--- In koran-sastra <[EMAIL PROTECTED]> wrote: http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=133543
Jawa Pos Selasa, 05 Okt 2004, HAM di Bawah SBY-Kalla Oleh Hendardi * Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla (SBY-JK) hampir pasti terpilih menjadi presiden dan wakil presiden RI. Terlepas dari serangkaian kelemahan pelaksanaan pemilu, mereka tidak hanya menjadi pasangan calon presiden dan wakil presiden yang menang melalui pemilu. Tetapi, mereka sekaligus berwenang membentuk pemerintahan baru. Dengan segera dibentuknya pemerintahan baru, serangkaian persoalan HAM -tidak hanya hak-hak sipil dan politik, tetapi juga hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya- memang perlu dipertalikan dengan harapan atas pelaksanaan kewajiban serta tanggung jawab yang dibebankan kepada pemerintah yang bersangkutan. Impunitas Persoalan hak-hak sipil dan politik yang dihadapi korban (victims) di bawah pemerintahan baru tak hanya masih banyaknya pelanggaran HAM pada masa lalu (pas human right abuse), melainkan juga kasus-kasus yang hingga hari ini semakin menumpuk. Termasuk, keraguan atas pelaksanaan pengadilan ad hoc dan permanen. Banyak kasus pelanggaran hak sipil dan politik yang menjadi tanggung jawab negara (state responsibility). Mulai hak atas kemerdekaan menyampaikan pendapat sampai hak untuk tidak disiksa dan hak untuk hidup. Pelanggaran yang terjadi bisa secara langsung atau melalui tindakan (violation by action) serta bisa melalui pembiaran (violation by omission). Pengalaman di bawah rezim Soeharto, pelanggaran HAM banyak dilakukan melalui tindakan. Aparat sangat aktif melakukan pembatasan (limitation), pengekangan (restriction), dan penundaan (derogation). Bahkan, pemerintah menangkap dan menahan secara sewenang-wenang (arbitrary arrest and detention) dan menyiksa (torture) serta membunuh di luar proses hukum (extra-judicial killing). Pelanggaran tersebut ditopang berbagai perangkat serta kekuasaan hukum (violation by judicial). Tetapi, kini berbagai kasus pelanggaran HAM justru kian dikhawatirkan dengan terus berlangsungnya pembebasan dari proses hukum (impunity). Pelanggaran tak sekadar dilakukan negara secara langsung, melainkan menonjol melalui pembiaran. Memang, perlakuan kejam dan penyiksaan aparat penegak hukum masih banyak terjadi. Tapi, banyak pula pelaku kejahatan yang menikmati impunitas. Selain kasus-kasus kejahatan dan pelanggaran pada masa lalu, banyak pula berlangsung kejahatan korupsi atau perebutan lahan tanpa diproses secara hukum atau prosesnya diragukan. Para pelaku kejahatan tidak hanya bebas dari hukuman, tapi juga masih berkeliaran dengan kemungkinan mengulangi perbuatannya pada masa mendatang. Meningkatnya berbagai bentuk dan cara melakukan kejahatan, termasuk yang berlatar politik maupun terorisme, memang memupuskan rasa aman dalam masyarakat. Kegagalan aparat keamanan memberantas atau mengungkap kasusnya dengan tuntas tetap akan menjadi ancaman bagi orang-orang yang tak bersalah sebagai korban kejahatan tersebut. Sementara itu, sebagai upaya mengakhiri pergolakan daerah, baik yang dituduh separatis maupun konflik komunal, telah menjadi pembenaran bagi tindakan aparat negara terhadap pihak yang berseberangan atau pihak-pihak yang bertikai. Pengalaman di Maluku, Aceh, Poso, dan Papua telah menunjukkan bahwa violation by action sering terjadi. Impunitas berarti pemerintah telah membiarkan para korban pelanggaran hak-hak asasi manusia dan kejahatan menghadapi nasib tanpa mendapatkan pemulihan hak-haknya. Upaya korban untuk menuntut keadilan masih terus diabaikan. Impunitas itulah yang menjadi persoalan penting hak-hak sipil dan politik yang akan menjadi beban berat bagi pemerintahan mendatang. Hak atas Pekerjaan Selain impunitas, pemerintahan baru segera menghadapi persoalan hak- hak ekonomi yang sejak 1998 terus mendera negeri ini. Situasi ekonomi masih tetap mewarisi struktur Orde Baru serta krisis yang menghantamnya. Situasi itu tetap sulit membersihkan ekonomi dari pola patronase bisnis dan korupsi. Pemerintah baru akan menemui isu strategis mengenai cara melakukan regulasi dan investasi yang efektif bagi kekuatan ekonomi nasional. Persoalan tersebut jelas perlu diletakkan pertaliannya dengan krisis dan pemulihan ekonomi dalam kerangka hak-hak ekonomi, sosial, serta budaya. Akibat krisis telah membuat pendapatan per kapita merosot, banyak orang kehilangan pekerjaan, jumlah penduduk miskin meningkat, banyak orang tak punya jaminan sosial, kehilangan rumah, menderita rawan pangan, anak putus sekolah dan tanpa perlindungan, rusaknya lingkungan hidup, mahalnya biaya kesehatan, serta masih banyaknya kasus kematian ibu dan anak. Sebagian upaya yang dilakukan pemerintah dalam memulihkan krisis adalah memberlakukan kebijakan pengurangan subsidi serta penjualan aset BUMN atau yang ada di tangan pemerintah. Tapi, pengalihan subsidi ternyata tak memberikan dampak berarti seperti pendidikan dan beras rakyat miskin. Pola regulasi dan investasi yang diterapkan tetap tak banyak berubah. Sulitnya mengembangkan investasi di sektor-sektor yang produktif seperti agro industri dan manufaktur mengakibatkan pemerintah terus-menerus harus menghadapi persoalan pengangguran. Angka sekitar 40 juta orang sering dikritik sebagai gagalnya pemerintah mengurangi pengangguran. Itu belum ditambah ketidakpastian pekerjaan dalam sektor informal. Pemulihan ekonomi yang dijalankan pemerintah memang kurang didasarkan pada penekanan pelaksanaan kewajiban untuk memenuhi hak tas pekerjaan penduduk. Banyak tudingan bahwa elite negara dan pemerintah sibuk berbagi serta mempertahankan kekuasaan, memperbesar KKN, dan mengupayakan mereka bebas dari jerat hukum. Sehingga, kegagalan menunaikan tugasnya tidak hanya memperluas kesempatan ekrja, tapi juga regulasi investasi yang efektif. Memang, pengangguran adalah keadaan umum di semua negeri. Tapi, 40 juta penduduk negeri ini menganggur dan masih ditambah ketidakpastian puluhan juta orang lainnya di sektor informal adalah sungguh mengkhawatirkan. Dampak ikutannya bisa berkembang melalui gejolak sosial dan kriminalitas. Kondisi itu jelas belum normal. Padahal, pekerjaan merupakan hak yang paling dibutuhkan setiap orang. Tanpa bekerja, tidak hanya produktivitasnya yang hilang, tapi juga tak memiliki pendapatan. Hanya dengan bekerja mereka mendapatkan upah atau gaji untuk digunakan memenuhi kebutuhan seperti membeli pangan dan membiayai pendidikan anak. Tantangan pemerintahan baru adalah menerapkan strategi regulasi investasi sembari menekankan kewajiban dalam memenuhi hak atas pekerjaan bagi rakyatnya. Langkah pemenuhan hak tersebut -berdasar pada yang beberapa bulan ini disuarakan- bertujuan mengurangi jarak antara slogan dan realitas. * HENDARDI, ketua Majelis Anggota PBHI, Jakarta --- End forwarded message --- ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> $9.95 domain names from Yahoo!. Register anything. http://us.click.yahoo.com/J8kdrA/y20IAA/yQLSAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppiindia.shyper.com *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Posting: [EMAIL PROTECTED] 5. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 6. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 7. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/