yang membawa
risiko yang lebih kecil." Demikian Jusuf. Sebuah
logika yang sejalan dengan salah satu klausul ushul
fiqih dalam Islam, yaitu tentang konsep akhofu
dhoruroin (memilih yang paling ringan mudaratnya). 
Lebih pesimis lagi ketika urgensi sebuah pemilu
dipertanyakan. "Apabila presiden baru hasil Pemilu
2004 nanti gagal mengemban tugas menyelenggarakan
negara sesuai dengan harapan rakyat, dapat dikatakan
bahwa selera rakyat terhadap pemilu berikutnya bisa
dipertanyakan. Lebih jauh dari itu, kita sebenarnya
tidak membutuhkan pemilu lagi. Karena kita bukan saja
sudah terlalu sering terkecoh, tetapi sebenarnya kita
sudah sepenuhnya tertipu." Demikian Thomas Koten dalam
Tantangan Politik Pasca-Pemilu 2004, (Media Indonesia,
27/7). 
SBY
Sesaat setelah KPU memastikan dirinya masuk ke pilpres
putaran final, 26 Juli 2004, SBY langsung mengajak
rakyat Indonesia melepaskan simbol-simbol dalam
memperjuangkan masa depan. Sebab menurutnya Indonesia
di masa mendatang tidak lagi membutuhkan simbol-simbol
seperti keturunan, agama, asal partai, asal
organisasi, jenis kelamin, dan lain-lain. Hal ini
dinyatakannya saat bersilaturahmi dengan pimpinan
media massa di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, (27/7).
Ia tidak sadar kalau dirinya sendiri adalah bagian
dari simbol mitos (besar, lebih karena karisma dan
popularitas). Bukankah "daya tarik figur mitos
terletak pada kesetiaan orang terhadapnya tanpa
diminta, ketaatan tanpa disuruh atau diupahi, dan
semua itu tidak membutuhkan keterangan yang
logis-rasional." (Husin M. Al-Banjari SBY, Mitos Baru?
"Pikiran Rakyat", 13/7). 
Secara halus para intelektual menyebut fenomena
irasional ini dengan "efek telenovela" atau "efek bola
salju." Yang lebih optimis, malah menyebutnya sebagai
"kehendak rakyat untuk perubahan." Denny J.A.
menyebutnya lebih apik dengan "sentimen pemilih akan
perubahan," (Suara Pembaruan, 12/7).
Ketika mesin politik dianggap tidak efektif dan
dikalahkan oleh "kepribadian" (ungkapan lebih halus
untuk "figur mitos"), maka para intelektual menanggapi
fenomena ini sebagai massa yang lebih independen atau
massa otonom, tidak terkungkung lagi oleh
primordialisme ataupun akar-aliran. 
Demikianlah realitas politik dapat disebut dengan
gambaran positif atau negatif bergantung siapa yang
bicara dan mendukung siapa. Dan berikut adalah
beberapa catatan menarik bagaimana para intelektual
menggiring opini agar SBY terkesan unggul dan pemilih
terarahkan kepada dirinya. 
Pertama, menurut hasil survei yang kredibel SBY unggul
dibanding Megawati. Sebagai promotor survei politik
Indonesia, Denny J.A. begitu antusias mengungkap hal
ini, bahkan diulang-ulangnya dalam berbagai
kesempatan. Ia mengatakan, "Membaca data itu, dua
pokok pikiran melintas sekaligus. Pertama, jelas ini
lampu kuning buat Megawati. Tanpa inovasi kampanye
yang minta ampun dahsyatnya, Indonesia segera memiliki
presiden baru. Kedua, data ini juga menimbulkan
keingintahuan lebih jauh. Di saat mesin politik dan
dana yang dimiliki SBY jauh lebih kecil, mengapa
popularitas SBY jauh lebih besar." (Denny J.A.,
Memilih SBY atau Megawati, "Suara Pembaruan", 12/7). 
Kedua, kemenangan SBY sebagai cermin sentimen pemilih
untuk perubahan. Tak hanya soal angka-angka itu,
sekali lagi Denny J.A., sepertinya amat kegirangan
dengan istilah sentimen publik. Dalam pada itu
dikatakannya, "Banyak analisis dapat diberikan. Satu
variabel yang harus diperhitungkan adalah sentimen
pemilih akan perubahan. Jika publik sangat puas dengan
situasi saat ini, puas dengan kondisi ekonomi, senang
dengan kondisi politik, memuji lima tahun reformasi,
dapat dipastikan Megawati akan terpilih kembali. Ini
hukum besi politik. Presiden yang membuat publiknya
puas akan dipilih kembali." 
Selanjutnya ia menyebut sentimen itu sebagai
ketidakberuntungan Megawati. Menurutnya, publik kecewa
dengan situasi saat ini. Pesan itu jelas sekali
tergambar dari hasil pemilu parlemen dan pemilu
presiden babak pertama. PDIP "dihukum" publik menjadi
nomor dua dalam pemilu parlemen. Megawati juga
"dihukum" publik menjadi nomor dua dalam pemilu
presiden babak pertama.
Sentimen publik akan perubahan, ujar Denny, jelas jauh
lebih kuat dari mesin politik apa pun. Untuk contoh
ekstrem dapat diambil kasus Uni Soviet. Dari sisi
mesin politik, apa lagi yang dapat menandingi negara
itu? Tetapi, kekuatan sebesar itu rontok ketika
sentimen publik akan perubahan merebak ke seantero
negara. 
Pengamat politik Fahmi A.P. Pane, juga mengungkapkan
hal serupa. Menurutnya, "Satu hal sangat penting yang
bisa dibaca adalah menguatnya keinginan rakyat untuk
terjadinya perubahan politik, setidaknya perubahan
personal pemerintahan dan kepemimpinan negara. Suara
yang diraih Mega-Hasyim adalah antara 25 hingga 27
persen dari total surat suara sah. Artinya, lebih dari
dua pertiga pemilih yang suaranya sah mendukung
perubahan pemerintahan." (Fahmi A.P. Pane, Hasrat
Perubahan Politik, "Republika", 8/7). 
Ketiga, menyarankan Golkar agar segera bergabung
dengan SBY. Seperti tak bosan-bosannya Direktur
Eksekutif LSI, Denny J.A., memberi rekomendasi
implisit dan eksplisit melalui berbagai publikasi,
agar SBY segera mendapat sambutan dan dukungan hangat
dari kalangan luas. Salah satunya yang diincar adalah
Partai Golkar. Saran yang sama sudah lama disampaikan
oleh William Liddle, gurunya Denny J.A. dari Amerika
Serikat.
Guna membujuk Golkar itu, cukup apik Denny J.A.
menyiapkan artikel berjudul, Golkar di Antara Dua
Capres ("Suara Pembaruan", 12/7). Seperti diakuinya,
melalui aneka kolom dan talk show, ia nyatakan bahwa
langkah Jusuf Kalla justru harus dilihat Golkar
sebagai langkah sekoci. Ia berpendapat Jusuf Kalla
jangan dianggap pengkhianat, karena pada waktunya, ia
justru dapat menjadi penyelamat Golkar jika pada
putaran pertama capres Golkar sudah "tenggelam."
Dari situ Denny masuk ke dalam maksud sebenarnya.
Yaitu sebuah rekomendasi agar "Golkar meneruskan
skenario sekoci itu." Karena menurutnya, "Calon resmi
partai gugur di babak pertama, Golkar masih punya
kader yang lain, Jusuf Kalla. Berbeda dengan Wiranto,
Jusuf Kalla tidak hanya lolos di putaran kedua. Ia
bersama SBY bahkan menjadi pemenang pemilu presiden
putaran pertama."
Denny mulai menggelitik Golkar lebih jauh dengan
ungkapannya, "Jangan sampai Golkar diarahkan untuk
mendukung capres yang kemudian kalah." Dan sedikit
menohok dengan pertanyaan, "Apa jadinya, jika Golkar
kalah di babak pertama, lalu kalah lagi di babak kedua
pemilu presiden?" Demikian taktis Denny. 
Selain Liddle, seorang profesor ekonomi politik pada
Institute of Social Studies di Den Haag, Richard
Robison, juga implisit dan samar menyarankan Golkar
agar berkolaborasi dengan SBY. Dalam tulisannya di
harian Kompas (28/7), Presiden Baru yang Mana,
Pentingkah Itu?, ia menyarankan, meskipun aliansi
Golkar dan PDIP dianggap sebagi "Blok kekuasaan di
pusat yang akan meningkatkan secara berarti presiden
mana pun dengan memberi suatu mayoritas di parlemen
dan suatu basis potensial untuk menyerang pusat-pusat
kekuasaan yang mengancam di daerah-daerah," namun
menurutnya, "baik Golkar maupun PDIP tidak mempunyai
seperangkat kepentingan yang kohesif." 
Keempat, SBY dianggap mendapat poin lebih karena mampu
memberi tawaran solusi lebih baik daripada Megawati.
Itulah setidaknya yang diyakini Sekjen Gerakan
Indonesia Bersatu (GIB), Heru Lelono, dalam artikelnya
Menimbang SBY dan Megawati, (Media Indonesia, 28/7). 
Menurut Lelono, hampir dipastikan solusi yang akan
ditawarkan SBY akan banyak berbeda dengan kebijakan
pemerintah sekarang. Sebab, SBY-JK keduanya adalah
mantan menko yang pernah sama-sama duduk di
pemerintahan pimpinan Megawati. Selama itu, mereka
memiliki pengalaman dan penilaian pribadi tentang
kelebihan maupun kekurangan terhadap kebijakan
pengelolaan negeri ini. Mereka sudah pasti harus
menawarkan perubahan dan perbedaan.
Untuk menguji tawaran solusi itu, menurut Lelono,
harus diadakan kampanye dengan debat publik dua
kandidat dengan tema penajaman visi dan misi
masing-masing. Ini lagi-lagi akan menjadi ajang yang
memberi kredit poin untuk SBY dan "pembantaian" opini
untuk Megawati. 
Kelima, mesin politik partai-partai besar dianggap
tidak lagi efektif yang berimplikasi memberi
keuntungan bagi SBY dan kerugian pada Megawati. Abdul
Mukti Ro'uf meyakini hal ini dalam artikelnya Ketika
Mesin Politik Dikalahkan Popularitas Figur ("Media
Indonesia", 8/7).
"Dan ternyata, roda mesin politik yang digerakkan
dengan rapi dan dana yang cukup tidak sanggup menahan
gerak otonomi pemilih... Hal ini juga sekaligus
memberi peringatan kepada para capres bahwa
penampilan, ucapan, kesantunan, keteraturan, kesejukan
yang selama ini identik dengan SBY adalah modal
politik untuk konsumsi masyarakat politik Indonesia."
Demikian Ra'uf. 
Hal senada dan lebih optimis disampaikan oleh Sukardi
Rinakit, dalam tulisannya Kemenangan Popularitas,
("Kompas", 7/7). Ia mengatakan, "Menyimak hasil
penghitungan KPU, tampak bahwa hanya akan ada satu
skenario yang akan terjadi, yaitu pasangan SBY-Jusuf
Kalla akan didampingi Megawati-Hasyim Muzadi untuk
memasuki putaran kedua pemilihan presiden. Dalam
skenario ini, secara prediktif SBY-Jusuf Kalla akan
memenangi pertempuran." 
Keenam, fakta bahwa Megawati berhadapan dengan SBY di
final menjadikan pemilu presiden putaran kedua sebagai
kompetisi incumbent (penguasa) versus challenger
(penantang). Demikian dipersepsi oleh sohib Denny J.A.
di LSI, M. Qodari, dalam Implikasi Politik Pilpres
Putaran Pertama, ("Kompas", 12/7). 
Menurut Qodari, dengan posisi sebagai incumbent
Megawati harus menghadapi kenyataan dirinya kalah
populer daripada sang penantang, diperkirakan kubu
Megawati akan mengambil banyak kebijakan yang populis
demi merebut hati pemilih, khususnya dari kelompok
massa swing voters. 
"SBY selaku challenger dituntut mampu menawarkan
konsep dan solusi alternatif untuk beragam persoalan
bangsa dan negara sekarang ini. Di bidang ekonomi,
misalnya, bagaimana cara memajukan petani, selain
dengan mekanisme pemberian kredit murah yang di satu
sisi meringankan petani, tetapi di sisi lain menambah
beban APBN. Menurut Qodari, cara paling ampuh bagi
challenger untuk merebut swing voters ialah dengan
meyakinkan mereka bahwa dirinya punya alternatif
konsep dan solusi yang lebih baik dibandingkan dengan
incumbent."
Tampak dari berbagai sudut pandang yang dijelaskan di
atas, para intelektual berusaha meyakinkan pemilih
untuk berkiblat dan yakin pada SBY sebagai figur
jawabaan atas keinginan untuk perubahan Indonesia di
masa mendatang.(bersambung)***
Penulis praktisi politik Islam; alumnus Univ.
Braunschweig, Jerman 1993.

http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0804/10/0801.htm



                
__________________________________
Do you Yahoo!?
New and Improved Yahoo! Mail - Send 10MB messages!
http://promotions.yahoo.com/new_mail 


------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Yahoo! Domains - Claim yours for only $14.70
http://us.click.yahoo.com/Z1wmxD/DREIAA/yQLSAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih 
Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi.4t.com
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Posting: [EMAIL PROTECTED]
5. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
6. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
7. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Kirim email ke