Pengantar: 

Bahwa banyak pemimpin kita yg bisanya cuma retorika tanpa aksi nyata sudah menjadi 
fenomena umum; dari presiden sampai lurah. Dan hal ini tidak hanya terjadi di kita, 
tapi juga di India, tempat saya belajar saat ini.

Karena itu, ketika ketua partai Kongres Sonia Gandhi menolak jadi PM India disaat 
kekuasaan itu ada  digenggamannya menjadi berita yg sangat menggemparkan. Banyak yg 
tidak percaya dan terhenyak kaget. Dicarilah berbagai alasan oleh kalangan lawan 
politiknya untuk deevaluasi langkah Sonia Gandhi tsb. Terlepas dari segala kontroversi 
tsb, dua hal yg jelas: bahwa ia menjadi satu-satunya pemimpin India yg menolak jabatan 
PM dua kali; pertama, ketika suaminya, Rajiv Gandhi tewas kena bom bunuh diri, kedua, 
saat dia jadi pemimpin partai Kongres. 

Kembali pada Indonesia, kapan kita memiliki pemimpin bermartabat dan tulus semacam 
Sonia Gandhi yg cukup puas karena telah mengalahkan partai fundamentalis BJP dan tidak 
berambisi memegang tampuk kekuasaan? Yg spirit utamanya hanya untuk mempersolid 
barisan nasional kebangsaan yg penuh toleransi pada semua rakyat dan mengakui realitas 
perbedaan? Yg cukup puas dg melihat kekalahan partai ultranasional hindu -- yg 
antiplurasime dan ingin menegasikan peradaban (baca: agama)selain Hindu?

Mungkin harapan ini terlalu muluk sekarang. Tapi, setidaknya ini bisa diawali dg sikap 
awal yg tipikal dilakukan manajer sepakbola Eropa: mundurlah apabila merasa tidak 
mampu, apabila terlibat skandal, apabila terlibat kasus kejahatan/kriminal. Tapi, 
mungkinkah?
Razi (Putra Riau)

Minggu, 26 September 2004

Martabat Pemimpin 

Oleh : Haedar Nashir 
http://www.republika.co.id/ASP/kolom.asp?kat_id=49

Einsenhower tak ingin berkuasa lama. Ketika reputasinya menjulang tinggi dan rakyat 
Amerika Serikat mengeluk-elukannya untuk memimpin kembali Amerika Serikat, dia justru 
bikin kejutan. Presiden AS itu tak mau lagi mencalonkan diri, bahkan mengajukan 
pembatasan masa jabatan. Sejak itu presiden AS hanya boleh menjabat maksimal dua kali, 
yang kemudian menjadi pola umum sirkulasi kekuasaan di negara-negara demokrasi modern. 
Itulah kecerdasan sekaligus kearifan selaku negarawan yang dimiliki Eisenhower. Ada 
peluang berkuasa, tetapi melepaskannya demi masa depan bangsa dan negara. Dia 
mengajarkan moral berpolitik yang elok, berkuasa untuk melepaskan. Dia memiliki 
martabat sebagai pemimpin bangsa.

Bagaimana dengan para pemimpin di Indonesia? Pengalaman sejarah justru sebaliknya. 
Serba ingin melanggengkan kekuasaan. Soekarno yang dikenal salah seorang the founding 
fathers dan proklamator terkemuka, bahkan harus merancang kekuasaan presiden seumur 
hidup. Soeharto dengan gayanya yang khas, menjadi presiden setiap lima tahun sekali 
hingga 32 tahun. Keduanya berjasa untuk bangsa dan negara, tetapi mengakhiri 
kekuasaannya dengan tragis. Keduanya terhempas oleh revolusi rakyat karena hasrat 
absolutisme kekuasaan yang tak terbendung. 

Keduanya tak memiliki kearifan kenegarawanan sebagaimana Eishenhower. Di belakang 
hari, ternyata hasrat untuk berkuasa minus kearifan kenegarawanan seolah menjadi watak 
para elite politik di negeri ini. Jangankan karena keberhasilan, bahkan gagal pun tak 
malu diri untuk terus menduduki jabatan. Lebih ironis lagi, ketika telah terbukti 
gagal dan kemudian dilengserkan secara tak terhormat, masih juga mencalonkan diri 
untuk menduduki singgasana kekuasaan. Alasannya demi demokrasi. Itulah jika demokrasi 
dan kekuasaan sekadar gumpalan pikiran instrumental, semuanya menjadi serba 
power-over. Politik dan politisi sekadar mengabdi pada dirinya sendiri. Sama sekali 
tak bersentuhan dengan pemgkhidmatan tulus untuk bangsa dan negara. Juga tak menyentuh 
etika dan kearifan kenegarawanan. Dunia politik dan kekuasaan akhirnya menjadi ladang 
perburuan yang sarat ambisi meluap-luap. Bahkan terkesan agak primitif. 

Di negeri ini tak ada presiden, menteri, dan pejabat publik yang dengan rela hati 
mundur karena gagal atau terkena sekandal. Di dunia lain pun seperti dunia olahraga 
nyaris sama. Selalu ada pembenar untuk bertahan dan bebas dari jeratan kesalahan serta 
akuntabilitas publik. Selalu pandai berkelit dengan berbagai basa-basi dan retorika 
yang kelihatan bagus tetapi sesat dan menyesatkan. Tak ada lagi etika dan kearifan 
yang tersisa. Bahkan yang kemudian muncul ialah kebohongan dan pembodohan publik, lalu 
bertingkah aneh-aneh dan bikin gaduh. Berpolitik menjadi terkesan ugal-ugalan dan 
bebal. Celakanya, dalam suasana yang tak sedap seperti itu, masih juga mengobral 
isu-isu demokrasi, kejujuran, kebenaran, keadilan, dan demi bangsa dan negara. Sudah 
sesat jalan dan menyesatkan, masih juga merasa pembawa panji kebenaran. Jika salah di 
hadapan publik, dengan ringan melepas beban, begitu saja repot. Aset negara lepas satu 
persatu pun seperti tak menjadi beban berat, malah bisa bagi-b
 agi uang ke siapa saja yang mau beri dukungan politik. Di masa kampanye uang dan 
senyum para pemimpin seperti murah untuk rakyat, setelah itu semua kembali jadi biasa. 
Nyaris sulit menemukan mutiara keteladanan dan martabat kepemimpinan.

Demi kekuasaan tak mengherankan jika muncul keganjilan-keganjilan para elite yang 
menyesatkan nalar publik. Katanya golput, tapi ngelencer dukung sana-sini tanpa beban 
apa pun di hadapan publik. Katanya mau berhenti, tapi masih pula ingin bertahta. 
Katanya mau oposisi, tetapi pagi-pagi sudah mendeklarasikan dukungan politik dengan 
khidmat. Katanya mau memberantas korupsi, tetapi kanan-kiri dan depan-belakang tak 
diberantas dulu, jangan-jangan malah tak bersih-diri. Gagal pun masih dianggap 
berhasil, malah mengumumkan kesuksesan. Katanya tak suka politik dan lebih suka 
kultural, namun calon sana calon sini, dukung sana dukung sini, dengan gairah politik 
yang melebihi politisi. Berbagai macam dalih, idiom, dan retorika yang sarat ambigu 
dan paradoks pun dicampur-aduk jadi kebiasaan berpikir dan bertingkah laku. Lalu, tak 
ada lagi standar benar-salah, baik-buruk, dan pantas atau tidak pantas, yang ada 
adalah perburuan kekuasaan dengan nafsu merah menyala. Politik akhirnya jadi p
 anglima. Mudah-mudahan tak jadi berhala baru.

Mungkin biarkanlah berbagai logika yang aneh-aneh, paradoks, dan bahkan menyesatkan 
tumbuh-mekar di Republik ini. Ditentang pun malah dianggap tak sampai maqom. Bangsa 
Indonesia kan terkenal gemar hal-hal paranormal. Keanehan atau ketaklaziman malah 
sering dimitoskan menjadi semacam tahayul baru. Tahayul tentang kehebatan sang 
pemimpin dan pentingnya meraih kekuasaan lewat jalur segala cara pun seperti jadi 
tradisi politik. Kataklaziman bahkan diproduksi dan diwariskan ke generasi berikutnya, 
dengan penuh kebanggaan. Orang Islam malah memiliki mitos religio-magis tentang Wali, 
sosok yang boleh bertingkah apa pun di luar kelaziman. Pembaru atau mujadid itu harus 
aneh-aneh. Semakin aneh dan tak lazim, kian sakral mitos dan derajat kewalian dan 
kepembaruannya. 

Rakyat pun dibiarkan berkubang dalam hegemoni dan ideologi yang tak lazim itu. Laiknya 
sinetron dunia gaib, publik di negeri ini terus dibikin gemar akan hal-hal yang aneh 
bin ajaib dan tak masuk akal. Ratingnya malah jadi tinggi. Maka lengkaplah, para 
pemimpinnya suka yang nyleneh, paradoks, dan sepi kearifan. Sedangkan rakyatnya jadi 
pembebek. Semoga saja negeri ini tak berubah jadi Republik paranormal dan paranoid 
dalam selimut mabuk cinta kuasa dan tingkah kontroversial. Kini negeri ini telah 
memiliki sistem pemilihan dan sirkulasi kekuasaan yang lebih baik. Tanggal 20 Oktober 
2004 bahkan secara resmi telah lahir presiden dan wakil presiden baru hasil pemilihan 
langsung. Lahir pula institusi baru yang bernama DPD yang bersama DPR hasil pemilihan 
sistem proporsional terbuka untuk mengisi sistem politik baru yang lebih demokratik 
itu. Namun semuanya tak akan berubah banyak jika tidak disertai perubahan perilaku 
elite dan para pimpinan politik di negeri ini. 

Bangunan kekuasaan baru itu bukan hanya memerlukan transformasi sistem, tetapi juga 
tak kalah pentingnya perubahan perilaku manusianya. Lebih-lebih jika perilaku itu 
menyangkut para pemimpin, sungguh sangat menentukan, apakah itu baik atau sebaliknya 
buruk. Perilaku pemimpin akan mempengaruhi rakyatnya. Jika para pemimpinnya bertingkah 
ugal-ugalan, gila kuasa, dan hilang kearifan maka kepada siapa rakyat harus mengambil 
teladan? Bukankah kata pepetah, ikan busuk dimulai dari kepala?

Sejak 20 Oktober 2004 sampai lima tahun mendatang bangsa ini akan menagih pemimpinnya. 
Janji, citra kearifan, dan isu perubahan tengah dan akan terus dihisab rakyat. Adakah 
serba kebajikan yang dicitrakan pemimpinnya benar-benar nyata atau sekadar citra semu? 
Akankah bangsa ini benar-benar berubah jadi lebih maju, lebih adil, lebih aman, lebih 
sejahtera, dan lebih tercerahkan atau sebaliknya? Adakah para pejabat publik hasil 
Pemilu 2004 yang melelahkan itu benar-benar berkhidmat untuk rakyat atau untuk diri 
dan kroninya? Akankah Indonesia menjadi negeri berdaulat dan bermartabat di hadapan 
dunia internasional? Adakah para elite di Senayan pun akan benar-benar memperjuangkan 
nasib rakyat atau mereka terus sibuk saling tukar-menukar cendara mata politik dan 
berburu kuasa belaka? Berbagai tagihan politik akan bermunculan karena pada hakikatnya 
kekuasaan yang diberikan rakyat itu adalah utang dan amanat yang harus dibayar. Bukan 
barang gratis.

Indonesia ke depan sungguh memerlukan pemimpin yang bukan hanya cerdas dan cakap, 
tetapi juga arif-bijaksana dan sanggup mengkhidmatkan diri sebesar-besarnya untuk 
kepentingan bangsa. Bukan pemimpin yang urakan dan gemar bersiasat. Apalagi hanya 
pemimpin pemburu kuasa dengan mengorbankan etika dan hajat hidup publik. Bukan pula 
pemimpin yang bebal dan tak tahu harus berbuat apa. Bangsa ini sudah terlalu lelah 
dengan ulah elite dan pemimpin yang hanya gemar membikin gaduh dan membingungkan 
rakyat, juga pemimpin yang tak memberikan harapan. Jika berkata memperjuangkan 
demokrasi, maka berdemokrasilah secara tulus dan nyata sebagaimana laiknya demokrat 
sejati. Jika mengatakan demi bangsa dan negara, berkhidmatlah untuk bangsa dan negara 
secara nirpamrih laiknya pemimpin pejuang. Jika berjanji, penuhilah sebagai amanah dan 
utang kepada rakyat bahkan kepada Tuhan. Pemimpin itu harus menjadi uswah hasanah, 
bukan uswah syayi'ah. 

Luruskan kata dan perbuatan, jangan banyak retorika dan penghindaran diri dari 
tanggung jawab ketika gagal. Kalau bertindak salah, belajarlah untuk berterus terang 
dan bertanggung jawab. Bersikap dan bertindaklah secara otentik, tidak penuh topeng 
dan muslihat busuk. Di situlah muru'ah dan martabat pemimpin sejati. Pemimpin sebagai 
negarawan!


Khairurrazi
Aligarh Muslim University
Uttar Pradesh, India

-- 
India.com free e-mail - www.india.com. 
Check out our value-added Premium features, such as an extra 20MB for mail storage, 
POP3, e-mail forwarding, and ads-free mailboxes!

Powered by Outblaze


------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
$9.95 domain names from Yahoo!. Register anything.
http://us.click.yahoo.com/J8kdrA/y20IAA/yQLSAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih 
Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppiindia.shyper.com
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Posting: [EMAIL PROTECTED]
5. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
6. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
7. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke