http://www.equator-news.com/berita/index.asp?Berita=Opini&id=18402

Jumat, 29 November 2002
Mengendalikan Politik TV dan Radio
Oleh Denny J.A. *

Kamis ini DPR sekali lagi bersidang untuk memutuskan hal yang teramat penting dalam 
politik informasi. Haruskah RUU Penyiaran ditolak atau diterima dalam sidang 
paripurna? 
Di luar DPR, pro dan kontra atas RUU Penyiaran itu semakin ramai. Sangat jarang, 
masyarakat pers sendiri terbelah dalam menyikapi RUU. Asosiasi Televisi Swasta yang 
anggotanya terdiri atas, antara lain, SCTV, RCTI, dan Metro jelas anti-RUU itu. Namun, 
Asosiasi Televisi Lokal justru menjadi penggembira dan pendukung RUU. Berbagai elemen 
civil society seperti Institut Studi Arus Informasi (ISAI) mengharapkan RUU itu 
secepatnya diadopsi. Civil society lain, seperti AJI, justru menentang RUU tersebut. 

Apa yang ada dalam RUU Penyiaran itu sehingga ia mampu membuat masyarakat pers sendiri 
bahkan terbelah? Kebebasan informasi, kepentingan bisnis, dan pengaruh politik 
jalin-menjalin dalam RUU Penyiaran. Sikap atas RUU beragam dan saling bertentangan, 
sesuai dengan beragam dan bertentangannya persepsi dan kepentingan setiap pihak. 

Pengaruh 

Di abad informasi, tak ada yang lebih berpengaruh daripada TV. Begitu besarnya 
pengaruh TV, bahkan banyak pihak yang menyatakan TV lebih penting dalam pendidikan 
politik ketimbang partai politik. 

Begitu banyak warga negara yang kontak dengan televisi setiap hari. Di kamar tidur, di 
ruang keluarga, bahkan di ruang tunggu berbagai gedung, televisi bercokol. Setiap 
berita dikemas dalam gambar dan suara, disajikan kepada penonton, membuat TV merasuk 
ke dalam kesadaran penonton secara lebih dalam. 

Runtuhnya gedung WTC di New York dalam sekejap diketahui penduduk di Jakarta melalui 
TV. Imam Samudra yang tertangkap di Merak, seketika wajahnya dilihat oleh warga di 
Aceh atau Papua. Skandal Akbar Tandjung menjadi isu nasional karena televisi. 
Penderitaan warga di Nunukan, Kalimantan, dilihat oleh aktivis di Jakarta melalui TV. 
Dengan mudah, TV menentukan apa yang harus dibicarakan, bahkan apa yang harus 
dipikirkan. TV ada di mana-mana. Kita tak bisa lagi hidup tanpa TV. 

Pak Harto di awal Mei belum pasti jatuh. Namun, melalui TV, warga melihat betapa 
sedihnya ayahanda mahasiswa Trisakti yang tertembak. Lagu gugur bunga dinyanyikan dan 
diputar pula di berbagai radio. Akibatnya, secara sekejap, kemarahan publik atas Pak 
Harto meluas dan sambung-meyambung karena TV dan radio. Tak perlu heran jika penguasa 
paling takut dengan TV. 

Persoalannya, televisi bukan hanya representasi kepentingan publik. Di balik itu ada 
pula kepentingan modal. Di balik itu ada pula kepentingan politik partisan. Ketika ada 
keinginan mengontrol TV, akibatnya, tidak semua pihak menyatakan ''Tidak.'' Banyak 
pula yang bergembira karena persepsi negatif tertentu terhadap konglomerasi dan 
politik partisan. 

Dua Isu 

Ada dua isu besar yang membuat RUU penyiaran jadi problematik. Pertama, isu seputar TV 
lokal atau TV nasional. RUU Penyiaran mengatur bahwa masa depan televisi Indonesia 
adalah TV lokal. Jika ada TV yang ingin melampaui lokalitas, ia harus berbentuk 
jaringan. Dengan paradigma TV lokal, kekuasaan atas dana dan informasi TV itu juga 
dikendalikan masyarakat lokal. 

Itu menjadi masalah karena TV lokal dibuat dengan cara menggusur TV swasta nasional 
yang kini sudah ada. TV swasta nasional hanya diberi waktu peralihan untuk berubah 
menjadi TV jaringan. Sungguh pun TV lintas lokal itu sudah berjaringan, wilayah siaran 
tetap dibatasi. Berarti, pengaruh politik dan skala bisnis TV itu juga akan dibatasi. 

Bagi kepentingan konsumen, sebenarnya tak penting betul TV itu nasional atau lokal. 
Konsumen berkepentingan mendapatkan berita yang akurat, mencerahkan, cepat, lengkap, 
dan merespons lingkungannya. TV yang memberikan kebutuhan itu akan digemari. 
Sebaliknya, TV yang buruk akan dijauhi. Yang penting bagi konsumen adalah kompetisi 
bebas, yakni setiap TV berlomba-lomba menyajikan totonan terbaik. 

Jika itu yang jadi soal, biarkan pasar yang mengatur. Regulasi pemerintah harus 
sekecil-kecilnya. Seandainya memang perlu dibuat TV lokal, biarlah pasar yang 
memutuskannnya. Seandainya TV swasta nasional harus bubar, biarlah pasar yang 
menggusurnya. Biarkan TV yang ada berlomba dengan TV lokal atau TV lain untuk menarik 
minat penonton. 

Kedua, isu seputar Komisi Penyiaran Indonesia. Seberapa besar sebaiknya kekuasaan 
komisi ini. Jika komisi independen model Amerika Serikat diikuti, komisi ini punya 
kekuasaan yang bersifat legislatif, eksekutif, dan yudikatif sekaligus. Lembaga ini 
yang membuat aturan di bidang penyiaran. Lembaga ini pula yang mengeksekusi aturan 
itu. Dan lembaga ini pula yang menjadi hakim bagi pihak pelanggar aturan. 

Pihak yang tak setuju khawatir komisi ini menjadi monster yang terlalu berkuasa. Di 
era KKN, dikhawatirkan pula komisi ini akan meminta pungutan liar yang lebih besar. 
Akibatnya, muncul keinginan komisi penyiaran juga harus tetap didampingi pemerintah. 
Misalnya, komisi memberikan usul, sedangkan yang memutuskan tetap pemerintah. 

Namun, jika komisi masih bergantung kepada pemerintah, muncul pula komplikasi lain. 
Apalagi jika komisi penyiaran daerah bergantung dengan DPRD. Bagimana jika DPRD 
dikuasai oleh misalnya kelompok agama yang sangat tradisional dan sempit, 
semau-semaunya melarang berbagai program TV hanya karena perbedaan tafsir. Majelis 
Mujahidin, misalnya, pernah melarang iklan ''Islam Warna Warni'' atau iklan kondom. 
Bagaimana jika DPRD dikuasai oleh politisi dengan semangat Mujahidin? 

Sebenarnya, tak ada masalah dengan komisi independen yang memiliki kekuasan 
legislatif, eksekutif, dan yudikatif sekaligus. Komisi itu memang harus bebas dari 
tangan pemerintah. 

Yang perlu dibentuk kemudian untuk netralisasi adalah lembaga pengawas komisi 
penyiaran. Lembaga pengawas akan mengevaluasi apakah komisi itu sudah bekerja sesuai 
dengan standar, kriteria, dan prosedur yan disepakati. 

Singkat kata, ujar Ronald Reagan, pemerintah yang terbaik adalah pemerintah yang 
memerintah sesedikit mungkin. The best government is the least government. RUU 
Penyiaran harus mempunyai spirit regulasi seminimal-minimalnya. Biarkan pasar bebas 
dan kompetisi, bukan tangan pemerintah, yang menjadi panglima untuk politik 
informasi.*** 

* Denny J. A, direktur Eksekutif Yayasan Universitas dan Akademi Jayabaya 


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Make a clean sweep of pop-up ads. Yahoo! Companion Toolbar.
Now with Pop-Up Blocker. Get it for free!
http://us.click.yahoo.com/L5YrjA/eSIIAA/yQLSAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih 
Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Posting: [EMAIL PROTECTED]
5. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
6. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
7. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke