Salam...
Berikut saya posting wawancara dengan Bapak JJ Kusni, "Lurah NU di Paris" yang 
mencermati dinamika NU mutakhir dari Paris, Perancis. Wawancara asli ini bisa 
dibuka di website NU www.nu.or.id (website terbaik 2004 kategori ormas) di 
rubrik Halaqah.
Selamat membaca...
 
-GuN- 
 
HALAQOH


NU Harus Mandiri


 

Perkembangan politik Indonesia belakangan ini, perlu diamati secara serius. 
Apakah ada perubahan-perubahan substantif yang dialami Indonesia baik dari sisi 
ekonomi, politik, sosial dan budaya ? Apakah perubahan yang dilakukan mengarah 
pada kemajuan atau kemunduran ? lantas dimana akar problem yang menjadi 
ganjalan sehingga Bangsa Indonesia belum mengalami kemajuan dalam penegakan 
demokrasi ? Siapakah yang dapat berperan maksimal dalam penataan Indonesia ke 
depan ?

Ditengah-tengah situasi itu, bagaimana posisi dan peranan NU dalam 
mengapresiasi perkembangan zaman. Bagaimana NU memainkan peran strategis dalam 
bidang sosial, ekonomi maupun Politik ?. Adakah kemajuan-kemajuan yang dicapai 
atau justru mengalami stagnasi? Bagaimana pula proses kaderisasi di tubuh NU 
dan dialektikanya dalam mengapresiasi nilai-nilai demokrasi ? Untuk menelusuri 
jawaban ini, wartawan NU Online, Ahmad Kosasih Marzuki mencoba melakukan 
wawancara jarak jauh dengan JJ. Kusni, Ph.D, pemerhati NU dari l'Ecole des 
Hautes Etudes en Sciences Sociales (l'EHESS, Sorbonne), Paris,France. Berikut 
ini petikannya :

Tanya [T]:1.Selama ini  orang pesimis dengan masa depan Indonesia, karena tidak 
adanya sistem politik yang mantap serta tidak adanya pemimpin  yang legitimet 
bagaimana komentar anda ? 
 
Jawaban [J]:[Dari  pertanyaan ini, saya menangkap adanya tiga masalah, yaitu 
[1].sikap memandang hari depan Indonesia; [2]. ada tidaknya sistem  politik 
yang mantap dan [3]. legitimitas pemimpin. 
 
1]. Sikap Memandang Hari Depan Indonesia:
Pesimis atau optimis memandang suatu hal-ikhwal, menyangkut masalah bagaimana 
seseorang mengenal keadaan hal-ikhwal itu. Tepat tidaknya  pengenalan akan 
hal-ikhwal  banyak ditentukan oleh cara bagaimana mengenalnya. Pengenalan 
seseorang yang melihat hal-ikhwal dari menara gading akan berbeda dari tingkat 
pengenalan seseorang yang berada di lapangan dan mengenal lapangan. Karena itu, 
mengenal hal ikhwal sebagaimana adanya hal-ikhwal itu sangat bertautan dengan 
dari mana seseorang melihatnya dan bagaimana ia mengenalnya. Dalam hal ini saya 
termasuk orang yang menggarisbawahi arti penting penelitian atau riset untuk 
mengenal hal-ikhwal, sehingga kita secara relatif mengenalnya sebagaimana kita 
mengenal garis-garis telapak tangan kita sendiri. Metode mengenal hal-ikhwal 
begini oleh pemikir tertentu disebut dengan "mengenal kebenaran dari kenyataan" 
dan berangkat dari alur pikiran begini maka dikatakan bahwa "yang tidak 
melakukan riset tidak berhak bicara". Riset untuk mengenal kenyataan
 hal-ikhwal memberikan bobot kepada kata-kata. Dari kata-kata seseorang kita 
akan segera mengenal taraf pengenalan seseorang akan hal-ikhwal yang 
dibicarakannya. Berbicara memang merupakan hak asasi setiap anak manusia.Tapi 
dari pembicaraannya, dari kata-katanya kita akan segera tahu taraf 
pengenalannya akan masalah yang sedang ia bicarakan. Yang tidak mengenal 
kenyataan akan bicara sembarangan, tapi mau bicara dan berkomentar. Karena 
ketidaktahuannya akan hal-ikhwal maka dari segi tanggungjawab manusiawi 
selayaknya ia tidak usah bicara bahkan tidak berhak bicara. Hanya saja karena 
mengungkapkan diri merupakan hak asasi maka kita membiarkan siapa pun berbicara 
dengan sikap: "Yang bicara tidak berdosa, yang mendengar patut waspada".
 
Atas dasar pengenalan hal-ikhwal sebagaimana adanya hal-ikhwal inilah kita 
membuat peta rencana menangani segala permasalahan. Mana yang pokok dan tidak 
pokok,yang dalam istilah filsafat sering disebut sebagai kontradiksi pokok dan 
kontradiksi pokok yang bersifat dialektis. Atas dasar ini, kita menetapkan 
kekuatan-kekuatan pilar dalam menangani masalah, mana yang jadi sasaran dan 
mana yang bisa diajak bersekutu. Di peta rencana demikian akan ditetapkan 
program mendesak, jangka menengah dan jangka panjang. Dari segi pandangan 
sejarah maka peta rencana  demikian memperlihatkan bahwa ia disusun atas dasar 
pengenalan atas masa silam dan hari ini. Sikap sejarah obyektif yang bertolak 
dari kenyataan membangun hari ini dan hari esok. Peta rancangan demikian 
merupakan suatu grand design masyarakat di mana tercantum tanda-tanda merah di 
mana kita berada, mau ke mana dan bagaimana mencapai ke mana. 
 
Di sini yang sedang kita bicarakan  adalah hal-ikhwal yang bernama Indonesia. 
Adakah atau apa bagaimanakah grand design untuk masyarakat Indonesia kita 
sekarang yang telah ditawarkan oleh partai-partai politik dan berbagai lembaga 
masyarakat? Para pendiri bangsa dan negara ini pada tahun 1945 menawarkan grand 
design berjudul Republik dan Indonesia. Masihkah sekarang kita menerima grand 
design para pendahulu kita? Kalau kita masih menerima Republik dan Indonesia 
sebagai grand design masyarakat untuk wilayah geografis politis yang bernama 
Indonesia, bagaimana  sikap kita dalam kenyataan terhadap grand design ini? 
Bagaimana kita melaksanakannya? Sarana apa yang digunakan untuk mewujudkan 
grand design itu?
 
Grand design adalah suatu pilihan politik atas dasar pengenalan terhadap hal 
ikhwal. Tujuannya ditentukan oleh nilai-nilai apa yang dijadikan pedoman. Jika 
kita mengenal benar kenyataan maka saya kira tidak seorang pun yang akan 
menolak nilai-nilai yang bisa mempersatukan dan sesuai kepentingan semua orang, 
paling tidak mayoritas terbesar penduduk, adalah nilai-nilai manusiawi seperti 
yang tercantum dalam ide republik dan Indonesia sebagai konsep. Sesuai dengan 
nilai-nilai itu maka grand design tidak lain daripada usaha memanusiawikan 
manusia, kehidupan dan masyarakat. Sektarisme dalam segala perwujudannya 
tidaklah paralel dengan usaha memanusiawikan manusia, kehidupan dan masyarakat. 
Kalau kita melihat adanya tuntutan kemerdekaan pada beberapa daerah di wilayah 
Republik Indonesia sekarang [suatu masalah yang bersegi banyak], dilihat dari 
Republik dan Indonesia sebagai grand design, saya pertanyakan mengapa Republik 
dan Indonesia sebagai grand design diberontaki? Mengapa ingin
 mengeluarkan diri dari grand design manusiawi ini? Grand design baru apa yang 
ditawarkan oleh kaum "independentis" jika Republik dan Indonesia sebagai grand 
design diberontaki? Saya menyokong perlawanan terhadap penyimpangan grand 
design manusiawi. Grand design Orde Baru [Orba] bukanlah grand design yang 
bersifat republiken dan keindonesiaan sehingga dampak pilihan politik dan grand 
desginnya menyebabkan kita berada dalam keadaan seperti sekarang. Kalau para 
pemegang kekuasaan politik sekarang melanjutkan grand design Orba, saya kira, 
mereka  makin membawa Indonesia makin jauh ke tebing jurang kebinasaan, kian 
memarakkan kemelut saja. Tidak adanya grand design atau ketidaksetiaan pada 
konsep Republik dan Indonesia sebagai grand design menyebabkan kita kehilangan 
perekat sebagai bangsa dan menempatkan kita dalam "kekosongan" wawasan, jika 
menggunakan istilah sosiolog Perancis Alain Touraine. 
 
Kembali kepada pertanyaan tentang sikap memandang hari depan Indonesia, 
pertanyaan ini sama dengan kita mau ke mana? Mau melaksanakan Republik dan 
Indonesia sebagai grand design manusiawi atau tidak? Kalau tidak mengapa? 
Pertanyaan ini, saya kira erat hubungannya dengan pengenalan kenyataan dan 
sejarah obyektif. Di hadapan kenyataan dan sejarah obyektif, selayaknya kita 
bersikap jujur, sanggup menyatakan yang oleh orang Perancis disebut "la verité 
comme elle est" [kebenaran sebagaimana adanya]. Di hadapan  pertanyaan apakah 
saya "pesimis" atau optimis di hadapan kemelut berupa wajah sekarang ini, 
jawabannya lebih terletak kepada pilihan nilai mayoritas warganegara negeri 
ini, lebih-lebih kepada pemegang kekuasaan politik. Pilihan nilai petinggi 
negeri dan negara akan dijawab oleh warganegara secara semestinya. Pilihan 
politik adalah pilihan nilai. Pilihan politik petinggi adalah kendaraan 
pengangkut kebaikan dan keburukan. Bagaimana pun kenyataan yang dihadapi, ia 
harus dihadapi
 sebagaimana adanya kenyataan itu sendiri. Kenyataan seperti yang dinyatakan 
oleh filosof Jerman, Peter Sloterdijk, merupakan "mobilisasi tanpa batas" ke 
arah pengejawantahan hidup yang manusiawi [Lihat: Peter Sloterdijk, "La 
Mobilisation Infinie", Christian Bourgoid Editeur, Paris, 2000, 329 hlm]. 
 
2].Ada tidaknya sistem  politik yang mantap:
Apa yang dimaksudkan dengan "mantap"? Apa ukuran "mantap" dan "tidak mantap"? 
Sebelum Republik Indonesia [R.I]diproklamasikan berbagai daerah sudah mempunyai 
sistem politik masing-masing dengan sistem mana masing-masing daerah 
menyelenggarakan kehidupan penduduk di daerah masing-masing. Ketika R.I 
diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, maka R.I. pun mempunyai suatu sistem 
politik yang mengacu pada konsep republiken dan keindonesiaan. Ketika Presiden 
Soekarno digulingkan dan Orba muncul menguasai negeri maka sistem politik 
militeristik dan otoriter ditegakkan. Orba sebagai suatu sistem sangat kuat dan 
pengaruhnya terasa serta nampak sampai sekarang. Orang-orang  Orba masih saja 
bercokol di pos-pos kunci negara. Artinya sebagai negara kita punya sistem.  
Kadang kekuasaan politik itu lemah, kadang kuat dan sangat kuat, rakyat dan 
warganegara sangat diperlemahkan. Kita pernah mengalami masa-masa [satu "s"] di 
mana rakyat [saya membedakan pengertian rakyat dan warganegara!] kuat dan
 pemerintah lemah, pernah pula mengalami periode di mana negara sangat kuat dan 
rakyat tidak lebih dari alat jinak [docile tool]. Yang belum adalah masa-masa 
seimbang di mana masyarakat sipil berperan bersama pemerintah dalam hidup 
berbangsa, bernegeri dan bernegara. Kericuhan sekarang barangkali bisa dilihat 
sebagai masalah  bagaimana masyarakat sipil mendapatkan tempat selayaknya dalam 
mengelola bangsa, negeri dan negara seperti yang sering dirumuskan sebagai 
"demokratisasi", "partisipasi", "otonomi daerah" atau  "era reformasi". Negara 
masih nampak kecenderungannya untuk mempertahankan posisi kuatnya yang 
berkelebihan. Barangkali apa yang dimaksudkan dengan "tidak adanya sistem 
politik yang mantap" adalah belum adanya kemauan politik yang kuat dari 
pemegang kekuasaan politik untuk menegakkan kesimbangan antara yang memerintah 
dan yang diperintah, antara negara dan rakyat oleh masih kuatnya keinginan 
untuk menjadi rakyat sebagai "alat jinak" belaka. Pilihan dan kecenderungan
 politik begini akan mengundang reaksi balik. Jadi kericuhan negeri sekarang 
ini tidak berpangkal dari ada tidaknya sistem politik yang mantap tapi bermula 
dari pilihan politik yang diterapkan dalam sistem politik tertentu. Sistem 
adalah cara melaksanakan pilihan politik yang merupakan cerminan terpusat dari 
segala kepentingan, terutama kepentingan ekonomi.
 
3].Legitimitas, Pemimpin dan Pimpinan:
Legitim adalah istilah hukum. Soeharto dan Orba setelah mengkudeta Presiden 
Soekarno mencoba melegitimasi diri dengan membuat undang-undang. Atas dasar 
undang-undang bikinannya maka Soeharto dan Orba adalah sah dan tidak sah jika 
dilihat dari UU lama dan sejarah.
 
Tapi legitimitas dan kewibawaan adalah dua soal berbeda. Kewibawaan adalah 
penerimaan sukarela warganegara terhadap seorang pemimpin karena jasa-jasanya 
untuk memanusiawikan kehidupan warganegaranya. Penerimaan sukarela berbeda 
dengan penerimaan atas dasar ketakutan. Atas dasar ada tidaknya kewibawaan 
pemegang kekuasaan politik maka saya membedakan antara pemimpin dan pimpinan. 
Pemimpin berdiri di atas kewibawaan sedangkan pimpinan berdiri di atas 
kekuasaan dan kekerasan. Di Indonesia banyak pimpinan tapi langka pemimpin. 
Pimpinan lebih menyukai negara yang kuat dan menolak sistem seimbang. Pimpinan 
lebih cenderung kepada otoritarianisme, parternalisme  dan bukan sistem 
demokrasi, republiken dan keindonesiaan. Jika Indonesia didominasi oleh para 
pimpinan maka di hari-hari mendatang, saya membayangkan makin maraknya kemelut 
di negeri ini]. 
 
Legitimitas termasuk usaha untuk meyakinkan warganegara sendiri dan dunia 
internasional bahwa pemegang kekuasaan politik suatu saat adalah pemegang 
kekuasaan politik yang sah karena itu tindakannya menjadi sah atau legal. 
Pengakuan warganegara dan dunia internasional akan legitimitas ini diperlukan 
jika pemegang kekuasaan politik itu tidak ingin menjadi terkucil. Hanya saja 
dalam kenyataan sering terjadi bahwa pihak luar, tidak terlalu mengacuhkan 
legitim tidak legitimnya suatu kekuasaan politik. Hubungan pihak luar terhadap 
pemegang kekuasaan politik itu lebih ditentukan oleh kepentingan pihak luar itu 
sendiri. Jika pemegang kekuasaan politik itu suatu saat menguntungkan mereka, 
tidak legitim pun kekuasaan politik itu, ia akan disokong sekali pun HAM 
diinjak-injak.Tapi  jika merugikan ia akan digulingkan. Contoh kasus Allende di 
Chili. Sedangkan dari pihak rakyat, legitim tidak legitim menempati urutan 
bawah dibandingkan dengan keinginan dan keperluan mereka akan hidup layak 
sebagai
 anak manusia yang manusiawi, adil, tenteram dan sejahtera. Terjawabnya 
keinginan dan keperluan ini memberikan legitimitas suatu kekuasaan politik di 
mata rakyat. Legitimitas ini membuat kekuasaan politik itu mempunyai 
kewibawaan. Sekali lagi jika legimitas berarti kewibawaan maka saya setuju 
kericuhan negeri sekarang memang bermula dari ketiadaan legitimitas. Kericuhan 
hanyalah bentuk ketiadaan legitimitas itu. Produk yang diturunkan oleh 
kendaraan illegimitas.Illegimitas inilah yang kemudian menimbulkan "mobilisasi 
tak berbatas" lapisan-lapisan masyarakat menderita dampaknya.
 
T:2.Apakah hal itu akan mengakibatkan adanya disintegrasi sosial?
 
J:[Dalam hal ini saya membedakan sosial [masyarakat]  dan  nasion [bangsa]. 
Mengenai terpilah-pilahnya masyarakat, saya kira sudah lama terjadi. Terjadi 
sejak munculnya primus inter pares di kalangan suatu komunitas dan 
perkembangannya melaju sejak ada kelompok masyarakat yang memiliki alat-alat 
produksi dan ada yang hanya punya kaki dan tangan yang bisa dijual  untuk 
menyambung hidup. Kesenjangan sosial ini makin membesar bahkan mengancam 
disintegrasi nasion oleh pengingkaran nilai-nilai republiken dan keindonesiaan 
yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan politik tipe pimpinan. Karena sekali pun 
negara pada umumnya dikendalikan oleh pihak-pihak lapisan menengah ke atas, 
tapi negara yang dijalankan oleh pemegang kekuasaan politik dengan mengacu pada 
nilai-nilai republiken dan keindonesiaan, sesungguhnya mempunyai fungsi 
mengelola keragaman dan kesenjangan itu. Nilai-nilai republiken dan 
keindonesiaan adalah perekat kelompok-kelompok dalam masyarakat mulai dari yang 
bernama etnik, asal
 turunan atau pun golongan. Negara dengan acuan nilai-nilai demikian merupakan 
bentuk kompromi antar kelompok-kelompok dalam masyarakat yang sudah 
disintegrasi. Untuk mencegah negara terlalu kuat dan bisa berbuat 
sewenang-wenang maka rakyat mempunyai daya tawar [bargaining power] yang 
dihitung dalam menghadapi negara jika mereka mengorganisasi diri. Semua 
golongan memerlukan negara -- organisator bermasyarakat. Tawar-menawar antara 
negara dan rakyatnya atas dasar nilai-nilai acuan bersama akan mendorong 
perwujudan nilai-nilai tersebut dalam bentuk dari kompromi satu ke kompromi 
lain. Kompromi adalah kesepakatan bersama di cakrawala nilai acuan bersama 
untuk mencapai kohesi sosial relatif. Apakah nasion ini akan berantakan, 
tergantung dari kemampuan kita mencapai kompromi karena kemelut akan terus saja 
ada dan ada untuk dipecahkan. Usai satu kemelut, kemelut berikut menunggu di 
langkah berikut. Meniadakan kemelut dengan jalan pintas hanya berakhir dengan 
petaka].Illegitimitas suatu
 kekuasaan politik dalam artian di atas hanya mendorong jauhnya kita dari titik 
dermaga kompromi dan kohesi sosial relatif.

T:3.Siapa yang bisa berperan maksimal dalam penataan Indonesia ke depan ?
 
J:[Untuk menata ulang Indonesia yang republiken dan benar-benar Indonesia, saya 
melihat adanya dua faktor utama yang saling bertautan yaitu rakyat Indonesia 
dan pemegang kekuasaan politik terutama pengambil-pengambil keputusan politik. 
Cendekiawan di sini berada sebagai jembatan keduanya. Bagaimana keterangannya? 
Negara adalah alat untuk melaksanakan nilai-nilai republiken dan keindonesiaan. 
Nilai-nilai republiken yaitu kebebasan [liberté], kesetaraan [egalité] dan 
persaudaraan [fraternité]. Sedangkan nilai-nilai keindonesian adalah kesadaran 
nilai kemajemukan yang bertentangan dengan alur pikiran tunggal [la pensée 
unique] seperti "asas tunggal" misalnya. Sejak Sumpah Pemuda Oktober 1928 yang 
mengkongkretkan kenyataan yang berlangsung oleh pergaulan selama berabad-abad 
di Nusantara dan diujudkan lebih nyata dalam bentuk negara R.I sejak 17 Agustus 
1945, bisa ditafsirkan sebagai kesepakatan berbagai etnik, asal turunan dan 
golongan yang ada di wilayah Hindia Belanda untuk menjadi
 nasion [bangsa] serta membentuk sebuah negara untuk melaksanakan nilai-nilai 
yang merupakan kesepakatan bersama ini. RI sebagai negara adalah 
pengejawantahan dari kesepakatan berbangsa untuk melaksanakan nilai-nilai 
republiken dan keindonesiaan. Nilai-nilai inilah yang menjadi perekat kita 
berbangsa dan bernegara. Pengingkaran terhadapnya seperti yang dilakukan oleh 
Orba akan menimbulkan macam-macam akibat. Nila-nilai ini pulalah yang sekarang 
terancam sehingga mengancam eksistensi Indonesia dan Republik. Ketika diagresi 
oleh Belanda dan Inggris, pemerintah RI tanpa sokongan dan partisipasi rakyat 
tidak akan mampu memembela RI. TNI sebagai salah satu perangkat aparat RI tidak 
akan punya arti apa-apa tanpa rakyat. Dari perjuangan ini maka lahirlah para 
pemimpin republik dan Indonesia. Pemimpin adalah penyambung lidah rakyat, 
pembela kepentingan rakyat. Penyimpangan terhadap nilai-nilai republiken dan 
keindonesiaan akan menyebabkan terpisahnya rakyat dan negara. Apa yang kita 
hadapi
 sekarang, saya kira hanyalah buntut dari terpisahnya rakyat dan negara oleh 
pengabaian bahkan pencampakan nilai-nilai republiken dan keindonesiaan. Buntut 
lain, rakyat kembali berlindung di komunitas-komunitas kecil mereka dan 
melancarkan perlawanan melalui komunitas-komunitas mereka.Akibat politik 
pembodohan dan docile tool Orba maka rakyat menjadi seperti kehilangan 
orientasi nilai. Ada yang ingin keluar dari RI ada yang sekedar berlawan. 
Merdeka dan melawan dengan nilai apa? Ini pun tidak jelas sehingga bisa terjadi 
kemerdekaan hanya melahirkan lapisan elite penindas baru dari kalangan 
komunitas itu sendiri. Kemerdekaan dan perlawanan hanyalah bentuk perlawanan 
spontan terhadap pengkhianatan kesepakatan, bentuk dari kemarahan dijadikan 
pedoman berpolitik dan berlawan.  
 
Sesuai dengan sejarah lahirnya RI maka kembali ke nilai-nilai di atas merupakan 
masalah menentukan. Untuk kembali ke nilai-nilai tersebut dan mewujudkannya 
sebagai grand design, di sini peranan pilihan politik pemegang kekuasaan 
politik dan rakyat serta para cendekiawan. Agar rakyat memungut kembali panji 
nilai-nilai yang dicampakkan oleh pemegang kekuasaan politik, maka organisasi 
masyarakat dan cendekiawan bisa berperan besar dalam melakukan gerakan 
penyadaran seperti yang dikatakan dan dipraktekkan oleh Paulo Freire. Gerakan 
penyadaran untuk menjadi aktor pemanusiawian diri dilakukan berbarengan dengan 
pemecahan masalah-masalah mendesak sehari-hari. Gerakan pemberdayaan adalah 
dari usaha pembangunan nilai-nilai yang dicampakkan.Usaha ini tidak bisa 
dilakukan dari menara gading. Jika rakyat sudah kembali mengambil dan 
mengibarkan panji-panji republiken dan keindonesiaan, sekali pun pemegang 
kekuasaan politik mengambil langkah lain yang bertolak belakang, maka RI masih 
mungkin
 diselamatkan. Kalau gerakan perlawanan di berbagai daerah melakukan hal  sama 
dengan pemegang kekuasaan politik pusat, maka yang akan kita saksikan adalah 
berdirinya negara-negara kecil di wilayah RI sekarang dan saya membayangkan 
rakyat di negara-negara kecil baru itu tidak lain dari budak-budak baru di 
wilayah negara lebih kecil.
 
Sebagai lapisan masyarakat yang relatif paling peka terhadap perkembangan, para 
cendekiawan yang jujur bisa memainkan peranan penting dalam proses penyadaran 
rakyat ini. Cendekiawan elitis atau menara gading  tidak mungkin memainkan 
peranan penting ini. Barangkali konstatasi begini bisa dijadikan juga untuk 
melihat keadaan barisan cendekiawan dan organisasi-orang masyarakat kita dalam 
melihat perspektif bangsa. Saya sendiri melihat bahwa jalan yang kita tempuh 
untuk menegakkan Republik Indonesia yang benar-benar republiken dan 
berkeindonesiaan masih panjang dan berliku. Jalan bisa diperpendek jika 
pemegang kekuasaan politik memilih politik republiken dan keindonesiaan, tapi 
mungkinkah mereka memilih politik ini jika bahaya militerisme yang tak segan 
menumpahkan darah masih saja mengepung kita? Yang jelas untuk menegakkan RI 
dari kita dituntut keberanian, kegigihan dan lebih dari itu kepandaian berjuang 
dan kepandaian menang. Mengingat sangat pentingnya peranan pemegang kekuasaan
 politik, barangkali SBY sebagai orang pertama negeri ini perlu menetapkan 
langkah dan membulatkan hati sebagai Presiden RI: apakah menyetiai nilai-nilai 
republiken atau tidak. Pilihan dan langkah-langkahnya akan menentukan keadaan 
lebih lanjut. SBY perlu menyadari bahwa Indonesia sekarang sebenarnya "semenit 
saja menjelang tengah malam" jika menggunakan kata-kata Klaus Koepfer, direktur 
eksekutif Program PBB Untuk Masalah Lingkungan. Setelah "tengah malam", yang 
berarti puncak krisis, di sini tidak ada masalah pesimis dan optimis tapi 
bagaimana kita menghadapi secara nyata keadaan dan bertindak sesuai kenyataan 
yang dihadapi dengan tetap mencoba berpegang pada nilai-nilai manusiawi. 
Nilai-nilai tersebut hanya bisa dipertahankan jika kita semua mau 
mempertahankan dan mewujudkannya walaupun Republik Indonesia adalah suatu 
konsep besar dan agung.Masalah besar terpenting yang kita hadapi sekarang 
adalah masalah krisis nilai, masalah krisis pola pikir dan mentalitas. Krisis 
kebudayaan!
 
Jika penataan kembali haridepan, jika merenda kembali Republik Indonesia 
sebagai suatu kontradiksi maka faktor pokok atau dominan di sini adalah 
pemegang kekuasaan politik. Sedang rakyat serta kalangan cendekiawan merupakan 
unsur-unsur sub dominan atau tidak bukan pokok tapi bisa berobah menjadi faktor 
jika berada dalam syarat-syarat tertentu].
 
T:4.Peran apa yang bisa diambil oleh Ormas seperti NU?

J:[NU yang bagaimana? NU yang feodalistik, korup dan cupet tidak akan mungkin 
turut menyelamatkan RI. NU yang begini jutru turut mempercepat runyamnya 
keadaan RI kemudian menghancurkannya. NU yang demikian adalah NU yang 
terjangkit krisis nilai, krisis pola pikir dan mentalitas yang mengasingkan 
diri dari Republik dan Indonesia. Sebaliknya jika NU bisa menjadi suatu 
menangani gerakan kebudayaan sebagai organisasi yang berbudaya, yang paham arti 
kemajemukan dan keterbukaan, jujur dan terbuka maka NU akan bisa menjadi 
kekuatan raksasa yang bisa menyelamatkan Republik dan Indonesia. Maka masalah 
pertama yang patut dipecahkan oleh NU jika mau menangani gerakan kebudayaan 
rakyat, adalah bagaimana menjadikan diri sebagai organisasi yang berbudaya 
secara tanggap zaman dan aspiratif.  


T:5.Apakah NU cukup punya instrumen yang memadai baik secara organisasional 
maupun secara kepemimpinan untuk menghadapi  situasi sosial seperti ini?

J:[Ya, sangat dan sangat memadai. Sistem pesantren yang menjangkau jauh hingga 
ke daerah pedesaan merupakan suatu lembaga kekuatan dahsyat NU yang bisa lebih 
diefektifkan. Dengan lembaga pesantren jika dijadikan sebagai lembaga 
penyadaran agar rakyat tampil sebagai aktor pemberdayaan diri, maka RI bisa 
diselamatkan dan peranan NU sangat besar.Apalagi jika NU dalam usaha ini mampu 
bekerjasama dengan lembaga-lembaga lain yang bukan Islam seperti dengan adanya 
Memorandum of Understanding NU pimpinan Gus Dur dengan CCFD Paris yang Katolik. 
NU Gus Dur adalah NU yang memiliki watak pembidasan. Kerjasama setara dan 
kemitraan dengan lembaga-lembaga masyarakat non Islam akan meningkatkan 
martabat dan peranan NU.   Masalah paling pokok untuk mengefektifkan instrumen 
ini, terletak pada pilihan orientasi nilai yang tanggap zaman dan aspiratif 
sehingga mampu jadi alternatif bagi rakyat.Korup, cupet, feodalistik saya 
anggap sebagai ulah yang menghancurkan NU sendiri, bertentangan dengan tradisi 
NU
 sendiri yang mementingkan kepentingan manusia atau publik. Kegiatan tentu 
memerlukan beaya yang tidak kecil, apalagi jika kegiatan itu sudah besar. Di 
sini lalu timbul masalah pembeayaan. Dengan adanya instrumen struktgural yang 
dimiliki NU, saya yakin benar bahwa masalah ini tidak akan menjadi soal besar. 
NU bisa membeayai diri sendiri tanpa bantuan dari luar mana pun. Tentu saja 
bantuan luar diperlukan tapi sesungguhnya dalam soal ini NU bisa mandiri. Saya 
bisa mengatakan hal ini berdasarkan apa yang saya saksikan dan saya lakukan 
sendiri. Saya yang tidak mempunyai instrumen struktural seperti NU. Sebagai 
ilustrasi saya ingin membayangkan bahwa dalam sebulan ada empat kali hari 
Jumat. Jika setiap hari Jumat dari umat dikumpulkan dana sebesar Rp. 500,-an 
sampai dengan Rp.1000,- berapa dana yang bisa dihimpun untuk kegiatan dari 30 
juta warga NU? Saya yakin benar jika umat yakin bahwa sumbangan yang mereka 
peroleh dengan membanting tulang dan diberikan kepada NU kemudian dirasakan
 manfaatnya oleh mereka, maka dampaknya akan sangat besar, NU pun akan 
dirasakan sebagai diri mereka sendiri dan mereka perlukan. Tapi sekali 
sumbangan ini dikorup maka dampaknya pun akan terasa. Selama bekerja di 
Indonesia sebelum terpaksa keluar, saya selalu berpendapat dan mencoba 
mempraktekkan sikap mandiri dalam pendanaan kegiatan. Masalahnya adalah 
prakarsa dan kreativitas].
 
 
T:6.Apakah anda melihat perbedaan orientasi yang signifikan antara kepemimpinan 
dalam NU, mulai dari Idham Kholid, Gus Dur sampai Hasyim Muzadi?

J:[Pertama-tama pengenalan saya terhadap tokoh-tokoh ini sangat terbatas dan 
belum melakukan studi khusus tentang mereka sehingga pengetahuan saya tentang 
mereka sangat terbatas. Sebagai sesama asal Kalimantan, Idham Kholid adalah 
teman akrab dari keluarga saya dalam usaha menegakkan  RI. Tapi ini tidak 
penting. Umumnya orang-orang dari angkatan Idham Kholid adalah orang-orang yang 
relatif terbuka dan menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan diri. 
Karena merasakan benar pahit-getir menegakkan RI, maka orang-orang dari 
angkatan Idham Kholid boleh dikatakan  adalah orang-orang terbuka dan toleran. 
Bisa bekerjasama dengan pihak-pihak lain di luar lingkungan mereka. Pengalaman 
pahit-getir mandi darah ini tidak dialami oleh angkatan yang tumbuh setelah 
berdirinya RI apalagi setelah Orba. 
 
Sedangkan Gus Dur saya kenal secara pribadi jauh sebelum ia menjadi Presiden 
RI. Saya melihat Gus Dur sebagai pemikir yang serius di negeri ini. Ia adalah 
orang yang terbuka dan mampu bekerjasama dengan orang di luar lingkungannya. 
Ketika pada suatu hari sebelum berangkat kembali ke Paris, di hadapan 
teman-teman yang berdatangan ke kamar kecilnya di Kantor Pusat NU, ada teman 
yang bertanya heran: "Khoq semua datang ke mari sih?" Gus Dur yang menemui kami 
dengan kaos oblong putih, menjawab: "Kalau tidak ke mana lagi?". Merenungkan 
kembali jawaban ini, saya melihat peranan NU dan sikap Gus Dur sebagai orang 
pertama NU pada waktu itu. Dari jawaban Gus Dur itu saya melihat bahwa NU di 
bahwa pimpinan Gus Dur adalah pemersatu semua pencinta Indonesia dan 
kemanusiaan serta orang-orang yang ingin memanusiawikan manusia. Melalui 
tulisan-tulisannya, Gus Dur menawarkan ide-ide demokratis alternatif ketika 
Indonesia dikendalikan oleh Orba yant totaliter dan militerstik. Jika 
dibandingkan dengan
 periode Idham Kholid maka tawaran-tawaran alternatif Gus Dur pada masa itu 
merupakan suatu terobosan luarbiasa dan menempatkan NU sebagai pembidas pemberi 
alternatif bagi negeri. Barangkali hal ini tidak dilakukan oleh Idham Kholid 
sebagai seorang Muslim Indonesia yang republiken. Barangkali perbedaan ini 
disebabkan oleh tantangan zaman yang berbeda. Idham Kholid bergerak di zaman 
dominasi pikiran Soekarno yang hanya ditandingi oleh tawaran-tawaran ide 
nasionalistik dan kerakyatan dari PKI. Idham Kholid lebih bersifat organisator 
sedangkan Gus Dur menonjol sebagai pemikir. Tapi kedua-duanya sama-sama seorang 
muslim Indonesia yang republiken yang tumbuh membesar dalam masa yang berbeda. 
 
Sedangkan tentang Hasyim Muzadi, ia tumbuh di zaman KKN, Indonesia berada di 
ujung tanduk. Ia nampak lebih bersifat politisi yang agak tergoda oleh situasi. 
Jika Hasyim mempunyai kemampuan sebagai Idham Kholid sebagai organisator, 
barangkali Gus Dur tidak akan menerima mandat dari para kiayi sesepuh untuk 
mendirikan NU baru, barangkali tidak ada protes-protes dari kalangan muda NU 
yang kritis dan dipandang liberal dan dicegah masuknya ke lingkaran 
kepemimpinan NU. Seorang organisator adalah pengelola organisasi yang selalu 
majemuk. Ia seorang pemersatu. Saya tidak tahu persis kebenarannya, tapi adanya 
suara-suara dalam debat [yang saya nilai sangat positif dan keberanian 
mengolok-olok diri dari NU] di milis kmnu2000@yahoogroups.com  bahwa Muktamar 
Boyolali diwarnai oleh permainan uang, telah menunjukkan adanya asap dari api 
yang mencemaskan. Belum lagi tentang soal perolehan dan penyelewengan dana. 
Sebelumnya saya tidak pernah membaca dan mendengar soal begini di dalam NU. 
Apakah ini
 ciri periode kepemimpinan Hasyim Muzadi sebagai orang pertama NU? Dari segi 
pemikiran, saya lebih banyak membaca masukan dari Gus Dur dan Gus Mus sebagai 
budayawan daripada yang ditawarkan oleh Hasyim Muzadi yang agaknya tidak jauh 
berbeda dari pimpinan partai-partai politik lainnya dewasa ini. Kalau pembacaan 
situasi saya benar, saya dipenuhi oleh pertanyaan: Quo Vadis NU di bawah Hasyim 
Muzadi? Yang menonjol dari Hasyim Muzadi adalah permainan politik dan secara 
ide, seakan membawa NU ke arah belakang. Alternatif apakah yang ditawarkan oleh 
NU jika demikian? Apakah kekosongan ide alternatif ini bisa menyelamatkan RI 
sebagai negara ataukah NU menyumbang akselerasi penghancuran RI sebagai suatu 
konsep dan realita?]
 
Dengan ini saya sekaligus telah menjawab pertanyaan ke tujuh dan ke delapan].
 
T:7.Apa Ke khasan (ciri-ciri) masing-masing kepemimpinannya ?
J: [Lihat jawaban di nomor 6].

T:8.Apakah kekhasan itu ditentukan oleh sikap NU atau berdasarkan tantangan 
yang muncul dari luar NU ?
J: [Lihat jawaban di nomir 6].

T:9.Bagaimana anda melihat sistem kaderisasi dalam NU sehingga memunculkan 
tokoh-tokoh kontroversial seperti Subhan, Gus Dur, Hasyim yang walaupun mereka 
ditentang tetapi pikiran-pikirannya sangat berpengaruh?

J:[Kaderisisasi adalah soal yang sangat penting bagi perkembangan gerakan, 
termasuk gerakan kebudayaan. Gerakan kebudayaan adalah suatu gerakan yang 
menyentuh masalah paling hakiki, karena ia menyentuh masalah pola pikir dan 
mentalitas manusia -- hal yang paling dirusaki oleh Orba selama ini.  Pola 
pikir dan mentalitas sama dengan masalah pembentukan manusia yang berkarakter 
dan berwawasan manusiawi. Melihat keadaan manusia Indonesia sekarang, terkadang 
saya bertanya di mana manusia di negeri ini? 
 
Ketika di Paris bertemu Gus Dur puluhan tahun lalu, justru soal ini yang 
pertama-tama saya tanyakan kepada Gus Dur.Dan saya ingat benar, betapa Gus Dur 
sempat tercenung sejenak mendengar pertanyaan saya. Pertanyaan ini baru 
kemudian, ia jawab ketika kami bertemu di Kantor Pusat NU Jakarta beberapa 
tahun kemudian. Waktu itu Gus Dur mengatakan "Pertanyaanmu dulu sekarang sudah 
terjawab". Beliau pun menunjukkan tempat-tempat yang selayaknya saya datangi 
untuk mendapatkan jawaban pertanyaanku itu. Waktu itu, saya belum menjadi 
anggota milis kmnu2000@yahoogroups.com , belum kenal atau belum punya kontak  
dengan MG.Romli, Aman, Thomafi, OcHie, Aguk, Rizqon, Ntis, Ulil dan sederetan 
nama lain.. Saya mengenal dan berhubungan dengan nama-nama ini beberapa tahun 
kemudian setelah pertemuan saya dengan Gus Dur di Kramat Raya. Perkenalan 
[walaupun belum pernah bertatapan muka!] membuat saya mempercayai pernyataan 
Gus Dur bukan hanya untuk menenangkan kegelisahan saya tentang kader penerus NU.
 Saya melihat NU secara sadar menangani masalah kaderisasi ini. 
 
Yang menarik dari semua yang mereka saya kenal, kader-kader NU mempunyai ciri 
khas. Dari hampir semua kader NU dari berbagai angkatan mempunyai langgam dan 
gaya merakyat. Setenar apa pun nama mereka, gelar akademi apapun yang mereka 
raih, dari mereka tidak saya dapatkan keangkuhan intelektual yang suka  
"sok-sokan". Mereka selalu penuh canda, mengungkapkan pikiran dan perasaan 
dengan santai sekali pun tajam. Barangkali hal ini disebabkan karena mereka 
biasa dengan kehidupan pesantren yang berada di pedesaan, biasa dengan kerja 
badan sehingga mereka nampak tidak memisahkan secara tajam antara kerja fisik 
dan kerja otak. Mereka adalah orang-orang berwatak dan menyediakan tempat bagi 
kebenaran dari pihak lain. Apakah ini merupakan hasil dari kedekatan mereka dan 
NU yang dekat dengan massa lapisan bawah? Karena massa lapisan bawah akan 
menolak keangkuhan intelektual yang "sok-sokan".
 
Ketika NU juga mengirimkan tenaga-tenaga muda untuk belajar ke berbagai negeri, 
saya membaca kegiatan ini sebagai bentuk dari usaha NU mendidik kader-kader 
berwatak merakyat dan berketrampilan. Kader-kader yang bercakrawala wawasan 
yang luas. Barangkali dalam usaha kaderisasi ini, jumlah kader muda lelaki 
masih mengungguli jumlah kader-kader perempuan. Di hari-hari  mendatang saya 
membayangkan akan muncul dalam barisan NU kader-kader perempuan yang kian 
menjamur sehingga Ntis dan saudaranya Rosa Prabowo akan mendapat teman lebih 
banyak lagi. Masalah perempuan dan pembebasan perempuan saya kira merupakan 
salah satu kunci dalam usaha memanusiawikan manusia. Perempuan oleh orang 
Tiongkok disebut sebagai kekuatan yang "menyangga separo langit". Separo lagi 
disangga oleh lelaki. Sehingga jika perempuan tidak dibebaskan untuk menjadi 
manusia, maka langit hanya disangga oleh tangan lelaki maka bisa terjadi langit 
di atas kita akan "njomplang". Satu ujungnya bisa menimpa jutaan anak manusia.
 Apakah langit ide NU sampai sekarang tidak hanya disokong oleh sebelah tangan, 
yaitu hanya tangan lelaki? Kapan dan adakah kader perempuan yang masuk ke 
pimpinan pusat Nu? Mengapa tidak ada? Apa artinya ketiadaan mereka ini? 
 
Bung menyebut Subhan, Gus Dur, Hasyim sebagai "tokoh-tokoh kontroversial" "yang 
walaupun mereka ditentang tetapi pikiran-pikirannya sangat berpengaruh". 
"Kontroversial" kata sifat yang menunjukkan bahwa mereka adalah tokoh-tokoh 
berwatak. Watak ini pun berkembang sesuai pandangan seseorang, terutama 
pandangan hidupnya. Pandangan sangat dipengaruhi oleh keadaan. Sadar akan sifat 
dialektis watak ini maka di Republik Rakyat Tiongokok pada zaman Mao Zedong, 
kader-kader semua tingkat diwajibkan "sekali-kali jangan melupakan masa silam" 
dan "selalu dekat dengan rakyat" melalui kemestian "turun ke bawah" untuk waktu 
tertentu secara bergiliran. Bukanlah aneh pada masa itu jika seorang jenderal 
melakukan tugas jaga malam seperti seorang prajurit, Perdana Menteri dan 
Presiden turun ke pabrik dan pedesaan melakukan kerja-badan.  
 
Lingkungan Indonesia sekarang yang paling mengancam dan bersifat merusak adalah 
KKN. Godaan uang. Uang yang diciptakan manusia telah memperbudak penciptanya 
seperti Frankenstein. Saya hanya bisa berharap agar Frankenstein ini tidak 
mengetuk pintu NU dan menyerbu pesantren-pesantren. Karena jika hal ini terjadi 
dan tidak dihalau maka Frankenstein akan menyeret NU ke jurang petaka. Inipun 
satu watak kontroversial , tapi kontroversial  Dasamuka. 
 
Membaca berita-berita tentang Muktamar Boyolali, saya melihat NU dan saya 
teringat akan sebuah  baris sanjak penyair Agam Wispi alm. yang mengatakan: 
"bertimbun bangkai di kota rebutan". Berita-berita tentang Muktamar Boyolali 
membayangkan kepada saya bahwa NU tak obah sebagai sebuah "kota rebutan" yang 
bisa tidaknya jadi harapan bangsa dan kemanusiaan ditentukan oleh siapa yang 
menguasai "kota rebutan" itu. Berbicara tentang kalah dan menang,ia  
berhubungan dengan imbangan kekuatan. Kekuatan bertautan dengan pengaruh. 
Pengaruh bisa muncul dari uang, bisa muncul dari kekuasaan dan juga bisa 
dilahirkan oleh pekerjaan tekun penyadaran. Yang sadar akan tetap jadi manusia 
dan setia pada kemanusiaan, setia pada misi hidup matinya tidak tergertak oleh 
Dasamuka dan atau Frankenstein, seperti Nabi Isa [Yesus] ketika dicoba setan.
 
Dalam gerakan kebudayaan pergulatan begini akan terus berlanjut. Pergulatan 
kebudayaan adalah suatu pertarungan merebut "kota rebutan" bernama manusia.
 
Dengan latar pikiran di atas, saya melihat masalah "kontroversial" dan 
"pengaruh" tak obah seperti sebuah jalan simpang yang menanyakan kita mau ke 
mana? Kontroversial dan pengaruh tidak selalu bermakna positif dan terhormat 
serta sesuatu yang patut dibanggakan atau utama. Kalau tokoh-tokoh 
kontroversial itu mengajak orang melakukan bunuh diri kolektif, apakah watak 
dan pengaruh begini positif? Yang utama, apapun watak seseorang, betapa pun 
besar pengaruhnya tetap terletak pada pertanyaan apakah tokoh itu dengan segala 
warna wataknhya serta kadar pengaruhnya,  setia pada misi memanusiawikan 
manusia, kehidupan dan masyarakat.Apalagi kita ketahui bahwa seribu kepala 
seribu perangai. Kontroversial dan pengaruh bukan dasar penilaian hakiki, 
paling-paling bisa dijadikan dasar perhitungan dan pemahaman pribadi mereka].  
 

T:10.Apakah gerakan pembaharuan yang dilakukan  oleh kaum muda NU untuk 
memperbesar peran NU di masyarakat akan banyak berpengaruh bagi perubahan NU 
kedalam maupun keluar, atau hanya sekedar intellectual exercise yang tidak 
berpengaruh sama sekali? 

J:[Ketika mengajukan pertanyaan ini, saya melihat Bung sedang berbicara tentang 
arah "gerakan pembaharuan yang dilakukan oleh kaum muda NU". Melalui pertanyaan 
ini nampak bahwa Bung melihat "gerakan pembaharuan yang dilakukan oleh kaum 
muda NU" mempunyai dua kemungkinan arah yaitu memperkuat pengaruh NU yang 
berarti memperbesar sumbangan NU untuk usaha memanusiawikan manusia, kehidupan 
dan masyarakat dan yang kedua hanya sebagai "sport otak" atau "intellectual 
exercise", kecenderungan dari cendekiawan menara gading. 
 
Kaum muda NU yang melancarkan "gerakan pembaharuan" umumnya terdiri dari mereka 
yang berpendidikan entah di dalam negeri atau pun di luar negeri. Secara 
singkat mereka adalah kaum cendekiawan muda. Dalam sejarah dunia, kaum 
cendekiawan akan terpecah jadi dua golongan. Yang konsekwen dengan ide-ide 
barunya dan yang berhenti setelah bicara. Yang konsekwen akan menyatukan diri 
dengan gerakan massa, menerjunkan diri dalam badai-topan perjuangan mayoritas 
penduduk , sedangkan yang lain tinggal di menara gadingnya dan bercuap-cuap 
dari menari gading tersebut sambil mengibar-ngibarkan dengan bangga ijazah dan 
gelar akademi yang mereka peroleh di sekolah-sekolah dalam dan luar negeri. 
Pada tahap pertama pergulatan ide, kelompok kedua ini masih diperlukan, tapi 
ketika sampai pada tahap pengejawantahan ide, kelompok kedua ini sering menjadi 
pengganggu kelompok cendekiawan konsekwen di lapangan, kelompok yang ingin 
mengejawantahkan ide mereka dengan menyatukan diri dengan mayoritas penduduk.
 Harapan NU tidak terletak pada kelompok kedua tapi terletak pada kelompok 
pertama. Dalam perkembangan berikutnya kelompok kedua ini akan lenyap seperti 
debu di jalanan dan mengotori atap-atap kehidupan belaka. 
 
Untuk dikatakan "tidak berpengaruh sama sekali" juga tidak bisa, karena debu 
pikiran akan menyusup ke ruang-ruang pikiran orang. Tapi debu tidak pernah 
menghalangi lajunya kendaraan, andong sekali pun. Jika di laut, kelompok kedua 
ini adalah busa buritan kapal atau buih di pantai-pantai warna tembaga. 
 
Biasanya, siapa-siapa yang memilih jalan pertama dan kedua, sejak awal sudah 
bisa dipantau. 
 
Arti lain dari pertanyaan ini terletak pada perhatian akan arti penting 
angkatan muda. Dunia memang milik bersama, milik semua angkatan usia. Tapi pada 
analisa terakhir ia adalah milik angkatan muda. Karena angkatan tua seperti 
matahari senja menjelang malam sedang angkatan muda bisa dikatakan seperti 
matahari jam sembilan pagi. Karena itu demi NU dan misi kemanusiaannya, saya 
kira tiga perpaduan yaitu pemaduan angkatan tua, angkatan menengah dan angkatan 
muda, layak dipertimbangkan dalam kepengurusan nasional dan lokal NU. Tiga 
pemaduan ini saya kira merupakan metode pengkaderan dan cara mendewasakan 
kader. Kader muda tidak pernah dewasa dengan sendirinya. Jenjang pendidikan 
bukan isyarat kematangan kader dan anak manusia. Menyertakan mereka di posisi 
bertanggungjawab dan mengizinkan mereka melakukan kesalahan serta mengkoreksi 
kesalahan barangkali adalah bentuk pendidikan kader paling efektif. Kader 
berarti orang-orang yang tidak berada di menara gading, tapi yang punya mimpi 
dan
 menyatukan diri dengan gelora gerakan. Di dalam gerakan itu mereka kemudian 
menempa dan mengobah diri, memperkokoh sikap dan pendirian mereka, 
mengembangkan teori baru dan memeriksanya kembali atas dasar dan di gerakan 
massa itu sendiri]. 
 
 
T:11.Bagaimana anda membaca peta gerakan kaum muda NU didalam progresevitas 
gerakan maupun pemikiran bila dibanding dengan kaum muda kelompok lain semisal, 
kelompok Islam Modernis ataupun  nasionalis? 

J: Pertanyaan ini mengingatkan saya akan pendapat para politikolog atau 
Islamolog yang tidak sedikit berpendapat bahwa NU sebagai organisasi Islam 
konservatif sedangkan yang lain sebagai "modernis". Soal ini secara tidak 
langsung sebenarnya pernah disinggung oleh Gus Dur di Kantor Pusat NU Jakarta 
ketika puluhan tahun lalu kami bertemu. Pada kesempatan itu, Gus Dur mengatakan 
bahwa "Saya sudah beberapa kilometer di depan sedangkan yang lain baru 
mengayunkan langkah pertama". Dengan mengangkat kenangan ini, yang ingin saya 
katakan bahwa saya lama mempertanyakan: Apakah bukannya NU yang sebenarnya 
modern dalam artian tanggap zaman dan aspiratif? Ah, kau berkata begitu karena 
kau dekat NU ? Barangkali ada yang berkata dan berpikir demikian. Ya, saya 
dalam kegiatan di lapangan memang dekat dengan NU karena saya anggap NU itu 
justru yang tanggap zaman dan aspiratif.Tanggap zaman dan aspiratif di samping 
kesetiaan pada usaha memanusiawikan manusia, kehidupan dan masyarakat bagi saya
 merupakan standar progresifitas. Bukan kesetiaan membuta pada organisasi atau 
tokoh atau pimpinan. Kesetiaan membuta akan melahirkan fanatisme dan sektarisme 
yang hanya membuahkan petaka dan tidak sesuai kenyataan hidup. Sering saya 
melihat fanatisme ini terjadi di kalangan yang menyebut diri "Modernisme" atau 
nasionalis. Tidak jarang saya dapatkan di dua  kelompok masyarakat terakhir 
ini, fanatisme cukup berkembang. Dan di NU dengan debat ide dan transparansi 
yang dicerminkan oleh debat sekarang seperti di milis kmnu2000@yahoogroups.com  
dan sebelumnya. Saya melihat debat ide dan transparansi ini unik NU. Petunjuk 
bahwa NU sebagai organisasi kebudayaan menempuh jalan berbudaya. Tidak takut 
melihat wajahnya sendiri, menolak alur pikiran tunggal yang otoriter atau 
feodalistik. Semestinya NU bangga pada tradisi ini dan mengapa pimpinan NU 
tidak memelihara dan mengembangkannya secara nyata? Kalimat ini saya alamatkan 
lebih kepada pimpinan NU sekarang]. 
 

T:12.Beberapa tahun terakhir, gerakan fundamentalisme Islam di Indonesia 
menunjukkan peningkatan aktivitas luar biasa, apakah ini bukti bahwa 
konsolidasi mereka relatif berhasil dibanding dengan kekuatan lain semisal NU? 

J:[Kegiatan luar biasa belum tentu jadi petunjuk bahwa organisasi itu berhasil 
mengkonsolidasi diri. Kegiatan bisa juga berarti sebagai cara mengkonsolidasi 
diri. Kegiatan kongkret adalah cara menyaring kader dan setelah tersaring maka 
tenaga-tenaga tersaring ini dijadikan teras organisasi dan konsolidasi. Apalagi 
sesungguhnya melakukan teror dengan pemboman sebagai taktik dalam perjuangan 
politik, sebenarnya relatif tidak terlalu sulit. Kalau yang dimaksud dengan 
meningkatnya kegiatan kekerasan, sebagai tanda konsolidasi organisasi, 
barangkali masih bisa dipertanyakan ketepatannya. Yang lebih mendekati 
kenyataan barangkali meningkatnya kegiatan tindak kekerasan adalah usaha untuk 
menarik perhatian dan diperhitungkan eksistensinya. Dengan tindakan kekerasan 
membabi buta, taktik ini kemudian menimbulkan ketakutan di kalangan penduduk, 
dan penduduk menjadi tidak simpati. Sehingga yang dicapai dengan taktik ini 
sebenarnya hanya makin mengucilkan diri, dan pengucilan diri tidak bisa
 dipandang sebagai memperluas pengaruh dan pengkonsolidasian pengaruh. Benar 
bahwa dari kegiatan kekerasan demikian akan tersaring tenaga-tenaga yang bisa 
diandalkan, tapi kesetiaan tenaga-tenaga ini lebih didasarkan pada fanatisme. 
Organisasi-organisasi ekstrim pada galibnya bersandar pada fanatisme dan 
sentralisme yang  kuat.  Pertanyaan itu adalah pintu tertutup dan sering 
dicurigai sebagai gejala khianat.Anggota lebih merupakan alat jinak atau docile 
tool belaka. Berdasarkan keterangan Dinas Rahasia Perancis, DGSE [Direction 
Générale de la Securité Extérieure], grup fundamentalis di Perancis merekrut 
anggotanya dari anak-anak pinggiran kota [banlieu] yang menganggur dan biasa 
melakukan berbagai tindak kejahatan bahkan kriminalitas, kosong ide. Dari 
keterangan ini kita melihat dasar dan sebab sosial berkembangnya fundamentalis. 
Dengan memasuki grup-grup kekerasan fundamentalis begini mereka mendapatkan 
jalan kehidupan dan meninggalkan jalan-jalan kota di mana mereka mencopet,
 merampok dan membongkar rumah-rumah atau toko-toko  sebagai sumber 
penghasilan. Mereka dikirim ke medan teror sebagai alat oleh para pemikir. 
Apakah perekrutan begini bisa dipandang sebagai konsolidasi solid? Barangkali 
pengacauan akan bisa terus mereka lakukan tapi dengan mengembangkan ketakutan, 
mereka tidak punya harapan untuk membesar. Di Aljazair penduduk akhirnya 
mengorganisasi diri untuk melawan mereka. Di Kalteng, penduduk Dayak 
mengorganisasi diri untuk melawan mereka. 
 
Saya kira, NU tidak bisa dibandingkan dengan grup-grup begini. Dan merupakan 
suatu kekeliruan membandingkan NU yang merupakan organisasi budaya dengan 
grup-grup teroris begini. NU bukanlah organisasi para penganggur dan 
kriminal.NU dan grup-grup teroris berada di petak yang berbeda. Kemelut yang 
dihadapi NU sekarang, dari segala memang nampak suatu hal yang negatif, tapi 
sesungguhnya kemelut dan debat sekarang merupakan cara konsolidasi diri yang 
solid bagi NU. NU akan lebih memungut hasil besar dari kemelut dan debat 
sekarang, jika pimpinan NU menyalurkannya dengan berani dan bertindak sesuai 
dengan kesimpulan. Idham Kholid telah memberikan teladan bagi NU mengatasi 
konflik intern berpatokan pada nilai-nilai NU. Sejarah NU adalah sejarah suatu 
gerakan budaya dan menyediakan banyak pelajaran berharga. Karena itu 
mempelajari sejarah NU saya kira merupakan suatu keniscayaan.
 
Yang saya khawatirkan peningkatan tindakan teror begini lebih membuka jalan 
bagi berkuasanya kembali militerisme. Atas nama menghalau ketakutan, penduduk 
tanpa pikir panjang lalu menyokong militerisme. Jika kekhawatiran ini beralasan 
maka tindakan teroris merupakan bagian dari permainan catur politik di negeri 
ini. Di hadapan situasi begini maka peranan NU sebenarnya lebih ditagih dan 
ditunggu. (cih)
 







Memahami Perbedaan Menghilangkan Jarak dan Membentuk Ego Menjadi Empati yang 
Utuh
-GuN-
Egypt: +20106867745

Untuk arsip-arsip tulisan, bisa klik: http://qalam.co.nr or http://qalam.tk 
atau www.katakata.cn.st

Terima kasih..:))
                
---------------------------------
Do you Yahoo!?
 Yahoo! Mail - Easier than ever with enhanced search. Learn more.

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
$4.98 domain names from Yahoo!. Register anything.
http://us.click.yahoo.com/Q7_YsB/neXJAA/yQLSAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Forum IT PPI-India: http://www.ppiindia.shyper.com/itforum/
5. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
6. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
7. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke