Sahabat Setanah air, Hukum di Indonesia sudah sedemikian bobrok. Menurut satu survey, lebih dari 95% rakyat Indonesia sudah tidak percaya lagi terhadap aparat hukum. Untuk mengetahui informasi tentang keadaan hukum kita, anda bisa kunjungi: http://geocities.com/hukum_indonesia Anda juga bisa berdiskusi dan berbagi info tentang hukum dengan mengirimkan email ke: [EMAIL PROTECTED] Salam Hangat Moderator Hukum Indonesia
Sinar Harapan 27/8/2002 Sejarah dan Modus Operandi Mafia Peradilan di Indonesia (2-Habis) Oleh Frans H. Winarta, SH, MH Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa mafia peradilan merupakan korupsi yang sistematik yang melibatkan mulai dari polisi, panitera, advokat, jaksa, hakim, petugas di lembaga pemasyarakatan sampai petugas parkir di pengdilan pun tidak ketinggalan. Demikian pula dengan peran pers yang ikut berperan dalam praktek para mafia peradilan. Para pelaku korupsi di pengadilan, khususnya para advokat, ada yang mempunyai ”hubungan baik” dengan para jurnalis agar namanya selalu dimuat dalam kolom berita di koran tersebut sehingga masyarakat hanya tahu nama-nama mereka saja. Hal ini pun dilakukan dengan tujuan untuk mempengaruhi putusan hakim yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap dan membuat putusan hakim yang mengandung judicial corruption tersebut memperoleh legitimasi melalui liputan media-media massa besar. Selanjutnya, mari kita lihat modus operandi yang dilakukan oleh mafia peradilan dalam peradilan pidana yang melibatkan antara lain mulai dari polisi, panitera, advokat, jaksa dan hakim serta petugas di lembaga pemasyarakatan. Dalam perkara pidana umum misalnya, praktek korupsi yang dilakukan oleh mafia peradilan di tingkat penyelidikan akan mencegah suatu kasus meningkat statusnya menjadi penyidikan (kepolisian). Uang ”damai” yang diberikan oleh seorang tersangka kepada penyidik (polisi) akan membuat kasusnya tidak sampai pada tingkat penuntutan (kejaksaan). Demikian pula jaksa akan memperpanjang proses penyidikan sambil menunggu uang ”pelicin” yang harus diberikan oleh tersangka, atau dengan cara lain jaksa juga dapat menawarkan tuntutan yang lebih ringan apabila tersangka memberikan sejumlah uang. Dalam modus operandi seperti ini tidak hanya melibatkan jaksa dan tersangka saja, tapi juga advokat yang mendampinginya selama pemeriksaan. Sedangkan dalam kasus-kasus tindak pidana korupsi misalnya, jaksa yang memiliki wewenang untuk mengubah status saksi menjadi tersangka, dapat merubah status untuk meringankan tersangka, misalnya menjadi saksi saja, terdakwa saja atau terdakwa yang berstatus tahanan kota, tahanan rumah atau tidak ditahan sama sekali. Salah satu modus yang juga paling banyak digunakan adalah melepaskan tersangka dengan cara menghentikan penyidikan. Ketika akhirnya tersangka sampai juga diajukan ke meja hijau, maka tersangka akan dihadapkan dengan masalah adanya uang ”proses” di bagian administrasi pengadilan dan masalah pemilihan majelis hakim yang dalam hal ini dapat ” diatur” oleh pengacara yang sudah memiliki hubungan baik dengan kalangan hakim. Lalu, ketika perkara sudah sampai pada putusan maka tidak tertutup kemungkinan untuk berkolusi dengan hakim. Negosiasi dilakukan untuk menentukan jumlah uang yang harus disediakan oleh pengacara atau terdakwa. Modus yang dilakukan sangat beragam, bisa melalui jaksa, panitera atau langsung dengan hakimnya sendiri. Selain itu, jalannya sidang juga dapat diselenggarakan pada pukul 08.00 pagi saat pengadilan masih sepi, tapi kemudian vonis sudah dijatuhkan dan berita acara langsung ditandatangani oleh hakim, jaksa, panitera dan pengacara. Lain lagi di dalam lembaga pemasyarakatan dimana ternyata ada biaya ”tidak resmi” yang seolah-oleh terstandarisasi, misalnya untuk 1 kali kunjungan pihak lembaga pemasyarakatan akan memasang tarif mulai dari Rp 10.000 sampai Rp 50.000. Para sipir penjara pun turut memperdagangkan kewenangannya, misalnya dengan memberikan sejumlah uang secara rutin kepada sipir penjara, seorang napi dapat keluar untuk mengunjungi istrinya atau dapat memperoleh fasilitas istimewa di dalam penjara. Demikian juga dalam peradilan perdata, pola korupsi yang dilakukan oleh para mafia peradilan pun tidak jauh berbeda, misalnya, saat mendaftarkan perkara, pihak panitera tidak memberikan rincian seluruh biaya yang harus dibayar oleh para pihak. Untuk mendapatkan majelis hakim yang ”favorable”, para pengacara harus berlomba menghubungi Ketua Pengadilan Negeri yang mempunyai wewenang untuk menentukan komposisi majelis hakim, atau, biasanya pihak yang bersengketa lebih memilih pengacara yang umumnya telah memiliki hubungan baik dengan kalangan hakim. Selain itu, modus lainnya adalah dalam menentukan diterima atau tidaknya suatu alat bukti tergantung kepada jumlah uang yang diberikan oleh para pihak. Putusan juga tidak lagi dijatuhkan atas dasar hukum dan rasa keadilan, tetapi lebih berdasarkan kepada ”kedekatan” (lobby) dan uang. Dengan imbalan sejumlah uang, maka hakim tidak lagi ragu untuk menjatuhkan putusan yang menguntungkan pihak yang memberikan uang yang lebih besar daripada pihak lainnya. Pola lainnya yang digunakan untuk membayar hakim adalah dengan mengundang hakim yang bersangkutan sebagai pembicara dalam sebuah seminar hukum. Menurut ICW, ada hakim di Jakarta yang menerima honor sebagai pembicara sebuah seminar Rp 300 juta. Dengan demikian, seminar hukum hanya digunakan sebagai kedok dan biasanya seminar tersebut pun diselenggarakan oleh firma hukum atau LSM yang dimiliki oleh pengacara yang bersangkutan. Teknik lainnya untuk membayar hakim sebagai imbalan karena memenangkan perkaranya adalah berupa ”sumbangan” untuk perkawinan anak hakim. Kemudian, agar putusan yang dijatuhkan tidak menimbulkan kecurigaan, maka beberapa pengacara menjalin hubungan yang erat dengan kalangan jurnalis dengan memberikan suatu imbalan tertentu. Malahan, baru-baru ini Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengeluhkan hal tersebut bahwa putusannya yang dianulir oleh pengadilan negeri, yang sudah diketahui putusannya sehari sebelum putusan tersebut dijatuhkan, tidak dapat membantah iklan pengumuman yang memuat putusan pengadilan negeri tersebut karena selain tidak mempunyai dana untuk itu, juga karena semua media massa ”dibungkam” untuk tidak memuat bantahan KPPU atas iklan pengumuman putusan pengadilan negeri yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) tersebut dengan cara-cara kooptasi dan kekuatan ekonomi, antara lain dengan tidak memuat press release dan press conference KPPU yang membantah iklan pengumuman tersebut. Selanjutnya, proses banding, kasasi dan peninjauan kembali hingga suatu putusan memiliki kekuatan hukum tetap, masih sering dimanfaatkan untuk berkolusi oleh Ketua Pengadilan Negeri, juru sita dan pengacara. Dalam hal dilakukan sita pun, maka juru sita akan ”memainkan” obyek sitaan atau melakukan bermacam manipulasi. Kesimpulan Timbulnya judicial corruption dan tidak adanya sikap judicial discretion yang kemudian menimbulkan praktek mafia peradilan pada lembaga hukum kita adalah tidak terlepas dari sejarah dan budaya sistem hukum negara kita selama ini. Sebagaimana kita ketahui bahwa sistem hukum kita selama ini lebih banyak diintervensi oleh kepentingan politik dan ekonomi sehingga keadilan tidak lebih dari sekadar barang komoditas yang diperjualbelikan. Lembaga pengadilan sebagai instrumen utama penegakan hukum telah dijadikan ”pasar” untuk memperjualbelikan keadilan dan menjadi sumber korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Demikian pula nilai-nilai keadilan telah dicampuradukkan dengan berbagai bentuk intervensi kekuasaan maupun intervensi komersial. Ukuran menguntungkan atau tidak menguntungkan suatu perkara dipandang hanya dari kacamata politis dan ekonomis. Dan terlebih lagi, yang membuat keadaan sistem hukum kita semakin parah adalah bahwa praktek-praktek curang dan koruptif tersebut di atas dilakukan secara sistematis oleh para aparat penegak hukum itu sendiri dengan sebutan ”mafia peradilan”. Praktek-praktek koruptif yang sering mereka lakukan dapat dikategorikan sebagai ”judicial corruption” sesuai dengan deklarasi IBA tersebut di atas. Tidak dapat dipungkiri bahwa advokat pun secara langsung maupun tidak langsung turut menciptakan terjadinya mafia peradilan dan judicial corruption. Padahal, posisi advokat dalam sistem hukum kita mempunyai peran yang sangat vital dan krusial, hanya advokatlah yang memiliki akses menuju keadilan dan penghubung antara masyarakat dengan negara melalui institusi hukumnya. Namun yang terjadi adalah sekarang profesi advokat lebih dikenal sebagai ” broker” perkara yang berdiri tepat di antara kliennya dan aparat penegak hukum (hakim, jaksa dan polisi) sebagai pembeli dan penjual keadilan. Peran advokat yang seharusnya memberikan jasa hukum dan mewakili kliennya perlahan diganti dengan peran ”mendekati” aparat penegak hukum agar perkara yang ditanganinya dapat dimenangkan dengan cara apa pun. Advokat yang seharusnya berperan secara konsisten menjembatani kepentingan masyarakat dalam sistem peradilan, justru turut terlibat dan menjadi bagian dari mafia peradilan dan judicial corruption. Keadaan tersebut didukung pula oleh iklim budaya hukum masyarakat Indonesia dimana mereka lebih menghendaki agar perkaranya dapat dimenangkan dengan cara apa pun tanpa mempedulikan nilai keadilan dan kebenaran yang terkandung di dalamnya serta etika dan moral. Celakanya, budaya ini telah tertanam dalam kehidupan masyarakat Indonesia berpuluh-puluh tahun lamanya. Demikian pula halnya dengan pers (wartawan) dan media massa yang secara tidak langsung turut berperan bagi terciptanya keadaan tersebut di atas. Wartawan lebih cenderung untuk memuat berita-berita yang menonjolkan para advokat yang terlibat dalam mafia peradilan dan judicial corruption sehingga akibatnya masyarakat lebih mengenal para advokat yang melakukan praktek-praktek curang dan koruptif tersebut ketimbang para advokat yang tetap konsisten mempertahankan nilai-nilai keadilan dan kebenaran. Melihat gambaran tersebut di atas memang sudah saatnya kita sadar bahwa negara kita harus melakukan reformasi total, terutama di bidang hukum, walaupun hal ini sudah bukan merupakan hal yang baru lagi bagi kita sekarang. Untuk memperbaiki keadaan tersebut di atas memang bukanlah pekerjaan mudah. Upaya melakukan reformasi hukum perlu dukungan dari semua pihak yang terkait, terutama political will dari pemerintah mengingat pemerintahlah yang memiliki kekuatan memaksa untuk memberantas KKN dan praktek-praktek ”curang” lainnya di lembaga peradilan kita. Menurut hemat saya dapat dikatakan di sini bahwa ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk memberantas praktek-praktek judicial corruption yang dilakukan oleh mafia peradilan, yaitu antara lain: Perbaikan institusi hukum (polisi, jaksa, hakim dan advokat) dalam hal sistem rekrutmen, mengadakan program pelatihan atau program Continuing Legal Education (CLE) secara konsisten, pembekalan etika profesi hukum, profesionalisme, dan lain sebagainya terutama dalam lembaga Mahkamah Agung sebagai sentra penegakan hukum. Perlu dukungan dan peran serta masyarakat luas (public support) terhadap pemberantasan praktek-praktek korupsi tersebut di atas. Oleh karena itu diperlukan diseminasi program Gerakan Nasional Anti-Korupsi kepada masyarakat umum dan mendidik masyarakat agar tahu dan mewaspadai bahaya korupsi dengan berani melawan, mengadu, melaporkan praktek-praktek korupsi yang dilakukan oleh para aparat penegak huukm serta menolak atau jangan larut terlibat dalam suap, pungli dan sebagainya. Mendidik masyarakat agar menyadari bahwa korupsi merupakan perbuatan yang merendahkan harkat dan martabat manusia (human dignity) Indonesia serta menciptakan bad governance, sehingga bangsa Indonesia tidak bisa berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain, bangsa Indonesia menjadi bangsa yang tidak mandiri, manajemen pemerintah menjadi tidak efisien dan tidak efektif, menjadi bangsa yang tidak produktif, kehidupan masyarakat menjadi tidak tentram karena masyarakat harus menanggung pajak yang tinggi, mengakibatkan defisit APBN yang harus ditutup dengan cara menaikkan pajak, menaikkan harga BBM, tarif listrik, bea masuk, tol, biaya angkutan, dan lain-lain (het doel heiligd de middelen). Demikianlah gambaran secara umum sejarah dan modus operandi yang sering dilakukan oleh para mafia peradilan di lembaga peradilan. Kiranya hal tersebut di atas dapat dijadikan pelajaran bagi kita semua untuk mengetahui dan memberantas segala trik-trik dan modus operandi yang sering dilakukan oleh para mafia peradilan. Kelak, kalau anda berpraktek sebagai penegak hukum atau advokat, saya harapkan anda, sebagai generasi muda harapan bangsa, tidak ikut terlibat dalam praktek-praktek koruptif sebagaimana diuraikan tersebut di atas, namun memiliki moralitas dan integritas yang tinggi, profesional, mempunyai komitmen untuk membela kebenaran dan keadilan tanpa rasa takut, memiliki pendirian yang teguh berpihak kepada keadilan dan kebenaran dan tidak selalu hanya memikirkan keuntungan bagi diri sendiri. Penulis adalah advokat dan anggota Komisi Hukum Nasional . http://www.polarhome.com/pipermail/nasional-m/2002-August/000120.html --------------------------------- Do you Yahoo!? The all-new My Yahoo! – Get yours free! [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Make a clean sweep of pop-up ads. Yahoo! Companion Toolbar. Now with Pop-Up Blocker. Get it for free! http://us.click.yahoo.com/L5YrjA/eSIIAA/yQLSAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Forum IT PPI-India: http://www.ppiindia.shyper.com/itforum/ 5. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 6. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 7. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/