Mas Tampubolon tulis:
 
"Kasus di Turki ini menarik untuk disimak, bagaimana masalah moral yang menjadi urusan 
internal dalam negeri satu negeri muslim ternyata mendapat perhatian besar dari 
tokoh-tokoh Barat. Bahkan, dapat berdampak pada masalah politik yang serius. Mengapa 
orang-orang Barat (Eropa) itu begitu khawatir jika rakyat Turki, melalui parlemen 
mereka, memutuskan bahwa perzinahan adalah salah satu bentuk kejahatan? Ada apa 
dibalik semua ini?"

 

Mas, saya dan kawan2 ikuti perkembangan perluasan Uni Europa ini dari awalnya. Banyak 
sekali partai2 yang cukup toleran mulai resah, dan menolak Turki masuk ke Uni Europa. 
Masuknya Turki ini dipaksakan oleh AS dan Inggris karena alasan2 strategis.

Tetapi beban bagi Uni Europa sangat berat (terutama finansial, juga potensi kerusuhan 
sosial karena benturan budaya) , namanya saja sudah Uni Europa, jadi Uni-nya orang 
Europa, yang mempunyai jatidiri budaya sejak ribuan tahun. Kristiani bukan trade mark 
Europa, namun budaya humanisme yang timbul bersamanya, terutama setelah pencerahan 
Protestantisme diabad ke XVI.

Komisaris untuk perluasan Europa, Günther Verheugen ngotot ingin menawarkan 
keanggautaan pada Turki. Pada pertemuan di Kopenhagen sudah diputuskan kriteria2 yang 
harus dipenuhi Turki untuk masuk ke perkumpulan yang namanya Uni Europa ini (semua 
negara yang masuk dan mau masuk harus penuhi kriteria).

Nah, undang2 itu dirasakan tak pas untuk iklim politik sosial di Europa, juga hukuman 
mati, hukuman rajam, dan barang2 macam itu. 

Yang penting anda fahami disini, tanpa menjadi emosional, adalah, bahwa YANG MAU MASUK 
ke sebuah perkumpulan harus memenuhi AD/ART perkumpulan. Ya kan?

Jadi Uni Eruropa TAK INGIN mencampuri urusan dalam negeri Turki, seperti yang anda 
khotbahkan, hanya mengatakan pada Turki, apa yang Turki harus penuhi untuk menjadi 
anggauta. Salahkah?

Kalau Turki tak sudi, dan merasa urusan dalam negerinya diatur, YA jangan masuk Uni 
Europa. Gitu saja kok repot?

Jangankan Turki, Rusia pun tak merasa dapat memenuhi kriteria Uni Europa, karena itu 
yang tetap diluar.

Kalau misalnya ada negara kecil mau menggabung ke Indonesia, apakah Indonesia yang 
minta agar negeri itu mematuhi UU dan UUD Indonesia, atau sebaliknya, Indonesia yang 
harus mengubah UU dan UUD agar negeri ini dapat masuk? Pikir sendiri yauu?

RM D Hadinoto

 


Mohammad-Riyadi Tampubolon <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
“Ramalan Fukuyama dan Perzinahan di Turki”

Barat khawatir Turki memutuskan zinah sebagai kejahatan. Jika mereka yakin
ideologi sekuler-liberal dan kebebasan, mengapa umat Islam tidak boleh
yakin akan hukum agamanya? Baca CAP Adian Husaini ke-69

Harian New Straits Times edisi 15 September 2004, memuat berita berjudul
“Turkish women denounce plans to criminalise adultary”. Wanita-wanita
Turki mengecam rencana untuk mengkriminalkan perbuatan zina. 

Diceritakan, bahwa parlemen Turki sedang mendiskusikan satu Rancangan
Undang-undang yang diajukan pemerintah yang isinya menetapkan perzinahan
sebagai satu bentuk kejahatan kriminal. Menurut PM Turki, Recep Tayyip
Erdogan, Undang-undang itu dimaksudkan untuk melindungi keluarga dan
istri-istri dari perselingkuhan/perzinahan suaminya. 

RUU itu kemudian menimbulkan kontroversi hebat. Yang menarik, bukan
kalangan dalam Turki saja yang ribut, tetapi juga pejabat-pejabat Uni
Eropa. Pejabat perluasan Uni Eropa, Guenter Verheugen, menyatakan, bahwa
sikap anti perzinahan dapat menciptakan imej bahwa UU di Turki mulai
mendekati hukum Islam. Bahkan, Menteri Luar Negeri Inggris, Jack Straw
menyatakan, bahwa jika proposal itu disahkan sebagai Undang-undang, maka
akan menciptakan kesulitan bagi Turki. If this proposal, which I gather is
only a proposal in respect of adultary, were to become firmly fixed into
law, than that would create difficulties for Turkey). Setelah mengalami
perdebatan dan tekanan dari berbagai pihak, pemerintahan Turki akhirnya
membatalkan RUU tersebut. 

Kasus di Turki ini menarik untuk disimak, bagaimana masalah moral yang
menjadi urusan internal dalam negeri satu negeri muslim ternyata mendapat
perhatian besar dari tokoh-tokoh Barat. Bahkan, dapat berdampak pada
masalah politik yang serius. Mengapa orang-orang Barat (Eropa) itu begitu
khawatir jika rakyat Turki, melalui parlemen mereka, memutuskan bahwa
perzinahan adalah salah satu bentuk kejahatan? Ada apa dibalik semua ini?
Apakah karena mereka merupakan pelanggan tetap pelacur-pelacur Turki,
sehingga dengan diundangkannya larangan perzinahan, maka mereka akan
kehilangan kesempatan untuk melampiaskan syahwat mereka? Mengapa mereka
tidak membiarkan saja, sesuai jargon demokrasi liberal mereka, rakyat
Turki untuk menentukan apa yang baik dan buruk untuk mereka? Mengapa
langsung saja mereka mengingatkan, bahwa undang-undang itu akan
mendekatkan Turki kepada Islam? Mengapa? Banyak pertanyaan yang bisa kita
ajukan. 

Tetapi, menarik untuk mencermati masalah ini dari sudut konflik peradaban
dan menelaah kembali ramalan-ramalan ilmuwan terkenal Francis Fukuyama
yang ditulis dalam bukunya “The End of History and The Last Man.” Kasus
Turki ini menunjukkan, bahwa ramalan-ramalan Fukuyama, yang kadang
dipopulerkan sebagai “teori”, tentang “akhir sejarah” umat manusia adalah
tidak tidak benar. Sebagaimana diketahui, Fukuyama merupakan ilmuwan yang
sangat terkenal setelah Era Perang Dingin, bersamaan dengan nama Samuel P.
Huntington. Sebagaimana Huntington yang menulis bukunya setelah perdebatan
panjang tentang artikelnya ‘The Clash of Civilizations?’ di Jurnal Foreign
Affairs (summer 1993), buku Fukuyama itu juga merupakan pengembangan dari
artikelnya ‘The End of History?’ di jurnal The National Interest (summer
1989). 

Dalam makalahnya tersebut, Fukuyama, mencatat, bahwa setelah Barat
menaklukkan rival ideologisnya -- monarkhi herediter, fasisme, dan
komunisme – dunia telah mencapai satu konsensus yang luar biasa terhadap
demokrasi liberal. Ia berasumsi, bahwa demokrasi liberal adalah semacam
titik akhir dari evolusi ideologi atau bentuk final dari bentuk
pemerintahan. 

Dan ini sekaligus sebuah ‘akhir sejarah’ (the end of history). (A
remarkable consensus concerning the legitimacy of liberal democracy as a
system of government had emerged throughout the world over the past few
years, as it conquered rival ideologies like hereditary monarchy, fascism,
and most recently communism. More than that, however, I argued that
liberal democracy may constitute the “end point of mankind’s ideological
evolution” and the “final form of human government,” and as such
constituted the “end of history.)” 

Dalam bukunya, Fukuyama memasang sederet negara yang pada tahun 1990-an
memilih sistem demokrasi-liberal, sehingga ini seolah-olah menjadi
indikasi, bahwa - sesuai Ramalan Hegel - maka akhir sejarah umat manusia
adalah kesepakatan mereka untuk menerima Demokrasi Liberal. Tahun 1790,
hanya tiga negara, AS, Swiss, dan Perancis, yang memilih demokrasi
liberal. Tahun 1848, jumlahnya menjadi 5 negara; tahun 1900, 13 negara;
tahun 1919, 25 negara, 1940, 13 negara; 1960, 36 negara; 1975, 30 negara;
dan 1990, 61 negara. 

Pada ‘akhir sejarah’, kata Fukuyama, tidak ada lagi tantangan ideologis
yang serius terhadap Demokrasi Liberal. Di masa lalu, manusia menolak
Demokrasi Liberal sebab mereka percaya bahwa Demokrasi Liberal adalah
inferior terhadap berbagai ideologi dan sistem lainnya. Tetapi, sekarang,
katanya, sudah menjadi konsensus umat manusia, kecuali dunia Islam, untuk
menerapkan Demokrasi Liberal. Ia menulis: “At the end of history, there
are no serious ideological competitors left to Liberal Democracy. In the
past, people rejected Liberal Democracy because they believed that it was
inferior to monarchy, aristocracy, theocracy, fascism, communist
totalitarianism, or whatever ideology they happenned to believed in, But
now, outside the Islamic world, there appears to be a general consensus
that accpets liberal democracy’s claims to be the most rational form of
government, that is, the state that realizes most fully either rational
desire or rational recognition.” 

Pendapat Fukuyama bahwa pada masa akhir sejarah tidak ada tantangan serius
terhadap Demokrasi Liberal dan umat manusia - di luar dunia Islam - telah
terjadi konsensus untuk menerapkan Demokrasi Liberal adalah merupakan
statemen yang sangat debatable. Dalam memandang ‘demokrasi’, Fukuyama
mengadopsi pendapat Huntington, tentang perlunya proses sekularisasi
sebagai prasyarat dari demokratisasi. Karena itu, ketika Islam dipandang
‘tidak compatible’ dengan demokrasi, maka dunia Islam juga tidak kondusif
bagi penerapan demokrasi yang bersifat sekular sekaligus liberal. Dalam
kajiannya tentang Gelombang ketiga demokratisasi, Huntington menyebutkan:
“Tampaknya masuk akal menghipotesakan bahwa meluasnya agama Kristen
mendorong perkembangan demokrasi.” 

Fukuyama menyorot dua kelompok agama yang menurutnya sangat sulit menerima
demokrasi, yaitu Yahudi Ortodoks dan Islam fundamentalis. Keduanya dia
sebut sebagai “totalistic religious” yang ingin mengatur semua aspek
kehidupan manusia, baik yang bersifat publik maupun privat, termasuk
wilayah politik. Meskipun agama-agama itu bisa menerima demokrasi, tetapi
sangat sulit menerima liberalisme, khususnya tentang kebebasan beragama.
Karena itulah, menurut Fukuyama, tidak mengherankan, jika satu-satunya
negara Demokrasi Liberal di dunia Islam adalah Turki, yang secara tegas
menolak warisan tradisi Islam dan memilih bentuk negara sekular di awal
abad ke-20. (Orthodox Judaism and fundamentalist Islam, by contrast, are
totalistic religious which seek to regulate every aspect of human life,
both public and private, including the realm of politics. These religions
may be compatible with democracy - Islam in particular, establishes no
less than Christianity the principle of universal human equality - but
they are very hard to reconcile with liberalism and the recognition of
universal rights, particularly freedom of conscience or religion. It is
perhaps not surprisingly that the only liberal democracy in the
contemporary Muslim World is Turkry, which was the only contry to have
stuck with an explicit rejection of its Islamic heritage in favor of a
secular society early in the twentieth century). 

Klaim-klaim Fukuyama tentang “konsensus umat manusia terhadap demokrasi
liberal” dan “tidak adanya tantangan ideologis yang serius terhadap
demokrasi liberal saat ini” sebenarnya sangatlah lemah dan paradoks dengan
sikap negara-negara Barat sendiri. Itulah yang terlihat dalam kasus RUU
anti-perzinahan di Turki. Tindakan Barat yang mengancam Turki soal RUU
anti-perzinahan itu, membuktikan bahwa Barat memandang Islam secara
paranoid, sebagai tantangan serius secara ideologis terhadap Demokrasi
Liberal. Mereka masih terbukti sangat khawatir terhadap munculnya negara
yang menerapkan ideologi Islam. 

Kita bisa mengingat kembali, bagaimana kuatnya dukungan Barat terhadap
pembatalan Pemilu di Aljazair yang dimenangkan oleh FIS, padahal sikap itu
justru bertentangan dengan demokrasi yang mereka kampanyekan. 

Menurut Christoper Ogden (dalam artikel "View from Washington", Times, 3
Februari 1992), tindakan AS yang mendukung permainan kekuasaan
antidemokrasi merupakan suatu tindakan yang sangat keliru. Sikap AS dan
Perancis yang menyatakan bahwa kudeta Aljazair "konstitusional", tidak
lain merupakan gejala penyakit gila paranoid (ketakutan tanpa dasar)
terhadap Muslim Fundamentalis. Ogden menulis bahwa nonsense menyatakan AS
tidak dapat mempengaruhi perubahan di Aljazair. Seperti disebutkan
terdahulu, pasca runtuhnya Komunisme, justru Barat menerapkan pandangan
yang paranoid dan berlebihan terhadap Islam. Itu bisa disimak dari
berbagai perlakuan yang diterima kaum Muslim yang memasuki negara-negara
Barat setelah peristiwa 11 September 2001. Hanya karena namanya berbau
Islam, atau wajahnya bercorak Arab, maka seseorang yang memasuki
negara-negara Barat dapat menerima perlakuan yang tidak manusiawi. 

Koran Utusan Malaysia, edisi 15 September 2004, juga menurunkan tulisan
Kamaruzaman Mohamad, seorang wartawan senior Malaysia yang baru-baru
mengikuti pertemuan wartawan di AS. Ia menulis artikel berjudul “11 Sept.
Ubah polisi AS”. (dalam bahasa Indonesia, artinya: 11 September Ubah
Kebijakan AS). Diceritakan, bahwa kebijakan anti-terorisme memang pada
kenyataannya, ditujukan kepada semua orang Islam. Itu dialami oleh semua
orang Islam yang memasuki AS, yang secara dicurigai sebagai teroris atau
mendukung teroris, sehingga harus diperlakukan khusus saat memasuki negara
itu. Hanya karena namanya Islam, Ia diperiksa ketat, tasnya dibuka tanpa
pengetahuannya, dan prosedur ketat lainnya. Ia bertanya, mengapa hanya
orang Islam saja yang diperlakukan seperti itu? Mengapa orang bukan Islam
mudah-mudah saja memasuki AS? Apakah yang melakukan tindakan terorisme
hanya orang Islam? 

Mungkin, tindakan ketat semacam itu, sebagaimana diceritakan oleh
Kamaruzaman, tidak berlaku atas orang-orang dari kalangan Muslim yang
jelas-jelas sudah dikenal sebagai “The Darling of Washington” yang
mengabdikan hidup dan matinya demi menyebarkan nilai-nilai dan pandangan
hidup yang diridhoi oleh AS. 

Sebuah buku berjudul “Painting Islam as the New Enemy” (2003), karya
Abdulhay Y. Zalloum, cukup memberikan gambaran, bagaimana rekayasa
kelompok-kelompok garis keras di AS, termasuk Wolfowitz, Rumsfeld, dan
Huntington, untuk membuat skenario politik internasional pasca Perang
Dingin. Kelompok inilah yang menskenario tampilnya Presiden George W.
Bush, dan kemudian mempengaruhi jalannya politik internasional hingga saat
ini. Pada akhirnya, pasca Perang Dingin, mereka menskenario, untuk
menempatkan Islam sebagai musuh utama. Aksi terorisme yang dilakukan umat
Islam akan dicap sebagai terorisme, sementara aksi teror terhadap penduduk
Muslim akan dikspose sebagai tindakan mulia untuk memberantas teroris.
Tajuk Koran Utusan Malaysia juga mengupas tentang isu terorisme
(keganasan), yang berjudul “Melihat keganasan dari dua sudut”. Tajuk ini
mempertanyakan, “Apakah bezanya serangan bom yang dilancarkan oleh
kumpulan Jemaah Islamiyah (JI) dengan serangan bom yang dilakukan oleh
AS?” 

Kasus respon Barat terhadap RUU anti-perzinahan di Turki juga menunjukkan,
begitu takutnya Barat terhadap kembalinya Islam ke dalam kehidupan
masyarakat dan politik di Turki. Barat tidak ribut dengan dominannya
cengkeraman kristen fundamentalis dalam politik di AS, tetapi khawatir
sekali dengan Islam. Sebab, masa lalu Turki adalah masa lalu yang penuh
kegemilangan, ketika mereka masih di bawah kekuasaan Utsmani. Setelah
kalah dari Barat, Turki diwajibkan sekular, dan tidak secara “sukarela”
untuk menjadi sekular. Adalah salah besar klaim Fukuyama, bahwa telah
terjadi konsensus umat manusia terhadap demokrasi liberal. Jika ia memuji
Turki sebagai satu-satunya negara yang menerapkan demokrasi liberal di
dunia Islam, maka Fukuyama mestinya mengungkap fakta, bahwa demokrasi
liberal dan sekularisme di Turki ditegakkan dengan tangan besi dan
kekuasaan yang kejam. 

Kasus yang menimpa PM Erbakan, yang hanya berkuasa selama 18 bulan, bisa
disimak. Karena dianggap mengancam prinsip negara sekular, Rbakan
dijatuhkan. Penggantinya, Mesut Yilmaz dari Partai Ibu Pertiwi,
menyatakan: “Negara ini butuh pemerintahan yang kuat yang mampu
mempertahankan sistem sekular." Babak-babak berikutnya adalah kehidupan
yang penuh represif terhadap kaum muslim Turki. Di bawah jargon
“mempertahankan sistem sekular”, pemerintahan sekuler Yilmaz yang disokong
penuh oleh militer dan Barat bertindak tidak demokratis (otoriter).
Setelah Erbakan diturunkan, Partai Refah dilarang. Sekularisasi
diberlakukan dengan ketat. Wanita-wanita muslimah dilarang mengenakan
jilbab di kantor-kantor pemerintah dan di kampus. Sekolah-sekolah agama
ditutup. Jam siaran agama di TV dipangkas. 

Turunnya Erbakan dapat dikatakan sebagai jalan terbaik untuk menghindari
terjadinya kudeta militer, sebagaimana terjadi pada tahun 1960. Kasus
tahun 1960 itu hampir sama dengan kasus yang menimpa Erbakan. Pada
pemilihan umum tahun 1950, Partai Demokrasi pimpinan Adnan Mandaris unggul
atas Partai Republik bentukan Musthafa Kemal Attaturk, Bapak Sekularis
Turki. Selama 10 tahun berkuasa, Adnan Mandaris berusaha menempatkan Islam
kembali dalam masyarakat Turki, dengan cara yang sangat halus. Di masa
Mandaris, azan kembali dikumandangkan dalam bahasa Arab (sebelumnya
dilakukan dalam bahasa Turki; Lafazh Allahu Akbar diganti dengan Allahul
Buyuk), masjid-masjid yang telah dihancurkan direnovasi, fakultas teologi
dibuka kembali, dan sejumlah lembaga tahfidzul Quran muncul kembali. 

Meskipun yang dilakukan oleh Mandaris adalah sangat manusiawi dan jauh
dari sikap radikal, akan tetapi kebijakan-kebijakan Mandaris itu dianggap
sebagai kejahatan oleh kaum Sekular Turki, terutama kelompok militer yang
bertindak sebagai penjaga gawang sekulerisme. Di Turki, salah satu fungsi
militer adalah sebagai National Security Guard (NSC). Mandaris dituduh
menciptakan pemerintahan yang primitif, statis, berkhianat terhadap ajaran
Kemal Attaturk, mengancam demokrasi, merusak struktur hukum, dan lain
sebagainya. Sebagai “hukuman” terhadap Mandaris, pada tahun 1960, terjadi
kudeta militer dan Mandaris bersama Ketua Parlemen Bulatuqan dan Menteri
Luar Negeri Fatin Zaurli dihukum mati. 

Attaturk sendiri menjalankan pemerintahan sekularnya secara diktator. Ia
tak segan-segan menghukum mati orang-orang yang enggan kepada pemerintahan
Kemalis. Pada tanggal 13 Juli 1926, 15 orang digantung dimuka umum. Tahun
1930, 800 orang anti-Kemalis ditangkap dan dihukum mati. Tahun 1931,
keluar peraturan yang melarang media massa mengeluarkan propaganda yang
dianggap membahayakan pemerintahan sekular Kemalis. 

Selama 80 tahun lebih, Turki telah berkhidmat kepada Barat, mengikuti
prinsip sekularisme, tetapi nasib mereka masih belum berubah. Uni Eropa
masih tetap menolak permohonan Turki untuk bergabung. Turki diwajibkan
menjadi negara sekular. Dia dipuji Fukuyama sebagai satu-satunya negara
demokrasi liberal di dunia Islam. Tetapi pada saat yang sama dia tidak
boleh menjalankan prinsip dan mekanisme demokrasi ketika demokrasi itu
digunakan untuk menyepakati hal-hal yang sesuai dengan Islam, seperti
kriminalisasi perzinahan. 

Itulah prinsip Barat dalam berdemokrasi liberal: wajib sekular, wajib
anti-Islam! Di kalangan Muslim, kadangkala ada yang tidak peduli akan hal
ini. Mereka berteriak-teriak menuding orang Islam yang mereka katakan
“menghegemoni kebenaran”, tetapi pada saat yang sama, mereka menutup mata
terhadap perilaku “tuannya” yang juga melakukan hegemoni kebenaran, dengan
memaksakan sekularisme kepada umat manusia, dan menghalang-halangi umat
Islam untuk menerapkan keyakinannya. 

Jika Barat dan pengikutnya yang sekular-liberal yakin dengan ideologinya,
yakin dengan sekular dan liberalnya, yakin dengan kebebasan zina dan
homoseksualnya, yakin dengan kemaslahatan pelacuran dan kebebasan ekspresi
pornografinya, lalu mengapa umat Islam tidak boleh yakin akan keagungan
Tuhan dan hukum-hukum-Nya? Wallahu a’lam.

[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih 
Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppiindia.shyper.com
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Posting: [EMAIL PROTECTED]
5. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
6. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
7. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]



Yahoo! Groups SponsorADVERTISEMENT


---------------------------------
Yahoo! Groups Links

   To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/
  
   To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]
  
   Your use of Yahoo! Groups is subject to the Yahoo! Terms of Service. 


                
---------------------------------
Gesendet von Yahoo! Mail - Jetzt mit 100MB kostenlosem Speicher

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Make a clean sweep of pop-up ads. Yahoo! Companion Toolbar.
Now with Pop-Up Blocker. Get it for free!
http://us.click.yahoo.com/L5YrjA/eSIIAA/yQLSAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih 
Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppiindia.shyper.com
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Posting: [EMAIL PROTECTED]
5. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
6. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
7. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Reply via email to