Heheheh..
Aku setuju dengan istilah "Gombalisasi". Saat kebenaran menjadi semu dan hanya tinggal sebagai jejak-jejak yang berbentuk slogan. Saat kita berbicara mengenai multikulturalisme, kita lupa telah mendiskreditkan keyakinan tertentu. Ketika kita memuji AS dengan keberadaan "TV Muslimnya" kita lupa bahwa Indonesia sudah lama ada "TV agama" baik itu TV Islam, TV Kristen atau TV Hindu yang dipancarkan langsung dengan satelit. Toh tidak ada FPI, tidak ada PGI tidak ada yang melakukan anarkisme. Saat kita berbicara bagaimana menciptakan kesetaraan, kita dikejutkan dengan WNI China yang menjual Gombal; telah diperkosa muslim Indonesia, hanya untuk mendapat suaka. Penipuan-penipuan dengan mengkambinghitamkan agama, untuk merangkul massa, mendapat greencard atau untuk mendapat sumbangan. Ternyata agama dan toleransi yang kita agungkan hanya sebuah komoditas yang tidak berharga. KOmoditas yang ditukar dengan kepentingan beberapa gelintir org.... hehehhe Saat "kebebasan" didengungkan dengan suara-suara pendiskreditan terhadap sebuah elemant tertentu. Mengapa manusia tidak pernah jujur dengan makna keagungan "kebebasan' itu sendiri. Mengapa kita tidak pernah lepas dari semua "kepentingan ini". Ah, dunia kayaknya akan selalu begini... Salam Damai, JM Jatuhnya Domino Hans Gouw Tertangkapnya komplotan Hans Gouw membuat imigran gelap Indonesia di Amerika Serikat takut dideportasi. Komplotan ini terbongkar dengan dipancing lewat pemohon suaka palsu asal Indonesia. Bagaimana trik menjebak biro jasa itu dijalankan? Kini 2.000 pemohon suaka akan disapu bersih dan diadili. SUASANA perkampungan warga Indonesia di Philadelphia Selatan terasa tegang. Semua mata melihat dengan curiga saat Gatra masuk ke salah satu toko Indonesia, di Snyder Avenue. Bahkan tiga orang lelaki yang baru turun dari mobil van balik naik ke dalam mobilnya. "Itu wartawan! Wartawan! Jangan-jangan kita dilaporkan," kata seorang di antara mereka. Banyak warga kehabisan koran-koran lokal berbahasa Indonesia. Situasi serupa yang terasa di beberapa pusat pencucian pakaian (laundry) di Philadelphia Selatan. Mereka ingin tahu daftar nama 26 warga Indonesia yang tertangkap di Negara Bagian Virginia. Dan yang lebih penting, mereka ingin tahu nasib mereka selanjutnya. Maklum, tertangkapnya komplotan Hans Gouw merupakan mimpi buruk bagi kebanyakan warga Indonesia di Amerika Serikat. Sebab, bisa dipastikan nasib mereka, yang mayoritas pemohon suaka politik dan mengantongi kartu identitas palsu, berada di ujung tanduk. Tak lama lagi, sebanyak 2.000 pemohon suaka akan "disapu bersih" dan setelah diadili, karena kasus pemalsuan, bakal dipulangkan ke Indonesia. Nasib buruk mereka akibat ulah kawanan Hans Gouw, komplotan 26 orang pemalsu identitas dan suaka politik di Virginia yang ditangkap pekan lalu. Tidak seperti pelanggar hukum di Amerika Serikat, yang kebanyakan menyembunyikan identitasnya, kelompok ini seakan tenang- tenang saja memamerkan diri. Di setiap iklan berukuran besar yang dipasang CIAS (Organisasi Masyarakat Cina Amerika) di beberapa media berbahasa Indonesia di California dan negara bagian lainnya, Hans Gouw memasang foto rumahnya yang mewah itu. Rumah Hans yang terletak di Pohick Station Drive, Fairfax Station, Virginia, memang cukup mewah. Halamannya luas, dan di depan pintu masuk terdapat sebuah air mancur mini. Sementara itu, di depan garasi berderet mobil mewah. Merek mobil itu terkenal sebagai mobil mahal. Seperti BMW sport warna metalik bernomor pelat "Yanti G" milik Isnayanti Gouw, lalu mobil jip Cadillac Escalade bernomor pelat "Hi Joe" milik Joandi, keponakan Hans. Juga ada dua mobil jip merek lain bernomor pelat "CIAS 1" dan "CIAS 2". Ada pula mobil Hyundai bernomor pelat "Hi Lia". Bahkan menurut penuturan Tanudjaja, salah satu warga Indonesia yang minta asilum lewat Hans, di garasi rumah Hans ada dua mobil Mercedes dan BMW keluaran tahun terakhir. Sementara itu, di tembok tapal batas jalanan masuk ke pekarangan rumahnya tertera "The Gouws 6155". Saat Gatra membunyikan bel rumahnya, seorang anak muda --kemungkinan Joandi Gani, salah satu tersangka yang ditangkap pekan lalu-- mengintip dari balik gorden rumah mewah itu sebelum keluar. Sambil tetap memegang daun pintu, ia menanyakan maksud kunjungan Gatra. "Ini Joandi?" tanya Gatra. Pemuda itu balik bertanya, "Memang kenapa?". Dan setelah dijelaskan, ia hanya menjawab, "Wah, Pak Hans tidak ada. Tidak jelas kapan pulangnya," katanya. Wajahnya terlihat tegang, sementara di balik pintu tampak sejumlah wanita menongolkan wajahnya dengan sembunyi-sembunyi. Suasana tegang juga terlihat di kantor AAPS (Asia American Placement Services), yang terletak di deretan depan gedung perkantoran Spring Mall Building, Springfield, Virginia. Seorang lelaki bule, diduga Michael Wright, suami Megawaty Gandasaputra, direktur biro jasa itu, mengangkut beberapa kotak warna biru dan pesawat televisi, dibantu Joandi, ke dalam jip bertuliskan "Hi Joe". Saat Gatra mendekat, mereka buru-buru masuk ke dalam kantor AAPS, membiarkan pintu mobil belakangnya terbuka. Memang tidak terlihat ada komputer yang diangkut ke luar. Maklum, petugas Biro ICE (Immigration and Customs Enforcement) telah menyita perangkat keras yang diduga digunakan komplotan Hans Gouw memproses seluruh dokumen dalam kasus pemalsuan permohonan suaka politik dan identitas. Seperti diketahui, dalam penyelidikan kasus Hans ini, ICE dibantu sejumlah pendatang gelap asal Indonesia lewat beberapa cara. Di antaranya, para warga RI itu diminta ICE mendekati kelompok Hans cs, sambil berpura-pura menjadi peminat suaka palsu. Petugas ICE juga memastikan bahwa semua warga RI yang membantu mereka itu tidak pernah melakukan kejahatan di Amerika Serikat. Eliana, misalnya, yang mengajukan permohonan suaka lewat CIAS pada 14 Agustus 2003, menggunakan nama palsu. Tidak seperti biasanya, kali ini Hans dan komplotannya tidak mencantumkan nama mereka sebagai biro jasa yang membantu Eliana. Entah untuk mengelabui petugas, CIAS mengajukan surat permohonan itu lewat kantor imigrasi di Texas. Tapi alamat Eliana tetap di Virginia, di tempat tinggal Hans Gouw yang lama, di 13105 Canova Drive, Manassas, Virginia. Dalam permohonannya itu, Eliana dikatakan menderita perlakuan tidak adil dan penganiayaan sejak kecil oleh bosnya yang muslim. Untuk itu, Eli harus membayar pada CIAS US$ 2.750 untuk pembuatan surat kelahiran palsu, dengan nama baru, yang seolah dikeluarkan Kantor Catatan Sipil Jakarta, Februari 2001. Surat palsu itu seolah diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh CIAS pada 8 Agustus 2003. Sebulan kemudian, Eli menemui Brigitta Parerra, seorang pegawai Hans, di rumah Hans di Pohick Street, Fairfax. Di rumah mewah itu, Eli dilatih menghadapi pewawancara dari kantor imigrasi Amerika Serikat. Antara lain menghafal cerita bohong, dan menjawab pertanyaan dasar tentang agama Kristen, soal Yesus dan Injil. Selain itu, Eli juga diminta memohon pada petugas agar ia bisa menghindari ancaman penganiayaan di Indonesia. Dan terakhir, Eli diminta menangis dan terlihat sedih sambil menjelaskan bahwa warga muslim fanatik akan membunuhnya bila ia kembali ke Indonesia. Pada saat wawancara dengan petugas imigrasi, Brigitta bekali-kali mengingatkan tentang latihan yang diberikan. "Wanita pembimbing" ini juga memelesetkan terjemahannya agar lebih dramatis. Contohnya, ketika petugas bertanya apakah Eli punya kenalan atau keluarga yang pernah mengalami kekerasan di Indonesia, Eli menjawab ia punya kenalan wanita yang mengalami nasib serupa. "Lalu, apa yang terjadi padanya?" tanya petugas. Eliana hanya menjawab, "Nggak tahu. Dia ngomel-ngomel saja." Tapi oleh Brigitta diterjemahkan dengan, "She got raped (diperkosa)." Brigitta ternyata tidak tahu bahwa Eli adalah orang suruhan ICE untuk menjebaknya. Lain lagi yang dilakukan salah satu mata-mata ICE bernama samaran Hendra. Warga Indonesia ini dipasangi alat penyadap di tubuhnya saat menghubungi Herlina Suherman, perwakilan CIAS untuk Amerika Serikat Tengah. Dari percakapan mereka didapat keterangan Herlina: "Imigrasi mulai merasa banyak yang bohong, mereka mengajukan suaka, cuma sekadar mengajukan saja. Memang benar begitu sih. Banyak yang tujuannya cuma memperpanjang waktu supaya bisa tinggal di sini lebih lama, sampai tiga, empat, atau lima tahun. Langsung telepon Pak Hans. Dia sudah menangani permohonan suaka sampai lebih dari 700 orang, lho." Ketika Hendra menjelaskan bahwa dia tidak punya pengalaman buruk, Herlina menjawab, "CIAS akan membuatkan cerita." Ketika ditanya Hendra, siapa Pak Hans, Herlina menjawab, "Eeh, bukan dia sendiri sih, tapi kayaknya pegawainya. Saya bilangin ya, kalau nggak punya cerita, saya kirim formulir, saya kirim lagi ke Pak Hans, bos saya. Nanti dia yang ngurus semua. Mereka juga bisa bikin surat kelahiran." Pada 20 Oktober 2003, Hendra diminta datang ke markas CIAS di Virginia. Di situ dijelaskan bahwa Hendra akan didampingi Achnita Hanny yang bertindak sebagai penerjemah sekaligus pelatihnya yang berpengalaman sebanyak 30 kali. "Jangan terlalu sering lihat ke arah Achnita, ya. Nanti jadi kelihatan bahwa kita kerja sama. Akting- akting dikit. Sebisa mungkin nangis." Saat latihan wawancara, Hendra diminta menjelaskan bahwa ia dirawat dua hari di rumah sakit karena dianiaya oleh sekelompok orang muslim. "Dihafal betul-betul cerita dan urutan kejadiannya. Pura- pura nggak bisa bahasa Inggris, ya, di depan petugas." Wawancara dengan petugas imigrasi berjalan mulus. Kini Hans Gouw dan sejumlah tersangka lelaki --dari 23 orang yang ditangkap-- berstatus tahanan luar dengan uang jaminan US$ 50.000 per orang. Akhir pekan lalu, Teguh Wardoyo, Kepala Bidang Konsuler Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI), yang menjenguk tiga tahanan di penjara wanita, Alexandria menjelaskan, mereka meminta bantuan KBRI. "Kami hanya bisa membantu agar mereka yang ditahan bisa mendapatkan hak-haknya. Misalnya didampingi penasihat hukum, diberi makan dan penginapan yang layak," kata Teguh kepada Gatra. "Mereka bertiga menangis minta pulang ke Indonesia," Teguh menambahkan. Dari kasus ini bisa ditebak bahwa ke-23 orang tersangka bermain-main dengan hukum Amerika Serikat yang dikenal sangat tangguh. Pola pikir sederhana dan melecehkan hukum, seperti yang biasa dilakukan di Indonesia, mereka anggap bisa diterapkan di Amerika. "Seperti makelar atau biro jasa SIM atau STNK yang banyak terdapat di hampir seluruh kota Indonesia," kata seorang warga Amerika Serikat yang pernah mengajar di Universitas Brawijaya, Malang. Kebodohan komplotan Hans Gouw bisa dilihat dari cara mereka melaporkan pajak penghasilan yang hanya US$ 5.000 setahun. "Setara gaji pelajar SLTA yang nyambi kerja," kata mantan dosen itu. Sementara itu, Hans Gouw tinggal di rumah mewah seharga US$ 500.000 lebih. Ia juga menyimpan tabungan sebesar ratusan ribu dolar di bank- bank lokal Virginia. Tentu saja, ini membuat curiga petugas pajak yang memonitor transaksi perbankan setiap nasabah bank. Deposito cek kiriman para peminta suaka juga diberi keterangan "biaya asilum". Bahkan, setiap mobil mewahnya diberi pelat nomor sesuai dengan nama mereka masing-masing. "Semuanya terang-terangan. Bukti di mana-mana, sehingga yang dilakukan Hans Gouw tinggal meneken surat penahanan dirinya," kata mantan dosen itu lagi. Besar kemungkinan, persidangan ke-26 orang itu digelar awal tahun depan. Bisa dipastikan, mereka masing-masing terkena belasan pasal pidana. Kalau satu pasal saja ancaman hukuman penjaranya lima tahun, maka Hans Gouw hampir pasti menjalani puluhan tahun. Setelah pengadilan usai kelak, Hans Gouw dan keluarganya harus meninggalkan beberapa rumah, plus mobil-mobil mewahnya, yang bakal disita Pemerintah Amerika Serikat, karena dianggap sebagai hasil kejahatan. Komplotan itu akan ramai-ramai pindah ke sel-sel di hotel prodeo, yang tempat tidur dan kakusnya jadi satu. Mereka akan meninggalkan hampir 2.000 imigran gelap Indonesia yang mengurus asilum dan kini waswas bakal digerebek dan dipulangkan ke Indonesia. Seperti biji-biji domino berjatuhan," kata Tanudjaja, yang tak tahan mendengar berita ihwal asilum bohong. Tanu juga pernah menjalani "latihan" lima kali di rumah Hans Gouw di Virginia. Mudah-mudahan saja Hans Gouw, pria Jakarta kelahiran Manado berusia 53 tahun dengan tinggi tubuh sekitar 160 cm ini, masih mampu menahan diri. Seperti yang biasa ia lakukan saat menemui setiap pelanggannya. "Tutur bahasanya halus, dan ia seakan mampu menyembunyikan emosinya. Hebat orang itu," kata Tanudjaja sambil geleng-geleng kepala. --------------------------------------------------------------------- ----------- Dipancing Kolom Kosong DI antara pelanggan komplotan Hans Gouw yang jumlahnya ribuan itu, ada beberapa di antaranya yang terlewatkan. Seperti dituturkan Tomi. Lelaki yang mengajukan suaka pada 2003 di kantor suaka di Texas ini tidak pernah diurus oleh Hans. Padahal, ia sudah membayar US$ 2.000. Untuk menjebak komplotan Hans Gouw, petugas imigrasi sengaja mengeposkan langsung formulir isian asilum ke Tomi. Setelah mengisi data diri pribadi, Tomi sengaja mengosongkan kolom alasan mengajukan asilum. Ia lalu mengirimnya ke Hans Gouw. Tak berapa lama, formulir Tomi kembali ke petugas imigrasi, dan sudah terisi lengkap dengan alasannya. Siapa lagi yang mengisinya kalau bukan Hans dan kaki tangannya, dengan cerita palsu. Pihak imigrasi juga menyertakan dua lembar money order (semacam cek) masing-masing US$ 1.000. Tak lama kemudian, petugas imigrasi mendapati Hans langsung mendepositokan kedua cek itu ke dalam tabungannya. Antara lain di Bank Chevy Chase Bank atau Wachovia, dua bank yang banyak terdapat di Virginia. Pada 4 Mei 2004, kantor imigrasi --dengan sepengetahuan penyelidik-- mengirim surat panggilan wawancara ke alamat Tomi di 13105 Canova Drive, Manassas, Virginia. Tapi wawancara di Kantor Imigrasi Arlington, Virginia, tak pernah berlangsung karena Hans lupa. Wawancara tersebut lewat begitu saja beserta uang US$ 2.000. --------------------------------------------------------------------- ----------- Berhasil Sebagai Tao CERITA rada seru dan tak masuk akal, dalam kasus komplotan penipu Hans Gouw, diceritakan suami-istri Eni dan Agus. Pasangan ini mengajukan permohonan suaka lewat Asian American Placement Services (AAPS), pimpinan Megawaty Gandasaputra, dengan biaya US$ 6.000. Lucunya, karena Agus dan istrinya adalah muslim, mereka disarankan mengubah agamanya dengan Tao atau Kejawen. Selain Eni disebut sebagai pemohon utama --karena wanita lebih mudah diluluskan suakanya-- Megawaty juga menyebut Eni sebagai korban pemerasan sekelompok pria pada Desember 1992 sampai September 1993. Selama kurun waktu tersebut, menurut cerita palsu itu, mereka berulang kali merampoknya, menganiaya, dan mengancam akan membunuh Eni karena ia penganut Kejawen. Sampai akhirnya, mereka mengirim surat kaleng pada Eni yang isinya ancaman, bila Eni tidak meninggalkan tempat tersebut, keselamatannya terancam. Karena takut, Eni pun lari ke Amerika Serikat. "Ingat, agamamu Tao. Kita menyebutnya kepercayaan pada Tuhan Yang Maha Esa. Kamu percaya pada keberadaan Tuhan. Tao bukan komunis. Ada klien lain baru saja dapat suaka dengan pakai Tao ini. Tapi, kalau kamu mengaku Kristen, habislah kamu. Petugas imigrasi tahu betul masalah agama Kristen. Orang bule kan Kristen semua, bisa habis kamu," kata Megawaty. Megawaty melanjutkan ceramahnya: "Makanya kita ganti jadi Tao. Ingat ya, kalau pas wawancara, jangan lihat penerjemah saya, lihat ke petugasnya, orang bule ini, atau petugasnya, ya," katanya. "Kita harus perhatian dan coba cari simpati, supaya mereka simpati sama kamu. Pasti berhasil," kata Megawaty berulang-ulang. Megawaty juga tak lupa mengingatkan Eni agar menangis di tengah-tengah wawancara. "Biasanya bagus kalau perempuan bisa nangis pas saat diwawancara," katanya lagi. --------------------------------------------------------------------- ----------- Ngeri Cerita Sendiri SELAIN pintar mengarang cerita, komplotan Hans Gouw juga pandai memeras korban. Seperti dialami Nia dan Robert. Pasangan imigran Indonesia yang tinggal di Negara Bagian California (Pantai Barat, sementara markas CIAS di Virginia, Pantai Timur) sejak 1999 ini melihat iklan tentang CIAS di majalah Indonesia Journal. Setelah menghubungi Megawaty, mereka dianjurkan datang ke Virginia, dengan alasan mendapat suaka lebih mudah. Juli 2000, mereka terbang ke Virginia dan menginap di rumah beralamat 10079 Chestnut Wood Lane, Burke, Virginia. Di rumah yang pernah menjadi markas CIAS dan hingga kini masih tetap milik Hans itu, Nia dan Robert dikenai biaya menginap. Biaya total yang dikeluarkan pasangan ini, plus pengurusan KTP dan SIM Virgnia, sebesar US$ 2.500. Setelah disarankan agar Nia menjadi pemohon utama, pasangan yang kala itu baru bertunangan ini dibekali surat nikah. Ya tentu, perlu tambahan biaya US$ 300. Saat membaca cerita yang dibuatkan Hans, pasangan ini kaget. Sebab cerita yang dikarang Hans terlalu berlebihan. Misalnya, Nia pernah diperkosa beberapa orang muslim. Lalu dikeroyok warga muslim saat menuju ke sebuah kebaktian. Sampai-sampai Robert dirawat di rumah sakit beberapa hari dalam keadaan koma. Bahkan Robert harus dirawat di rumah sakit jiwa. Karena keberatan, Robert protes ke kantor CIAS dan oleh Johnson Aliffin, seorang pegawai Hans, cerita itu diubah sebelum wawancara dengan petugas imigrasi. Sebelum wawancara berlangsung, Nia dan Robert terbang ke Virginia untuk latihan wawancara, dan diminta menangis untuk menimbulkan iba petugas imigrasi. Saat wawancara, Ratna Hartanto, seorang pegawai Hans, yang bertindak sebagai penerjemah, sengaja memelesetkan terjemahan dengan mengatakan bahwa saat penganiayaan ada tiga pria yang tewas terbunuh. Padahal, menurut Nia, ia tidak pernah mengatakan hal semacam itu. Dua minggu kemudian, permohonan suaka mereka ditolak, dan kasus mereka diserahkan ke meja hakim imigrasi. Seperti diketahui, proses asilum dimulai dengan wawancara di depan petugas imigrasi. Setelah lolos, barulah hakim imigrasi yang memutuskan apakah pemohon bisa diberi izin tinggal dan kerja untuk kurun waktu tertentu, sampai hakim memutuskan lagi apakah pemohon bisa diberi surat kartu hijau, sebelum akhirnya disumpah menjadi warga negara Amerika Serikat. Untuk menangani masalah deportasi ini, mereka memakai jasa seorang pengacara di San Francisco, California, wilayah mereka tinggal. Saat itulah, pengacara tersebut minta bukti ke Nia tentang tiga orang yang terbunuh yang ia tulis dalam permohonan suakanya. Karena kebingungan, Robert menelepon Hans, dan tak lama Hans langsung mengirim tiga surat kematian palsu pada Nia dan Robert. Mereka menjadi ngeri dengan ceritanya sendiri. Tak tahan dengan kebohongan yang dilakukan Hans, mereka kemudian mengaku pada kantor imigrasi di California. Di hadapan petugas imigrasi, mereka mengaku bahwa kisah pada permohonan suaka mereka palsu dan murni karangan Hans beserta komplotannya di Virginia. Sejak itu, Robert dan Nia bekerja sama dengan pihak penyidik dan membantu mengungkap jaringan pengurus asilum bodong ini. ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> $4.98 domain names from Yahoo!. Register anything. http://us.click.yahoo.com/Q7_YsB/neXJAA/yQLSAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Posting: [EMAIL PROTECTED] 5. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 6. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 7. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/