Ekonomi & Bisnis Mengungkap Salah Resep Presiden Megawati meminta IMF membantu penjadwalan utang luar negeri. Pemanis menjelang putaran final.
BELUM sempat anggota Dewan Perwakilan Rakyat diserang kantuk. Pidato tahunan Presiden Megawati Soekarnoputri, Senin pekan lalu, itu pun memang baru berjalan belasan menit. Ketika itulah terdengar Presiden menyebut "IMF". Nada suaranya tegas. Penggalan pidato pengantar nota keuangan dan rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara (RAPBN) tahun depan itu tiba-tiba terdengar asyik. "Baru kali ini saya mendengar Presiden bersuara keras terhadap IMF," ujar Rizal Djalil dari Fraksi Reformasi. Namun, sebagian anggota lainnya tetap tak acuh. Dalam pidato itu Presiden lebih dulu menyentil Dana Moneter Internasional (IMF), yang disebutnya telah mengakui melakukan kekeliruan dalam mengajukan rekomendasi ekonominya di Indonesia. Karena itu, wajar bila IMF secara profesional dan pro-aktif mengambil remedial actions untuk membantu meringankan utang nasional akibat kekeliruan rekomendasi kebijakannya. Apa bentuk remedial actions itu? Megawati terang-terangan menyebut, "Setidaknya IMF bersedia memprakarsai rescheduling cicilan utang-utang kita, agar tersedia dana lebih banyak untuk pembangunan kesejahteraan rakyat." Kini saatnya, kata Mega, IMF berbuat sesuatu untuk memelihara dan memulihkan reputasi mereka. Seusai pidato, paduan suara mendukung permintaan bantuan itu terdengar sambung-bersambung, terutama dari pejabat pemerintah asal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Menteri Badan Usaha Milik Negara, Laksamana Sukardi, misalnya, mengatakan, "IMF harus mempertimbangkan beberapa kesalahan itu dan menerima saran kami untuk merestrukturisasi utang." Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas Kwik Kian Gie, yang dikenal sebagai pengkritik keras IMF, segera angkat bicara. Seperti dikutip Koran Tempo, Kwik berharap IMF bersikap lunak dan membantu menjadwalkan kembali utang Indonesia. Kekeliruan resep IMF di Indonesia sebetulnya sudah sering diulas. Di antaranya saran menutup 16 bank pada 1997, tanpa lebih dulu memberlakukan jaminan terhadap dana pihak ketiga (blanket guarantee). Kebijakan itu terbukti berakibat fatal. Kepercayaan terhadap lembaga perbankan langsung runtuh. Masyarakat ramai-ramai menarik dananya dari bank sehingga terjadi kelangkaan likuiditas. Kiamat perbankan saat itu hanya bisa dielakkan lantaran bank sentral mengucurkan bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) ke hampir semua bank. Namun, bantuan itu tentu tak gratis. Untuk mengganti BLBI, pemerintah harus menerbitkan obligasi negara yang kini jumlahnya Rp 219,17 triliun. Obligasi itu menambah beban utang dalam negeri Indonesia. Soalnya, pada saat hampir bersamaan pemerintah harus menerbitkan obligasi rekapitalisasi perbankan Rp 390 triliun. Tak kurang The Independent Evaluation Office (IEO) sendiri mengakui kekeliruan Dana Moneter Internasional. Lembaga yang menjadi semacam ombudsman IMF itu Juni lalu menerbitkan laporan yang menegaskan kegagalan IMF di Indonesia bukan semata kesalahan teknis. Penyebab kegagalan, demikian menurut laporan yang diterbitkan The Office—begitu sebutan buat IEO—karena IMF kurang memahami karakter masalah yang dihadapi Indonesia. "Akhirnya terjadi kesalahan saat saran IMF tersebut diterima dan dijalankan," kata Stephen Grenville, konsultan The Office. Apa lacur, semua sudah terjadi. Karena ini di dunia nyata, bukan dunia akademis, sudah sepatutnya IMF melakukan tindakan koreksi. Apalagi kesalahan resep dokter IMF itu sedikit-banyak telah membuat Indonesia terlilit utang yang mencekik anggaran. Dalam RAPBN 2005, misalnya, total pengeluaran pemerintah untuk membayar cicilan pokok dan bunga utang mencapai Rp 131,6 triliun. Rinciannya: membayar bunga utang dalam negeri Rp 38,8 triliun, membayar bunga utang luar negeri Rp 25,1 triliun. Sisanya, Rp 67,6 triliun, untuk membayar cicilan pokok utang. Pembayaran bunga utang dalam negeri pun sesungguhnya sudah sangat berhemat. Pemerintah diketahui belum pernah membayar bunga obligasi Bank Indonesia sebesar Rp 219,17 triliun. Kecuali tahun ini, karena pemerintah membayar charge kepada BI Rp 8,7 triliun. Seandainya ada pembayaran bunga, tentu uang yang harus dikeluarkan pemerintah lebih banyak. Total pos pembayaran utang sekarang sudah memakan 35,6 persen alias sepertiga dari seluruh pengeluaran negara. Itu sebabnya pemerintah tak punya cukup duit lagi untuk membiayai program lain. Lihat saja, anggaran untuk pertahanan cuma Rp 22 triliun. Pendidikan hanya mendapat anggaran Rp 21,5 triliun. Pembangunan prasarana, yang mestinya mendapat alokasi besar untuk memacu perekonomian, malah cuma memperoleh Rp 12,4 triliun. Kepolisian masih beruntung mendapat Rp 11,2 triliun. Tapi sektor kesehatan hanya kebagian Rp 7,4 triliun. Melihat angka-angka itu, permintaan penjadwalan kembali pembayaran utang sebetulnya masuk akal. Sebab, dengan rescheduling utang, kata Presiden, "Tersedia dana lebih banyak untuk pembangunan kesejahteraan rakyat." Tapi, masalah timbul lantaran Indonesia kini sudah tak lagi mengikuti program IMF. Satu di antara syarat mengikuti penjadwalan utang—lazimnya melalui perundingan Paris Club—adalah bila negara bersangkutan masih menjadi pasien IMF. Mungkin karena memahami kondisi itu, seusai pidato Presiden, Menteri Keuangan Boediono buru-buru menggelar konferensi pers di Lapangan Banteng. Di sana ia menyatakan pemerintah tak bisa lagi menjadwalkan pembayaran utang karena sudah keluar dari program IMF. "Kita sudah mandiri," ujarnya seperti dikutip Koran Tempo. Senada dengan sepnya, Kepala Badan Analisa Fiskal Anggito Abimanyu menyatakan, di tahun depan, seperti juga tahun ini, pemerintah tak merencanakan menjadwalkan pembayaran utang luar negeri melalui Paris Club I, II, dan III. Soalnya, pada 2003 pemerintah telah mengakhiri program dengan IMF. Lalu, mengapa Presiden melontarkan pernyataan meminta rescheduling utang? "Sepertinya itu cuma untuk konsumsi politik," ujar ekonom Universitas Indonesia, Chatib Basri. Di tengah sentimen anti-IMF yang cukup deras di dalam negeri, bersikap "keras" terhadap IMF mungkin saja bisa jadi pemanis bibir menjelang pemilu presiden putaran final. Ucapan Presiden, bahwa IMF telah mengakui kekeliruannya di Indonesia, sebetulnya juga tak tepat. Yang mengakui kekeliruan adalah The Office. IMF sendiri tak pernah mengakui kesalahannya. Karena itu, ekonom Dradjad Wibowo menyadari motif politik itu. "Kalau Presiden memang serius," kata Dradjad, "para menteri mestinya segera menindaklanjuti." Menteri Luar Negeri, misalnya, harusnya segera mengirim nota diplomatik. Para menteri bidang ekonomi juga perlu segera menyiapkan usulan remedial actions kepada IMF. Tak jelasnya arah ucapan Presiden, kata Dradjad, makin kentara lantaran Megawati menyebut "penjadwalan ulang utang" sebagai bentuk remedial actions. Nugroho Dewanto Utang yang Mencekik Leher itu Utang Luar Negeri Utang proyek dan program US$ 82,1 miliar Surat utang negara dalam valuta asing US$ 1,40 miliar Utang Dalam Negeri Obligasi negara dengan tingkat bunga tetap Rp 169,91 triliun Obligasi negara dengan tingkat bunga mengambang Rp 220,13 triliun Obligasi negara lindung nilai Rp 7,42 triliun Obligasi negara kepada Bank Indonesia Rp 219,17 triliun Jumlah US$ 83,5 miliar dan Rp 616,63 triliun Copyright @ tempointeraktif ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Make a clean sweep of pop-up ads. Yahoo! Companion Toolbar. Now with Pop-Up Blocker. Get it for free! http://us.click.yahoo.com/L5YrjA/eSIIAA/yQLSAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi.4t.com *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Posting: [EMAIL PROTECTED] 5. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 6. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 7. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/