Pagi Kedelai Sore Tempe
 

   Ada istilah “Pagi kedelai sore tempe” yang dalam bahasa Jawa merupakan 
ungkapan untuk mensifati sikap ataupun omongan orang yang berubah-ubah dengan 
cepat. Biasanya dikatakan, “esuk dele sore tempe” (pagi kedelai sore tempe) 
terhadap orang yang pendiriannya ataupun ucapannya sulit dipegangi. Dalam 
bahasa agama disebut tidak istiqomah. 

    Kalau sikap itu menyangkut keimanan, maka Allah SWT sangat mengecamnya, 
sedang Nabi  Muhammad saw sangat memperingatkan agar Ummat Islam hati-hati 
sekali dan waspada apabila ada suasana berganti-gantinya sikap seseorang dari 
iman ke kafir. 

    Allah SWT berfirman: 

 #1608;#1573;#1584;#1575; #1604;#1602;#1608;#1575; #1604;#1584;#1610;#1606;     
      

                                                                                
                    #1573;#1606;#1605;#1575; #1606;#1581;#1606; 
#1605;#1587;#1578;#1607;#1586;#1569;#1608;#1606;. 
(#1575;#1604;#1576;#1602;#1585;#1577;: 14).

                                                                           
#1610;#1593;#1605;#1607;#1608;#1606;. (#1575;#1604;#1576;#1602;#1585;#1577;: 
15).

 

“Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: 
”Kami telah beriman”. Dan bila mereka kembali kepada syaitan-syaitan mereka, 
mereka mengatakan: “Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah 
berolok-olok”.

   Allah akan (membalas) olok-olokan mereka dan membiarkan mereka 
terombang-ambing dalam kesesatan mereka.” (QS Al-Baqarah: 14,15).

    Nabi saw bersabda:

  #1576;#1575;#1583;#1585;#1608;#1575; 
#1576;#1575;#1604;#1571;#1593;#1605;#1575;#1604; #1601;#1578;#1606;#1575; 
#1603;#1602;#1591;#1593; #1575;#1604;#1604;#1610;#1604; 
#1575;#1604;#1605;#1592;#1604;#1605; #1610;#1589;#1576;#1581; 
#1575;#1604;#1585;#1580;#1604; #1605;#1572;#1605;#1606;#1575; 
#1608;#1610;#1605;#1587;#1610; #1603;#1575;#1601;#1585;#1575;#1548; 
#1608;#1610;#1605;#1587;#1610; #1605;#1572;#1605;#1606;#1575; 
#1608;#1610;#1589;#1576;#1581; #1603;#1575;#1601;#1585;#1575;#1548; 
#1610;#1576;#1610;#1593; #1571;#1581;#1583;#1607;#1605; 
#1583;#1610;#1606;#1607; #1576;#1593;#1585;#1590; #1605;#1606; 
#1575;#1604;#1583;#1606;#1610;#1575; #1602;#1604;#1610;#1604;. 
(#1585;#1608;#1575; #1571;#1581;#1605;#1583; #1608;#1605;#1587;#1604;#1605; 
#1608; #1575;#1604;#1578;#1585;#1605;#1584;#1610; #1593;#1606; 
#1571;#1576;#1610; #1607;#1585;#1610;#1585;#1577; #1589;#1581;#1610;#1581;).

 

   “Bersegeralah kamu sekalian dengan beramal (kebajikan, sebelum datangnya) 
cobaan-cobaan (yang menghitam) seperti potongan-potongan malam yang menghitam, 
seorang lelaki waktu pagi beriman sedang waktu sore ia menjadi kafir  dan waktu 
sore dia beriman sedang waktu pagi dia menjadi kafir, seseorang dari mereka 
menjual agamanya dengan harta dunia yang sedikit.”  (Hadits Riwayat Ahmad, 
Muslim, dan At-Tirmidzi, dari Abu Hurairah, shahih).

   Kecaman Allah SWT tersebut di atas ditujukan kepada orang-orang munafiq, 
sedang sabda Nabi saw itu ditujukan kepada orang Muslim, agar bersegera beramal 
kebajikan sebelum datangnya cobaan-cobaan yang gelapnya bagai potongan-potongan 
malam. Cepatnya orang berubah, pagi beriman sore kafir, dan sore beriman pagi 
kafir adalah karena menjual agamanya untuk memperoleh kesenangan/ harta dunia 
yang nilainya sangat sedikit.

   Yang munafiq dikecam Allah SWT itu memang dari jenis kafir, namun yang 
diperintahkan agar cepat-cepat beramal kebaikan itu adalah jenis Muslim, yang 
godaan besarnya adalah kesenangan dunia.

   Orang kafir-munafiq bersikap seperti yang diungkap Al-Qur’an itu adalah demi 
mempertahankan kekafirannya. Sedang orang Muslim yang digambarkan Nabi saw 
menjual agamanya itu adalah demi tujuan dunia. Antara mempertahankan kekafiran 
dan tujuan harta dunia, apabila bergabung jadi satu maka akan menjadi satu 
sikap yang amat cepat berubah-ubahnya, pagi beriman sore kafir, atau  sore 
beriman pagi kafir.

   Demikian pula apabila seseorang mempertahankan ideologinya yang tak sesuai 
dengan Islam, sikapnya yang tak sesuai dengan Islam, misalnya sikap ashobiyah 
(fanatik golongan), fanatik Kiyai, atau bahkan fanatik dalam mempertahankan 
bid’ah-bid’ah yang diajarkan kiyai-kiyai mereka ataupun tradisi nenek moyang 
yang tak sesuai dengan Islam itu sudah cukup menjadikan dia bisa bersikap pagi 
beriman sore menirukan orang kafir. Sore beriman, paginya menirukan orang 
kafir. 

   Sikap ashobiyah/ fanatik golongan ataupun mempertahankan tradisi yang tak 
sesuai dengan Islam itu sendiri apabila bergabung jadi satu dalam diri 
seseorang, maka volume berubah-ubahnya sikap pun tambah cepat. Hingga pagi ia 
beriman, sore sudah cepat-cepat menirukan orang kafir. Sore beriman, paginya 
sudah cepat-cepat menirukan orang kafir. 

   Selanjutnya, apabila adonan ashobiyah plus bid’ah, plus mempertahankan adat 
istiadat nenek moyang yang tak sesuai dengan Islam, lalu disertai dengan 
menjual agamanya untuk kepentingan kesenangan/ harta dunia; maka betapa 
cepatnya orang itu berubah-ubah. Pagi kedelai, sore tempe; esuk dele, sore 
tempe.

  

    Kasusnya sama, sikapnya berbeda  

    Dalam satu kasus yang sama pun sikap mereka bisa berubah-ubah, apalagi 
dalam kasus yang berbeda. 

   Di kala orang-orang NU sedang mengadakan aksi penggembosan (pengempesan) PPP 
(Partai Persatuan Pembangunan, yaitu partai tempat NU berfusi/ bergabung sejak 
5 Januari 1973 terdiri dari partai-partai Islam: NU, Sarekat Islam, Muslimin 
Indonesia, dan Perti/ Persatuan Tarbiyah Indonesia) pada kampanye Pemilihan 
Umum 1987, beredarlah foto Husen Naro (anak Naro ketua umum PPP yang termasuk 
dalam daftar calon anggota DPR PPP) yang sedang berjoget/ dansa di diskotek. 
Foto dansa itu sangat “mujarab” untuk menggembosi PPP, hingga perolehan suara 
PPP merosot drastis terutama di Jawa Barat, tempat tersebarnya foto ajojing 
Husen Naro. Bisa dipastikan, merosotnya suara PPP itu karena adanya aksi 
penggembosan yang dilancarkan oleh kelompok NU pimpinan Gus Dur yang sedang 
rangkulan dengan Golkar.

    Foto dansa seorang anak tokoh bisa dijadikan alat penggembosan. Tetapi 
dalam kasus foto yang tak kalah serunya, yaitu foto Abdurrahman Wahid ketua 
Umum PBNU yang memangku isteri orang bernama Ariyanti Boru Sitepu (38 tahun) 
dan itu terungkap dengan jelas tersebar ke mana-mana bahkan dijelaskan oleh 
ahli laboratorium film foto bahwa klisenya itu murni produk 1995-1997 masa 
peristiwa itu terjadi, namun orang-orang NU justru sangat  membela Gus Dur. 
Bahkan beritanya bukan sekadar foto, namun berselingkuh selama 1995-1997 dengan 
bukti-bukti yang diberitakan secara terinci. Anehnya, sampai ada yang ungkapan 
pembelaannya melampaui batas. Pembelaan yang membabi buta terhadap foto Gus Dur 
memangku isteri orang itu di antaranya dilakukan oleh KH Cholil Bisri tokoh tua 
PKB-NU dari rembang:

   “Ýa benar kalau dia mangku. Akrab kan bisa aja. Saya sendiri sama santri 
perempuan akrab sekali kok. Jadi keakraban itu bisa dengan siapa saja. Saya 
dengan beberapa orang, misalanya Neno Warisman (perempuan artis, pen), akrab 
sekali. Setiap saya ada di Jakarta, dia mesti datang menemui saya, minta ngaji 
sama saya. Masalah akrab itu tidak mesti untuk berbuat yang tidak senonoh.” 
(Panji Masyarakat, 13 September 2000, Media Dakwah Dzulqa’idah 1421H halaman 7).

     Sebegitu berbaliknya sikap kaum Nahdliyin, dalam kasus yang sama. Terhadap 
foto Husen Naro yang berjoget dengan wanita entah di mana tempatnya tidak 
jelas, mereka sudah sangat membenci dan kebencian itu dijadikan alat untuk 
menggembosi partai PPP. Sebaliknya, Gus Dur yang fotonya beredar memangku 
isteri orang justru dibela-bela. Ada yang membelanya ingin sampai titik darah 
penghabisan. Ini bagai orang Yahudi yang ketika ditanya oleh Nabi saw apakah 
mereka kenal dengan Abdullah bin Salam ini, lalu orang-orang Yahudi itu 
mengatakan, itu orang terhormat di kalangan kami, pemimpin agama di lingkungan 
kami. Lalu ketika Nabi Muhammad saw menjelaskan bahwa Abdullah bin Salam itu 
sudah masuk Islam, tiba-tiba orang Yahudi mengingkari ucapan mereka sendiri, 
mereka mengatakan bahwa itu pengkhianat di kalangan kami.  

    Sikap “pagi kedelai sore tempe” itu ketika disandang oleh sebagian bangsa 
ini, maka ada dampak yang merusak, di antaranya pengembangan maksiat pun justru 
digalakkan. Contohnya, setelah orang NU jelas lebih condong ke Golkar dan 
meninggalkan PPP (satu-satunya saingan Golkar selain PDI) maka justru Golkar 
berani berkampanye dengan memasyarakatkan joget. Padahal, sebelumnya, NU justru 
memakai “joget” itu sebagai alat untuk memukul atau menggembosi PPP.

Kalau NU konsisten atau istiqomah, mestinya kampanye Golkar yang dihingar 
bingari dengan joget massal campur aduk lelaki perempuan dengan membawa-bawa 
rombongan artis itu harusnya diprotes oleh NU. Toh NU itu gudangnya ulama. Di 
samping itu foto Gus Dur yang memangku wanita isteri orang itu mesti disebarkan 
pula jeleknya, kalau memang konsisten seperti sikap mereka terhadap Husen Naro 
yang foto jogetnya dengan wanita disebarkan itu; agar orang tidak percaya lagi 
kepada Gus Dur dan jam’iyah atau partainya. Semua itu sama, di kubangan 
kemaksiatan yang jelas-jelas para ulama mengetahui haditsnya. Sedangkan kalau 
para ulama itu diam saja, bahkan membela, berarti mereka terkena oleh hadits 
berikut ini:

 

   #1604;#1610;#1588;#1585;#1576;#1606; #1571;#1606;#1575;#1587; #1605;#1606; 
#1571;#1605;#1578;#1610; #1575;#1604;#1582;#1605;#1585; 
#1610;#1587;#1605;#1608;#1606;#1607;#1575; #1576;#1594;#1610;#1585; 
#1575;#1587;#1605;#1607;#1575;#1548; #1610;#1593;#1586;#1601; 
#1593;#1604;#1609; #1585;#1572;#1608;#1587;#1607;#1605; 
#1576;#1575;#1604;#1605;#1593;#1575;#1586;#1601; 
#1608;#1575;#1604;#1605;#1594;#1606;#1610;#1575;#1578;#1548; 
#1610;#1582;#1587;#1601; #1575;#1604;#1604;#1607; #1576;#1607;#1605; 
#1575;#1604;#1571;#1585;#1590; #1608;#1610;#1580;#1593;#1604; 
#1605;#1606;#1607;#1605; #1575;#1604;#1602;#1585;#1583;#1577; 
#1608;#1575;#1604;#1582;#1606;#1575;#1586;#1610;#1585;. 
(#1585;#1608;#1575;#1607; #1575;#1576;#1606; #1605;#1575;#1580;#1577;).  

"Sungguh akan ada orang-orang dari umatku  yang  minum arak  (minuman  keras), 
mereka namakan dengan nama  lain.  Kepala mereka itu dimusiki dengan alat-alat 
musik dan  penyanyi-penyanyi wanita/  nyanyian, maka Allah akan menenggelamkan 
mereka  itu  ke dalam  bumi  dan akan menjadikan mereka itu kera-kera  dan  
babi babi."  (Hadits diriwayatkan oleh Ibnu Majah).  Maksudnya,  bukan diubah 
bentuknya, tetapi jiwanya dan rohnya. Dr Yusuf Al-Qordhowi menafsirkan,  
bentuknya  bentuk manusia  tetapi jiwanya jiwa kera dan rohnya roh  
babi.(Al-Halaal wal haroom fil Islaam, hal 295). 

 Nabi Muhammad SAW memperingatkan: 

"Setiap bani Adam  ada potensi  berzina: maka dua mata berzina dan zinanya 
melihat,  dua tangan berzina dan zinanya memegang, dua kaki berzina dan zinanya 
berjalan, mulut berzina dan berzinanya mencium, hati berzina  dan berzinanya 
cenderung dan mengangan-angan, sedang farji/  kemaluan membenarkan  yang  
demikian  itu  atau  membohongkannya.  (Hadits Musnad  Ahmad juz 2 hal 243, 
sanadnya shohih,  dan  hadits-hadits lain banyak, dengan kata-kata yang berbeda 
namun maknanya  sama). 

   Berikut ini mari kita simak laporan resmi Kolonial Belanda mengenai sikap NU 
pada kongres pertamanya di Surabaya 1927,  dua puluh satu bulan setelah 
lahirnya NU. Di bawah ini adalah suara gemuruh yang berkumandang dalam kongres 
ke-1 NU:

     “Arsip Kolonial dengan kode 261/ X/ 28. Isi arsip melaporkan Kongres NU di 
Surabaya 13 Oktober 1927 yang penuh dengan pidato-pidato yang menjunjung 
pemerintah Belanda sebagai pemerintah yang adil, cocok dengan Islam, dan patut 
dijunjung sepuluh jari. Sementara itu tokoh Islam yang menentang Belanda (jelas 
yang dimaksud tokoh Syarekat Islam –dll--, pen.[1]) menurut laporan itu, dicaci 
maki dan pantas dibuang ke Digul (Papua, pen). (Tempo, 26 Desember hal. 23, 
Jakarta 1987). 

    Sebelum menunjuk perubahan sikap NU dari ungkapannya tersebut, perlu kita 
simak data, apakah benar penjajah Belanda itu adil, sosok dengan Islam. Berikut 
ini data singkatnya:  

   Dalam rangka usaha untuk memisahkan umat dari eksistensi dan kehidupannya 
yang Islami, para penjajah kafir melakukan tekanan-tekanan dan hambatan 
terhadap sistem pengajaran Islam. Mereka juga menghembuskan pemikiran-pemikiran 
yang dapat merendahkan kedudukan dan menghina pelajaran-pelajaran Islam. 

  Sebagai kebalikannya, mereka memperhatikan dan membantu murid-murid yang 
memasuki sekolah-sekolah baru tempat pendiikan mereka (penjajah). Di hadapan 
mereka dihadapkan pintu masa yang gilang gemilang dan akhirnya posisi 
kepemimpinan umat menjadi tergantung kepada mereka (yang diasuh penjajah itu, 
pen). 

   Begitulah tekanan-tekanan yang dilancarkan terhadap sistem pendidikan Islam 
dan Bahasa Arab. Semua jalan yang menuju ke sana tertutup rapat. Murid-murid 
yang tetap tekun hanyalah sebagian kecil saja. Biasanya, mereka banyak 
menghadapi tekanan-tekanan yang sering kali mengakibatkan mereka berhenti dan 
macet di tengah jalan. Kalau tidak, maka mereka dihadapkan pada perlakuan yang 
berbeda, dengan para lulusan sekolah mereka (penjajah). 

   Sikap penjajah yang sangat merugikan pendidikan Islam itu ditambahi pula 
dengan membiayai besar-besaran terhadap Protestan dan Katolik, sambil 
mengecilkan sama sekali dana untuk Islam. Sebagai contoh pada tahun 1927 (saat 
itu NU melangsungkan Kongres pertamanya menjelang akhir tahun, pen) penjajah 
Belanda di Indonesia menerapkan alokasi dana bantuan untuk modal dalam rangka 
pengembangan agama, adalah sebagai berikut:

     Protestan memperoleh    f  31.000.000

     Katolik memperoleh       f  10.080.000

     Islam memperoleh          f         80.000

    Dana besar dari penjajah Belanda itu digunakan oleh orang Kristen dan 
Katolik untuk membangun gedung-gedung, sekolah, rumah sakit dan sebagainya. 
Sedang umat Islam tidak punya uang. Pada gilirannya anak-anak orang kafirin itu 
telah “makan sekolahan” sedang anak-anak Muslimin belum, kecuali sedikit, maka 
ketika merdeka, orang-orang kafirin Nasrani itu masuk ke pos-pos pemerintahan 
di mana-mana. Padahal, mereka itu ogah-ogahan untuk merdeka, lebih enak menyusu 
pada penjajah sesama kafir. Jadi, yang berjuang mengorbankan nyawa dan harta 
untuk melawan penjajah kafir itu orang Islam, namun ketika merdeka, penyusu 
Belanda itu justru yang leha-leha duduk di kursi-kursi pemerintahan. [2] 
Sebegitu dhalimnya penjajah Belanda terhadap Ummat Islam, namun sebegitu 
tingginya sanjungan NU terhadap penjajah Belanda itu.  Kasus yang memalukan 
itupun diulang lagi di zaman merdeka.

   Di saat jaya-jayanya PKI (Partai Komunis Indonesia) yang anti Islam itu, dan 
juga jaya-jayanya Soekarno sebagai presiden, maka NU berbalik dari menjunjung 
pemerintahan penjajah Belanda menjadi mengangkat-angkat Presiden Soekarno 
--yang sejak awal telah menolak Islam sebagai dasar negara-- dengan gelar 
kehormatan doktor dakwah dan Waliyul Amri Dhoruri bi Syaukah. Sedang terhadap 
Komunis (PKI) dijunjung sebagai jiwa yang menyatu dengan Islam dalam Nasakom 
(Nasional, Agama-NU, dan Komunis).

   Berikut ini penuturan Dr Deliar Noer tentang kasus itu:

   “.... bagi NU dan Perti kedudukan Soekarno seakan menjadi maksum. Presiden 
dilihat benar-benar sebagai “Pemimpin Besar Revolusi Kita, Bung Karno yang tak 
pernah mengenal capek dan payah, yang selalu dengan tabah dan tekun 
melaksanakan amanat rakyat dan tujuan yang hakiki daripada revolusi kita ini”. 
Maka, terharulah Soekarno. Pada Kongres NU tanggal 28 Desember 1962 ia berkata 
bahwa ia “cinta NU”, oleh sebab itu ditambahkannya “saya bisa merangkul NU, dan 
saya harap NU juga merangkul saya.” Dua tahun kemudian Soekarno diberi gelar 
Doktor Honoris Causa dalam bidang dakwah oleh IAIN Jakarta. Promotornya 
Saefuddin Zuhri, tokoh NU yang sebulan sebelumnya diangkat sebagai profesor di 
lembaga tersebut. 

   Dengan latar belakang seperti ini, maka golongan Islam dalam MPR (S) bulan 
Mei 1963 menyokong sepenuhnya usul pengangkatan presiden Soekarno seumur hidup. 
Salah satu pertimbangan untuk menyokong usul ini ialah gelar dan kedudukannya 
sebagai Waliy al-amri dharuri –alasan-alasan lain yang diberikan bersifat 
“politis” dan “revolusioner”. Pidato dukungan ini diucapkan oleh ketua kelompok 
Islam, Sjaichu –tokoh NU, pen, (Duta Masyarakat, 20 dan 21 Mei 1963). Mungkin 
karena perasaan dekat yang intens terhadap Soekarno ini, maka KH Masjkur, yang 
di antara pemimpin NU dianggap lebih mampu menahan diri (atau bertahan pada 
pendirian),  mengatakan juga akhirnya bahwa “Nasakom jiwaku”, sesuai benar 
dengan ajaran Islam yang menentang pengisapan, penindasan, dan perbudakan. 
(Pernyataan KH Masjkur, Duta Masyarakat 4 Agustus 1965).[3] 

     Masalah gelar waliyul Amri  itu mengagetkan umat Islam. Pada tahun 1954 
umat Islam Indonesia dikejutkan oleh keputusan suatu konperensi Ulama di 
Cipanas, Jawa Barat, 2-7 Maret 1954, yang memberikan kepada Presiden Soekarno 
gelar Waliy al-Amri Dharuri bi al Syaukah (bis-Syaukah). Arti harfiyahnya 
pelindung (atau orang yang bertugas mengurus) secara dharurat soal-soal dengan 
diberi kekuasaan. 

   Persatuan Islam di Bandung dalam pernyataannya tanggal 14 Maret 1954 
mengatakan bahwa keputusan itu tidak mengikat secara hukum. Organisasi ini 
mengingatkan bahwa konperensi hanya terbatas pada ulama tertentu yang dipilih 
oleh Menteri Agama K.H Masjkur dari NU. Perlu diingat bahwa Persatuan Islam 
dalam soal agama banyak tidak sependapat dengan NU. Konperensi itu tidak 
berwenang mengambil keputusan tersebut, katanya tegas, dan ia menambahkan bahwa 
semua aparat negara termasuk presiden, kabinet, parlemen hanya bersifat 
sementara; mereka tidak pernah dipilih oleh rakyat.

   Menurut persatuan Islam, istilah Waliy al-Amri Dharuri hanya dapat 
dipergunakan pada negara yang berdasar Islam.[4] Tanggapan negatif terhadap 
keputusan tentang gelar itu juga dilancarkan oleh Arudji Kartawinata dari PSII 
. Keterangan Arudji mengundang kecaman dari Idham Chalid dari NU.[5]

   Sebegitu menjunjungnya terhadap Soekarno dan PKI, bahkan pernyataan KH 
Masjkur itu hanya sebulan menjelang pemberontakan Gerakan 30 September PKI 
1965, ternyata orang-orang NU bahkan jadi sasaran utama pembantaian oleh PKI. 
Rumah-rumah para ulama atau kiyai pun ditandai untuk diculik dan disembelih 
oleh pemberontak PKI. Sebagaimana sudah sebegitu tingginya orang-orang NU 
mengangkat-angkat penjajah Belanda, kemudian pada masa perang orang-orang NU 
juga jadi sasaran utama penembakan dengan senjata otomatis, sementara orang NU 
tentu saja sebagaimana masyarakat Islam pada umumnya penduduk Indonesia tak 
punya senjata. Jadi, apa gunanya mereka menjnjunjung-junjung penjajah Belanda, 
diktator Soekarno yang anti Syari’at Islam itu, dan juga mendekat-dekat dengan 
PKI? Toh jadi sasaran-sasaran juga?

    Menjelang pemilu 1982 di tubuh NU ada ketegangan sesama NU yang sangat 
berperang urat saraf. Seluruh aparatur NU mengutuk Naro dan mencela Idham 
Chalid dalamm kasus daftar calon legislatif yang dalam Hal ini Idham Chalid 
dianggap menurut saja kepada Naro, tanpa musyawarah dan langsung diantar oleh 
Naro ke rumah Amir Macmud, menteri dalam negeri. Akhirnya tokoh-tokoh ulama 
terkemuka NU termasuk sesepuh turun tangan guna mencari penyelesaian yang 
sebaik-baiknya. Mereka berkunjung ke rumahnya Idham Chalid di Jakarta, dan di 
hadapan Rais ‘Aam KH Ali Maksum dan para rais yang lain, KH As’ad Sjamsul 
Arifin, KH Machrus Ali, dan KH Masjkur, KH Idham Chalid menyerahkan mandatnya 
secara tertulis dari jabatannya sebagai ketua umum PBNU dengan alasan 
kesehatan. Persitiwa itu terjadi pada tanggal 2 Mei 1982, dua hari sebelum 
Pemilu, 4 Mei 1982. Tapi dianggap mulai berlakunya pada tanggal 6 Mei 1982. 

   Tetapi apa lacur, baru 8 hari mandat itu diserahkan kepada Rais ‘Aam maka 
masyarakat terkejut luar biasa, apalgi kalangan intern NU, bagaikan mendengar 
petir menyambar di siang bolong: Idham Chalid mencabut kembali penyerahan 
mandatnya itu pada tanggal 14 Mei 1982 dan menyatakan bahwa ia tetap sebagai 
ketua umum PBNU seperti biasa. Ini suatu keajaiban alam dalam dunia pergerakan 
di bumi kita ini, yang sebelumnya belum pernah terjadi dalam sejarah 
organisasi. Mengapa bisa terjadi demikian?[6]

    Periode selanjutnya, NU ibarat bermuka tiga, masih ada yang ke PPP, tak 
sedikit pula yang menyeberang ke Golkar sambil menggembosi PPP, dan tidak 
dilarang masuk ke PDI.

   Tampaknya menjadi penggembos pertai bekas rumahnya sendiri sambil jadi 
pendompleng partai lain dirasakan pula tidak enaknya. Dan jangka waktunya 
kira-kira dalam rentang 1984-1998, cukup lama. Baru di tahun 1999  NU bisa 
berkampanye kembali untuk “rumahnya sendiri” yaitu PKB.

   Tidak tahulah, apa saking kemaruknya atau karena hal lain, sampai-sampai 
konon di  Jawa Timur, dari orang PKB  ada yang kampanye di tempat pelacuran, 
dengan janji tidak akan menggusur lokalisasi tempat terlaknat itu, apabila 
partainya menang. Kenyataan seperti itu perlu diurut dari lakon-lakon 
sebelumnya.     Dari “sejarahnya” bisa disimak, NU sebenarnya bisa bersikap 
alim dalam menegakkan kebenaran, misalnya mempopulerkan bahwa joget-joget itu 
sebetulnya adalah maksiat. Tetapi sayangnya, di saat “menegakkan kebenaran” 
atau “amar ma’ruf nahi munkar” itu dilaksanakan, ternyata tujuannya justru 
hanya untuk mengempesi rekannya sendiri. Sedang ketika di dalam partai Golkar, 
mereka tidak mau atau tak berani menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, bahkan 
jogetisasi dijadikan paket nasional di mana-mana pun kaum NU diam saja.  
Selanjutnya, ketika NU punya rumah sendiri yaitu PKB, justru mereka lebih tidak 
beramar ma’ruf nahi munkar lagi, namun malahan ada yang berani menghalalkan 
yang haram,
 dan berjanji untuk melestarikan keharaman yaitu lokalisasi pelacuran. Dan 
setelah “perjuangannya” sukses, hingga Ketua PBNU Abdurrahman Wahid bisa jadi 
presiden, amar ma’ruf nahi munkar pun malah diputar balikkan hanya untuk 
mempertahankan kursi jabatan Gus Dur. Hingga kasus Gus Dur memangku isteri 
orang (fotonya otentik), mereka bela. Gus Dur tersangkut kasus korupsi dana 
Yayasan karyawan Bulog, mereka bela. Kasus kebohongan Gus Dur tentang 
penjelasannya mengenai duit sumbangan dari Sultan Brunei Darussalam Hasanal 
Bolkiah 2 juta dolar Amerika, mereka bela. 

  Jadi, kalau orang yang mereka musuhi ada sedikit kesalahan, mereka jatuhkan 
sejadi-jadinya. Bahkan masjid, madrasah, sekolahan, perkantoran milik 
Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan HMI yang tidak bersalah apa-apa, mereka rusak. 
Namun kalau kesalahan itu ada pada mereka, walau itu jelas salah, dan bahkan 
salahnya sangat besar, tetap mereka bela. 

   Tingkah dan sikap mereka itu sebenarnya memang mirip Yahudi, ya memang tokoh 
mereka Abdurrahman Wahid itu adalah pendukung utama Yahudi, maka mau diapakan 
lagi. Tetapi sekali lagi, ini bukan setiap orang NU. Masih ada di antara mereka 
yang baik-baik, tentu saja. Tetapi masalahnya, mereka kenapa diam? Atau mungkin 
memang mereka yang baik-baik itu kalah suara, boleh jadi.

  Ya sudahlah, sampai di sini saja uraian tentang “pagi kedelai sore tempe”. 
Ini semua hanya sekadar contoh soal. Yang lain-lain tentunya masih ada sampai 
sekarang. Bahkan menjadi keputusan DPR hasil Pansus Buloggate dan Bruneigate  1 
Februari 2001 bahwa tokoh NU, Presiden Abdurrahman Wahid, diputuskan bahwa dia 
melakukan kebohongan publik dalam kasus sumbangan dari  Sultan Brunei 
Darussalam Hasanal Bolkiah. 

   Setelah dibuka-buka lembaran sejarah, ternyata kasus semacam itu sudah sejak 
zaman Belanda mereka lakukan.  


---------------------------------

[1] K.H. Firdaus A.N, Dosa-dosa Politik Orde Lama dan Orde Baru yang Tidak 
Boleh Berulang Lagi di Era Reformasi, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, cetakan 
pertama 1999, halaman 52.


[2] H Hartono Ahmad jaiz, Ambon Bersimbah Darah, Ekspresi Ketakutan Ekstrimis 
Nasrani, Dea Press, Jakarta, cetakan 1, 1999, halaman 10, baca juga Rukun Iman 
Diguncang, Pustaka an-Naba’ Jakrta, cetakan II, 1421H, halaman 92-93.


[3] Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional, Grafiti Pers, Jakarta, 
cetakan pertama, 1987, halaman 404-405. 


[4] Deliar Noer, ibid, halaman 342-343.


[5] Ibid, halaman 344.


[6] KH Firdaus AN, Dosa-dosa Politik...., ibid, halaman 49.




                
---------------------------------
Do you Yahoo!?
 Take Yahoo! Mail with you! Get it on your mobile phone.

[Non-text portions of this message have been removed]






------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Make a clean sweep of pop-up ads. Yahoo! Companion Toolbar.
Now with Pop-Up Blocker. Get it for free!
http://us.click.yahoo.com/L5YrjA/eSIIAA/yQLSAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Posting: [EMAIL PROTECTED]
5. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
6. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
7. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Reply via email to