Salam... Berikut saya posting wawancara dengan Bapak JJ Kusni, "Lurah NU di Paris" yang mencermati dinamika NU mutakhir dari Paris, Perancis. Wawancara asli ini bisa dibuka di website NU www.nu.or.id (website terbaik 2004 kategori ormas) di rubrik Halaqah. Selamat membaca... -GuN- HALAQOH
NU Harus Mandiri Perkembangan politik Indonesia belakangan ini, perlu diamati secara serius. Apakah ada perubahan-perubahan substantif yang dialami Indonesia baik dari sisi ekonomi, politik, sosial dan budaya ? Apakah perubahan yang dilakukan mengarah pada kemajuan atau kemunduran ? lantas dimana akar problem yang menjadi ganjalan sehingga Bangsa Indonesia belum mengalami kemajuan dalam penegakan demokrasi ? Siapakah yang dapat berperan maksimal dalam penataan Indonesia ke depan ? Ditengah-tengah situasi itu, bagaimana posisi dan peranan NU dalam mengapresiasi perkembangan zaman. Bagaimana NU memainkan peran strategis dalam bidang sosial, ekonomi maupun Politik ?. Adakah kemajuan-kemajuan yang dicapai atau justru mengalami stagnasi? Bagaimana pula proses kaderisasi di tubuh NU dan dialektikanya dalam mengapresiasi nilai-nilai demokrasi ? Untuk menelusuri jawaban ini, wartawan NU Online, Ahmad Kosasih Marzuki mencoba melakukan wawancara jarak jauh dengan JJ. Kusni, Ph.D, pemerhati NU dari l'Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (l'EHESS, Sorbonne), Paris,France. Berikut ini petikannya : Tanya [T]:1.Selama ini orang pesimis dengan masa depan Indonesia, karena tidak adanya sistem politik yang mantap serta tidak adanya pemimpin yang legitimet bagaimana komentar anda ? Jawaban [J]:[Dari pertanyaan ini, saya menangkap adanya tiga masalah, yaitu [1].sikap memandang hari depan Indonesia; [2]. ada tidaknya sistem politik yang mantap dan [3]. legitimitas pemimpin. 1]. Sikap Memandang Hari Depan Indonesia: Pesimis atau optimis memandang suatu hal-ikhwal, menyangkut masalah bagaimana seseorang mengenal keadaan hal-ikhwal itu. Tepat tidaknya pengenalan akan hal-ikhwal banyak ditentukan oleh cara bagaimana mengenalnya. Pengenalan seseorang yang melihat hal-ikhwal dari menara gading akan berbeda dari tingkat pengenalan seseorang yang berada di lapangan dan mengenal lapangan. Karena itu, mengenal hal ikhwal sebagaimana adanya hal-ikhwal itu sangat bertautan dengan dari mana seseorang melihatnya dan bagaimana ia mengenalnya. Dalam hal ini saya termasuk orang yang menggarisbawahi arti penting penelitian atau riset untuk mengenal hal-ikhwal, sehingga kita secara relatif mengenalnya sebagaimana kita mengenal garis-garis telapak tangan kita sendiri. Metode mengenal hal-ikhwal begini oleh pemikir tertentu disebut dengan "mengenal kebenaran dari kenyataan" dan berangkat dari alur pikiran begini maka dikatakan bahwa "yang tidak melakukan riset tidak berhak bicara". Riset untuk mengenal kenyataan hal-ikhwal memberikan bobot kepada kata-kata. Dari kata-kata seseorang kita akan segera mengenal taraf pengenalan seseorang akan hal-ikhwal yang dibicarakannya. Berbicara memang merupakan hak asasi setiap anak manusia.Tapi dari pembicaraannya, dari kata-katanya kita akan segera tahu taraf pengenalannya akan masalah yang sedang ia bicarakan. Yang tidak mengenal kenyataan akan bicara sembarangan, tapi mau bicara dan berkomentar. Karena ketidaktahuannya akan hal-ikhwal maka dari segi tanggungjawab manusiawi selayaknya ia tidak usah bicara bahkan tidak berhak bicara. Hanya saja karena mengungkapkan diri merupakan hak asasi maka kita membiarkan siapa pun berbicara dengan sikap: "Yang bicara tidak berdosa, yang mendengar patut waspada". Atas dasar pengenalan hal-ikhwal sebagaimana adanya hal-ikhwal inilah kita membuat peta rencana menangani segala permasalahan. Mana yang pokok dan tidak pokok,yang dalam istilah filsafat sering disebut sebagai kontradiksi pokok dan kontradiksi pokok yang bersifat dialektis. Atas dasar ini, kita menetapkan kekuatan-kekuatan pilar dalam menangani masalah, mana yang jadi sasaran dan mana yang bisa diajak bersekutu. Di peta rencana demikian akan ditetapkan program mendesak, jangka menengah dan jangka panjang. Dari segi pandangan sejarah maka peta rencana demikian memperlihatkan bahwa ia disusun atas dasar pengenalan atas masa silam dan hari ini. Sikap sejarah obyektif yang bertolak dari kenyataan membangun hari ini dan hari esok. Peta rancangan demikian merupakan suatu grand design masyarakat di mana tercantum tanda-tanda merah di mana kita berada, mau ke mana dan bagaimana mencapai ke mana. Di sini yang sedang kita bicarakan adalah hal-ikhwal yang bernama Indonesia. Adakah atau apa bagaimanakah grand design untuk masyarakat Indonesia kita sekarang yang telah ditawarkan oleh partai-partai politik dan berbagai lembaga masyarakat? Para pendiri bangsa dan negara ini pada tahun 1945 menawarkan grand design berjudul Republik dan Indonesia. Masihkah sekarang kita menerima grand design para pendahulu kita? Kalau kita masih menerima Republik dan Indonesia sebagai grand design masyarakat untuk wilayah geografis politis yang bernama Indonesia, bagaimana sikap kita dalam kenyataan terhadap grand design ini? Bagaimana kita melaksanakannya? Sarana apa yang digunakan untuk mewujudkan grand design itu? Grand design adalah suatu pilihan politik atas dasar pengenalan terhadap hal ikhwal. Tujuannya ditentukan oleh nilai-nilai apa yang dijadikan pedoman. Jika kita mengenal benar kenyataan maka saya kira tidak seorang pun yang akan menolak nilai-nilai yang bisa mempersatukan dan sesuai kepentingan semua orang, paling tidak mayoritas terbesar penduduk, adalah nilai-nilai manusiawi seperti yang tercantum dalam ide republik dan Indonesia sebagai konsep. Sesuai dengan nilai-nilai itu maka grand design tidak lain daripada usaha memanusiawikan manusia, kehidupan dan masyarakat. Sektarisme dalam segala perwujudannya tidaklah paralel dengan usaha memanusiawikan manusia, kehidupan dan masyarakat. Kalau kita melihat adanya tuntutan kemerdekaan pada beberapa daerah di wilayah Republik Indonesia sekarang [suatu masalah yang bersegi banyak], dilihat dari Republik dan Indonesia sebagai grand design, saya pertanyakan mengapa Republik dan Indonesia sebagai grand design diberontaki? Mengapa ingin mengeluarkan diri dari grand design manusiawi ini? Grand design baru apa yang ditawarkan oleh kaum "independentis" jika Republik dan Indonesia sebagai grand design diberontaki? Saya menyokong perlawanan terhadap penyimpangan grand design manusiawi. Grand design Orde Baru [Orba] bukanlah grand design yang bersifat republiken dan keindonesiaan sehingga dampak pilihan politik dan grand desginnya menyebabkan kita berada dalam keadaan seperti sekarang. Kalau para pemegang kekuasaan politik sekarang melanjutkan grand design Orba, saya kira, mereka makin membawa Indonesia makin jauh ke tebing jurang kebinasaan, kian memarakkan kemelut saja. Tidak adanya grand design atau ketidaksetiaan pada konsep Republik dan Indonesia sebagai grand design menyebabkan kita kehilangan perekat sebagai bangsa dan menempatkan kita dalam "kekosongan" wawasan, jika menggunakan istilah sosiolog Perancis Alain Touraine. Kembali kepada pertanyaan tentang sikap memandang hari depan Indonesia, pertanyaan ini sama dengan kita mau ke mana? Mau melaksanakan Republik dan Indonesia sebagai grand design manusiawi atau tidak? Kalau tidak mengapa? Pertanyaan ini, saya kira erat hubungannya dengan pengenalan kenyataan dan sejarah obyektif. Di hadapan kenyataan dan sejarah obyektif, selayaknya kita bersikap jujur, sanggup menyatakan yang oleh orang Perancis disebut "la verité comme elle est" [kebenaran sebagaimana adanya]. Di hadapan pertanyaan apakah saya "pesimis" atau optimis di hadapan kemelut berupa wajah sekarang ini, jawabannya lebih terletak kepada pilihan nilai mayoritas warganegara negeri ini, lebih-lebih kepada pemegang kekuasaan politik. Pilihan nilai petinggi negeri dan negara akan dijawab oleh warganegara secara semestinya. Pilihan politik adalah pilihan nilai. Pilihan politik petinggi adalah kendaraan pengangkut kebaikan dan keburukan. Bagaimana pun kenyataan yang dihadapi, ia harus dihadapi sebagaimana adanya kenyataan itu sendiri. Kenyataan seperti yang dinyatakan oleh filosof Jerman, Peter Sloterdijk, merupakan "mobilisasi tanpa batas" ke arah pengejawantahan hidup yang manusiawi [Lihat: Peter Sloterdijk, "La Mobilisation Infinie", Christian Bourgoid Editeur, Paris, 2000, 329 hlm]. 2].Ada tidaknya sistem politik yang mantap: Apa yang dimaksudkan dengan "mantap"? Apa ukuran "mantap" dan "tidak mantap"? Sebelum Republik Indonesia [R.I]diproklamasikan berbagai daerah sudah mempunyai sistem politik masing-masing dengan sistem mana masing-masing daerah menyelenggarakan kehidupan penduduk di daerah masing-masing. Ketika R.I diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, maka R.I. pun mempunyai suatu sistem politik yang mengacu pada konsep republiken dan keindonesiaan. Ketika Presiden Soekarno digulingkan dan Orba muncul menguasai negeri maka sistem politik militeristik dan otoriter ditegakkan. Orba sebagai suatu sistem sangat kuat dan pengaruhnya terasa serta nampak sampai sekarang. Orang-orang Orba masih saja bercokol di pos-pos kunci negara. Artinya sebagai negara kita punya sistem. Kadang kekuasaan politik itu lemah, kadang kuat dan sangat kuat, rakyat dan warganegara sangat diperlemahkan. Kita pernah mengalami masa-masa [satu "s"] di mana rakyat [saya membedakan pengertian rakyat dan warganegara!] kuat dan pemerintah lemah, pernah pula mengalami periode di mana negara sangat kuat dan rakyat tidak lebih dari alat jinak [docile tool]. Yang belum adalah masa-masa seimbang di mana masyarakat sipil berperan bersama pemerintah dalam hidup berbangsa, bernegeri dan bernegara. Kericuhan sekarang barangkali bisa dilihat sebagai masalah bagaimana masyarakat sipil mendapatkan tempat selayaknya dalam mengelola bangsa, negeri dan negara seperti yang sering dirumuskan sebagai "demokratisasi", "partisipasi", "otonomi daerah" atau "era reformasi". Negara masih nampak kecenderungannya untuk mempertahankan posisi kuatnya yang berkelebihan. Barangkali apa yang dimaksudkan dengan "tidak adanya sistem politik yang mantap" adalah belum adanya kemauan politik yang kuat dari pemegang kekuasaan politik untuk menegakkan kesimbangan antara yang memerintah dan yang diperintah, antara negara dan rakyat oleh masih kuatnya keinginan untuk menjadi rakyat sebagai "alat jinak" belaka. Pilihan dan kecenderungan politik begini akan mengundang reaksi balik. Jadi kericuhan negeri sekarang ini tidak berpangkal dari ada tidaknya sistem politik yang mantap tapi bermula dari pilihan politik yang diterapkan dalam sistem politik tertentu. Sistem adalah cara melaksanakan pilihan politik yang merupakan cerminan terpusat dari segala kepentingan, terutama kepentingan ekonomi. 3].Legitimitas, Pemimpin dan Pimpinan: Legitim adalah istilah hukum. Soeharto dan Orba setelah mengkudeta Presiden Soekarno mencoba melegitimasi diri dengan membuat undang-undang. Atas dasar undang-undang bikinannya maka Soeharto dan Orba adalah sah dan tidak sah jika dilihat dari UU lama dan sejarah. Tapi legitimitas dan kewibawaan adalah dua soal berbeda. Kewibawaan adalah penerimaan sukarela warganegara terhadap seorang pemimpin karena jasa-jasanya untuk memanusiawikan kehidupan warganegaranya. Penerimaan sukarela berbeda dengan penerimaan atas dasar ketakutan. Atas dasar ada tidaknya kewibawaan pemegang kekuasaan politik maka saya membedakan antara pemimpin dan pimpinan. Pemimpin berdiri di atas kewibawaan sedangkan pimpinan berdiri di atas kekuasaan dan kekerasan. Di Indonesia banyak pimpinan tapi langka pemimpin. Pimpinan lebih menyukai negara yang kuat dan menolak sistem seimbang. Pimpinan lebih cenderung kepada otoritarianisme, parternalisme dan bukan sistem demokrasi, republiken dan keindonesiaan. Jika Indonesia didominasi oleh para pimpinan maka di hari-hari mendatang, saya membayangkan makin maraknya kemelut di negeri ini]. Legitimitas termasuk usaha untuk meyakinkan warganegara sendiri dan dunia internasional bahwa pemegang kekuasaan politik suatu saat adalah pemegang kekuasaan politik yang sah karena itu tindakannya menjadi sah atau legal. Pengakuan warganegara dan dunia internasional akan legitimitas ini diperlukan jika pemegang kekuasaan politik itu tidak ingin menjadi terkucil. Hanya saja dalam kenyataan sering terjadi bahwa pihak luar, tidak terlalu mengacuhkan legitim tidak legitimnya suatu kekuasaan politik. Hubungan pihak luar terhadap pemegang kekuasaan politik itu lebih ditentukan oleh kepentingan pihak luar itu sendiri. Jika pemegang kekuasaan politik itu suatu saat menguntungkan mereka, tidak legitim pun kekuasaan politik itu, ia akan disokong sekali pun HAM diinjak-injak.Tapi jika merugikan ia akan digulingkan. Contoh kasus Allende di Chili. Sedangkan dari pihak rakyat, legitim tidak legitim menempati urutan bawah dibandingkan dengan keinginan dan keperluan mereka akan hidup layak sebagai anak manusia yang manusiawi, adil, tenteram dan sejahtera. Terjawabnya keinginan dan keperluan ini memberikan legitimitas suatu kekuasaan politik di mata rakyat. Legitimitas ini membuat kekuasaan politik itu mempunyai kewibawaan. Sekali lagi jika legimitas berarti kewibawaan maka saya setuju kericuhan negeri sekarang memang bermula dari ketiadaan legitimitas. Kericuhan hanyalah bentuk ketiadaan legitimitas itu. Produk yang diturunkan oleh kendaraan illegimitas.Illegimitas inilah yang kemudian menimbulkan "mobilisasi tak berbatas" lapisan-lapisan masyarakat menderita dampaknya. T:2.Apakah hal itu akan mengakibatkan adanya disintegrasi sosial? J:[Dalam hal ini saya membedakan sosial [masyarakat] dan nasion [bangsa]. Mengenai terpilah-pilahnya masyarakat, saya kira sudah lama terjadi. Terjadi sejak munculnya primus inter pares di kalangan suatu komunitas dan perkembangannya melaju sejak ada kelompok masyarakat yang memiliki alat-alat produksi dan ada yang hanya punya kaki dan tangan yang bisa dijual untuk menyambung hidup. Kesenjangan sosial ini makin membesar bahkan mengancam disintegrasi nasion oleh pengingkaran nilai-nilai republiken dan keindonesiaan yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan politik tipe pimpinan. Karena sekali pun negara pada umumnya dikendalikan oleh pihak-pihak lapisan menengah ke atas, tapi negara yang dijalankan oleh pemegang kekuasaan politik dengan mengacu pada nilai-nilai republiken dan keindonesiaan, sesungguhnya mempunyai fungsi mengelola keragaman dan kesenjangan itu. Nilai-nilai republiken dan keindonesiaan adalah perekat kelompok-kelompok dalam masyarakat mulai dari yang bernama etnik, asal turunan atau pun golongan. Negara dengan acuan nilai-nilai demikian merupakan bentuk kompromi antar kelompok-kelompok dalam masyarakat yang sudah disintegrasi. Untuk mencegah negara terlalu kuat dan bisa berbuat sewenang-wenang maka rakyat mempunyai daya tawar [bargaining power] yang dihitung dalam menghadapi negara jika mereka mengorganisasi diri. Semua golongan memerlukan negara -- organisator bermasyarakat. Tawar-menawar antara negara dan rakyatnya atas dasar nilai-nilai acuan bersama akan mendorong perwujudan nilai-nilai tersebut dalam bentuk dari kompromi satu ke kompromi lain. Kompromi adalah kesepakatan bersama di cakrawala nilai acuan bersama untuk mencapai kohesi sosial relatif. Apakah nasion ini akan berantakan, tergantung dari kemampuan kita mencapai kompromi karena kemelut akan terus saja ada dan ada untuk dipecahkan. Usai satu kemelut, kemelut berikut menunggu di langkah berikut. Meniadakan kemelut dengan jalan pintas hanya berakhir dengan petaka].Illegitimitas suatu kekuasaan politik dalam artian di atas hanya mendorong jauhnya kita dari titik dermaga kompromi dan kohesi sosial relatif. T:3.Siapa yang bisa berperan maksimal dalam penataan Indonesia ke depan ? J:[Untuk menata ulang Indonesia yang republiken dan benar-benar Indonesia, saya melihat adanya dua faktor utama yang saling bertautan yaitu rakyat Indonesia dan pemegang kekuasaan politik terutama pengambil-pengambil keputusan politik. Cendekiawan di sini berada sebagai jembatan keduanya. Bagaimana keterangannya? Negara adalah alat untuk melaksanakan nilai-nilai republiken dan keindonesiaan. Nilai-nilai republiken yaitu kebebasan [liberté], kesetaraan [egalité] dan persaudaraan [fraternité]. Sedangkan nilai-nilai keindonesian adalah kesadaran nilai kemajemukan yang bertentangan dengan alur pikiran tunggal [la pensée unique] seperti "asas tunggal" misalnya. Sejak Sumpah Pemuda Oktober 1928 yang mengkongkretkan kenyataan yang berlangsung oleh pergaulan selama berabad-abad di Nusantara dan diujudkan lebih nyata dalam bentuk negara R.I sejak 17 Agustus 1945, bisa ditafsirkan sebagai kesepakatan berbagai etnik, asal turunan dan golongan yang ada di wilayah Hindia Belanda untuk menjadi nasion [bangsa] serta membentuk sebuah negara untuk melaksanakan nilai-nilai yang merupakan kesepakatan bersama ini. RI sebagai negara adalah pengejawantahan dari kesepakatan berbangsa untuk melaksanakan nilai-nilai republiken dan keindonesiaan. Nilai-nilai inilah yang menjadi perekat kita berbangsa dan bernegara. Pengingkaran terhadapnya seperti yang dilakukan oleh Orba akan menimbulkan macam-macam akibat. Nila-nilai ini pulalah yang sekarang terancam sehingga mengancam eksistensi Indonesia dan Republik. Ketika diagresi oleh Belanda dan Inggris, pemerintah RI tanpa sokongan dan partisipasi rakyat tidak akan mampu memembela RI. TNI sebagai salah satu perangkat aparat RI tidak akan punya arti apa-apa tanpa rakyat. Dari perjuangan ini maka lahirlah para pemimpin republik dan Indonesia. Pemimpin adalah penyambung lidah rakyat, pembela kepentingan rakyat. Penyimpangan terhadap nilai-nilai republiken dan keindonesiaan akan menyebabkan terpisahnya rakyat dan negara. Apa yang kita hadapi sekarang, saya kira hanyalah buntut dari terpisahnya rakyat dan negara oleh pengabaian bahkan pencampakan nilai-nilai republiken dan keindonesiaan. Buntut lain, rakyat kembali berlindung di komunitas-komunitas kecil mereka dan melancarkan perlawanan melalui komunitas-komunitas mereka.Akibat politik pembodohan dan docile tool Orba maka rakyat menjadi seperti kehilangan orientasi nilai. Ada yang ingin keluar dari RI ada yang sekedar berlawan. Merdeka dan melawan dengan nilai apa? Ini pun tidak jelas sehingga bisa terjadi kemerdekaan hanya melahirkan lapisan elite penindas baru dari kalangan komunitas itu sendiri. Kemerdekaan dan perlawanan hanyalah bentuk perlawanan spontan terhadap pengkhianatan kesepakatan, bentuk dari kemarahan dijadikan pedoman berpolitik dan berlawan. Sesuai dengan sejarah lahirnya RI maka kembali ke nilai-nilai di atas merupakan masalah menentukan. Untuk kembali ke nilai-nilai tersebut dan mewujudkannya sebagai grand design, di sini peranan pilihan politik pemegang kekuasaan politik dan rakyat serta para cendekiawan. Agar rakyat memungut kembali panji nilai-nilai yang dicampakkan oleh pemegang kekuasaan politik, maka organisasi masyarakat dan cendekiawan bisa berperan besar dalam melakukan gerakan penyadaran seperti yang dikatakan dan dipraktekkan oleh Paulo Freire. Gerakan penyadaran untuk menjadi aktor pemanusiawian diri dilakukan berbarengan dengan pemecahan masalah-masalah mendesak sehari-hari. Gerakan pemberdayaan adalah dari usaha pembangunan nilai-nilai yang dicampakkan.Usaha ini tidak bisa dilakukan dari menara gading. Jika rakyat sudah kembali mengambil dan mengibarkan panji-panji republiken dan keindonesiaan, sekali pun pemegang kekuasaan politik mengambil langkah lain yang bertolak belakang, maka RI masih mungkin diselamatkan. Kalau gerakan perlawanan di berbagai daerah melakukan hal sama dengan pemegang kekuasaan politik pusat, maka yang akan kita saksikan adalah berdirinya negara-negara kecil di wilayah RI sekarang dan saya membayangkan rakyat di negara-negara kecil baru itu tidak lain dari budak-budak baru di wilayah negara lebih kecil. Sebagai lapisan masyarakat yang relatif paling peka terhadap perkembangan, para cendekiawan yang jujur bisa memainkan peranan penting dalam proses penyadaran rakyat ini. Cendekiawan elitis atau menara gading tidak mungkin memainkan peranan penting ini. Barangkali konstatasi begini bisa dijadikan juga untuk melihat keadaan barisan cendekiawan dan organisasi-orang masyarakat kita dalam melihat perspektif bangsa. Saya sendiri melihat bahwa jalan yang kita tempuh untuk menegakkan Republik Indonesia yang benar-benar republiken dan berkeindonesiaan masih panjang dan berliku. Jalan bisa diperpendek jika pemegang kekuasaan politik memilih politik republiken dan keindonesiaan, tapi mungkinkah mereka memilih politik ini jika bahaya militerisme yang tak segan menumpahkan darah masih saja mengepung kita? Yang jelas untuk menegakkan RI dari kita dituntut keberanian, kegigihan dan lebih dari itu kepandaian berjuang dan kepandaian menang. Mengingat sangat pentingnya peranan pemegang kekuasaan politik, barangkali SBY sebagai orang pertama negeri ini perlu menetapkan langkah dan membulatkan hati sebagai Presiden RI: apakah menyetiai nilai-nilai republiken atau tidak. Pilihan dan langkah-langkahnya akan menentukan keadaan lebih lanjut. SBY perlu menyadari bahwa Indonesia sekarang sebenarnya "semenit saja menjelang tengah malam" jika menggunakan kata-kata Klaus Koepfer, direktur eksekutif Program PBB Untuk Masalah Lingkungan. Setelah "tengah malam", yang berarti puncak krisis, di sini tidak ada masalah pesimis dan optimis tapi bagaimana kita menghadapi secara nyata keadaan dan bertindak sesuai kenyataan yang dihadapi dengan tetap mencoba berpegang pada nilai-nilai manusiawi. Nilai-nilai tersebut hanya bisa dipertahankan jika kita semua mau mempertahankan dan mewujudkannya walaupun Republik Indonesia adalah suatu konsep besar dan agung.Masalah besar terpenting yang kita hadapi sekarang adalah masalah krisis nilai, masalah krisis pola pikir dan mentalitas. Krisis kebudayaan! Jika penataan kembali haridepan, jika merenda kembali Republik Indonesia sebagai suatu kontradiksi maka faktor pokok atau dominan di sini adalah pemegang kekuasaan politik. Sedang rakyat serta kalangan cendekiawan merupakan unsur-unsur sub dominan atau tidak bukan pokok tapi bisa berobah menjadi faktor jika berada dalam syarat-syarat tertentu]. T:4.Peran apa yang bisa diambil oleh Ormas seperti NU? J:[NU yang bagaimana? NU yang feodalistik, korup dan cupet tidak akan mungkin turut menyelamatkan RI. NU yang begini jutru turut mempercepat runyamnya keadaan RI kemudian menghancurkannya. NU yang demikian adalah NU yang terjangkit krisis nilai, krisis pola pikir dan mentalitas yang mengasingkan diri dari Republik dan Indonesia. Sebaliknya jika NU bisa menjadi suatu menangani gerakan kebudayaan sebagai organisasi yang berbudaya, yang paham arti kemajemukan dan keterbukaan, jujur dan terbuka maka NU akan bisa menjadi kekuatan raksasa yang bisa menyelamatkan Republik dan Indonesia. Maka masalah pertama yang patut dipecahkan oleh NU jika mau menangani gerakan kebudayaan rakyat, adalah bagaimana menjadikan diri sebagai organisasi yang berbudaya secara tanggap zaman dan aspiratif. T:5.Apakah NU cukup punya instrumen yang memadai baik secara organisasional maupun secara kepemimpinan untuk menghadapi situasi sosial seperti ini? J:[Ya, sangat dan sangat memadai. Sistem pesantren yang menjangkau jauh hingga ke daerah pedesaan merupakan suatu lembaga kekuatan dahsyat NU yang bisa lebih diefektifkan. Dengan lembaga pesantren jika dijadikan sebagai lembaga penyadaran agar rakyat tampil sebagai aktor pemberdayaan diri, maka RI bisa diselamatkan dan peranan NU sangat besar.Apalagi jika NU dalam usaha ini mampu bekerjasama dengan lembaga-lembaga lain yang bukan Islam seperti dengan adanya Memorandum of Understanding NU pimpinan Gus Dur dengan CCFD Paris yang Katolik. NU Gus Dur adalah NU yang memiliki watak pembidasan. Kerjasama setara dan kemitraan dengan lembaga-lembaga masyarakat non Islam akan meningkatkan martabat dan peranan NU. Masalah paling pokok untuk mengefektifkan instrumen ini, terletak pada pilihan orientasi nilai yang tanggap zaman dan aspiratif sehingga mampu jadi alternatif bagi rakyat.Korup, cupet, feodalistik saya anggap sebagai ulah yang menghancurkan NU sendiri, bertentangan dengan tradisi NU sendiri yang mementingkan kepentingan manusia atau publik. Kegiatan tentu memerlukan beaya yang tidak kecil, apalagi jika kegiatan itu sudah besar. Di sini lalu timbul masalah pembeayaan. Dengan adanya instrumen struktgural yang dimiliki NU, saya yakin benar bahwa masalah ini tidak akan menjadi soal besar. NU bisa membeayai diri sendiri tanpa bantuan dari luar mana pun. Tentu saja bantuan luar diperlukan tapi sesungguhnya dalam soal ini NU bisa mandiri. Saya bisa mengatakan hal ini berdasarkan apa yang saya saksikan dan saya lakukan sendiri. Saya yang tidak mempunyai instrumen struktural seperti NU. Sebagai ilustrasi saya ingin membayangkan bahwa dalam sebulan ada empat kali hari Jumat. Jika setiap hari Jumat dari umat dikumpulkan dana sebesar Rp. 500,-an sampai dengan Rp.1000,- berapa dana yang bisa dihimpun untuk kegiatan dari 30 juta warga NU? Saya yakin benar jika umat yakin bahwa sumbangan yang mereka peroleh dengan membanting tulang dan diberikan kepada NU kemudian dirasakan manfaatnya oleh mereka, maka dampaknya akan sangat besar, NU pun akan dirasakan sebagai diri mereka sendiri dan mereka perlukan. Tapi sekali sumbangan ini dikorup maka dampaknya pun akan terasa. Selama bekerja di Indonesia sebelum terpaksa keluar, saya selalu berpendapat dan mencoba mempraktekkan sikap mandiri dalam pendanaan kegiatan. Masalahnya adalah prakarsa dan kreativitas]. T:6.Apakah anda melihat perbedaan orientasi yang signifikan antara kepemimpinan dalam NU, mulai dari Idham Kholid, Gus Dur sampai Hasyim Muzadi? J:[Pertama-tama pengenalan saya terhadap tokoh-tokoh ini sangat terbatas dan belum melakukan studi khusus tentang mereka sehingga pengetahuan saya tentang mereka sangat terbatas. Sebagai sesama asal Kalimantan, Idham Kholid adalah teman akrab dari keluarga saya dalam usaha menegakkan RI. Tapi ini tidak penting. Umumnya orang-orang dari angkatan Idham Kholid adalah orang-orang yang relatif terbuka dan menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan diri. Karena merasakan benar pahit-getir menegakkan RI, maka orang-orang dari angkatan Idham Kholid boleh dikatakan adalah orang-orang terbuka dan toleran. Bisa bekerjasama dengan pihak-pihak lain di luar lingkungan mereka. Pengalaman pahit-getir mandi darah ini tidak dialami oleh angkatan yang tumbuh setelah berdirinya RI apalagi setelah Orba. Sedangkan Gus Dur saya kenal secara pribadi jauh sebelum ia menjadi Presiden RI. Saya melihat Gus Dur sebagai pemikir yang serius di negeri ini. Ia adalah orang yang terbuka dan mampu bekerjasama dengan orang di luar lingkungannya. Ketika pada suatu hari sebelum berangkat kembali ke Paris, di hadapan teman-teman yang berdatangan ke kamar kecilnya di Kantor Pusat NU, ada teman yang bertanya heran: "Khoq semua datang ke mari sih?" Gus Dur yang menemui kami dengan kaos oblong putih, menjawab: "Kalau tidak ke mana lagi?". Merenungkan kembali jawaban ini, saya melihat peranan NU dan sikap Gus Dur sebagai orang pertama NU pada waktu itu. Dari jawaban Gus Dur itu saya melihat bahwa NU di bahwa pimpinan Gus Dur adalah pemersatu semua pencinta Indonesia dan kemanusiaan serta orang-orang yang ingin memanusiawikan manusia. Melalui tulisan-tulisannya, Gus Dur menawarkan ide-ide demokratis alternatif ketika Indonesia dikendalikan oleh Orba yant totaliter dan militerstik. Jika dibandingkan dengan periode Idham Kholid maka tawaran-tawaran alternatif Gus Dur pada masa itu merupakan suatu terobosan luarbiasa dan menempatkan NU sebagai pembidas pemberi alternatif bagi negeri. Barangkali hal ini tidak dilakukan oleh Idham Kholid sebagai seorang Muslim Indonesia yang republiken. Barangkali perbedaan ini disebabkan oleh tantangan zaman yang berbeda. Idham Kholid bergerak di zaman dominasi pikiran Soekarno yang hanya ditandingi oleh tawaran-tawaran ide nasionalistik dan kerakyatan dari PKI. Idham Kholid lebih bersifat organisator sedangkan Gus Dur menonjol sebagai pemikir. Tapi kedua-duanya sama-sama seorang muslim Indonesia yang republiken yang tumbuh membesar dalam masa yang berbeda. Sedangkan tentang Hasyim Muzadi, ia tumbuh di zaman KKN, Indonesia berada di ujung tanduk. Ia nampak lebih bersifat politisi yang agak tergoda oleh situasi. Jika Hasyim mempunyai kemampuan sebagai Idham Kholid sebagai organisator, barangkali Gus Dur tidak akan menerima mandat dari para kiayi sesepuh untuk mendirikan NU baru, barangkali tidak ada protes-protes dari kalangan muda NU yang kritis dan dipandang liberal dan dicegah masuknya ke lingkaran kepemimpinan NU. Seorang organisator adalah pengelola organisasi yang selalu majemuk. Ia seorang pemersatu. Saya tidak tahu persis kebenarannya, tapi adanya suara-suara dalam debat [yang saya nilai sangat positif dan keberanian mengolok-olok diri dari NU] di milis kmnu2000@yahoogroups.com bahwa Muktamar Boyolali diwarnai oleh permainan uang, telah menunjukkan adanya asap dari api yang mencemaskan. Belum lagi tentang soal perolehan dan penyelewengan dana. Sebelumnya saya tidak pernah membaca dan mendengar soal begini di dalam NU. Apakah ini ciri periode kepemimpinan Hasyim Muzadi sebagai orang pertama NU? Dari segi pemikiran, saya lebih banyak membaca masukan dari Gus Dur dan Gus Mus sebagai budayawan daripada yang ditawarkan oleh Hasyim Muzadi yang agaknya tidak jauh berbeda dari pimpinan partai-partai politik lainnya dewasa ini. Kalau pembacaan situasi saya benar, saya dipenuhi oleh pertanyaan: Quo Vadis NU di bawah Hasyim Muzadi? Yang menonjol dari Hasyim Muzadi adalah permainan politik dan secara ide, seakan membawa NU ke arah belakang. Alternatif apakah yang ditawarkan oleh NU jika demikian? Apakah kekosongan ide alternatif ini bisa menyelamatkan RI sebagai negara ataukah NU menyumbang akselerasi penghancuran RI sebagai suatu konsep dan realita?] Dengan ini saya sekaligus telah menjawab pertanyaan ke tujuh dan ke delapan]. T:7.Apa Ke khasan (ciri-ciri) masing-masing kepemimpinannya ? J: [Lihat jawaban di nomor 6]. T:8.Apakah kekhasan itu ditentukan oleh sikap NU atau berdasarkan tantangan yang muncul dari luar NU ? J: [Lihat jawaban di nomir 6]. T:9.Bagaimana anda melihat sistem kaderisasi dalam NU sehingga memunculkan tokoh-tokoh kontroversial seperti Subhan, Gus Dur, Hasyim yang walaupun mereka ditentang tetapi pikiran-pikirannya sangat berpengaruh? J:[Kaderisisasi adalah soal yang sangat penting bagi perkembangan gerakan, termasuk gerakan kebudayaan. Gerakan kebudayaan adalah suatu gerakan yang menyentuh masalah paling hakiki, karena ia menyentuh masalah pola pikir dan mentalitas manusia -- hal yang paling dirusaki oleh Orba selama ini. Pola pikir dan mentalitas sama dengan masalah pembentukan manusia yang berkarakter dan berwawasan manusiawi. Melihat keadaan manusia Indonesia sekarang, terkadang saya bertanya di mana manusia di negeri ini? Ketika di Paris bertemu Gus Dur puluhan tahun lalu, justru soal ini yang pertama-tama saya tanyakan kepada Gus Dur.Dan saya ingat benar, betapa Gus Dur sempat tercenung sejenak mendengar pertanyaan saya. Pertanyaan ini baru kemudian, ia jawab ketika kami bertemu di Kantor Pusat NU Jakarta beberapa tahun kemudian. Waktu itu Gus Dur mengatakan "Pertanyaanmu dulu sekarang sudah terjawab". Beliau pun menunjukkan tempat-tempat yang selayaknya saya datangi untuk mendapatkan jawaban pertanyaanku itu. Waktu itu, saya belum menjadi anggota milis kmnu2000@yahoogroups.com , belum kenal atau belum punya kontak dengan MG.Romli, Aman, Thomafi, OcHie, Aguk, Rizqon, Ntis, Ulil dan sederetan nama lain.. Saya mengenal dan berhubungan dengan nama-nama ini beberapa tahun kemudian setelah pertemuan saya dengan Gus Dur di Kramat Raya. Perkenalan [walaupun belum pernah bertatapan muka!] membuat saya mempercayai pernyataan Gus Dur bukan hanya untuk menenangkan kegelisahan saya tentang kader penerus NU. Saya melihat NU secara sadar menangani masalah kaderisasi ini. Yang menarik dari semua yang mereka saya kenal, kader-kader NU mempunyai ciri khas. Dari hampir semua kader NU dari berbagai angkatan mempunyai langgam dan gaya merakyat. Setenar apa pun nama mereka, gelar akademi apapun yang mereka raih, dari mereka tidak saya dapatkan keangkuhan intelektual yang suka "sok-sokan". Mereka selalu penuh canda, mengungkapkan pikiran dan perasaan dengan santai sekali pun tajam. Barangkali hal ini disebabkan karena mereka biasa dengan kehidupan pesantren yang berada di pedesaan, biasa dengan kerja badan sehingga mereka nampak tidak memisahkan secara tajam antara kerja fisik dan kerja otak. Mereka adalah orang-orang berwatak dan menyediakan tempat bagi kebenaran dari pihak lain. Apakah ini merupakan hasil dari kedekatan mereka dan NU yang dekat dengan massa lapisan bawah? Karena massa lapisan bawah akan menolak keangkuhan intelektual yang "sok-sokan". Ketika NU juga mengirimkan tenaga-tenaga muda untuk belajar ke berbagai negeri, saya membaca kegiatan ini sebagai bentuk dari usaha NU mendidik kader-kader berwatak merakyat dan berketrampilan. Kader-kader yang bercakrawala wawasan yang luas. Barangkali dalam usaha kaderisasi ini, jumlah kader muda lelaki masih mengungguli jumlah kader-kader perempuan. Di hari-hari mendatang saya membayangkan akan muncul dalam barisan NU kader-kader perempuan yang kian menjamur sehingga Ntis dan saudaranya Rosa Prabowo akan mendapat teman lebih banyak lagi. Masalah perempuan dan pembebasan perempuan saya kira merupakan salah satu kunci dalam usaha memanusiawikan manusia. Perempuan oleh orang Tiongkok disebut sebagai kekuatan yang "menyangga separo langit". Separo lagi disangga oleh lelaki. Sehingga jika perempuan tidak dibebaskan untuk menjadi manusia, maka langit hanya disangga oleh tangan lelaki maka bisa terjadi langit di atas kita akan "njomplang". Satu ujungnya bisa menimpa jutaan anak manusia. Apakah langit ide NU sampai sekarang tidak hanya disokong oleh sebelah tangan, yaitu hanya tangan lelaki? Kapan dan adakah kader perempuan yang masuk ke pimpinan pusat Nu? Mengapa tidak ada? Apa artinya ketiadaan mereka ini? Bung menyebut Subhan, Gus Dur, Hasyim sebagai "tokoh-tokoh kontroversial" "yang walaupun mereka ditentang tetapi pikiran-pikirannya sangat berpengaruh". "Kontroversial" kata sifat yang menunjukkan bahwa mereka adalah tokoh-tokoh berwatak. Watak ini pun berkembang sesuai pandangan seseorang, terutama pandangan hidupnya. Pandangan sangat dipengaruhi oleh keadaan. Sadar akan sifat dialektis watak ini maka di Republik Rakyat Tiongokok pada zaman Mao Zedong, kader-kader semua tingkat diwajibkan "sekali-kali jangan melupakan masa silam" dan "selalu dekat dengan rakyat" melalui kemestian "turun ke bawah" untuk waktu tertentu secara bergiliran. Bukanlah aneh pada masa itu jika seorang jenderal melakukan tugas jaga malam seperti seorang prajurit, Perdana Menteri dan Presiden turun ke pabrik dan pedesaan melakukan kerja-badan. Lingkungan Indonesia sekarang yang paling mengancam dan bersifat merusak adalah KKN. Godaan uang. Uang yang diciptakan manusia telah memperbudak penciptanya seperti Frankenstein. Saya hanya bisa berharap agar Frankenstein ini tidak mengetuk pintu NU dan menyerbu pesantren-pesantren. Karena jika hal ini terjadi dan tidak dihalau maka Frankenstein akan menyeret NU ke jurang petaka. Inipun satu watak kontroversial , tapi kontroversial Dasamuka. Membaca berita-berita tentang Muktamar Boyolali, saya melihat NU dan saya teringat akan sebuah baris sanjak penyair Agam Wispi alm. yang mengatakan: "bertimbun bangkai di kota rebutan". Berita-berita tentang Muktamar Boyolali membayangkan kepada saya bahwa NU tak obah sebagai sebuah "kota rebutan" yang bisa tidaknya jadi harapan bangsa dan kemanusiaan ditentukan oleh siapa yang menguasai "kota rebutan" itu. Berbicara tentang kalah dan menang,ia berhubungan dengan imbangan kekuatan. Kekuatan bertautan dengan pengaruh. Pengaruh bisa muncul dari uang, bisa muncul dari kekuasaan dan juga bisa dilahirkan oleh pekerjaan tekun penyadaran. Yang sadar akan tetap jadi manusia dan setia pada kemanusiaan, setia pada misi hidup matinya tidak tergertak oleh Dasamuka dan atau Frankenstein, seperti Nabi Isa [Yesus] ketika dicoba setan. Dalam gerakan kebudayaan pergulatan begini akan terus berlanjut. Pergulatan kebudayaan adalah suatu pertarungan merebut "kota rebutan" bernama manusia. Dengan latar pikiran di atas, saya melihat masalah "kontroversial" dan "pengaruh" tak obah seperti sebuah jalan simpang yang menanyakan kita mau ke mana? Kontroversial dan pengaruh tidak selalu bermakna positif dan terhormat serta sesuatu yang patut dibanggakan atau utama. Kalau tokoh-tokoh kontroversial itu mengajak orang melakukan bunuh diri kolektif, apakah watak dan pengaruh begini positif? Yang utama, apapun watak seseorang, betapa pun besar pengaruhnya tetap terletak pada pertanyaan apakah tokoh itu dengan segala warna wataknhya serta kadar pengaruhnya, setia pada misi memanusiawikan manusia, kehidupan dan masyarakat.Apalagi kita ketahui bahwa seribu kepala seribu perangai. Kontroversial dan pengaruh bukan dasar penilaian hakiki, paling-paling bisa dijadikan dasar perhitungan dan pemahaman pribadi mereka]. T:10.Apakah gerakan pembaharuan yang dilakukan oleh kaum muda NU untuk memperbesar peran NU di masyarakat akan banyak berpengaruh bagi perubahan NU kedalam maupun keluar, atau hanya sekedar intellectual exercise yang tidak berpengaruh sama sekali? J:[Ketika mengajukan pertanyaan ini, saya melihat Bung sedang berbicara tentang arah "gerakan pembaharuan yang dilakukan oleh kaum muda NU". Melalui pertanyaan ini nampak bahwa Bung melihat "gerakan pembaharuan yang dilakukan oleh kaum muda NU" mempunyai dua kemungkinan arah yaitu memperkuat pengaruh NU yang berarti memperbesar sumbangan NU untuk usaha memanusiawikan manusia, kehidupan dan masyarakat dan yang kedua hanya sebagai "sport otak" atau "intellectual exercise", kecenderungan dari cendekiawan menara gading. Kaum muda NU yang melancarkan "gerakan pembaharuan" umumnya terdiri dari mereka yang berpendidikan entah di dalam negeri atau pun di luar negeri. Secara singkat mereka adalah kaum cendekiawan muda. Dalam sejarah dunia, kaum cendekiawan akan terpecah jadi dua golongan. Yang konsekwen dengan ide-ide barunya dan yang berhenti setelah bicara. Yang konsekwen akan menyatukan diri dengan gerakan massa, menerjunkan diri dalam badai-topan perjuangan mayoritas penduduk , sedangkan yang lain tinggal di menara gadingnya dan bercuap-cuap dari menari gading tersebut sambil mengibar-ngibarkan dengan bangga ijazah dan gelar akademi yang mereka peroleh di sekolah-sekolah dalam dan luar negeri. Pada tahap pertama pergulatan ide, kelompok kedua ini masih diperlukan, tapi ketika sampai pada tahap pengejawantahan ide, kelompok kedua ini sering menjadi pengganggu kelompok cendekiawan konsekwen di lapangan, kelompok yang ingin mengejawantahkan ide mereka dengan menyatukan diri dengan mayoritas penduduk. Harapan NU tidak terletak pada kelompok kedua tapi terletak pada kelompok pertama. Dalam perkembangan berikutnya kelompok kedua ini akan lenyap seperti debu di jalanan dan mengotori atap-atap kehidupan belaka. Untuk dikatakan "tidak berpengaruh sama sekali" juga tidak bisa, karena debu pikiran akan menyusup ke ruang-ruang pikiran orang. Tapi debu tidak pernah menghalangi lajunya kendaraan, andong sekali pun. Jika di laut, kelompok kedua ini adalah busa buritan kapal atau buih di pantai-pantai warna tembaga. Biasanya, siapa-siapa yang memilih jalan pertama dan kedua, sejak awal sudah bisa dipantau. Arti lain dari pertanyaan ini terletak pada perhatian akan arti penting angkatan muda. Dunia memang milik bersama, milik semua angkatan usia. Tapi pada analisa terakhir ia adalah milik angkatan muda. Karena angkatan tua seperti matahari senja menjelang malam sedang angkatan muda bisa dikatakan seperti matahari jam sembilan pagi. Karena itu demi NU dan misi kemanusiaannya, saya kira tiga perpaduan yaitu pemaduan angkatan tua, angkatan menengah dan angkatan muda, layak dipertimbangkan dalam kepengurusan nasional dan lokal NU. Tiga pemaduan ini saya kira merupakan metode pengkaderan dan cara mendewasakan kader. Kader muda tidak pernah dewasa dengan sendirinya. Jenjang pendidikan bukan isyarat kematangan kader dan anak manusia. Menyertakan mereka di posisi bertanggungjawab dan mengizinkan mereka melakukan kesalahan serta mengkoreksi kesalahan barangkali adalah bentuk pendidikan kader paling efektif. Kader berarti orang-orang yang tidak berada di menara gading, tapi yang punya mimpi dan menyatukan diri dengan gelora gerakan. Di dalam gerakan itu mereka kemudian menempa dan mengobah diri, memperkokoh sikap dan pendirian mereka, mengembangkan teori baru dan memeriksanya kembali atas dasar dan di gerakan massa itu sendiri]. T:11.Bagaimana anda membaca peta gerakan kaum muda NU didalam progresevitas gerakan maupun pemikiran bila dibanding dengan kaum muda kelompok lain semisal, kelompok Islam Modernis ataupun nasionalis? J: Pertanyaan ini mengingatkan saya akan pendapat para politikolog atau Islamolog yang tidak sedikit berpendapat bahwa NU sebagai organisasi Islam konservatif sedangkan yang lain sebagai "modernis". Soal ini secara tidak langsung sebenarnya pernah disinggung oleh Gus Dur di Kantor Pusat NU Jakarta ketika puluhan tahun lalu kami bertemu. Pada kesempatan itu, Gus Dur mengatakan bahwa "Saya sudah beberapa kilometer di depan sedangkan yang lain baru mengayunkan langkah pertama". Dengan mengangkat kenangan ini, yang ingin saya katakan bahwa saya lama mempertanyakan: Apakah bukannya NU yang sebenarnya modern dalam artian tanggap zaman dan aspiratif? Ah, kau berkata begitu karena kau dekat NU ? Barangkali ada yang berkata dan berpikir demikian. Ya, saya dalam kegiatan di lapangan memang dekat dengan NU karena saya anggap NU itu justru yang tanggap zaman dan aspiratif.Tanggap zaman dan aspiratif di samping kesetiaan pada usaha memanusiawikan manusia, kehidupan dan masyarakat bagi saya merupakan standar progresifitas. Bukan kesetiaan membuta pada organisasi atau tokoh atau pimpinan. Kesetiaan membuta akan melahirkan fanatisme dan sektarisme yang hanya membuahkan petaka dan tidak sesuai kenyataan hidup. Sering saya melihat fanatisme ini terjadi di kalangan yang menyebut diri "Modernisme" atau nasionalis. Tidak jarang saya dapatkan di dua kelompok masyarakat terakhir ini, fanatisme cukup berkembang. Dan di NU dengan debat ide dan transparansi yang dicerminkan oleh debat sekarang seperti di milis kmnu2000@yahoogroups.com dan sebelumnya. Saya melihat debat ide dan transparansi ini unik NU. Petunjuk bahwa NU sebagai organisasi kebudayaan menempuh jalan berbudaya. Tidak takut melihat wajahnya sendiri, menolak alur pikiran tunggal yang otoriter atau feodalistik. Semestinya NU bangga pada tradisi ini dan mengapa pimpinan NU tidak memelihara dan mengembangkannya secara nyata? Kalimat ini saya alamatkan lebih kepada pimpinan NU sekarang]. T:12.Beberapa tahun terakhir, gerakan fundamentalisme Islam di Indonesia menunjukkan peningkatan aktivitas luar biasa, apakah ini bukti bahwa konsolidasi mereka relatif berhasil dibanding dengan kekuatan lain semisal NU? J:[Kegiatan luar biasa belum tentu jadi petunjuk bahwa organisasi itu berhasil mengkonsolidasi diri. Kegiatan bisa juga berarti sebagai cara mengkonsolidasi diri. Kegiatan kongkret adalah cara menyaring kader dan setelah tersaring maka tenaga-tenaga tersaring ini dijadikan teras organisasi dan konsolidasi. Apalagi sesungguhnya melakukan teror dengan pemboman sebagai taktik dalam perjuangan politik, sebenarnya relatif tidak terlalu sulit. Kalau yang dimaksud dengan meningkatnya kegiatan kekerasan, sebagai tanda konsolidasi organisasi, barangkali masih bisa dipertanyakan ketepatannya. Yang lebih mendekati kenyataan barangkali meningkatnya kegiatan tindak kekerasan adalah usaha untuk menarik perhatian dan diperhitungkan eksistensinya. Dengan tindakan kekerasan membabi buta, taktik ini kemudian menimbulkan ketakutan di kalangan penduduk, dan penduduk menjadi tidak simpati. Sehingga yang dicapai dengan taktik ini sebenarnya hanya makin mengucilkan diri, dan pengucilan diri tidak bisa dipandang sebagai memperluas pengaruh dan pengkonsolidasian pengaruh. Benar bahwa dari kegiatan kekerasan demikian akan tersaring tenaga-tenaga yang bisa diandalkan, tapi kesetiaan tenaga-tenaga ini lebih didasarkan pada fanatisme. Organisasi-organisasi ekstrim pada galibnya bersandar pada fanatisme dan sentralisme yang kuat. Pertanyaan itu adalah pintu tertutup dan sering dicurigai sebagai gejala khianat.Anggota lebih merupakan alat jinak atau docile tool belaka. Berdasarkan keterangan Dinas Rahasia Perancis, DGSE [Direction Générale de la Securité Extérieure], grup fundamentalis di Perancis merekrut anggotanya dari anak-anak pinggiran kota [banlieu] yang menganggur dan biasa melakukan berbagai tindak kejahatan bahkan kriminalitas, kosong ide. Dari keterangan ini kita melihat dasar dan sebab sosial berkembangnya fundamentalis. Dengan memasuki grup-grup kekerasan fundamentalis begini mereka mendapatkan jalan kehidupan dan meninggalkan jalan-jalan kota di mana mereka mencopet, merampok dan membongkar rumah-rumah atau toko-toko sebagai sumber penghasilan. Mereka dikirim ke medan teror sebagai alat oleh para pemikir. Apakah perekrutan begini bisa dipandang sebagai konsolidasi solid? Barangkali pengacauan akan bisa terus mereka lakukan tapi dengan mengembangkan ketakutan, mereka tidak punya harapan untuk membesar. Di Aljazair penduduk akhirnya mengorganisasi diri untuk melawan mereka. Di Kalteng, penduduk Dayak mengorganisasi diri untuk melawan mereka. Saya kira, NU tidak bisa dibandingkan dengan grup-grup begini. Dan merupakan suatu kekeliruan membandingkan NU yang merupakan organisasi budaya dengan grup-grup teroris begini. NU bukanlah organisasi para penganggur dan kriminal.NU dan grup-grup teroris berada di petak yang berbeda. Kemelut yang dihadapi NU sekarang, dari segala memang nampak suatu hal yang negatif, tapi sesungguhnya kemelut dan debat sekarang merupakan cara konsolidasi diri yang solid bagi NU. NU akan lebih memungut hasil besar dari kemelut dan debat sekarang, jika pimpinan NU menyalurkannya dengan berani dan bertindak sesuai dengan kesimpulan. Idham Kholid telah memberikan teladan bagi NU mengatasi konflik intern berpatokan pada nilai-nilai NU. Sejarah NU adalah sejarah suatu gerakan budaya dan menyediakan banyak pelajaran berharga. Karena itu mempelajari sejarah NU saya kira merupakan suatu keniscayaan. Yang saya khawatirkan peningkatan tindakan teror begini lebih membuka jalan bagi berkuasanya kembali militerisme. Atas nama menghalau ketakutan, penduduk tanpa pikir panjang lalu menyokong militerisme. Jika kekhawatiran ini beralasan maka tindakan teroris merupakan bagian dari permainan catur politik di negeri ini. Di hadapan situasi begini maka peranan NU sebenarnya lebih ditagih dan ditunggu. (cih) Memahami Perbedaan Menghilangkan Jarak dan Membentuk Ego Menjadi Empati yang Utuh -GuN- Egypt: +20106867745 Untuk arsip-arsip tulisan, bisa klik: http://qalam.co.nr or http://qalam.tk atau www.katakata.cn.st Terima kasih..:)) --------------------------------- Do you Yahoo!? Yahoo! Mail - Easier than ever with enhanced search. Learn more. [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> $4.98 domain names from Yahoo!. Register anything. http://us.click.yahoo.com/Q7_YsB/neXJAA/yQLSAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Forum IT PPI-India: http://www.ppiindia.shyper.com/itforum/ 5. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 6. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 7. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/