http://www.suaramerdeka.com/harian/0407/16/opi03.htm

Menyikapi Hal yang Dianggap Benar
Oleh: Hatim Gazali

SETIAP agama mengandung dua unsur penting; -dalam
istilah Prof. Dr. Amin Abdullah-yakni normativitas dan
historitas. Secara normatif, agama berisi doktrin,
ajaran yang diturunkan Tuhan untuk manusia. Karenanya,
ia "sunyi" dari intervensi manusia dan kebenarannya
bersifat universal.

Tujuan penurunan agama adalah untuk dijadikan sebagai
mediasi menuju Tuhan (hablun min Allah)dan membangun
hubungan baik dengan sesamanya (hablun min al-nas).

Robert N. Bellah menegaskan, agama diturunkan sebagai
instrumen ilahiah untuk memahami dunia (2000). Ia
turunkan sebagai way of life, untuk memanusiakan
manusia dan sebagai problem solver atas segala
persoalan yang dihadapi manusia.

Jadi agama, mempunyai dua fungsi dan makna yang harus
dilaksanakan secara sejajar, yakni makna
transendental, sakral dan makna imanental, profan.

Namun secara historis, agama penuh dengan campur
tangan manusia. Sebab, agama tidak diturunkan dalam
ruang hampa. Ia diturunkan dalam aneka spektrum
historis-budaya tertentu, sehingga manusia mengambil
bagian penting dalam agama. Sebab agama diturunkan
hanya untuk manusia, yakni kemaslahatan manusia.

Peradaban, politik, sosial juga turut membentuk
lahirnya agama tersebut. Islam senantiasa bergumul
dalam realitas objektif yang menyejarah, ikut mewarnai
dan membentuk kebudayaan manusia. Dalam bahasa
antropolog Clifford Geertz, agama bukanlah sesuatu
yang otonom. Misalnya, Islam turun di Jazirah Arab
yang sangat kompleks dari peradaban manusia. Di Arab
ada pelbagai macam suku, agama, ras yang saling
mempengaruhi dan dipengaruhi. Maka ajaran agama sangat
terikat dengan kondisi dan situasi sosial setempat,
bersifat temporal-partikular. Sebab agama dengan
budaya setempat berdialektika secara terus-menerus.

Islam yang ada di Arab tentu akan berbeda (misalnya
dari aspek-aspek hukumnya) dengan Islam yang ada di
Indonesia. Maka kebenaran agama dalam optik historitas
bersifat partikular.

Dalam memahami suatu agama, kedua aspek penting dari
agama ini selayaknya dibedakan, bukan dipisahkan.
Sebab, hubungan antara keduanya ibaratnya sebuah koin
(mata uang) dengan dua permukaan. Kedua permukaan koin
ini tidak bisa dipisahkan, namun bisa dibedakan. Kedua
aspek tersebut bukanlah dua entitas yang berdiri
sendiri dan saling berhadap-hadapan, tetapi keduanya
terajut dalam satu kesatuan, sehingga kedua aspek
darinya tidak bisa dibuat tegang. Karena itulah,
mengabaikan salah satu aspeknya berarti kita terjebak
dalam salah satu ekstrem tertentu. Akibatnya,
pemahaman tentang Islam tidak komprehensip, dan
sepotong-sepotong.

Kemudian, Islam sebagai hasil konstruksi budaya lokal
yang bersifat historis juga harus ditafsirkan dalam
konteks sosial dimana Islam turun. Begitupula dengan
teks agama. Alquran adalah gagasan Tuhan yang
diterjemahkan oleh Muhammad dalam bahasa manusia
sebagai respon terhadap lokalitas yang mengitarinya
saat itu tidaklah untoucable. Karena itulah tafsir
terhadap Islam mesti beragam sesuai dengan sejauhmana
Islam dipahami. Kesemua tafsir tersebut adalah absah
dan bisa diterima manakala dikontekstualisasikan
dengan realitas sosial yang berada di sekitarnya.

Begitu pula yang terjadi dengan pemikiran keagamaan
yang belakang ini terlihat kontroversial. Islam
Liberal tidak akan menemukan konsensus bersama dalam
memahami Islam dengan kalangan fundamentalis

Islam Fundamentalis akan meyakini dirinya yang benar
sementara Islam Liberal adalah salah sama sekali,
sehingga memerangi terhadapnya adalah salah satu
bentuk ekspresi pelaksanaan ajaran agamanya, jihad
(holy war).

Pesan Perdamaian

Jika kedua ekstrem gerakan keagamaan di Indonesia ini
sama-sama memperhatikan kedua aspek di atas, maka
menghakimi orang lain dapat dihindari. Memang, Islam
secara normatif mengajarkan perdamaian, kerukunan.
Namun ketika pesan tersebut diterjemahkan dalam
realitas sosial yang beragam, maka ia bersifat
historis-sosiologis. Meski secara normatif Islam
mengajarkan perdamaian dan antikekerasan, dalam
realitasnya agama mudah sekali dijalankan dan
dipraktikkan dengan cara-cara yang angker, sangar, dan
menyeramkan.

Pesan perdamaian dalam Islam berbeda maknanya dalam
realitas sosial antara Islam liberal dengan Islam
fundamentalis. Islam Liberal merujuk kepada subtansi
dari doktrin agama -atau meminjam istilahnya
Al-Syatiby adalah Maqashid al-Syariah-sekaligus kurang
memperdulikan teks agama (non-literal), sementara
Islam fundamentalis lebih menekankan pada makna
tekstual dari agama, bukan pada subtansi. Akibatnya
dalam memahami pesan agamanya tidak menemukan titik
persamaan.

Islam Liberal memaknai agamanya sesuai dengan
paradigma (manhaj) yang dibangunnnya. Begitu pula
dengan Islam fundamentalis. Dua paradigma antara
tekstual dan kontekstual di atas akan semakin nampak
manakala diterjemahkan pada tingkat praksis. Kalangan
fundamentalis menyakini agama melalui seruan jihadnya
dengan pedang, bom atau senjata yang siap dihunuskan
kepada musuh-musuhnya. Kekerasan baginya merupakan
jalan satu-satunya untuk melawan kalangan tertentu
yang dianggap musuh. Sementara Islam liberal (atau
Islam subtantif) memaknai agamanya penuh dengan
kesantunan, dan pesan perdamaian dan anti kekerasan,
sehingga segala bentuk kekerasan dianggap menyalahi
agamanya. Maka, konfrontasi antara dua aliran
keagamaan ini tidak terbendung lagi.

Sebenarnya, dua pola pemikiran keagamaan di atas dalam
studi pemikiran Islam, bukanlah hal baru. Sejak
awal-awal pertumbuhan Islam, dua paradigma tersebut
muncul sebagai upaya memahami kehendak Tuhan.
Munculnya aliran dalam teologi Islam, madzhab-madzhab
dalam fikih bisa dijadikan referensi bahwa Islam
ketika menyejarah kebenarannya bersifat partikular
dang sangat historis.

Bahkan perbedaan pandangan dalam memahami pesan Tuhan
sudah terjadi sejak masa Muhammad. Namun perbedaan itu
bisa diminimalisir, karena Muhammad merupakan pemegang
otoritas dalam memahami ide Tuhan. Sikap Muhammad
ketika menghadapi perbedaan itu sangat toleran dan
inklusif.

Pertanyaannya, bagaimana kita menyikapi dua arus
pemikiran di atas ? Apakah kita hendak mengikuti salah
satunya atau justru kita ke luar dari salah satu
paradigma pemikiran di atas. Atau perlukah memunculkan
aliran baru yang bisa mempertemukan dan mengadili dua
paradiga tersebut, sehingga pandangan-pandangan
kontroversial tidak lagi bercokol di muka bumi ini ?.

Maka untuk menyikapinya dua paradigma berfikir diatas
(manhaj al-fikr), kita patut menyegarkan kembali
ingatan kita pada ungkapan ulama salaf "ra'yuna shawab
yahtamilu al-khatha', wa ra'yukum khatha' yahtamilu
al-shawab" [Pendapat kami adalah benar, tapi mempunyai
potensi untuk salah dan pendapat Anda salah, tapi
mengandung kemungkinan untuk benar].

Jadi, potensi benar sama dengan potensi untuk salah
baik pada Islam liberal ataupun Islam fundamentalis.
Islam Fundamental tidak selamanya salah dan keras, dan
islam liberal tidak seterusnya benar. Kedunya Karena
itulah dua paradigma pemikiran keagamaan di atas harus
didudukkan secara sejajar. Islam liberal tidak
diposisikan sebagai paradigma yang lebih unggul, dan
begitu pula sebaliknya, Islam fundamental tidak
berarti lebih superior dari Islam liberal.

Seharusnya, munculnya perbedaan (ikhtilaf) pandangan
patut disambut dengan baik dan arif, bukan memaki
salah satunya. Sebab, adanya keragaman pemikiran
merupakan bukti bahwa Islam (Islam yang saya maksud
adalah Islam in mind yang menyejarah, bukan Islam
sebagi teks) sangat bermacam-macam tergantung orang
yang memahaminya. Jika arif dalam memandang adanya
kepelbagaian pandangan, maka tidak akan mengklaim
salah satu diantaranya sebagai kebenaran mutlak.

Karl. Popper dengan teori falsifikasinya mengatakan,
kebenaran baru dianggap benar manakala ada celah untuk
menyalahkannya. Sebab menyalahkan salah satunya
merupakan bentuk dari sikap ekstrem.

Perbedaan pemahaman itu adalah wajar, sejauh tidak
saling menyalahkan antara yang satu dengan lainnya,
membenarkan hanya pendapatnya yang benar serta tidak
bertindak anarkis dan destruktif. Ketika perbedaan
tersebut berakibat pada pengrusakan, pengeboman,
pembakaran dan kekerasan lainnya, di saat itupula
kekerasan atas nama agama semakin menjadi-besar.

Kekerasan akan dibalas dengan kekerasan pula, begitu
seterusnya, dimana kekerasan setelahnya akan lebih
dahsyat dari yang sebelumnya. Mendikotomikan dua
kerangka berfikir di atas untuk mencari-cari pada
siapa kebenaran berpihak, adalah merupakan pekerjaan
yang sia-sia dan semakin memperparah perdebatan di
antara kedua kubu aliran di atas.

Ketidakarifan dalam memandang dua pola pemikiran
keagamaan di atas, tidak saja berakibat pada
pertentangan, adu argumentasi, adu kebenaran, tapi
seringkali berujung pada pertengkaran fisik,
pembunuhan. (18)

-Hatim Gazali Peneliti di Community for Religion and Social engineering 
Yogyakarta






syabab muslim <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
Mengkritisi Ide Dasar Islam Liberal
Oleh: MR Kurnia


Islam Liberal dianggap sebagai suatu respon otentik Islam dewasa ini dalam 
mengapresiasi gagasan-gagasan terbaik liberalisme Barat. Charles Kurzman, 
profesor sosiologi agama di Universitas North Carolina, memperkenalkan istilah 
atau geraan baru di dunia Islam ini dalam bukunya Islamic Liberalism (Buku ini 
telah diterjemahkan oleh Penerbit Paramadina-Jakarta dengan judul Wacana Islam 
Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu Global). Sebenarnya, 
Kurzman bukanlah yang pertama. Sebab, sebelumnya telah muncul Leonard Binder 
yang mencoba menyodorkan paham tersebut dalambukunya Islamic Liberalism: A 
Critique of Development Ideologies.

Dalam gagasan Kurzman, ada tiga gagasan mendasar Islam Liberal, yaitu: syari’at 
liberal (liberal shari’a), syari’at diam (the silent shari’a) dan syari’ah 
diinterpretasi (interpreted shari’a). Syari’at liberal yang dimaksudkannya 
adalah bahwa wahyu-wahyu al-Qur’an dan contoh-contoh Nabi memerintahkan muslim 
untuk mengikuti posisi liberal. Sementara, ada beberapa perkara yang didiamkan 
oleh syari’at sebenarnya bukan karena wahyu tidak lengkap melainkan wahyu 
membiarkan manusia untuk memilihnya sendiri. Dan, syari’at diinterpretasi 
menyemangati bahwa perbedaan keberagamaan merupakan suatu hal yang niscaya, 
bukan hanya antara komunitas agama tapi juga dalam Islam itu sendiri. Dari 
ketiga gagasan mainstraim tersebut terlihat benang merahnya adalah menjadi 
manusia liberal baik dalam membuat syari’at maupun menginterpretasikan wahyu 
sesuai pilihan masing-masing manusia. Dan, itu adalah liberalisme (paham serba 
bebas). Jelaslah bahwa kata liberal (bebas) dalam konteks Islam Liberal bukanlah
maknanya sebagai bebas merdeka (hurriyah) dari penyembahan manusia lalu hanya 
mengabdi kepada Allah SWT. ( ‘ubűdiyyah). Tapi, bebas untuk menginterpretasi, 
merubah, menakwilkan, membuang, memberlakukan atau tidak, bahkan membuat 
syari’at. Hal ini akan jelas dengan mengikuti tulisan-tulisan mereka yang 
menjadi penyokongnya. 

Di Indonesia, gagasan liberal seperti itu dipropagandakan oleh kelompok yang 
kini menamakan dirinya sebagai Jaringan Islam Liberal (JIL). JIL didirikan 
hampir sekitar setahun lalu dengan slogan “Menuju Islam Yang Membebaskan”, 
bertujuan untuk: memperkokoh landasan demokratisasi melalui penanaman 
nilai-nilai pluralisme, inklusivisme dan humanisme; membangun kehidupan 
keberagamaan yang berdasarkan pada penghormatan terhadap perbedaan; mendukung 
gagasan penyebaran pemahaman keagamaan (terutama Islam) yang pluralis, terbuka, 
dan humanis; mencegah agar gagasan-gagasan keagamaan yang militan dan pro 
kekerasan menguasai publik.

Kelompok atau komunitas ini didirikan memang dengan latar belakang yang sangat 
kental mengandung unsur kecemasan dan bau rivalitas terhadap apa yang mereka 
sebut kelompok fundamentalis atau militan yang mereka tengarai mulai marak 
akhir-akhir ini. Simaklah, dalam halaman “Latar Belakang” di situs 
www:Islamlib.com yang memuat latar belakang berdirinya Jaringan Islam Liberal, 
disebutkan: sudah tentu bila tidak ada upaya-upaya untuk mencegah dominannya 
pandangan-pandangan keagamaan yang militan itu, boleh jadi, dalam waktu yang 
panjang, pandangan-pandangan kelompok keagamaan yang militan ini bisa menjadi 
dominan. Hal ini, jika benar terjadi, akan mempunyai akibat yang buruk buat 
usaha-usaha memantapkan demokratisasi di Indonesia. Sebab, pandangan-pandangan 
keagamaan yang militan biasanya menimbulkan ketegangan dengan kelompok agama 
yang ada, sebut saja antara Islam dan Kristen. Jika ketegangan itu terus 
muncul, karena kecurigaan yang ditimbulkan oleh pandangan keagamaan yang keliru,
maka sudah pasti akan menimbulkan kesulitan dalam membangun suatu kehidupan 
“koeksistensi” yang damai di antara kelompok-kelompok keagamaan yang ada…… 
Untuk mencegah kecenderungan “yang tidak sehat” ini terus berlangsung, maka 
harus ada upaya untuk melakukan kampanye yang militan guna mendukung dan 
mengembangkan gagasan-gagasan keagamaan yang terbuka, pluralis dan humanis.

Siapapun yang membaca secara lengkap apa itu JIL -sebagaimana yang mereka 
paparkan sendiri- akan mengetahui bahwa pada mulanya sudah terdapat satu 
pendirian yang diyakininya, yaitu sekularisme yang melahirkan demokrasi dan 
pluralisme dengan slogan inklusivisme. Namun, di hadapannya terdapat 
orang-orang ikhlas yang ingin merubah tatanan yang hancur, kacau, dan penuh 
kezhaliman akibat sistem sekularisme dan liberal yang diterapkan di dunia Islam 
dengan hukum-hukum Islam sebagaimana yang terdapat didalam wahyu Allah SWT. 
Karenanya, logis bila muncul pemikiran untuk mencari jalan agar gagasan dasar 
sekularisme tadi mendapatkan justifikasi dari Islam. Untuk itu, diusunglah 
Islam Liberal. Simaklah salah satu ungkapan tegas Denny JA, salah seorang 
kontributor Islam Liberal, dalam situsnya. “Oleh karenanya sudah saatnya kita 
mengembangkan satu teologi negara sekuler demokratis yang langsung mendapat 
justifikasi dari prinsip-prinsip Islam,” ungkapnya. 


Empat Agenda Yang Membebaskan?

Mereka yang mengklaim Islam Liberal memiliki empat agenda. Agar menarik diklaim 
sebagai agenda yang membebaskan. Luthfi asy Syaukani dalam tulisannya Empat 
Agenda yang Membebaskan menulis keempat agenda iu, yakni, agenda politik, 
agenda toleransi agama, agenda emansipasi wanita, dan agenda kebebasan 
berekspresi. Dalam masalah politik, yang dimaksud dengan agenda ini adalah 
sikap politik kaum muslim dalam melihat sistem pemerintahan yang berlaku. Di 
mata Islam Liberal urusan negara semuanya diserahkan sepenuhnya kepada kaum 
muslim. Negara bukan wewenang agama. Di bidang toleransi, bukan hanya sekedar 
menghargai keagaaman orang kafir melainkan juga memandang bahwa semua agama itu 
sama. Sama-sama masuk sorga. Sama-sama berserah diri. Sementara itu penafsiran 
tentang hukum waris yang qath’iy, jilbab dan poligami dianggap sebagai 
penghinaan terhadap perempuan. Dan, kebebasan berekspresi atau berpendapat 
dimaksudkan agar setiap orang bebas berbuat apa saja termasuk tidak beragama. 

Dalam memecahkan semua ini, menurutnya, kaum muslim dituntut melihat keempat 
agenda ini dari perspektif mereka sendiri, dan bukan dari perspektif masa silam 
yang lebih banyak memunculkan kontradiksi ketimbang penyelesaian yang baik. 
Pernyataan ini lebih menegaskan bahwa Islam yang diterapkan bukanlah Islam yang 
dipahami Rasul dan para sahabatnya serta al-Qur’an yang ditegakkan Rasulullah 
Saw saat itu. Sebab, hal tersebut merupakan pergumulan mereka untuk 
menyelesaikan persoalan pada jamannya. 

Cara berpikir seperti ini sebenarnya merupakan cara berpikir tipikal ideologi 
kapitalisme Barat. Ideologi kapitalisme memandang manusia hidup di suatu 
masyarakat dikarenakan adanya persamaan kepentingan. Mereka menetapkan mana 
yang disepakati benar dan mana yang disepakati keliru. Jadilah hukum. Setiap 
ada persoalan yang muncul, masyarakat berupaya untuk memecahkannya berdasarkan 
pandangannya terhadap persoalan tersebut. Karenanya, masyarakat 100 tahun lalu 
apalagi 1400 tahun lalu menyelesaikan masalah menurut persepsinya sendiri. 
Tentu, berbeda dengan persepsi masyarakat sekarang. Begitu, pandangannya.

Padahal, realitasnya berbagai problem kehidupan itu sama. Yang berbeda hanyalah 
bentuknya saja. Ambil contoh mencuri, dari dulu hingga sekarang yang namanya 
mencuri sama. Bedanya, kalau dulu mencuri kurma, sekarang mencuri TV; kalau 
dulu menggunakan kuda, sekarang menggunakan mobil. Begitu pula manusia. Dari 
dahulu manusia itu tetap karakternya. Punya rasa lapar, haus, gerah, panas, 
kedinginan. Punya gharizah baqa (ingin memiliki, ingin dihargai, hasrat 
memimpin, rasa takut, berani, dan sebagainya), punya gharizah nau’ (mencintai 
isteri/suami, tertarik pada lawan jenis, terangsang bila melihat aurat, sayang 
kepada anak, senang keindahan, dan sebagainya), dan gharizah tadayyun 
(mensucikan Pencipta, lemah, membutuhkan Allah SWT dan sebagainya). Manusia 
yang hidup 1400 tahun lalu memiliki hal yang sama dengan manusia sekarang. 
Padahal, aturan dan hukum tersebut merupakan pengaturan terhadap interaksi 
sesama manusia dengan karakternya yang sama tersebut. Karena itu, Allah SWT 
menurunkan
aturan/hukum kepada seluruh umat manusia, tanpa mengenal perubahan jaman. Hal 
ini sangat rasional, sebab Allah-lah Dzat Mahatahu dan Mahaadil terhadap 
manusia ciptaan-Nya itu. Disinilah Allah Rabbul ‘Alamin memerintahkan kaum 
beriman untuk menerapkan apa saja yang dibawa oleh Rasulullah Saw dan 
meninggalkan apapun yang dilarang oleh Nabi akhir jaman itu. “Dan segala apa 
yang dibawa oleh Rasul kepadamu, ikutilah! Dan apapun yang dilarang oleh Rasul 
bagimu, tinggalkanlah!” begitu makna firman Allah SWT dalam surat al-Hasyr [59] 
ayat 7. Karenanya, sikap menyelesaikan masalah hukum dengan perspektif sendiri 
tanpa mengikuti perspektif al-Qur’an dan As Sunnah yang dicontohkan Rasulullah 
Saw atau menyesuaikan ayat atau hadits dengan perspektif sendiri karena alasan 
jaman berubah bertentangan dengan perintah Allah SWT yang dinyatakan dalam 
al-Qur’an tadi. Kalaupun ada kontradiksi yang terjadi antara realitas 
masyarakat dengan hukum yang digali secara jernih dari Islam bukanlah 
diakibatkan
oleh perspektif yang diambil dari Rasulullah tadi, melainkan dikarenakan sistem 
hidup yang diberlakukan sekarang bertentangan dengan sistem hidup Islam yang 
diberlakukan pada masa Nabi Saw.

Melalui cara berpikir ‘bebas’ yang dipegangnya tersebut, teranglah bahwa yang 
dimaksud dengan ‘empat agenda yang membebaskan’ adalah bebas dari hukum wahyu 
yang disebutnya sebagai ‘perspektif masa silam’ dan bukan ‘perspektif pribadi’. 
Dengan kata lain, bebas dari keterikatan terhadap hukum syara. Padahal, Allah 
Pencipta manusia memerintahkan untuk senantiasa berpegang kepada hukum-Nya. 
Simaklah firman Allah SWT dalam surat Yűsuf [12] ayat 40: “Tidak ada hukum 
melainkan milik Allah”. Begitu pula peringatan-Nya: “Tidakkah engkau (Muhammad) 
melihat orang-orang yang mengklaim bahwa mereka itu beriman pada apa-apa yang 
diturunkan kepada engkau dan pada apa-apa yang diturunkan sebelum engkau, 
sementara mereka berkehendak bertahkim (berhukum) pada thaghut. Padahal, 
merekadiperintahkan untuk kufur pada thaghut tersebut. Dan syaithan berkehendak 
untuk menyesatkan mereka dengan kesesatan yang jauh.” (Qs. an-Nisâ[4]: 60).


Sekularisme Ide Dasar JIL Pertama

Bagaimana sebenarnya pandangan atau pemikiran keagamaan kelompok yang menamakan 
dirinya Jaringan Islam Liberal, meski tidak ditegaskan secara resmi dalam situs 
tersebut, tapi cukup tergambar dari sejumlah artikel dan wawancara yang ada. 
Siapapun yang mengelaborasi ide-ide kelompok yang dinamakan Islam Liberal akan 
menyimpulkan bahwa ada dua ide dasar yang diembannya. Pertama, sekularisme, dan 
kedua, konsekuensi logis dari sekularisme adalah liberalisme.

Yang paling menonjol, disamping pandangan-pandangan teologis yang seperti biasa 
cenderung mengada-ada dan rada “genit” tapi dianggap oleh mereka sebagai 
sesuatu yang “progresif”, adalah keteguhannya untuk bersikeras memisahkan agama 
dari negara (sekularisme). Sekalipun sekularisme acapkali dibedakan dengan 
sekularisasi, keduanya sama-sama pemisahan agama dari kehidupan. Negara dalam 
pandangan JIL, haruslah netral dari pengaruh agama apapun. Sementara, agama 
harus tetap dipertahankan dalam wilayah privat. Begitu agama dibawa ke wilayah 
publik, apalagi dengan membawa-bawa peran negara, pasti akan melanggar 
nilai-nilai demokrasi yang memberikan jaminan kebebasan kepada individu dan 
prinsip eksistensi negara sebagai penjaga harmoni interaksi antar kelompok di 
tengah masyarakat. Tegasnya, menurut JIL, negara sekuler itu lah yang terbaik. 
Banyak sekali ungkapannya tentang hal ini. Diantaranya, korban pertama dari 
penerapan syariat adalah perempuan, pisahkan kehidupan agama dari negara,
Islam bukan wewenang negara, terapkan pluralisme dan demokrasi. “Saya kira kita 
harus memperjelas bahwa agama-agama itu sudah ada sebelum adanya negara. Karena 
itu, sebetulnya negara tidak mempunyai kompetensi untuk mengatur agama, karena 
agama ada di atas negara,” ujar Djohan Effendi salah seorang kontributornya. 
Pendapat ini terlihat menggelikan. Bagaimana tidak, bila memang mengakui agama 
ada di atas negara maka logisnya negara itu harus diatur oleh hukum agama. 
Bukan malah sebaliknya menyingkirkan agama.

Lebih dari itu, bahkan menuding diterapkannya syariat Islam akan mendatangkan 
bahaya, termasuk untuk perempuan. Kontributor JIL lainnya, Muslim Abdurrahman, 
tanpa merasa dosa menyatakan: “Banyak dampak negatif yang bakal muncul dari 
pemaksaan penerapan syariat Islam di Indonesia. Dari soal kemiskinan, 
ketidakadilan hukum, hingga perampasan hak-hak kewarganegaraan akibat 
sentralisme kekuasaan pada hanya satu penafsiran. Korban pertama yang bakal 
muncul akibat penerapan syariat Islam itu adalah kaum perempuan.” Karena, 
menurutnya, “banyak sekali regulasi dalam Islam yang membatasi ruang gerak kaum 
perempuan.”

Oleh karena itu, komunitas JIL sama sekali menolak keinginan sejumlah elemen 
dari umat Islam yang menuntut penerapan syariah Islam di Indonesia, meski 
terbatas hanya untuk umat Islam sekalipun. Sekali lagi, penerapan syariah oleh 
negara berarti telah melanggar prinsip netralitas negara yang harus menjaga 
prinsip-prinsip non diskriminasi dan equality (kesamaan) diantara seluruh warga 
negara. Meski hanya khusus untuk umat Islam, penerapan syariah juga tetap 
dipandang JIL telah melanggar hak pribadi untuk memilih dalam sikap beragama.

Benarkah demikian? Orang yang memahami al-Qur’an dan As Sunnah akan memandang 
sebaliknya. Banyak sekali contoh tentang hal ini. Jika kita pikirkan antara 
masyarakat yang rata-rata kehidupan seksual para anggotanya bersih karena 
diberlakukan hukum Islam dengan masyarakat yang permisif dan kacau, yang 
didalamnya industri seks sudah dianggap sebagai hal yang lumrah akibat paham 
serba bebas (liberalisme) dan sekularisme; hukum ditentukan oleh yang kuat 
(hukum rimba); maka bagaimanakah kesimpulannya? Tentu, masyarakat jenis pertama 
merupakan masyarakat yang lebih luhur dan lebih sesuai dengan harkat dan 
martabat manusia. Sedangkan yang kedua pada hakikatnya menjurus pada masyarakat 
binatang yang hidup semau gue, di hutan belantara dengan hukum rimba, yang 
tidak jauh berbeda dengan hewan ternak (lihat Qs. al-A’râf [7]: 179). Tapi, 
anehnya, masyarakat masih ada yang ikut-ikutan memandang bahwa masyarakat 
sekuler yang serba permisif itulah yang dianggap masyarakat modern (lebih 
tepatnya ‘sok
modern’), sedangkan masyarakat yang menerapkan dan berupaya untuk menegakkan 
hukum Islam dipandang sebagai masyarakat tradisional, konservatif, bahkan 
‘primitif’.

Dalam kenyataannya, politik sekuler memang meremehkan nilai agama dan memandang 
agama sebagai masa lalu yang sudah tidak lagi memiliki peran dalam masalah 
publik. Dalam kehidupan pribadi sekularisme agama boleh jadi masih ada, tapi 
dalam kehidupan publik agama dinilai akan memutar jarum jam ke belakang. 
Akibatnya, sekularisasi manusia beserta materialisasi dan humanismenya 
mendekonsekrasi nilai-nilai kehidupannya; dan pada gilirannya mendewakan 
manusia itu sendiri. Bila manusia sudah mendewakan dirinya sendiri, ia akan 
kehilangan kontrol dan daya pembeda (furqân) antara yang haq dan batil, antara 
yang terpuji dengan yang tercela. Apalagi dibarengi dengan paham machiavellis. 

Berbeda dengan itu, Islam menyatukan antara materi dengan ruh, antara kehidupan 
masyarakat dan negara dengan Islam. Islam menolak tegas sekularisme ataupun 
sekularisasi. Setiap gerak-gerik manusia wajib diatur oleh aturan Islam (lihat 
Qs. al-An’âm [6]: 162). Islam tidak mengenal pemisahan istilah kaum rohaniawan 
(rijâl ad dîn) dan negarawan (rijâl ad dawlah). Sebaliknya, semua penganut 
Islam dinamakan muslimun. Karenanya juga, tidak ada pemisahan antara Islam 
dengan negara. Bahkan, Islam merupakan agama yang salah satu ajarannya adalah 
negara (Al islâmu dînun minhu ad dawlah). Dalam Islam, pusat segala-galanya 
adalah Allah Pencipta alam semesta (theosentris).

Dengan menyatukan agama (Islam) dengan kehidupan masyarakat dan negara maka 
kesadaran akan pengawasan Allah SWT merupakan dasar bagi setiap perbuatan, 
tindakan, kebijakan dan aturan yang ditetapkan. Takut kepada Allah Dzat 
Mahaperkasa menjadi pijakan. Karenanya, setiap orang termasuk penguasa tidak 
akan semena-mena dalam berbuat kezhaliman, tidak mendustai rakyat apalagi 
mengkhianatinya. Rakyat pun tidak akan rela membiarkan kemungkaran yang 
dilakukan oleh penguasanya. Pada sisi lain, hukum yang akan berdampak efektif 
adalah hukum yang diyakini kebenarannya. Padahal, hukum yang diyakini 
kebenarannya secara penuh adalah hukum yang lahir dari akidah. Dan, itu adalah 
Islam. 


Liberalisme Ide Dasar JIL Kedua

Berikutnya, ide dasar kedua yang diusung JIL adalah liberalisme. Dalam hal ini 
yang paling menonjol adalah kebebasan berekspresi/berpendapat sebagaimana 
disebutkan dalam empat agendanya. Apa yang dimaksudkan kebebasan berekspresi 
oleh mereka? Pertama, siapapun boleh memeluk agama apapun atau tidak beragama 
sekalipun. Konsekuensinya, murtad tidak jadi soal. Dalam pandangannya, semua 
agama tidak ada bedanya. Simaklah ungkapan pengusungnya yang diwakili Djohan 
Efendi: “Beragama adalah pilihan sukarela seseorang yang tidak bisa 
dipaksa-paksa. Siapa saja bebas untuk menentukan agamanya, apakah ia akan 
memilih Islam, Kristen, Hindu, Budha, atau agama lainnya. Bahkan, orang juga 
bebas memilih untuk tidak beragama. Sebab, selama beragama adalah soal 
keyakinan individual, maka ia tak bisa dipaksakan. Kalau kita memaksa seseorang 
harus beragama, maka keberagamaan yang muncul jadi tidak tulus,” ujarnya. Orang 
yang membedakan antara muslim dengan kafir disebut kelompok Islam Liberal 
sebagai
dualistis. Ulil menulis: “Jalan dialog adalah satu-satunya jalan yang paling 
mungkin ditempuh sekarang ini. Jalan konfrontasi hanyalah akan menguntungkan 
orang-orang yang mempunyai pandangan dualistis mengenai kehidupan ini: “Islam” 
dan “kafir”, baik dan jahat, dan seterusnya.”

Padahal, memang, Allah SWT tidak memaksa seorang kafir untuk masuk Islam dengan 
cara diancam dengan senjata, misalnya. Di dalam suatu pemeritahan Islam boleh 
saja ada orang kafir, seperti pada jaman Nabi. Sebab, tidak ada paksaan dalam 
menganut agama. Namun, ketika seseorang sudah menganut Islam, maka Allah SWT 
‘memaksa’-nya untuk mentaati aturan-aturan Islam. Dan, “Barang siapa mengganti 
agamanya maka bunuhlah,” kata Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari 
Sayyidina ‘Ali r.a. Juga, Allah SWT melarang murtad: “… Barangsiapa murtad 
diantara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah 
yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni 
neraka, mereka kekal di dalamnya.” (Qs. al-Baqarah [2]: 217). Dan, Allah SWT 
sendiri menggunakan istilah mukmin-kafir ini. Misalnya didalam surat 
al-Bayyinah [98] ayat 6 dan 7 menyebutkan: “Sesungguhnya orang-orang kafir 
yakni ahlu Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka jahannam; mereka
kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. Sesungguhnya 
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih mereka itu adalah 
sebaik-baik makhluk.”

Kedua, bebas berbuat karya apapun, apalagi bila sesuatu itu dipandang seni. 
Kelompok ini menyatakan “Seni tak bisa dihalal-haramkan”, kata Abdul Hadi WM 
dari kelompok Islam Liberal. “Yang ada dalam seni,” lanjutnya, “adalah indah 
atau buruk, bukan halal atau haram”. Dengan pandangan semacam ini, maka ketika 
heboh dua orang mahasiswa di Bandung mengabadikan perzinahannya dalam VCD 
dianggap sebagai kebebasan pribadi dia. Begitu pula, saat seorang penyanyi 
wanita membuat klip dengan udel kemana-mana, pinggul digoyang agar merangsang, 
dikerubuti banyak pria, sambil menyanyikan lagu dianggap sebagai karya seni. 
Bebas! Gambar yang disebut Nabi Muhammad yang dipampang dalam majalah Newsweek, 
dalam kacamata ini dianggap karya seni. 

Ketiga, bebas menghujat keotentikan al-Qur’an dan menjelek-jelekannya. Juga, 
sekalipun tidak secara terang-terangan menyatakan tidak beriman pada al-Qur’an, 
namun memandang bahwa penulisan al-Qur’an yang ditulis sekarang tidak lengkap 
dan penuh fiksi (cerita bohong) dan mitos. Artinya, al-Qur’an itu perlu 
diragukan. “…Berbagai kesimpangsiuran, seperti ditunjukkan di atas, 
memperlihatkan bahwa teori dominan tentang pengumpulan pertama al-Qur’an di 
masa Abu Bakr adalah fiksi semata… Bagi rata-rata sarjana Muslim, 
“keistimewaan” rasm utsmani merupakan misteri ilahi dan karakter kemukjizatan 
al-Qur’an. Tetapi, pandangan ini lebih merupakan mitos ketimbang prasangka 
dogmatis. …. Uraian yang diterakan sejauh ini memperlihatkan eksisnya suatu 
jaringan fiksional yang telah ditenun di sepanjang perjalan historis 
al-Qur’an…,” kilah Taufik Adnan dari kelompok Islam Liberal. 

Keempat, bebas memberi cap negatif (stigma) kepada umat Islam yang berpegang 
teguh kepada aturan Islam serta memberi sebutan bagus pada diri mereka. 
Dibuatlah dikotomi Islam tradisional vs modern, Islam moderat vs fundamentalis, 
Islam legalistik/formalistik vs substantif/normatif, Islam ekslusif vs 
inklusif, Islam ramah vs garis keras, Islam liberal vs literal, dan seabrek cap 
lain. Ungkapan-ungkapan ini tidak pernah luput dalam setiap ungkapan dan 
tulisan mereka. Arahnya mengkotak-kotakkan umat. Cap-cap negatif untuk orang 
yang ikhlas menerapkan dan membela Islam dengan hati dan pikiran jernih, 
sedangkan cap-cap yang positif diperuntukkan bagi mereka. Padahal, kategori 
dalam al-Qur’an itu adalah mukmin-muslim, kafir, munafik, zhalim dan fasik. 
Mereka yang taat kepada Allah SWT dengan menjalankan Islam itulah 
mukmin-muslim, merekayang ingkar dialah kafir, orang yang pura-pura beriman 
padahal sebenarnya ingkar namanya munafik, sedangkan orang yang melakukan dosa 
secara
sembunyi-sembunyi padahal ia tahu bahwa menurut Islam hal itu adalah dosa 
disebut zhalim, dan orang yang melakukan dosa secara terang-terangan padahal ia 
tahu bahwa menurut Islam hal itu adalah dosa disebut fasik.

Kelima, bebas menginterpretasikan ayat dengan menggunakan akal semata. Artinya, 
yang menurut akal sesuai itulah yang benar. Muncullah istilah tafsir humanis, 
tafsir inklusif, dan lainnya. Sekalipun hasilnya bertentangan dengan teks itu 
sendiri tidak persoalan, asal substansi tetap ada. Padahal, al-Qur’an itu wahyu 
dari Allah SWT yang berupa teks (nash). Jadi, hal penting dalam memahami suatu 
pernyataan apapun adalah teksnya itu, lalu dihubungkan dengan latar belakang 
(asbabun nuzűl) ayat untuk memahami maknanya bukan malahan untuk 
mengabaikannya. Betul, Allah SWT sangat menghargai berpikir. Lebih dari 43 
al-Qur’an menyebut kata berpikir. Namun, bukanlah berpikir liar melainkan 
berpikir tentang realitas, memahami nash, lalu menghubungkan antara realitas 
dengan nash. Realitas sebagai objek hukum, bukan subjek hukum. Karenanya, 
kebebasan interpretasi masing-masing tanpa berpegang kepada teks al-Qur’an 
tidak lebih dari sekedar menjadikan al-Qur’an sebagai hiasan semata, alat 
legitimasi
keyainan yang sebenarnya sudah ada.

Itulah ternyata pengertian liberal (bebas) yang mereka usung. Bebas dalam makna 
tadi, jelas, diperangi oleh Islam. Islam telah menetapkan hukum-hukum yang 
mengatur perbuatan manusia, baik tindak tanduk maupun perkataannya. Tidak 
dibenarnya manusia melanggar hukum tersebut, menyimpang darinya dan atau 
berbuat rusak dan membuat kerusakan (fasad) sekehendaknya. Tidak dibenarkan 
oleh Islam adanya riddah (murtad), tuduhan dusta, ide-ide bohong, riba, khamr, 
perjudian, hubungan jenis diluar pernikahan, sebaliknya yang ada adalah 
kehidupan yang bersih tanpa kezhaliman dan penyembahan manusia terhadap manusia 
melainkan penyembahan murni semata kepada Allah Dzat Mahaperkasa. 


Agen Pemikiran Barat Kafir

Bila dibandingkan antara keyakinan ideologi Barat (kapitalisme) dengan ide-ide 
dasar Islam Liberal tadi tidak ada bedanya. Sebagai misal, menurut Harvey Cox, 
komponen-komponen sekularisasi adalah disenchanment of nature, desakralisasi 
politik, dan dekonsentrasi nilai-nilai. Disenchanment of nature berarti 
pembebasan alam dari nilai-nilai agama, agar masyarakat dapat melakukan 
perubahan dan pembangunan dengan bebas. Desakralisasi politik bermakna 
penghapusan legitimasi sakral (agama) atas otoritas dan kekuasaan, dan hal ini 
merupakan syarat untuk mempermudah kelangsungan perubahan sosial dan poltik 
dalam proses sejarah. Sedangkan dekonsentrasi nilai-nilai, maknanya adalah 
perelatifisasian setiap sistem nilai, termasuk nilai-nilai agama, supaya 
manusia bebas mendorong perubahan-perubahan evolusioner tanpa terikat lagi 
dengan nilai-nilai agama yang bersifat absolut (Cakrawala Islam, 1991). 
Berdasarkan hal ini jelas sekali bahwa sekularisme atau sekularisasi itu 
memandang agama sebagai
penghambat kemajuan, dan karenanya harus dipisahkan dari peranannya mengatur 
kehidupan masyarakat dan negara. Dalam ideologi tersebut, pusat segala-galanya 
adalah manusia (antroposentris). Sedangkan ajaran agama (baca: Islam) dianggap 
relatif sehingga tidak dapat dijadikan tolok ukur. Nampaklah, gagasan 
sekulerisme dan liberal merupakan akar peradaban ideologi kapitalisme yang kini 
diusung oleh Barat pimpinan AS. Karenanya, sulit dibantah, gagasan Islam 
Liberal hanyalah merupakan kepanjangan tangan dari negara Barat dalam 
menundukkan Islam dan kaum muslim dengan menggunakan bahasa agama; merupakan 
agen pemikiran Barat kafir.

Adapun dari segi politis, mengikuti apa yang dikatakan Syeikh Taqiyyuddin An 
Nabhani (At Takattul Al Hizbiy, 1953) Barat imperialis terus menerus menjajah 
dunia Islam dalam segala bentuknya. Diantaranya dengan menguasai perekonomian, 
politik, diterapkannya hukum kufur, mencengkeramkan tsaqofah Barat dan 
memberikan pemahaman tentang al-Qur’an didasarkan pada tsaqofah Barat tersebut. 
Perangkat untuk itu ada tiga, yaitu: penguasa yang zhalim, kalangan cendekiawan 
yang terbaratkan, dan zhalamiyyun. Dengan peta seperti ini, terlihat kelompok 
yang mengusung gagasan Islam Liberal, sadar atau tidak, merupakan pion yang 
dipasang Barat di depan kaum muslimin agar tidak kembali kepada Islam. Dalam 
konteks inilah kita memahami apa yang menjadi salah satu tujuan JIL: “…mencegah 
agar gagasan-gagasan keagamaan yang militan dan pro kekerasan menguasai 
publik.” Apalagi realitas menunjukkan bahwa benang merah Islam Liberal di 
Indonesia ini puncaknya adalah Cak Nur yang sudah dikenal sejak dulu sebagai
pro Barat. Dilihat dalam konteks ini, Islam Liberal telah memproklamirkan 
dirinya sebagai pencegah diterapkannya hukum Islam, menghambat dilanjutkannya 
kehidupan Islam dengan tegaknya Khilafah Islamiyyah.

Sungguh, Barat sangat paham betapa bahayanya Islam yang adil terhadap 
peradabannya. Barat juga tahu bahwa Islam merupakan calon pengganti 
peradabannya yang kini sudah gontai. Karenanya, Barat mulai menyerang Islam 
dengan uslub (teknik) yang baru berupa serangan melalui jalan para pengekor 
gagasan dan tsaqofahnya atas nama kebebasan (liberal). Di samping, Barat juga 
terus memerangi kaum muslim melalui berbagai organisasinya (PBB, IMF, dan 
sebagainya.) yang menghukumi kaum muslim. Bahkan, berupaya memerangi Islam dan 
kaum muslim langsung oleh dirinya sendiri melalui, misalnya, Konsperensi 
Internasional untuk Kependudukan dan Pembangunan di Kairo tahun 1991. Salah 
satu isinya, melegalkan praktik aborsi, homoseksual, dan lesbianisme. Mengapa 
dilakukan di Kairo? Mengapa dimuktamarkan, bukankah di dunia Barat hal tersebut 
sudah biasa? Sayangnya, ada diantara putra-puteri Islam yang mengagumi tsaqofah 
mereka, menerima nilai-nilainya dan mencampuradukan antara haq dengan batil. 

Sekalipun demikian, sungguh, kita sangat yakin bahwa Islam nan agung ini tidak 
akan pernah dipengaruhi oleh saham-saham musuh dan tipu daya para agennya. 
Islam adalah dînullâh (agama Allah), dînulhaq (agama kebenaran), tali-Nya yang 
kokoh. Karenanya, kaum muslim wajib berpegang teguh kepadanya, mengikatkan diri 
pada hukumnya, dan peganglah sekuat tenaga. Di dalam Islam-lah terdapat 
kebaikan kaum muslim dan kelurusan urusannya. Itulah senjata hebat kita dalam 
menggagalkan rencana Barat kafir dan para anteknya, dan dengan itulah 
konspirasi mereka porak-poranda. Ya, Allah, saksikanlah telah aku sampaikan!

“Mereka hendak memadamkan dengan mulut-mulut mereka cahaya Allah, namun Allah 
penyempurna cahaya-Nya sekalipun orang-orang kafir benci.” (Qs. ash-Shaf [61]: 
8).



---------------------------------
  Yahoo! Messenger - Communicate instantly..."Ping" your friends today! 
Download Messenger Now

[Non-text portions of this message have been removed]






***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Posting: [EMAIL PROTECTED]
5. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
6. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
7. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]



Yahoo! Groups Sponsor 
Get unlimited calls to

U.S./Canada


---------------------------------
Yahoo! Groups Links

   To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/
  
   To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]
  
   Your use of Yahoo! Groups is subject to the Yahoo! Terms of Service. 



                
---------------------------------
Gesendet von Yahoo! Mail - Jetzt mit 100MB kostenlosem Speicher

[Non-text portions of this message have been removed]






------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
$9.95 domain names from Yahoo!. Register anything.
http://us.click.yahoo.com/J8kdrA/y20IAA/yQLSAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Posting: [EMAIL PROTECTED]
5. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
6. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
7. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke