G30S, Pemilu, SBY & Tiji Tibeh

Oleh Aboeprijadi Santoso

Hari hari ini adalah hari hari ironis. Tiga puluh sembilan tahun 
peristiwa 30 Sep-tember tahun 65 yang disusul malapetaka pembantaian 
manusia, diperingati oleh berbagai media tepat selepas suksesnya 
pemilu presiden langsung yang pertama. Kebetulan pula, 39 tahun 
misteri 1965 itu jatuh bersamaan dengan Indonesia menyambut sistim 
perwakilan baru dengan dua majelis, DPR dan DPD. Dan sistim 
bikameral ini ditandai dengan "pamit"nya fraksi TNI/Polri dari badan 
legislatif DPR serta disahkannya Undang Undang TNI. 

Dengan kata lain, halaman baru demokrasi di Indonesia ini datang 
pada hari hari dan suasana yang melibatkan sejumlah pelaku penting 
sejarah, baik yang menang mau pun yang kalah, yang telah mengubah 
sejarah mutakhir secara radikal. Ada kenangan tentang peristiwa yang 
mengawali penyingkiran kekuatan politik massa dan kenangan pahit 
musibah kemanusiaan, ada tentara yang mundur dari lembaga 
perwakilan, ada pemilu yang sukses, ada pembaruan lembaga perwakilan 
dan ada mantan jendral yang akan terpilih sebagai presiden. 

Di balik sejumlah ironi itu, ada sejumlah keganjilan. 

Misalnya media massa dalam dan luar negeri menyebut berakhirnya 
perwakilan ten-tara dan polisi di dalam parlemen, sebagai 
sebagai "pamit" dan "farewell". Tetapi, siapakah sebenarnya yang 
dulu mengundang mereka masuk parlemen dan melem-bagakan kehadiran 
mereka itu, kalau bukan mereka sendiri? Bukankah pelembaga-an 
perwakilan orang bersenjata di dalam lembaga legislatif itu 
diperkuat sejak Jendral Suharto dan Jendral Nasution menggusur MPRS 
menyusul Peristiwa 1965? Orang bersenjata masuk parlemen adalah 
karya politik dari orang bersenjata sendiri. Lantas, siapa 
yang "pamit" kepada siapa? Bukankah "pamit" adalah kata santun yang 
sebenarnya hanya diperuntukkan bagi tamu yang diundang oleh tuan 
rumah? Wal-hasil, dia kini berubah menjadi eufemisme bagi mereka 
yang harus hengkang. 

Ini sekaligus menunjuk pada karakter dari transisi negara ini - 
yaitu, transisi yang kritis, dan karenanya, sarat keganjilan dan 
eufemisme. 

Tengok Undang Undang TNI yang sama sekali tidak mengubah posisi 
dasar tentara Indonesia. Undang undang tsb disambut gembira oleh 
Menko Polkam Letjen. pur. Hari Sabarno sebagai "payung hukum" bagi 
TNI. Payung siapa sih, dan untuk apa? 

Pada esensinya, UU-TNI itu tidak menjernihkan pembagian tugas 
pertahanan dan keamanan, tidak membongkar birokrasi militer dan 
masih bertumpu pada mitos "kemanunggalan tentara dan rakyat". 
Langkanya pembagian tugas yang gamblang itu, tentu saja, berkaitan 
dengan kealotan dari keengganan untuk mengalihkan posisi ke tangan 
polisi; komando-territorial (koter) tetap bertahan, hanya 
dikatakan "akan disesuaikan" saja; sementara dalil 
keramat "kemanunggalan" (seolah-olah tentara kita masih dalam 
keadaan perang melawan Belanda) masih diperlukan se-bagai ideologi 
pembenaran bagi keberadaan Kodam, Korem, Kodim s/d Babinsa. Semua 
itu, kini mendapat penguatan secara hukum. 

Artinya, "payung" itu dimaksud untuk berlindung dari tuntutan 
tuntutan perubahan yang demokratis. Jadi, eufemisme politik 
Indonesia sendiri telah menempatkan apa-rat bersenjatanya seolah-
olah dalam keadaan terancam oleh gelombang demo-kratisasi, sehingga 
diperlukan penguatan hukum yang sekaligus memberi dasar bagi 
pembenaran langkah politik dari institusi tentara.  Dengan kata 
lain, inilah "payung" di saat hujan tuntutan demokratis turun dengan 
deras.

Ada lagi satu keganjilan yang layak kita catat. Pilpres putaran 
kedua telah berlang-sung dengan sukses, dalam arti jurdil, aman, 
damai. Indonesia menjadi negara de-mokrasi terbesar ketiga setelah 
Amerika dan India, kini merupakan negara paling demokratis di tengah 
jiran-jiran yang otoriter dan semi-otoriter seperti Vietnam, 
Malaysia, Brunai dan Singapura. Namun, lompatan kemajuan ini 
menghasilkan pemimpin yang dipilih mayoritas dan pemerintah yang 
bersifat minoritas karena harus berhadapan dengan parlemen yang 
didukung mayoritas. Para pemilih telah memberikan mandat-eksekutif 
kepada presiden-terpilih SBY yang menuntut per-ubahan, tapi pemilih, 
melalui partai-partai, juga memberi kepercayaan-legislatif kepada 
parlemen yang mayoritasnya setia pada status-quo. 

Walhasil, dengan menghasilkan presiden-mayoritas (majority-
president) dan peme-rintahan minoritas (minority-government), 
lompatan demokrasi itu menyajikan tan-tangan bagi demokrasi itu 
sendiri. Presiden-terpilih SBY akan menjadi pemimpin yang kuat dan 
parlemen menjadi pengontrol yang kuat pula. Ini sehat. Namun akan 
mampukah pemerintahan-minoritas berhadapan dengan parlemen-mayoritas 
me-langkah maju dengan bersandar pada presiden-mayoritas belaka? 
Tanpa kerjasama yang baik antara pemerintah (kabinet) dan parlemen, 
maka setiap sengketa dan kri-sis antara presiden dan kabinet di satu 
pihak dan parlemen di lain pihak akan ber-muara pada adu legitimasi 
elektorat antara presiden dan parlemen. Suara elektorat yang mendua 
kepada presiden dan parlemen telah membuat ajang politik makin 
rentan krisis.  

Sementara itu, dengan angka pengangguran puluhan juta dan 
pertambahan 2,5 juta per tahun yang hanya dapat diserap dengan 
sedikitnya angka pertumbuhan ekonomi 8% per tahun, kondisi obyektif 
negeri ini menuntut perubahan yang tegas dan berani -- bukan sekadar 
kebijakan yang populis oleh presiden yang populistis. Tuntutan yang 
sama berlaku bagi penegakan hukum dengan membersihkan aparat negara 
dari korupsi besar dan kecil. Semua itu berarti, cepat atau lambat, 
potensi krisis itu akan segera datang. 

Betapa pun, di atas semua itu, ironi rangkaian pemilu tahun 2004 
yang berakhir pada akhir September ini, telah membawa hikmah dan 
bekal yang amat penting. 

Peringatan 39 tahun G30s dan malapetaka pembantaian 1965-1966 
mengingatkan publik akan perlunya mengakhiri solusi gaya fasis, yang 
oleh Hitler dinamakan "endlösung" (solusi final), yang padanannya 
oleh Amangkurat II disebut "tiji tibeh, mati siji, mati kabeh" (mati 
satu, mati semua). 

Sultan Mataram Amangkurat II memilih pola Tiji Tibeh untuk 
menyelesaikan konflik kerajaan dengan oposisi Kyayi di pesisir 
dengan menghabisi para santri di abad ke-16. Sejak itu ampuhlah 
dalil mengalahkan oposisi sebagai identik dengan meng-habisi nyawa 
manusia manusia oposan atau yang dianggap sejenis. 

Revolusi kemerdekaan (1945-1950) juga menuntut jalan serupa untuk 
memerdeka-kan bangsa. Kita ketahui bahwa sebagian perjuangan fysik 
itu sebenarnya merupa-kan perang saudara di mana mereka yang 
diasosiasikan dengan Belanda ("guilty by association": Kristen, 
Ambon, bangsawan pro-Belanda, pegawai aparat Hindia-Be-landa dll) 
dihabisi tanpa ampun (lihat perang melawan Uleebalang di Aceh, 
revolusi sosial di Surakarta, pergolakan di Sulawesi Selatan, Jawa 
Barat, Jawa Timur dll).

Lantas, paling keji, Soeharto dan tentara mengulangi pola Tiji Tibeh 
pada 1965-19-66 dan 1968; Dalil Tiji Tibeh implisit juga diterapkan 
dalam melawan oposisi Islam di Tanjung Priok (1984) dan Lampung dan 
Haur Koneng (1989);

Celakanya, banyak kalangan oposisi atau mantan korban HAM sendiri, 
tanpa disa-dari, seolah-olah menjadi partisan dalam proses menuju 
solusi Tiji Tibeh gaya baru. Lihat misalnya tokoh PAN, A.M. Fatwa, 
korban HAM yang semasa Orde Baru dibela oleh Amnesty International 
dan Tapol, tidak pernah berkampanye HAM, bahkan mendukung Perang 
Aceh. Baik kita catat, bahwa bukan Abdurrachman "Gus Dur" Wahid yang 
pernah disebut "Guru Bangsa", melainkan Syafeii Ma'arif, Ketua Muha-
mmadiyah,-lah yang merupakan satu satunya tokoh politik Indonesia 
yang menen-tang Perang Aceh. Kalangan oposisi kiri (kecuali Bung 
Umar Said dan Emil J.J. Kusni di Paris dll) juga tak luput dari 
patriotisme palsu ini. Misalnya Ibrahim Isa dari Belanda patut 
dipuji kegigihannya mengangkat kasus 1965-1966, tetapi, dalam Temu 
Eropa di Essen (2003), saking gigihnya "membela NKRI" sampai "lupa" 
bahwa Perang Aceh mirip variasi "kecil" saja dari tragedi 1965-1966. 
Idem dito sikap mereka dalam kasus Timor Timur (1975-1999). 

Solusi Tiji Tibeh mengenal berbagai variasi. Hanya beberapa hari 
setelah jatuhnya Soeharto, seorang pengamat jeli, Christianto 
Wibisono, dalam Suara Pembaruan, dengan tepat menunjuk pada maraknya 
kembali apa yang disebutnya tradisi per-mainan Ken Arok atau Brutus: 
pat-gulipat kekuasaan dan silih-berganti penindas melalui kekerasan 
yang terjadi pada setiap perubahan rezim. Kalau kita cermati 
tulisannya, pengamat ini sebenarnya menunjuk pada bahaya "road map" 
menuju solusi Tiji Tibeh. Orang Cina Kaya dianggap menjadi kaya 
berkat rezim Soeharto dan harus dihukum melalui The Rape of Jakarta, 
Mei 1998. 

Variasi Tiji Tibeh ini tidak hanya dilakukan oleh aparat penguasa, 
tapi juga oleh se-golongan masyarakat. Puluhan ribu transmigran Jawa 
diusir dari Aceh dalam "ethnic cleansing" oleh GAM (Gerakan Aceh 
Merdeka) kawasan Aceh Timur sepanjang 1999-2001. Aparat negara 
sendiri menerapkan Tiji Tibeh sepanjang perang di Aceh sejak Mei 
2002 dengan mengorbankan tiga ribuan penduduk sipil yang 
diasosiasikan sebagai "GAM". 

Variasi Tiji Tibeh yang lain – bumi hangus sebagai solusi konflik – 
sebelumnya telah diterapkan di Timor Timur pada 1977-79, 1980an dan 
sejak April sampai selepas referendum September 1999 – semua ini 
mirip semasa perjuangan melawan Belanda di Jawa Tengah dan Barat. 
Dengan semangat Amangkurat, Kol. Tono Suratman, waktu itu Danrem di 
Dili, berkata "Kalau kalian (pro-merdeka) menang, tahu rasa kalian". 

Singkat kata: hampir semua proyek politik besar dalam sejarah 
Indonesia – pergan-tian rezim, pembungkaman oposisi dan penaklukan 
pemberontak - telah terlaksana dengan sukses dengan menerapkan 
metode Tiji Tibeh. Tiji Tibeh adalah penyakit yang diidap peradaban 
politik kita. Tiba waktunya mengakhiri pola itu. Mengutip Pramudya 
Ananta Toer (di Amsterdam 1999), masalah Indonesia sebenarnya bukan 
masalah politik, melankan soal peradaban. 

Dengan kata alin, peradaban kita memang belum menemukan cara yang 
tepat dan stabil untuk mengatur dan menempatkan aparat dan orang-
orang bersenjata dalam kehidupan negara dan masyarakat. Ben 
Anderson, dalam diskusi di Amsterdam dan Berlin (1983) mengesankan 
bahwa hampir semua konflik politik Indonesia (kecuali soal RMS, 
Republik Maluku Selatan, 1950) berkaitan erat dengan konflik interen 
aparat bersenjata.

Sekarang, tiga putaran pemilu (5 April, 5 Juli & 20 September) yang 
kompetitif, amat rumit dan kolosal, yang melibatkan 150an juta 
rakyat itu, telah membuktikan bahwa rakyat Indonesia telah mampu 
menyelesaikan suatu proyek politik besar – memaju-kan demokrasi - 
dengan jalan damai. 

Prestasi rakyat ini, paling tidak, adalah amanah rakyat yang paling 
berharga bagi elit politik dan sekaligus menerbitkan secercah 
harapan: semoga berakhirlah pola laknat solusi Tiji Tibeh ...

Dikembangkan dari Kolom Ahad penulis, Radio Nederland, 02 Okt. 2004





------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Make a clean sweep of pop-up ads. Yahoo! Companion Toolbar.
Now with Pop-Up Blocker. Get it for free!
http://us.click.yahoo.com/L5YrjA/eSIIAA/yQLSAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih 
Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppiindia.shyper.com
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Posting: [EMAIL PROTECTED]
5. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
6. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
7. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke