“Presiden SBY dan tantangan Hegemoni Amerika (1)”

RI dengan Muslim 190 juta akan terus dalam pengawalan AS. Seperti negeri
muslim lain, RI akan dipaksa menerapkan ‘viktimisasi Islam’. Bagaimana SBY
menghadapi hal ini? Baca CAP ke-71 Adian Husaini, MA

Menyusul kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam pemilihan
Presiden Indonesia secara langsung pada 20 September 2004, banyak kalangan
di Barat yang menyambut gembira. Koran Berita Harian yang terbit di Kuala
Lumpur, 23 September 2004, menulis satu judul berita: Australia raikan
kemenangan ‘rakan Barat’. 

Ditulis dalam berita ini, bahwa koran-koran yang terbit di Australia
menyambut gembira kemenangan SBY atas Megawati dan menyebut SBY sebagai
‘rakan Barat’. Harian The Australian edisi 22 September 2004, menyebutkan,
bahwa SBY adalah rakan (kawan) Barat, musuh terorisme, dan seorang
demokrat yang konsisten. Kemenangan SBY, tulis koran ini, merupakan
kekalahan kaum ekstrimis agama, yang melihat demokrasi sebagai
bertentangan dengan Islam. 

Bagaimanakah menyikapi berita-berita semacam ini di media massa Barat?
Sejak bergulirnya proses pemilihan Presiden secara langsung, cerita-cerita
dan isu tentang hubungan SBY dengan Barat dan kalangan Kristen sudah
bertiup kencang. Sampai-sampai istrinya, yang bernama Kristiani, juga
sempat diisukan sebagai seorang pemeluk Kristen. Ketua Partai Demokrat
kebetulan juga seorang pemeluk Kristen. Banyak SMS beredar yang
menyebutkan, bahwa SBY pernah menyatakan, “AS adalah tanah air saya yang
kedua”. Juga beredar SMS tentang sejumlah dana yang diterima SBY dari AS. 

Banyak lagi berita-berita lainnya seputar masalah itu, yang intinya
memberikan gambaran seolah-olah SBY adalah antek AS, yang kalau menjadi
Presiden Indonesia, maka ia akan menjalankan agenda-agenda AS, terutama
dalam masalah ekonomi, politik, dan terorisme internasional. 

Kebenaran cerita-cerita seputar hubungan dan sikap SBY terhadap Barat dan
AS masih perlu dibuktikan dan diklarifikasi. Kaum Muslim Indonesia tidak
perlu tergesa-gesa menvonis. Masih ada waktu untuk menilai dan menunggu,
bagaimana sikap dan kebijakan SBY dalam melakukan hubungan dengan Barat,
khususnya AS. Satu hal yang patut dihargai adalah keberanian SBY yang
secara tegas menyatakan tidak akan membuka hubungan diplomatik dengan
Israel. Lebih penting dari itu, para ulama dan cendekiawan, seyogyanya
menjalankan fungsinya sebagai ulama dan cendekiawan, untuk terus
memberikan nasehat, saran, amar ma’ruf dan nahi munkar kepada pemerintah
baru. 

Dialog dan komunikasi juga perlu dibangun dengan baik. Para ulama dan
cendekiawan juga perlu senantiasa bersikap kritis dan hati-hati dalam
menerima dan menyebarkan informasi, sehingga dapat dengan tepat
menyampaikan al-haq kepada pemerintah. Bukankah menyampaikan kalimah yang
haq kepada penguasa merupakan jihad yang sangat mulia? 

Dalam konteks politik global saat ini, di bawah cengkeraman super power
tunggal, yang memiliki kekuatan besar untuk menjungkir-balikkan situasi
politik dan ekonomi suatu negara, maka tidaklah mudah bagi satu
pemerintahan untuk menerapkan kebijakan dan sikap politik yang mandiri,
tanpa mengindahkan kebijakan politik AS dan sekutu-sekutunya. Disamping
masalah perekonomian, politik dalam negeri, sosial, kebudayaan, dan
pendidikan, salah satu masalah pelik yang dihadapi pemerintah Indonesia di
bawah SBY adalah masalah “terorisme” yang telah menjadi isu politik utama
dalam politik internasional, menggantikan isu HAM, demokrasi, dan
lingkungan hidup. 

Dalam satu audiensi dengan Komisi Hankam DPA, beberapa waktu lalu, sebelum
meletusnya bom Bali, saya menulis satu paper yang diantaranya berisi
usulan agar Indonesia merumuskan definisi “terorisme” sesuai dengan
kepentingan bangsa Indonesia sendiri. Maka, definisi terorisme yang tepat
bagi Indonesia, adalah “setiap tindakan yang berpotensi menghancurkan
bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Maka, terorisme, dapat
mencakup aktivitas di bidang politik, ekonomi, sosial, keamanan, dan
sebagainya. Pengedar uang palsu, koruptor kelas kakap, bandar narkotika
dan obat-obatan terlarang, produsen VCD porno, penjual rahasia negara
kepada pihak asing, perusak lingkungan kelas berat, gerakan separatis
bersenjata, dan sejenisnya dapat dijerat dengan pidana terorisme,
sebagaimana aksi-aksi pengeboman dan pembunuhan terhadap warga masyarakat. 

Dalam kamus terorisme internasional yang berlaku saat ini, tidak ada
definisi yang objektif, fair, dan adil terhadap tindakan terorisme di
dunia internasional. Sebab, kamus terorisme memang ditentukan oleh AS.
Siapa yang teroris dan siapa yang bukan teroris, diukur berdasarkan
kepentingan AS. Pejuang Palestina, seperti Hamas, harus dicap sebagai
teroris, tetapi aksi-aksi pembunuhan rakyat Palestina oleh Ariel Sharon
dan kawan-kawan, dan juga pembunuhan terhadap sekitar 500.000 anak-anak
Iraq dengan embargo ekonomi pasca Perang Teluk I, bukanlah dinilai sebagai
tindakan terorisme. Para pembantai ratusan ribu kaum Muslim di Bosnia, dan
pemerkosa ribuan muslimah Bosnia pun tidak masuk dalam daftar teroris
internasinal yang berbahaya. Sekali lagi, mereka (Sloban Milosevic,
Rodovan Karadzik, dan kawan-kawan), tidak dimasukkan dalam daftar teroris
internasional, karena korbannya adalah Muslim atau bukan warga AS! 

Tetapi, mantan bintang pop, Cat Steven (Yusuf Islam) -- yang Muslim --
pada 22 September 2004, dilarang masuk AS, karena dicurigai ada hubungan
dengan teroris Kasus Yusuf Islam kembali menunjukkan betapa sensitif dan
paranoid-nya penguasa AS saat ini dalam menghadapi kaum Muslim,
sampai-sampai Menteri Luar Negeri Inggris, Jack Straw, melakukan protes
terhadap tindakan AS tersebut. 

Mengapa AS begitu sensitif dan paranoid terhadap Islam? Untuk memahami hal
ini, bisa disimak sebuah buku berjudul The High Priests of War (Washington
DC: American Free Press, 2004), karya Michel Colin Piper. Buku ini
memaparkan dengan sangat lugas dan jelas profil-profil tokoh
neo-konservatif yang berpengaruh besar dalam penyusunan kebijakan politik
luar negeri AS, pasca Perang Dingin. Secara mencolok pengaruh kelompok ini
dipertontonkan pada kebijakan penyerangan terhadap Irak, tahun 2003. 

Pada 24 Oktober 2002 -- beberapa bulan sebelum serbuan AS ke- Iraq --
Michel Kinsley, seorang penulis Yahudi Liberal, menulis bahwa peran
sentral Israel dalam perdebatan tentang kemungkinan Perang atas Irak,
adalah ibarat “gajah dalam ruangan”. “Setiap orang melihatnya, tetapi
tidak seorang pun menyebutkannya.” 

Kini, sosok lobi Israel itu diperjelas lagi oleh Michel Colin Piper, dalam
bukunya ini. Piper menyebutkan, belum pernah dalam sejarah AS terjadi
dominasi politik AS yang begitu besar dan mencolok oleh ‘tokoh-tokoh
pro-Israel’ seperti dimasa Presiden George W. Bush. Kelompok garis keras
itu dikenal sebagai kelompok “neo-konservatif” (neo-kon). Sebagian besar
anggota neo-kon adalah Yahudi. Salah satu prestasi besar kelompok ini
adalah memaksakan serangan AS atas Iraq, meskipun elite-elite militer AS
dan Menlu Colin Powell sendiri, semula menentangnya. 

Piper menulis: “That the war against Iraq was deliberately orchestrated by
a small but powerful network of hard-line “right wing” Zionist
elements-the self-styled “neoconservatives” - at the high levels of the
Bush administration, skillfully aided and abetted by like-minded persons
in public policy organizations, think tanks, publications and other
institutions, all of which are closely interconnected and, in turn, linked
to hardline “likudnik” forces in Israel.” 

Piper membahas peran kelompok garis keras Zionis Yahudi di AS dengan
menguraikan satu persatu latar belakang dan tokoh-tokoh yang terlibat
dalam konspirasi neokonservatif ini, seperti Richard Perle, William
Kristol, Donald Rumsfeld, Paul Wolfowitz, Rupert Murdoch, juga ilmuwan dan
kolomnis terkenal seperti Bernard Lewis, Charles Krauthammer, dan
tokoh-tokoh Kristen fundamentalis seperti Jerry Falwell, Pat Robertson,
dan Tim LaHaye. Philip Golub, seorang wartawan dan dosen di University of
Paris VIII, menulis tentang strategi kelompok neo-kon. 

Menurutnya, kelompok ini telah berhasil menjadikan Presiden Bush sebagai
kendaraan untuk menjalankan satu kebijakan berbasis pada ‘unilateralism’,
‘permanent mobilisation’, dan ‘preventive war’. 

Apa yang ditulis oleh Piper kemudian seperti menjadi kenyataan. Itu bisa
dilihat dengan apa yang kemudian dilakukan oleh AS terhadap Iraq, Syria,
dan belakangan ini terhadap Iran dalam kasus nuklirnya. Sebelumnya, tahun
1994, Piper sudah menggegerkan AS dengan bukunya, “Final Judgement”, yang
membongkar peran agen rahasia Israel, Mossad, dalam pembunuhan John F.
Kennedy. Piper berkeliling ke berbagai negara untuk menjelaskan isi buku
yang di AS tak dapat dijual di toko-toko buku utama. Pada Maret 2003,
Piper diundang berceramah di Zayed Center for Coordination and Follow-Up,
Abu Dhabi. Ceramahnya mendapat liputan luas di media-media Arab. Ketika
itu, menjelang serangan AS atas Iraq, Piper sudah mengingatkan, bahwa
serangan atas Iraq dilakukan atas pengaruh lobi Israel, dalam kerangka
mewujudkan impian kaum Zionis untuk membentuk “Israel Raya” (Greater
Israel/Eretz Yisrael). 

“President Bush seems to be driven by Christian fundamentalism and strong
influence of the Jewish lobby,” kata Piper. 

Serangan AS atas Iraq merupakan tahap awal dari sebuah Perang Besar yang
sudah jauh dirancang oleh kelompok neo-kon ini. Ari Shavit, seorang
penulis Yahudi, menulis di koran Ha’aretz (9 April 2003), bahwa perang
atas Iraq disusun oleh 25 intelektual --sebagian besar Yahudi-- yang
mendorong Presiden Bush untuk mengubah wacana sejarah. Tulisan Shavit
menyiratkan satu fenomena ironis dalam tradisi politik AS. Betapa
mayoritas rakyat di negara adikuasa yang begitu hebat kekuatan militernya,
ternyata tidak berdaya menghadapi cengkeraman kelompok minoritas neo-kon
yang didominasi Yahudi. 

Michel Lind, seorang penulis AS, mengungkapkan, bahwa impian kelompok
neo-kon untuk menciptakan sebuah “imperium Amerika” sebenarnya ditentang
oleh sebagian besar elite perumus kebijakan luar negeri AS dan mayoritas
rakyat AS. Lind juga menyebut, bahwa koalisi Bush-Sharon juga berkaitan
dengan keyakinan, bukan karena faktor kebijakan. Itu bisa dilihat dari
latar belakang Bush yang berasal dari keluarga Kristen fundamentalis. Kata
Lind: “There is little doubt that the bonding between George W. Bush and
Ariel Sharon was based on conviction, not expedience. Like the Christian
Zionist base of the Republican Party, George W. Bush was a devout Southern
fundamentalist.” 

Cengkeraman atau pembajakan kelompok neo-kon terhadap politik AS
sebenarnya meresahkan banyak umat manusia. Mereka sedang menjalankan satu
skenario besar “Perang Global”, dengan menempatkan Islam sebagai musuh
utama peradaban dunia. Dalam bukunya, nting Islam as The New EnemyKuala
Lumpur: Crescent News: 2003), Abdulhay Y. Zalloum, juga memberikan
gambaran tentang peran dan skenario kelompok neo-kon dalam membentuk “Tata
Dunia Baru” pasca Perang Dingin. “The New World Order”, simpulnya, adalah
rekayasa hegemoni sebuah “American Empire”. Itu dibuktikan dengan berbagai
dokumen yang disusun oleh tokoh-tokoh kelompok ini, seperti Rancangan
Pertahanan yang disusun oleh Paul Wolfowitz berkaitan dengan Tata Dunia
Baru, bahwa tujuan utama AS dalam politik internasional Tata Dunia Baru
adalah mencegah munculnya rival baru bagi AS. (Our first objective is to
prevent the reemergence of new rival). 

Para intelektual neo-kon, seperti Samuel P. Huntington dan Bernard Lewis,
kemudian merumuskan rancangan tata politik internasional berbasis pada
teori “clash of civilizations”. Lewis, yang anaknya aktif dalam kelompok
lobi Yahudi di AS (AIPAC) –adalah orang pertama yang mempopulerkan wacana
clash of civilizations, melalui artikelnya berjudul “The Roots of Muslim
Rage” (Akar-akar kemarahan Muslim) di jurnal Atlantic Monthly, September
1990. Artikel ini merupakan persiapan untuk menentukan siapa “musuh baru”
Barat pasca Perang Dingin. Dari sinilah kemudian skenario untuk menunjuk
“Islam” sebagai musuh atau rival utama Barat ditentukan. Sebelumnya,
banyak buku tentang Islam dan Barat yang ditulis Lewis, seperti buku “The
Arabs in History” (1950), “The Emergence of Modern Turkey” (1961),
“Semites and Anti-Semites” (1986), “The Jews of Islam” (1984), “Islam and
The West” (1993). Buku Lewis “What Went Wrong” (2003), dikritik oleh
Michel Colin Piper sebagai buku yang secara keji menyerang sejarah Arab
dan kaum Muslim. Bukunya “The Crisis of Islam” (2004) juga merupakan buku
yang memberikan begitu banyak justifikasi terhadap kebijakan Barat dan
Israel terhadap dunia dan kaum Muslim. Gagasan Lewis ini kemudian
dipopulerkan oleh Huntington melalui bukunya “The Clash of Civilization
and the Remaking of World Order” (1996). 

Sejak awal 1990-an, kelompok neo-kon sebenarnya telah merancang satu
wacana global dengan “ancaman Islam” sebagai agenda utama Barat. Wacana
tentang bahaya fundamentalis Islam digulirkan dengan kencang melalui
berbagai penerbitan, baik buku-buku kajian ilmiah maupun media massa.
Tahun 1995, Sekjen NATO menyatakan, bahwa “political Islam was at least as
dangerous as communism had been to the West.” Namun, sekanario
“viktimisasi Islam” itu kurang berjalan lancar. Lalu, terjadilah sebuah
peristiwa besar pada 11 September 2001, yang kemudian mengubah peta
politik dunia, dan berhasil memunculkan “Perang Melawan Terorisme” sebagai
isu utama dalam arena politik internasional. Wacana “Perang Melawan
Terorisme” sebenarnya merupakan wacana yang tidak masuk akal. Sebab, kata
Noam Chosmsky, dalam buku, “9-11”, (New York: Seven Stories Press, 2001),
“We should not forget that the US itself is a leading terrorist state.”
(Kita jangan sampai lupa, bahwa AS adalah negara teroris terkemuka). 

Melalui bukunya ini, Piper berhasil memperjelas apa dan siapa yang
sebenarnya berada di balik isu-isu dan peristiwa penting dalam panggung
politik internasional saat ini. Lebih menarik, ditampilkan juga dalam buku
ini foto-foto para tokoh neo-kon. Dunia Islam perlu menyadari, bahwa
sebuah skenario ‘Perang Global’ (Global War) dengan menjadikan kelompok
Islam sebagai musuh utama, telah dijalankan oleh kelompok neo-kon, dengan
menjadikan Presiden George W. Bush dan politik AS, sebagai kendaraan
mereka. Politik “viktimisasi Islam” (menjadikan Islam sebagai kambing
hitam) merupakan upaya pengalihan dari masalah sebenarnya yang dihadapi
pemerintah AS. Politik ini tidak memberi kesempatan masyarakat AS untuk
secara kritis menilai kegagalan atau kesuksesan pemerintahnya, sebab
mereka senantiasa dijejali dengan berbagai informasi media-media jaringan
neo-kon yang mengisukan akan datangnya serangan teroris Islam. 

Proyek ‘viktimisasi Islam’ ini dijalankan terus sebagai isu politik dengan
mengusung bendera “war against terrorism”. Siapa yang tidak mau ikut, akan
dihukum oleh AS. Sebab, kata Bush, pada 20 September 2001: “Every nation
in every region now has a decision to make: Either you are with us, or you
are with the terrorist. From this day forward, any nation that continues
to harbor or support terrorism will be regarded by the United States as a
hostile regime.” 

Indonesia, yang merupakan negeri Muslim terbesar di dunia, dengan jumlah
umat Muslim sekitar 190 juta jiwa, sedang dalam ‘teropong dan pengawalan
ketat’ AS dan sekutu-sekutunya, tentu akan dipaksa untuk menerapkan
kebijakan viktimisasi Islam itu. Bagaimana seyogyanya kiat Presiden SBY
menghadapi hal ini? Insya Allah bersambung. (KL,23 September 2004).

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
$9.95 domain names from Yahoo!. Register anything.
http://us.click.yahoo.com/J8kdrA/y20IAA/yQLSAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih 
Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppiindia.shyper.com
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Posting: [EMAIL PROTECTED]
5. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
6. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
7. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Kirim email ke