Catatan Menyambut Matahari Pagi:

SURAT TENTANG SASTRA KEPADA ANAS AGE [9].


Kemudian  pada alinea kedua suratnya  Anas Age menulis:

"Dan kini perubahan dunia begitu cepat. Isu-isu feminisme yang diusung oleh beberapa 
negara di Barat telah masuk ke Indonesia. Salah satunya adalah isu-isu tentang tubuh 
perempuan. Tentang tubuh perempuan ini, Simon de Bevoir dengan cermat menulis dalam 
Second Sex. Tema-tema tubuh perempuan inilah yang dieksplorasi oleh penulis-penulis 
perempuan seperti Dinar Rahayu, Ayu Utami, Jenar Maesa Ayu. Saya sepakat bila para 
penulis perempuan ini sebenarnya sedang mengadakan "perlawanan" dengan tubuhnya 
sendiri terhadap gempuran kapitalisme, atau melawan patriarki".  

Dari alinea ini saya ingin mengangkat soal-soal berikut: [1]. Ide femininisme Barat; 
[2]. Tubuh perempuan dan sastra; [3]. The Second Sex.


[3]. "The Second Sex", "Seks Kedua":


Sehingga Revolusi Mei 1968 sesungguhnya lebih merupakan Revolusi Kebudayaan daripada 
Revolusi Politik. Revolusi Politik hanyalah buntut daripada revolusi kebudayaan 
ini.Revolusi atau keresahan politik sering dimulai dari pergelutan di bidang 
kebudayaan. Revolusi Besar Kebudayaan Proletar di Republik Rakyat Tiongkok pada tahun 
1966an,yang juga merupakan perjuangan politik, ia dimulai dari debat tentang roman 
"Hai Jui Dipecat Dari Jabatannya". Revolusi Agustus 1945 diawali dengan antara lain 
"Parlemen Untuk Hindia Belanda" lalu "Indonesia Merdeka Sekarang Juga", sedangkan 
"Merdeka atau Mati" merupakan slogan membela RI dari rongrongan Belanda, debat tentang 
humanisme universal di Indonesia sebelum debat Lekra-Manikebu merupakan bagian dari 
usaha kolonialisme Belanda untuk kembali menguasai Indonesia, Revolusi Perancis Juli 
1789 didahului dengan debat di bidang filsafat, dan lain-lain...


Berbicara tentang pergelutan ide maka di sini paling tidak ada dua pihak. Dalam 
sejarah, kita menyaksikan bahwa pergulatan ide dilakukan oleh arus bawah melawan arus 
dominan setelah arus nilai dominan itu tidak lagi tanggap terhadap perkembangan 
masyarakat. Di Perancis ide dominan Katolisisme oleh perkembangan industri Perancis 
setelah usai Perang Dunia II makin deras dipertanyakan. Perkembangan industri Perancis 
melahirkan nilai-nilai baru. Eksodus pedesaan terjadi. Puncak perlawanan meletus pada 
Mei 1968 dimulai dari Universitas Nanterre dengan tokoh Cohen Bendit yang kemudian 
diusir dari Perancis. Melalui Revolusi Kebudayaan Mei 1968, Perancis mengalami 
penjungkirbalikan besar dalam tatanan nilai. Semangat mendapatkan status kesetaraan 
yang dicetuskan oleh Revolusi Juli 1789 mencuat ke atas. Bersamaan dengan Revolusi Mei 
1968 inilah maka gerakan feminisme Perancis meluncur laju.MLF [Mouvement Libération de 
Femmes]lahir justru do tengah Revolusi  Mei 1968. Perempuan merasa memiliki tubuh 
mereka dan sebagai pemilik tubuh mereka merasa bebas menggunakan atau mau diapakan 
tubuh tersebut. Perempuan adalah subyek. Di dalam arus ide ini, terdapat macam-macam 
cabang. Misalnya ada yang menganggap penguasaan tubuh yang sejati tidak terpisah dari 
gerakan emansipasi masyarakat karena perempuan merupakan bagian dari anggota 
masyarakat. Ada pula yang "anarkis", sebagai ekses dari kekangan mengabad dan 
menjadikan perempuan sebagai obyek lelaki. Ekses "anarkisme" ini mewujudkan diri dalam 
bentuk hubungan bebas di bidang seksual sehingga sejak itu makin banyak kita dapatkan 
adanya "ibu tunggal" atau "ayah tunggal". Status "ibu tunggal", "ayah tunggal, "hidup 
bersama" [yang di Indonesia secara sinis dikatakan "kumpul kebo"].Dalam perkembangan, 
hubungan dan status begini termasuk status anak diakui oleh Undang-undang. Lebih jauh 
anak-anak boleh memakai "nama" [nom] ibu atau ayah sesudah "prenom"nya. Mereka yang 
hidup bersama membayar pajak sebagai satu keluarga. Tingkat perkawinan resmi menjadi 
menurun. Oleh aliran ini, perkawinan dipandang sebagai pengumuman resmi terbuka bahwa 
lelaki dan perempuan akan melakukan hubungan seksual. Para "anarkis" menganggap 
perkawinan tidak lain dari pembelengguan kembali perempuan. Kembalinya perempuan jadi 
obyek lelaki. Ekses ekstrim setelah sekian lama dikekang adalah terjadinya "tukar 
pakai" antar pasangan suami-istri di daerah elite Paris. 

"Ibu tunggal" yang juga disebut "ibu bujangan" [mère celibatire],mungkin menghidupi 
anak-anak mereka karena adanya sistem tunjangan sosial yang diundangkan dan juga 
mereka bekerja. Jadi secara ekonomi mereka tidak tergantung pada lelaki -- sekalipun 
untuk waktu lama gaji perempuan tetap lebih rendah dari lelaki untuk kedudukan yang 
sama. Aku pun pernah berkenalan dengan seorang perempuan yang ingin mempunyai anak, 
tapi tidak ingin nikah dan juga menolak hidup bersama. 


Terhadap keadaan begini  aku tidak ingin memberikan penilaian apa-apa karena 
perkembangan obyektif masyarakat berada di luar keinginan kita. Masyarakat mempunyai 
hubungan obyektif perkembangannya sendiri. Keinginan bersifat subyektif, belum tentu 
tanggap keadaan. 


Periode di mana perempuan merasa diri sebagai subyek dan memiliki tubuh mereka inilah 
yang kumaksudkan dan dimaksudkan dengan "seks kedua". Aku tidak tahu pikiran filosofis 
apa yang melatari para penulis perempuan kita sekarang, ketika mereka mengeskplorasi 
tubuh perempuan dalam karya-karya tulis mereka [mungkin juga dalam praktek]. Apakah 
sejenis tingkat anarkisme pada periode "seks kedua" ini? Kalau karya-karya yang 
mengeksplorasi tubuh perempuan dalam sastra kekinian kita, mau dipahami, kukira, 
pemahamannya bukan terletak pada perlawanan terhadap kapitalisme tetapi lebih terletak 
pada melawan kemunafikan dalam masyarakat Indonesia. Kemunafikan masyarakat kita, 
terutama di daerah perkotaan [lebih-lebih di Jawa], sangat nampak. Menurut pengumpulan 
pendapat umum yang dilakukan oleh Majalah Tempo Jakarta sebelum diberangus oleh Orba, 
sebagian besar remaja kita sudah melakukan hubungan seksual. Sumber lain 
memperlihatkan bahwa lebih dari 80% para mahasiswi di Yogya melakukan hubungan seksual 
di luar nikah.  Orang malu mengakui hal ini karena tidak sesuai dengan nilai dominan 
dan sinisme pada "hidup bersama" yang disebut "kumpul kebo". Kemunafikan ini lebih 
menggelikan lagi di Palangka Raya. Adanya kondom di depan rumah atau stadion, sudah 
jadi berita koran sementara dalam melaksanakan Keluarga Berencana dianjurkan pemakaian 
kondom. Tapi melihat kondom tercecer di jalan lalu ditulis jadi berita.Di pihak lain 
sebuah rubrik tentang "perselingkuhan" selalu disediakan saban minggu. Dengan 
mengeksplorasi kalau bukan mengeksploatasi tubuh perempuan, para penulis perempuan 
kita, kukira menelanjangi kemunafikan dengan menunjukkan "Lihat nih, aku tanpa 
malu-malu mengatakan secara terbuka telah tidur dengan lelaki ini dan itu!". Kalau mau 
dihubungkan juga dengan kapitalisme, barangkali bisa dilihat dari ketidakengganan 
kapitalisme menggunakan macam-macam cara termasuk kemunafikan karena yang penting 
adalah uang dan uang, laba dan laba. Manusia pun  adalah barang dagangan [lihat: filem 
serial AS seperti "Dallas" dan "L'amour, Gloire et  Beauté yang sekarang sedang 
disiarkan saban hari di terus tivi France2]. 

Kalau pemahamanku benar, maka yang menjadi pertanyaan lebih hakiki: Apa gerangan jalan 
bagi perempuan untuk merebut kembali status subyek? Bahwa penelanjangan kemunafikan 
sudah merupakan sesuatu yang berharga, tapi barangkali jalan keluar alternatif setelah 
penelanjangan lebih penting lagi. Kalau ada wawasan alternatif ini tentunya akan 
tercermin dalam karya entah langsung atau pun tidak. Barangkali untuk sampai ke sini 
diperlukan waktu lebih panjang untuk belajar, untuk menyatukan diri dengan gerakan 
pembebasan mayoritas masyarakat, untuk merenung dan turun dari menara gading elitisme? 
Kalau karya-karya "eksplorasi tubuh perempuan" ini dikatakan sebagai perlawanan 
terhadap gempuran kapitalisme, bagaimana menjelaskan karya-karya sastra-seni yang juga 
melukiskan hubungan seks sebelum kapitalisme  berkembang? Kalau tidak, barangkali 
taraf karya-karya demikian tidak lebih jauh dari tingkat sejarah "anarkisme" seperti 
yang kukatakan di atas. Kalau tidak para penulis tersebut barangkali menempatkan tubuh 
perempuan sebagai barang dagangan juga [Lihat,: Moammar Emka, "Jakarta 
Undercover.Sex'n the City",Galang Press, Yogyakarta, 202,486 hlm.].



Paris, Nopember 2004
-------------------------
JJ. Kusni. 


[Bersambung.....]

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Make a clean sweep of pop-up ads. Yahoo! Companion Toolbar.
Now with Pop-Up Blocker. Get it for free!
http://us.click.yahoo.com/L5YrjA/eSIIAA/yQLSAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih 
Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Posting: [EMAIL PROTECTED]
5. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
6. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
7. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke