Hidayatullah.com, Jumat, 22 Oktober 2004
      Tafsir Bukanlah Hermeneutik
      Tafsir tidak identik dengan hermeneutika Yunani, juga tidak
identik dengan hermeneutika Kristen, dan tidak juga sama dengan ilmu
interpretasi kitab suci dari kultur dan agama lain

      Oleh:
      Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud*)

      Al-Attas mungkin adalah sarjana Muslim kontemporer pertama yang
telah memahami keunikan sifat ilmu Tafsir dan membedakannya dari konsep
dan praktek Barat tentang hermeneutik, baik yang bersumber dari Kitab
Bible atau teks-teks lainnya. Dalam hal ini al-Attas berbeda secara
substantif dari Fazlur Rahman dan modernis atau post-modernis Muslim
lainnya seperti Arkoun, Hasan Hanafi dan A.Karim Soroush. Pada
Konferensi Dunia Kedua Pendidikan Islam (Second World Conference on
Muslim Education) di Islamabad, al-Attas menggaris bawahi bahwa ilmu
pertama dikalangan ummat Islam - ilmu Tafsir - menjadi mungkin dan
menjadi kenyataan karena sifat ilmiah struktur Bahasa Arab.

      Tafsir "benar-benar tidak identik dengan hermeneutika Yunani,
juga tidak identik dengan hermeneutika Kristen, dan tidak juga sama
dengan ilmu interpretasi kitab suci dari kultur dan agama lain."

      Ilmu Tafsir al-Qur'an adalah penting karena ini benar-benar
merupakan ilmu asas yang diatasnya dibangun keseluruhan struktur,
tujuan, pengertian pandangan dan kebudayaan agama Islam. Itulah
sebabnya mengapa al-Tabari (wafat 923 M) menganggapnya sebagai yang
terpenting dibanding dengan seluruh pengetahuan dan ilmu. Ini adalah
ilmu yang dipergunakan ummat Islam untuk memahami pengertian dan ajaran
Kitab suci al-Qur'an, hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya.

      Tafsir adalah satu-satunya ilmu yang berhubungan langsung dengan
Nabi, sebab Nabi telah diperintahkan oleh Allah swt untuk menyampaikan
risalah kenabian, seperti yang terbukti dari ayat ini: "Agar kamu
(Muhammad) dapat menjelaskan kepada manusia apa-apa yang diturunkan
kepada mereka." Karena al-Qur'an diturunkan dalam Bahasa Arab dengan
mengikuti cara-cara retorika orang-orang Arab, maka orang-orang yang
hidup sezaman dengan Nabi memahami makna ayat al-Qur'an serta situasi
ketika diturunkannya (sha'n dan asbab al-nuzul). Meskipun demikian,
terdapat aspek-aspek ayat dan ajaran al-Qur'an yang memerlukan
penjelasan dan penafsiran dari Nabi, baik secara verbal ataupun tingkah
laku yang kemudian menjadi sunnah.

      Sebenarnya, dalam beberapa koleksi hadith terdapat bab khusus
yang membahas tentang penafsiran al-Qur'an yang disebut kitab atau bab
al-tafsir. Pengetahuan tentang hadith dan sunnah menjadi salah satu
prasyarat yang asasi bagi pemahaman dan penafsiran al-Qur'an. Prasyarat
lain, menurut al-Suyuthi, adalah pengetahuan ilmu linguistik Arab,
seperti lexicografi, Tatabahasa, Konjugasi dan retorika, ilmu Fiqih,
pengetahuan tentang berbagai macam bacaan al-Qur'an, ilmu Asbabunnuzul
(sebab-sebab turunnya), dan ilmu Nasikh Mansukh.

      Penafsiran dan penjelasan al-Qur'an seperti yang dibahas diatas,
kebanyakan berdasarkan pada analisa semantik dengan pertimbangan latar
belakang sosio-historis agar dapat memperoleh pengertian yang tepat.
Kebenaran tentang ayat-ayat al-Qur'an tentang metafisika, hukum-hukum
sosial dan sains tidaklah terbatas pada kondisi sosial historis ketika
diturunkannya. Semua pertimbangan ini, yang seluruhnya berdasarkan pada
sifat ilmiah Bahasa Arab dan adanya dukungan sejarah yang otentik,
telah membantu menghasilkan Tafsir-tafsir al-Qur'an yang otoritatif
yang tidak terdapat dalam tradisi-tradisi kitab suci lainnya. Sebagai
contoh, dalam membandingkan al-Qur'an dengan kitab suci Hindu, Crollius
mencatat bahwa analisa semantik lebih berkembang dalam kajian al-Qur'an
dibandingkan dengan Kitab-kitab suci Hindu.

      Ia menambahkan:

      Alasannya adalah bahwa al-Qur'an dari sudut pandang linguistik,
menyuguhkan suatu kesatuan yang lebih besar dibandingkan dengan
kitab-kitab suci Hindu. Selain itu beberapa situasi dalam al-Qur'an
harus difahami dalam konteks latar belakang situasi keagamaan dimana
penyebaran al-Qur'an berlangsung. Setting kesejarahan yang dapat
diidentifikasi secara jelas hampir-hampir tidak ada pada sebahagian
besar kitab-kitab suci Hindu. Ringkasnya, arti istilah-istilah
al-Qur'an telah dijelaskan secara otoritatif oleh para ahli Tafsir
Muslim. Tafsir otoritatif yang seperti ini tidak terdapat dalam agama
Hindu.

      Dari gambaran singkat diatas, sangatlah jelas bahwa 'Ulum
al-Tafsir atau ilmu penafsiran al-Qur'an sangat berbeda dari
hermeneutik atau ilmu penafsiran kitab-kitab Yunani, Kristen atau
tradisi agama lain. Dasar yang sangat fundamental dari
perbedaan-perbedaan itu terletak pada konsepsi tentang sifat dan
otoritas teks serta keotentikan dan kepermanenan bahasa dan pengertian
kitab suci itu.

      Ummat Islam secara universal mengakui al-Qur'an sebagai kata-kata
Tuhan yang diwahyukan secara verbatim kepada Nabi, dan banyak yang
menghafal dan menulis ayat-ayatnya ketika Nabi hidup. Adanya berbagai
variasi bacaan al-Qur'an telah diketahui dan diakui oleh orang-orang
terdahulu yang berwenang sebagai tidak penting: semua itu berbeda hanya
dalam kata-kata yang mengandung pengertian yang sama.

      Sebaliknya, orang-orang Yunani, seperti juga orang-orang Hindu,
tidak pernah mempercayai sebarang Nabi atau wahyu. Pandangan keagamaan,
tradisi dan adat istiadat orang Yunani kebanyakannya berdasarkan pada
mitologi dan puisi, khususnya oleh Homer dan Hesiod, dan pada spekulasi
filosof-filosof mereka yang bermacam-macam. Penafsiran-penafsiran
mitologi dan puisi boleh jadi sangat subyektif atau ditentukan oleh
kondisi politik keagamaan yang berlaku. Metode terpenting yang
digunakan secara alami adalah metode kiasan (allegory), suatu tradisi
di Yunani yang di prakarsai oleh Theagenes dari Rhegium (Abad ke 6 SM).
Panafsiran kiasan (allegorical interpretation), umumnya melibatkan
penolakan literer atau meninggalkannya sama sekali.

      Theagenes mempergunakan metode tersebut dalam menafsirkan Homer
untuk melawan musuh-musuh teologis Homer dengan menafsirkan nama-nama
tuhan untuk menunjukkan berbagai hakekat jiwa dan perjuangannya yang
konstan menghadapi elemen-elemen alam. Kaum Stoic kemudian menjelaskan
penggunaan Cynics dalam kiasan Homer untuk kepentingan suatu sistim
filsafat. Yang agak menakjubkan adalah bahwa filsafat-filsafat Yunani
telah menghasilkan penafsiran yang tak terhitung jumlahnya dan
seringkali bertentangan secara mendasar.

      Bible berbahasa Hebrew (atau materi-materi yang membentuk
Perjanjian Lama), menurut para cendekiawan mereka, tidaklah dibangun
sepenuhnya atas dasar ilmiah historis yang menunjukkan keasliannya,
tapi berdasarkan pada keimanan belaka. Seperti yang dinyatakan oleh
seorang cendekiwan: Teks Hebrew yang sekarang berada di tangan kita
memiliki satu kekhususan: meski usianya yang cukup lama, ia datang
kepada kita dalam bentuk manuskrip-manuskrip yang agak terlambat, oleh
sebab itu dengan perjalanan waktu (lebih kurang hingga seribu tahun)
telah banyak berubah dari aslinya)..tidak ada satupun dari
manuskrip-manuskrip itu yang (datang) lebih awal dari abad kesembilan
Masehi.

      Sehubungan dengan kitab Perjanjian Lama (Old Testament), dapatlah
disimpulkan bahwa, meskipun perbedaan-perbedaan itu tidak lagi wujud,
namun kesalahannya tetap tersembunyi, dan jika ada kesalahan yang
seperti itu ia dapat dikoreksi hanya dengan pembetulan spekulatif (yang
bahayanya).. sudah terkenal dan jelas.[aslinya italic].

      Kehadiran kitab suci secara terlambat, sebenarnya tidaklah dengan
sendirinya berarti negatif, jika semua isinya dihafal secara sempurna
oleh sejumlah besar orang-orang yang sezaman dengan Yesus dan yang
dedikasinya dapat dipercaya. Dengan begitu secara praktis mustahil
terjadi kesalahan, seperti dalam kasus al-Qur'an.

      Kitab Perjanjian Baru juga mempunyai masalah yang sama dengan
Bible Hebrew. Kitab-kitab ini, khususnya gospel, ditulis setelah zaman
Yesus dalam bahasa Yunani, yang dia sendiri sangat tidak mungkin
berbicara dengan bahasa itu. Lagi pula, hal ini diakui oleh pihak yang
berwenang dan terkenal dalam Kristen bahwa tujuan penulis-penulis
gospel tidak untuk menulis sejarah yang obyektif tapi untuk
tujuan-tujuan penyebaran agama Nasrani (evangelisme), yang
sebahagiannya mengakibatkan kepada penafsiran-penafsiran allegoris yang
berlebihan. Diakui pula bahwa salinan-salinan literatur Bible
selanjutnya mengalami penyuntingan-penyuntingan reguler agar sesuai
dengan kebutuhan dan zaman yang berubah.

      Masalah di dalam penafsiran dan pemahaman ajaran-ajaran Yesus
yang ditimbulkan oleh absennya pernyataan-pernyataannya yang asli
secara permanen sangatlah jelas dan tidak perlu penjelasan lebih
lanjut.

      Alasan mengapa penulis-penulis Kristen awal memilih untuk menulis
dalam bahasa Yunani ketimbang bahasa Armaic, yang merupakan bahasa asli
Yesus yang historis, masih sejalan dengan kecenderungan evangelistis.
Diduga bahwa bahasa Yunani dapat diadapsikan dan digunakan dengan baik
bagi kepentingan agama Kristen. Hal ini bukan hanya karena bahasa itu
digunakan secara luas pada masa kemudian, tapi juga karena bahasa itu
menyediakan suatu medium yang kaya dan fleksible yang tanpanya
kebenaran Kristiani tidak dapat menemukan ekspresi yang cocok. Bahasa
Yunani dapat mengekspresikan berbagai nuansa makna dengan pembedaan
yang halus, dan sebagiannya kaya dengan istilah-istilah keagamaan,
etika dan filsafat yang diadapsikan untuk kegunaan bahasa Perjanjian
Baru dan teologi Kristen. Perlu dicatat bahwa sehubungan dengan bahasa
evangelis ini telah terjadi hal yang sebaliknya dalam sejarah Islam.

      Sejauh pengetahuan saya, al-Attas adalah cendekiawan pertama yang
mencatat dan menjelaskan masalah yang sangat fundamental ini. Ketika
Islam datang ke dunia Melayu melalui usaha-usaha para ulama dan
saudagar Islam pada awal abad ke 12 M, mereka sengaja memilih bahasa
Melalyu dan mempropagandakan pemakaiannya sebagai lingua franca
dikawasan itu serta mengembangkannya menjadi bahasa keagamaan dan
kesusasteran menggantikan Bahasa Jawa kuno atau Sanskrit, yang
terminologi-terminologi keagamaan, etika dan filsafatnya diwarnai
secara kental oleh pandangan hidup Hindu Budda.

      Bahasa Melayu saat itu belumlah dipakai dikebanyakan kawasan itu,
ia hanya terbatas pada sedikit daerah-daerah komersial di pinggiran
pantai.

      Kasus yang sama telah terjadi lebih awal lagi ketika Islam datang
ke Iran dan ke anak benua India. Meskipun Muslim Arab yang memasuki
Persia pada sekitar tahun 900 M, memilih untuk menggunakan bahasa
Pahlavi yang telah ada dan yang merupakan medium bagi agama Zoroaster,
namun mereka mengganti tulisan Pahlavi yang usang itu dengan tulisan
Arab. Oleh karena "Iran telah kemasukan agama dan jalan hidup orang
Arab hingga ke urat nadinya" seperti yang dinyatakan oleh Noldeke, maka
konsekuensinya yang nyata adalah bahwa kesusasteran dan percakapan Arab
dipraktekkan dengan pengaruh yang sangat kuat terhadap bahasa Persia,
khususnya dalam bahasa tulisannya, sehingga tidak ada kata-kata Arab
yang tidak dapat digabungkan dengan bahasa Persia yang baik. Di India,
orang-orang Islam tidak menggunakan bahasa Sanskrit yang merupakan
bahasa kitab suci agama Hindu, atau bahasa Pali agama Buddha; mereka
lebih cenderung memperkenalkan bahasa Persia.

      Mereka kemudian mengembangkan bahasa Urdu yang kebanyakan
bedasarkan pada bahasa Persia dan Arab, meskipun tatabahasa dan
strukturnya diambil dari bahasa Hindi.

      Sebelum kita mengetrapkan secara tepat hikmah (wisdom) khusus dan
umum yang terdapat dalam kitab suci ke dalam situasi sosio-historis
yang berbeda-beda, pertama-tama kita harus memahami secara benar
pengertian-pengertian yang orisinal ayat-ayat dalam kitab suci itu.
Disini jelas bahwa pengetahuan tentang pengertian-pengertian yang
orisinil dalam kitab-kitab suci Yahudi dan Kristen tidak dapat
diperoleh, dan pada gilirannya akan memberikan jalan bagi suatu
perkembangan yang oleh Gray disebut dengan "metode yang tidak sehat"
dalam penafsiran:

      (1) Penafsiran allegoris seperti yang dianut oleh Philo
(meninggal sekitar 50 SM) dari agama Yahudi, Origen (meninggal sekitar
254 M) dan Jerome (meninggal 420 M) dari agama Kristen dikenal hingga
Reformasi pada abad ke 16. Metode Philo sebenarnya diambil dari tradisi
allegoris Yunani yang metodenya juga berpengaruh panjang terhadap
metode penafsiran dalam agama Kristen dari sejak zaman Alexandria dan
seterusnya. Pada zaman Pertengahan Latin para pendeta dari gereja Latin
kemudian mentransfer metode ini ke dalam tafsir Perjanjian Baru.

      (2) Metode dogmatis yang berusaha untuk menghukumi dan
mengevaluasi semua interpretasi kitab suci menurut tradisi-tradisi
gereja yang diberi otoritas dengan mudah tanpa cacat. Kaum Protestan,
yang dipimpin oleh Luther, Zwingli, Melancthon dan Calvin pada abad ke
17 menolak kedudukan otoritas yang seperti itu dan berusaha untuk
mengikuti otoritas tanpa cacat itu bukan dari gereja tapi hanya dari
teks-teks kitab suci itu. Tapi karena teks-teks kitab suci itu tidak
orisinal, terpaksa mereka menggunakan penafsiran sejarah.

      Dalam hal ini perlu disebutkan bahwa kajian-kajian filosofis dan
grammatikal yang ditrapkan terhadap penjelasan Bible sejak zaman
pertengahan, khususnya terhadap Perjanjian Lama, dipengaruhi oleh hasil
hubungan kultural dengan orang-orang Islam dan perkenalan mereka dengan
retorika dan grammatika Bahasa Arab. Cendekiawan besar Yahudi, Sa'adyah
Gaon (meninggal 942 M), seorang perintis kajian linguistik Yahudi,
adalah diantara mereka yang dipastikan terpengaruh oleh metodologi
kalam Arab-Islam. Seperti pendahulunya, Gaon telah terlibat dalam
proses penterjemahan kitab suci itu kedalam Bahasa Arab dan juga dalam
penulisan penjelasannya dalam bahasa yang sama, dan itu telah membuka
jalan bagi suatu kajian baru kitab Perjanjian Lama. Usaha-usahanya itu
telah mendorong tumbuhnya suatu pusat baru bagi kajian Bible dan
linguistik yang intensif di Spanyol, yang kemudian mempengaruhi kajian
Bible dalam Kristen. Fakta ini diakui oleh Josep Schmid yang menulis
bahwa: "Para cendekiawan Yahudi Abad Pertengahan telah menghasilkan
penjelasan-penjelasan kitab suci, karya-karya ketata-bahasaan dan
lexicografis dalam jumlah yang besar yang juga mempengaruhi ilmu
pengetahuan orang-orang Kristen tentang Bible. Solusi problem-problem
tentang historisitas dan pemahaman kitab suci Yahudi dan Kristen
nampaknya menemui jalan buntu, dan harus dijawab oleh generasi
mendatang dengan bukti-bukti dan argumentasi yang lebih baik.

      Hal ini diakui oleh seorang cendekiawan yang ahli dalam bidang
hermeneutik Bible yang dalam kesimpulan akhirnya menyatakan:"Persoalan
tentang prinsip penafsiran yang valid dan konsisten untuk Perjanjian
Lama dan Baru, serta penafsiran hukum secara keseluruhan, masih
memerlukan penyelidikan lebih lanjut."

      Berdasarkan pada penangkapannya yang ringkas tentang semangat dan
kecenderungan yang fundamental tentang hermeneutik dan pemahamannya
yang mendalam tentang keunikan karakter Tafsir sebagai ilmu, al-Attas
menggaris bawahi dengan perkataan yang pasti bahwa Tafsir adalah
benar-benar merupakan suatu metode ilmiah. Sebab Tafsir yang benar
adalah yang berdasarkan pada ilmu pengetahuan yang mapan tentang
"bidang-bidang" makna seperti yang disusun dalam bahasa Arab, diatur
dan diaplikasikan didalam al-Qur'an serta tercermin dalam Hadith dan
Sunnah.

      Maka dari itu, al-Attas menyatakan bahwa di dalam Tafsir tidak
ada ruang bagi terkaan atau dugaan yang gegabah, atau ruang bagi
interpretasi-interpretasi yang berdasarkan pada penafsiran atau
pemahaman yang subyektif atau yang berdasarkan hanya pada ide tentang
relativisme historis, seakan-akan perubahan semantik telah terjadi
dalam struktur-struktur konseptual kata-kata dan istilah-istilah yang
membentuk kosa-kata kitab suci ini.

      Tafsir al-Qur'an adalah interpretasi berdasarkan pada ilmu
pengetahuan yang mapan. Ia adalah kata benda infinitif yang
diderivasikan dari kata kerja transitif fassara yang, menurut lexicolog
Arab klassik, berarti menemukan, mendeteksi, mengungkapkan, memunculkan
atau membuka sesuatu yang tersembunyi; atau membuat sesuatu menjadi
jelas, nyata, atau gamblang; menerangkan, menjelaskan atau menafsirkan.
Disitu, tafsir, seperti yang diterapkan kedalam al-Qur'an, menunjukkan
arti "memperluas, menjelaskan, atau menginterpretasikan cerita yang
ada.. dalam al-Qur'an, dan memaklumkan pengertian kata-kata atau
ekspresi yang janggal, serta menjelaskan keadaan ketika ayat-ayat itu
diwahyukan." Pengertian Tafsir yang telah mapan adalah bahwa ia
berusaha memberikan arti melalui bukti nyata atau eksternal (dalalah
zahirah) sebagai bandingan dari bukti internal atau tersembunyi
(dalalah batinah) yang terkandung dalam ta'wil atau interpretasi yang
lebih mendalam.

      Penafsiran dan penjelasan kata-kata dan konsep-konsep yang sulit,
dalam al-Qur'an terdiri dari empat macam. Pertama, yang hanya diketahui
oleh Tuhan, seperti arti-arti huruf-huruf yang terputus (huruf
al-muqatta'at) yang muncul pada permulaan beberapa surah, informasi
tentang tanggal dan waktu seperti waktu atau saat Hari Kebangkitan atau
kemunculan kembali atau turunnya Nabi Isa, anak Maryam. Interpretasi
mengenai hal-hal ini hanya akan merupakan dugaan dan terkaan belaka.
Kedua, yang hanya dapat dijelaskan oleh Nabi, baik melalui teks (nass)
dari beliau, atau melalui petunjuk (dalalah) yang telah diberikan
kepadanya. Contoh tentang hal ini termasuk kewajiban agama yang
spesifik dan masalah hukum seperti hukum waris. Ketiga, aspek-aspek
yang dapat diinterpretasikan oleh mereka yang menguasai berbagai macam
aspek Bahasa Arab, seperti yang difahami oleh orang-orang Arab, dan
keempat, aspek-aspek yang dapat dijelaskan oleh ulama.

      Ulama yang mampu menafsirkan dan menjelaskan al-Qur'an adalah
mereka yang memiliki ilmu pengetahuan linguistik Bahasa Arab, seperti
lexicografi, tatabahasa, konjugasi dan retorika, pengetahuan hukum,
pengetahuan variasi bacaan al-Qur'an, pengetahuan tentang kondisi
ketika wahyu diturunkan, dan pengetahuan tentang ayat-ayat nasikh
mansukh (yang menghapuskan dan yang dihapuskan), serta pengetahuan
tentang hadith dan sunnah.

      Menafsirkan al-Qur'an tanpa memiliki ilmu pengetahuan yang
memadai dalam atau tentang hal-hal ini adalah identik dengan membuat
penafsiran sesuai dengan pendapat pribadi seseorang (tafsir
bi-l-ra'yi), yaitu yang dilarang, tanpa mempertimbangkan apakah
hasilnya itu benar atau salah. Suatu hadith Nabi seperti yang
diriwayatkan oleh Ibn Abbas, mengatakan:"Barangsiapa berbicara tentang
al-Qur'an sesuai dengan pendapat pribadinya (bi ra'yihi), dipersilahkan
untuk mengambil tempat duduknya di neraka." Seperti diriwayatkan oleh
Jundub, Nabi juga mengatakan:"Barangsiapa berbicara sesuai dengan
pendapat pribadinya tentang al-Qur'an dan ia benar adalah (tetap)
salah".

      Pandangan al-Attas ketika menyatakan bahwa "dalam Tafsir, tidak
ada ruang bagi terkaan atau dugaan yang gegabah...penafsiran atau
pemahaman yang subyektif yang berdasarkan hanya pada ide tentang
relativisme historis."tidak berarti bahwa kebiasaan-kebiasaan seperti
itu, yakni terkaan yang gegabah dan pemahaman yang subyektif, tidak
pernah dilakukan dalam berbagai karya Tafsir, sebab hal itu memang ada
dan akan terus ada. Meskipun begitu dugaan-dugaan dan penafsiran yang
subyektif itu dengan sendirinya dan pada kenyataannya bukanlah Tafsir,
walaupun itu merupakan karya besar yang diberi nama Tafsir. Tapi,
karena adanya syarat-syarat yang jelas dan diterima secara luas,
seperti yang disebutkan diatas, anggota masyarakat yang terdidik secara
Islami tentu dapat bersikap secara tepat ketika menghadapi berbagai
macam penafsiran al-Qur'an yang tidak bermutu dan tidak diakui itu.
Karena kenyataan bahwa ilmu-ilmu yang disebutkan diatas adalah
otoritatif dan telah dikodifikasikan serta dapat diperoleh dengan
mudah, maka ilmu Tafsir al-Qur'an adalah sesuatu yang telah
direalisasikan, dan karena itu tidak terbuka bagi generasi yang akan
datang untuk mengadakan perubahan-perubahan yang fundamental. Sudah
berang tentu generasi mendatang dapat memberi tambahan pengertian yang
lebih luas terhadap Tafsir otoritatif yang telah ada, khususnya dalam
aspek-aspek ilmu alam (natural sciences), tapi mereka tidak dapat
begitu saja mengesampingkan penjelasan-penjelasan spiritual, etik dan
hukum serta hubungan latar belakang historisnya. Persyaratan yang ketat
dalam menafsirkan al-Qur'an bukanlah suatu upaya untuk menjauhkan
al-Qur'an dari orang-orang Islam awam, tapi lebih merupakan suatu sikap
yang adil terhadapnya dan tentunya merupakan suatu mekanisme efektif
untuk meminimalkan masuknya kesalahan dan kebingungan. Daripada
membiarkan terjadinya liberalisasi penafsiran al-Qur'an yang
berdasarkan pada kejahilan, terkaan dan interes-interest pribadi dan
kelompok, Islam menggalakkan belajar dan pencarian ilmu pengetahuan
sebagai asas bagi pemahaman dan perkembangan agama, dengan meletakkan
persyaratan yang berakar pada ilmu pengetahuan dan entegritas moral.
Penekanan pada kriteria intelektualitas dan moralitas inilah yang
menjadikan tamaddun Islam bercirikan ilmu pengatahuan.

      Al-Attas mungkin satu-satunya intelektual Muslim kontemporer yang
mendukung dan menjelaskan relevansi "Tafsir dan Ta'wil yang permanen
sebagai metode pendekatan yang valid terhadap ilmu pengetahuan dan
metodologi ilmiah dalam rangka pengkajian kita tentang alam semesta
ini" dan dalam hubungannya yang integral dengan konsepsi Islam tentang
ilmu pengetahuan dan pendidikan. Metode ilmiah Tafsir, yang berkaitan
erat dengan penjelasan kami terdahulu tentang sifat ilmiah Bahasa Arab,
dapat dibuktikan dari kenyataan bahwa hasil-hasil dari kerja Tafsir
yang betul adalah ilmu pengetahuan yang pasti, sama pastinya dengan
ilmu eksak seperti ilmu fisika dan matematika. Kesalahan dapat terjadi
pada ilmu pasti sekalipun, baik dalam formulasi paradigma-paradigmanya
dan prosedur-prosedurnya atau dalam aplikasinya, atau pada keduanya,
tapi Tafsir sebagai ilmu eksak tidak mungkin salah, karena ia
berdasarkan pada aturan lingusitik dan bidang semantik tentang makna
yang mapan serta pandangan hidup al-Qur'an dan Sunnah Nabi yang sahih.
Tapi, Tafsir sebagai ilmu eksak tidak memberikan penjelasan yang final,
karena hal itu adalah termasuk dalam ruang lingkup ta'wil.

      Pandangan al-Attas tentang sifat ilmiah Tafsir adalah suatu
jawaban yang tajam terhadap pandangan yang menyesatkan para penulis
Muslim yang dipengaruhi secara langsung atau tidak langsung oleh
perkembangan-perkembangan yang terjadi dalam sejarah sains dan
sosiologi ilmu pengetahuan, dan juga oleh perkembangan umum
hermeneutik. Pada intinya mereka berpendapat bahwa setiap penafsiran
teks, termasuk teks-teks al-Qur'an, adalah penuh dengan muatan teori
dan diasimilasikan dengan pemikiran yang terikat pada perkembangan
sejarah, teologi, politik dan ilmu pada masa itu. Salah seorang dari
penulis itu, setelah mengemukakan suatu gap yang tak dapat terjembatani
antara agama/wahyu dan sains/ilmu pengetahuan/penafsiran, menyatakan
bahwa: Agama yang diwahyukan sudah tentu bersifat ketuhanan, tapi tidak
demikian halnya dengan ilmu agama yang merupakan output dari produksi
dan konstruksi manusia. Ia adalah bersifat manusia dalam artian bahwa
ia secara esensial dirasuki oleh semua karakteristik manusia yang mulia
dan sekaligus hina itu.

      Penulis seperti ini terperangkap sekurang-kurang dalam dua jalan.
Pertama, lemahnya pendapat mereka sendiri yang sudah tentu telah
tercampur dengan ideologi, metodologi dan pemikiran lain yang telah
usang, meskipun begitu mereka meyakini pendapat mereka itu sebagai
final dan tak berubah. Kedua, ketidakmampuan mereka untuk menjelaskan
fakta bahwa beberapa Muslim yang cerdas, misalnya, masih berpegang pada
penafsiran-penafsiran yang pernah dianut oleh, misalnya al-Ghazzali
pada hampir seribu tahun yang lalu dan dapat berhasil
mempertahankannya. Meskipun disitu jelas terdapat perbedaan-perbedaan
kondisi sosial, politik dan ekonomi. Hal yang sama juga dapat diarahkan
kepada beberapa pemikir Kristen modern seperti Etienne Gilson dan
lainnya yang berpegang pada pendapat yang sama dengan apa yang dianut
oleh Thomas Aquinas.

      Al-Attas tentu akan tidak sependapat dengan Fazlur Rahman yang
menganggap pembunuhan sebagai suatu tindak kejahatan sosial (social
crime), dan bukan tindak kejahatan pribadi seperti yang dinyatakan
dalam al-Qur'an. Yang demikian itu mungkin disebabkan oleh pengaruh
metode historis kritis yang rancu seperti kritik-kritik terhadap Bible,
yang memang telah melanda ilmu Tafsir. Metode yang seperti ini telah
mengakibatkan berbagai kesulitan pada diri mereka sendiri, salah
satunya adalah subyektifisme. Fazlur Rahman misalnya, menolak keras
pendapat ahli hukum Muslim tradisional bahwa pembunuhan adalah suatu
kejahatan pribadi terhadap keluarga korban berdasarkan ayat dalam surah
Al-Baqarah (2):178-179, yang memperbolehkan keluarga itu untuk
membalas, membayar uang darah atau memberikan maaf. Fazlur Rahman malah
mengajukan "suatu prinsip yang lebih umum" dari surah al-Ma'idah (5):32
bahwa "Barangsiapa membunuh seseorang dengan secara tidak sah (bi
ghayri nafsin) atau dengan tanpa suatu kerusakan (peperangan) di muka
bumi, maka ia sama dengan membunuh seluruh ummat manusia", yang
jelas-jelas telah memahami makna pembunuhan diatas sebagai tindak
kejahatan terhadap masyarakat ketimbang kejahatan pribadi terhadap
suatu keluarga.

      Selanjutnya untuk dapat "menghilangkan penafsiran-penafsiran yang
tidak menentu" dan "mengurangi subyektifitas", ia menyarankan agar
setiap penafsir menyatakan secara eksplisit teori-teori umum dan
khususnya serta premis-premis yang berhubungan dengan isue-isue atau
masalah-masalah tertentu. Akan tetapi dalam kasus khusus diatas sama
sekali tidak terjadi penafsiran yang tidak menentu dan subyektif, sebab
seluruh ahli hukum Muslim sepakat dengan kenyataan bahwa pembunuhan
adalah suatu kejahatan pribadi, justru Fazlur Rahman sendiri yang tidak
menyatakan teori umum dan primis-premis khususnya. Terjemahan Fazlur
Rahman kalimat bi-ghayri nafsin dengan pembunuhan yang tidak sah,
menurut al-Attas adalah sangat subyektif dengan maksud agar sesuai
dengan tujuannya yang bias bahwa semua pembunuhan selain perang adalah
kejahatan terhadap masyarakat. Sudah barang tentu pembunuhan yang tidak
dibenarkan adalah termasuk pembunuhan biasa sedangkan pembunuhan yang
dibenarkan termasuk pembunuhan pembunuh dan orang-orang jahat. Al-Attas
mengetengahkan bahwa bi ghayri nafsin berarti "kecuali seseorang",
yakni kecuali orang-orang biasa, dan karena itu menunjukkan kepada
pembunuh biasa.

      Penafsiran Fazlur Rahman jelas subyektif, karena ia juga dengan
mudahnya melupakan konteks - historis sekaligus semantik - dari apa
yang dinamakan ayat yang lebih umum. Konteks ayat-ayat sebelumnya dan
sesudahnya jelas menunjukkan bahwa pembunuhan seorang individu yang
dianggap sama dengan pembunuhan semua orang itu tidak menunjuk kepada
individu tertentu, tapi kepada para nabi, dan kepada guru-guru besar
yang mengajarkan kebaikan dan kesalehan, yang amal-amal dan
ajaran-ajaran mereka berpengaruh kepada masyarakat. Sebab dengan
membunuh mereka akan membuat masyarakat kehilangan petunjuk. Itulah
sebabnya mengapa separoh bahagian terakhir dari ayat yang dikutip
diatas menyebutkan dengan jelas "dan jika seseorang itu menyelamatkan
satu nyawa, akan berarti seakan-akan ia menyelamatkan kehidupan semua
orang".

      Ta'wil adalah kata benda infinitif dari kata kerja transitif,
awwala, yang berarti membuat sesuatu itu kembali atau mengurangi
sesuatu, yang berarti "menemukan, mendeteksi, mengungkapkan,
mengembangkan, atau membuka, atau menjelaskan, menggambarkan, atau
menterjemahkan tentang sesuatu atau mungkin menguranginya atau tentang
sesuatu yang terjadi atau mungkin terjadi."

      Istilah ta'wil yang disebutkan sebanyak 13 kali dalam al-Qur'an,
menunjukkan arti penterjemahan sesuatu yang simbolik (seperti mimpi)
atau penuturan hasil akhir atau hasil yang terjadi sesudahnya, seperti
dalam surah Yusuf (12):101. Ia dapat juga berarti akibat terakhir
('aqibah) dari sesuatu seperti dalam Ali Imran (3):7 dan al-A'raf (7):
53, dst.

      Al-Attas menganggap ta'wil sebagai "suatu bentuk intensif dari
tafsir." Ta'wil bukanlah interpretasi allegoris sebagaimana yang
difahami oleh ilmuwan Barat seperti Andrew Rippin, sebab interpretasi
allegoris, seperti yang disebutkan terdahulu, menolak semua
pertimbangan-pertimbangan linguistik atau semantik atau mengesampingkan
keduanya, sehingga tidak bisa sama dengan kebanyakan interpretasi
ta'wil.

      Ta'wil adalah penafsiran batin dan lebih mendalam (tafsir batin),
seperti yang ditunjukkan oleh Abu Thalib al-Thalabi, yang tentunya
mensyaratkan kesesuaiannya dengan penafsiran zahir yang lebih nyata.
Para cendekiawan Muslim sejak dahulu menganggap ta'wilsebagai tafsir
dengan bentuk yang lebih spesifik, atau memahami tafsir sebagai lebih
umum daripada ta'wil (al-tafsir a'ammu min al-ta'wil) seperti pendapat
al-Raghib al-Isfahani. Selanjutnya, ta'wil, menurut al-Baghawi and
al-Kuwashi, tidak dapat bertentangan dengan pengertian linguistik, dan
ajaran-ajaran umum al-Qur'an dan Sunnah. Maka dari itu ia meliputi dan
malah melampaui interpretasi tafsir, dan berusaha untuk mengungkapkan
arti final dari sesuatu ('aqibatu-l-amr).

      Memang, kadang-kadang tafsir dan ta'wil dan juga ma'ani, dianggap
sinonim, dan kita faham bahwa ini tidak disebabkan oleh metodenya yang
persis sama, tapi lebih disebabkan oleh kesamaan dalam makna. Makna
yang dicapai oleh tafsir tidak dapat diperluas kepada ta'wil yang
kadang-kadang terjadi, khususnya, dalam penfsiran hukum. Dalam bidang
hukum, penafsiran haruslah jelas (muhkam) dan tidak ambiguous
(mutashabih). Hubungan intrinsik antara tafsir dan ta'wil ini telah
difahami oleh Muslim sejak dahulu. al-Attas menunjukkan contoh klasik
tentang sifat ilmiah ta'wil dan hubungan integralnya dengan tafsir:

      Ketika Tuhan Yang Maha Agung berfirman bahwa Ia melahirkan
(sesuatu) yang hidup dari yang mati (yukhriju al-hayy min al-mayyit)
dan sekedar untuk memberi satu contoh khusus, kita menafsirkannya
dengan pengertian bahwa Ia menjadikan burung dari telur, maka ini
adalah tafsir.

      Tapi ketika kita menginterpretasikan kalimat yang sama dengan
pengertian bahwa Ia menjadikan orang beriman (al-mu'min) dari kafir
(al-kafir), atau Ia melahirkan orang alim dari yang jahil, maka ini
adalah ta'wil. Dari sini jelaslah bahwa ta'wil tidak lain adalah suatu
bentuk intensif dari tafsir; sebab yang terakhir (tafsir) menunjukkan
penemuan, mendeteksi atau mengungkapkan tentang apa yang dimaksudkan
oleh ungkapan yang ambiguos itu, sedangkan yang pertama (ta'wil)
menunjukkan arti final dari ungkapan itu.

      Sekarang, penemuan, pendeteksian, atau pengungkapan makna-makna
yang tersembunyi dari kata-kata dalam kalimat yang dikutip diatas -
yang berkisar pada dua kata-kata yang ambiguous yang dipermasalahkan
yaitu: yang hidup (al-hayy) dan yang mati (al-mayyit)ta'wil adalah
berdasarkan pada kalimat lain dalam al-Qur'an, yang mengungkapkan
struktur konseptual kata-kata itu dan konteks yang menentukan keduanya
dalam bidang semantik, serta yang mencerminkan kondisi dimana keduanya
diwahyukan, dan berdasarkan pada hadith.

      Sejarahnya, yang menekankan pentingnya ta'wil adalah Nabi
sendiri, ketika beliau berdoa agar Abdullah ibn Abbas memahami ta'wil
dengan sebaik-baiknya, yang tentunya termasuk tafsir. Ulama terdahulu
seperti al-Tabari menamakan bukunya sendiri tentang interpretasi
al-Qur'an dengan 'ta'wil' dan dari metodenya itu jelas bahwa ia tidak
mengesampingkan pengertian-pengertian lingusitik, semantik atau
historis. Ta'wil orang-orang Batiniyyah atau Ta'limiyyah yang
berdasarkan otoritas seorang imam yang ma'sum, adalah pengecualian,
sebab mereka mengesampingkan pemahaman-pemahaman tafsir ekternal yang
lebih jelas. Diantara kesalahan-kesalahan dari kedua kelompok ini telah
disampaikan oleh al-Ghazzali dalam kitabnya al-Munqidh min al-Dalal.

      Seperti yang telah ditunjukkan dalam kutipan panjang diatas,
al-Attas memberi contoh klasik tentang beberapa persamaan dan perbedaan
antara ta'wil dan tafsir. Dalam hal ini ia merujuk kepada al-Jurjani
bahwa tafsir dan kemudian ta'wil istilah kunci "hidup" (al-hayyu) dan
"mati" (al-mayyit) harus mengikuti metode-metode eksak seperti yang
telah diterangkan terdahulu. Dan bahkan dalam ta'wil sekalipun
seseorang harus mendasarkan interpretasinya pada ayat-ayat al-Qur'an
yang jelas dan penggunaannya dalam hadith-hadith Nabi.

      Dalam menjelaskan pendapatnya bahwa tafsir dan ta'wil harus
menunjukkan struktur konseptual dan bidang semantik dari masing-masing
istilah dan konsep kunci, seperti yang dinyatakan di dalam al-Qur'an
dan hadith Nabi, Al-Attas menghubungkan arti kata hujan (raj') dan din
dengan konsep hayy dan mayyit, keimanan dan kekufuran atau keimanan
yang salah.

      Argumentasi al-Attas adalah benar, sebab dalam Islam hujan yang
menghasilkan air dianggap sebagai suatu pertanda kewujudan rahmat dan
kekuasaan Allah. Dan seperti yang telah kita lihat bahwa al-Qur'an juga
dengan sengaja menggunakan istilah raj' yang secara literal berarti
kembali, untuk mengekspresikan makna hujan, sebab Tuhan
mengembalikannya dari waktu ke waktu dengan membawa keuntungan, manfaat
dan kehidupan. Sama halnya dengan din - yang sebenarnya menunjukkan
makna keberhutangan, penyerarahan diri, kekuasaan yang menghakimi,
kecenderungan atau tendensi alami - yang dalam konteks hubungan
Tuhan-manusia menyiratkan makna kembalinya manusia kepada bentuk
asalnya, dan akhirnya kepada Tuhan dengan jalan mengikuti dan mentaati
perintah dan larangan-Nya serta hukum-hukumnya. Kata kerja raja'a,
'kembali' dalam berbagai macam bentuknya dalam al-Qur'an, juga
menunjukkan kembalinya manusia kepada Tuhan. Pendapat bahwa din, atau
agama mempunyai kemampuan untuk memberikan "kehidupan yang benar"
kepada manusia sebagai kebalikan dari kematian atau suatu kewujudan
yang tidak berguna bagi manusia, disampaikan secara tepat dalam
al-An'am (6):122 yang telah dikutip diatas, dan dalam al-Tin (95):4-6:
"Sesungguhnya Kami ciptakan manusia dengan sebaik-baik ciptaan, dan
kemudian Kami rendahkan dia kedalam derajat yang serendah-rendahnya,
kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Dan bagi mereka
pahala yang tidak terputus." ta'wil Agama membuat manusia menjadi benar
sesuai dengan hakekat asalnya dan menyembah Pencipta yang sebenarnya,
melalui keimanan dan amal saleh berdasarkan pada ilmu pengetahuan.

      Dalam catatan kakinya (yakni footnote no. 7) al-Attas mengajak
kita untuk merujuk kepada kitab al-Durr al-Manthur karya al-Suyuthi,
dimana kita dapat menemukan beberapa contoh dari tafsir dan ta'wil
Muslim terdahulu mengenai istilah-istilah hayy (hidup), dan mayyit
(mati) dalam konteks surat al-An'am (6):122. Ayat itu berbunyi:"Dan
apakah orang yang mati dan kemudian Kami beri kehidupan (fa'ahyainahu),
dan orang yang kami beri cahaya yang dengan itu ia bisa melihat
jalannya diantara manusia adalah sama seperti orang yang hilang dalam
keadaan yang sangat gelap sehingga dia tidak dapat keluar dari
daripadanya."

      Kebanyakan mufassir, seperti Zaid bin Aslam, Ibn Abbas dan
lain-lain, menghubungkan kata-kata "Orang yang telah mati." dengan
tokoh sejarah khusus, kemungkinan besar Umar ibn al-Khattab, sedang
yang lain seperti 'Ikrimah menghubungkannya dengan seorang sahabat
Nabi, 'Amar bin Yasir. Semua sependapat bahwa "orang yang hilang dalam
keadaan yang gelap" tidak lain adalah menunjukkan kepada musuh sejati
Nabi, Abu Jahal bin Hisham. Semua mufassir setuju bahwa kata-kata
"orang yang telah mati" adalah kiasan (mataforis). ta'wil ayat ini
sungguh alami sehingga menurut Ibn Abbas adalah "orang yang kafir sesat
(kafiran dallan) kemudian ia Kami beri petunjuk dan cahaya, yaitu
al-Qur'an." Ibn Abbas menyamakan kegelapan (zulumat) dengan kekafiran
(kufr) dan kesesatan (dhalalah), keduanya disebabkan oleh kebodohan dan
kejahilan (jahl).

      Karena sifat al-Qur'an yang tidak diragukan lagi dan kodifikasi
hadith-hadith Nabi yang dilakukan secara ilmiah itu, maka metode dan
produk-produk tafsir dan bahkan ta'wil, seperti yang telah diuraikan
oleh al-Attas, bukanlah usaha yang serampangan dan subyektif yang
mencerminkan kondisi sosio-historis dan orientasi ideologis para
mufassir sebagaimana yang terjadi pada penafsiran teks-teks keagamaan
atau teks-teks lainnya. Untuk menggaris bawahi pandangan kami dapat
dikutip contoh-contoh yang lain. Al-Tabari, yang dengan sengaja memberi
judul tafsir al-Qur'annya dengan ta'wil, tidaklah semata-mata
meriwayatkan interpretasi atau penjelasan tradisional (tafsir), tapi
seringkali ia menambahkan ta'wil-nya sendiri, seperti dalam hal
pembahasannya tentang hakekat dan arti Iblis dalam Al-Baqarah (2):34.
Ayat itu berbunyi: "Maka mereka bersujud kecuali Iblis, ia menolak dan
berlaku sombong sehingga ia masuk kedalam golongan kafirin."

      Tafsir-nya tentang siapakah Iblis itu sangat jelas. Dengan
menggunakan penafsiran tradisional dari Ibn Abbas, dan dengan
membandingkan (cross-reference) dengan ayat-ayat al-Qur'an yang lain
dan juga dengan analisa linguistik, kita tahu bahwa al-Tabari adalah
benar ketika ia menegaskan bahwa Iblis adalah satu diantara species
makhluk dari genera jin, yang termasuk didalamnya semua makhluk yang
tersembunyi (dari perkataan ijtanna, menyembunyikan dirinya). Ia
diciptakan dari api yang tidak berasap, yang disebut Samun. Iblis
adalah istilah dari kata benda if'iil yang berasal dari bentuk keempat
kata kerja ablasa yang berarti "berputus asa pada kebaikan", "merasa
menyesal", "bersedih". Jadi Iblis dinamakan demikian karena ia berputus
asa dari ampunan Tuhan ketimbang meminta (ampunan) dariNya setelah
ketidak-taatannya yang terdahulu. Ia sebaliknya malah mencari
kelonggaran-Nya untuk melanjutkan perbuatan jahatnya.

      Dalam kasus Adam yang mencari ampunan setelah ia melanggar
perintahNya bertolak belakang sama sekali dengan kasus Iblis. Sekarang
ta'wil al-Tabari bahwa pelajaran dari Iblis ini dapat diaplikasikan
kepada makhluk lain yang terlalu sombong dalam mengikuti
perintah-perintah Tuhan, dan mereka yang terus-menerus dalam keadaan
tidak taat, adalah benar. Jadi, Iblis adalah juga kiasan (metafora)
dari arogansi, kecemburuan, dan penolakan dengan penuh keangkuhan untuk
berserah diri kepada perintah-perintah Tuhan, dan karena itu sama
dengan mereka yang mengingkari rahmat Allah dan yang menyukai mereka.

      Masih terdapat contoh lain mengenai perbedaan tafsir-ta'wil: Abi
Talib al-Thalabi menafsirkan kata mirsad dari kalimat inna rabbaka
labi-l-mirsad yang berasal dari bentuk mif'aal dari kata kerja rasada
yang sama dengan raghaba, berarti mengawasi, memperhatikan. ta'wilayat
ini, menurut pendapatnya, adalah suatu peringatan agar tidak menjauhkan
diri dari perintah-perintah Tuhan, tidak lupa pada rahmat-Nya dan
selalu bersiap sedia untuk mengingatNya. Contoh lain terdapat dalam
al-An'am (6):82 yang berbunyi: wa lam yalbisu imanahum bizulmin,
tafsirnya diberikan oleh Nabi sendiri.

      Dalam hadith disebutkan bahwa ketika ayat ini diwahyukan, ummat
Islam merasa sangat cemas, termasuk beberapa sahabat. Mereka lalu
bertanya kepada Nabi tentang siapa diantara mereka yang belum berbuat
adil pada diri mereka. Nabi kemudian menjawab bahwa ia bukanlah seperti
yang mereka bayangkan dan bahwa zulm (ketidak adilan) disini berarti
syirik, atau menyekutukan sesuatu atau seseorang dengan Kesesaan Tuhan
sebagaimana yang tersurat dalam ayat fa inna al-shirka la zulmun 'azim.

      Para Sufi, seperti Muhyi al-Din Ibn al-Arabi, memberikan ta'wil
kepada ayat tersebut dengan mengatakan bahwa zulm disini menunjuk
kepada syirik yang tersembunyi (shirk khafi). Contoh dari syirik yang
tersembunyi adalah cerminan negatif dari hati (dhuhur min nafs al-qalb)
atau bahkan bekas-bekas keberadaannya (wujud baqiyah).

      Dari contoh-contoh yang terbatas ini jelaslah bahwa tafsir dan
ta'wil bukanlah pemahaman yang serampangan dan subyektif yang mengikuti
perubahan-perubahan sosio-historis, meskipun rujukan-rujukan historis
tetap dipertimbangkan. Fakta bahwa orang-orang Islam terpelajar dan
bijaksana yang memahami serta mempertahankan tafsir orang-orang yang
berwenang dimasa lampau dengan menghilangkan batasan-batasan etnis,
geografis, sosial ekonomi dan historis adalah merupakan argumentasi
yang lebih dari cukup untuk mendeskreditkan pendapat bahwa tafsir
adalah dikondisikan dan dibatasi oleh situasi-situasi sosio-historis
dan ekonomi.

      (dikutip dan diterjemahkan dari buku The Educational Philosophy
and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, An exposition of the
Original Concept of Islamization, penerbit ISTAC, 1998). (Artikel ini
diambil dari Insist.net 18 Augustus 2004/Hidayatullah )

=====

Leo Imanov 

Abdu-lLah
AllahsSlave






        
        
                
___________________________________________________________ALL-NEW Yahoo! Messenger - 
all new features - even more fun!  http://uk.messenger.yahoo.com


------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Make a clean sweep of pop-up ads. Yahoo! Companion Toolbar.
Now with Pop-Up Blocker. Get it for free!
http://us.click.yahoo.com/L5YrjA/eSIIAA/yQLSAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih 
Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Posting: [EMAIL PROTECTED]
5. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
6. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
7. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke