Media Indonesia Selasa, 04 Januari 2005 Manusia tanpa Imajinasi Sosiologis Toto Suparto; Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
SUNGGUH mengejutkan ketika menyaksikan tayangan televisi seputar perayaan pergantian tahun 2004 menuju 2005. Sejumlah tayangan menggambarkan masih ada kegembiraan masyarakat yang ditunjukkan dengan hura-hura sambil riuh berterompet, berjoget ria, atau 'pesta eksklusif' di hotel mewah yang tarifnya bisa mencapai Rp5 juta per orang. Kegembiraan itu dilakukan dua hari setelah masa berkabung nasional. Suatu kegembiraan yang berlangsung di tengah bencana yang melanda saudara senegeri di Aceh. Ekspresi kegembiraan tatkala puluhan ribu orang mati memprihatinkan diterjang tsunami, ratusan ribu orang lainnya kehilangan tempat berteduh, dan ratusan ribu orang yang berspekulasi tentang masa depan mereka setelah bencana. Padahal jauh sebelumnya telah muncul berbagai imbauan agar menahan diri dari segala bentuk kegembiraan saat merayakan kedatangan tahun baru 2005. Sebisa mungkin dilangsungkan sederhana tetapi tanpa mengurangi makna kontemplasi diri; apa yang telah dilakukan selama 2004 dan apa pula yang musti diperbaiki pada tahun 2005. Benar juga apa yang dikatakan oleh budayawan Emha Ainun Nadjib, ''Saya berasal dari sebuah negeri yang penuh kehangatan hidup. Bakat utama bangsa saya adalah bergembira dan tertawa. Kaya atau miskin, menang atau kalah, mendapatkan atau kehilangan, kenyang atau lapar, sehat atau sakit, semuanya potensial untuk membuat kami bergembira dan tertawa.'' (lihat Negeri Orang Tertawa, 2004:27) Kegembiraan itu mendatangkan sebuah tanya, apakah ini ciri masyarakat modern? Ke manakah 'imajinasi sosiologis' masyarakat sehingga kepekaan sosial menjadi tumpul? Konsekuensi modernitas Nasihat bijak mengingatkan jangan makan terlampau kenyang jika tetanggamu kelaparan. Pemahamannya kurang lebih segala tindakan individu hendaknya dikaitkan dengan masyarakat sekelilingnya. Individu jangan kenyang bila sebagian masyarakat lapar. Individu jangan terlampau bergembira jika ada bagian masyarakat berduka. Hakikatnya adalah memegang tepa salira, tenggang rasa; ikut merasakan perasaan (beban pikiran) orang lain sehingga tidak menyinggung perasaan mereka atau dapat pula meringankan beban orang lain tersebut. Dalam konteks perayaan Tahun Baru 2005 tenggang rasa itu terkesan menghilang. Orang bisa berdalih, jarak geografis memungkinkan kegembiraan itu terjadi. Duka menyelimuti bumi Aceh nun jauh di sana, sementara kegembiraan berlangsung di kota-kota besar yang berjauhan seperti Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Bandung atau lainnya. Tetapi mereka lupa, kecanggihan teknologi menerabas batas geografis. Jakarta-Aceh hanya sejengkal. Tawa suka di Jakarta seketika dapat dirasakan di tempat penampungan pengungsi lewat kecepatan elektronik. Bisa dibayangkan, seseorang yang sedang gundah gulana memikirkan sanak saudara yang belum ketahuan nasibnya tiba-tiba harus menyaksikan orang-orang yang bersenang-senang. Orang berduit pun berdalih, kendati dia 'memboroskan' uang Rp5 juta untuk satu tiket Old and New Year's Party, faktanya tetap menyisihkan bagian lain guna mengisi dompet amal bencana Aceh. Tetapi lagi-lagi dia lupa, tenggang rasa bukanlah sekadar dikonkretkan dengan material. Solidaritas batin tak kalah penting. Apa mau dikata, inilah konsekuensi modernitas. Sesungguhnya modernitas merupakan pergeseran pemikiran berkaitan dengan konsep waktu yang membuahkan dampak amat luas, di dalamnya menyentuh pula soal kebudayaan. Makna kebudayaan juga mencakup keperilakuan. Tenggang rasa bukan lagi perilaku abadi dan malah tergerus kepentingan sesaat. Manusia tanpa tenggang rasa seolah menjadi karakter orang modern. Pandangan Hegelian menyebutkan aspek krusial modernitas adalah diferensiasi kelembagaan, yaitu pemisahan antara rumah tangga dan ekonomi, moralitas dan hukum, politik dan ekonomi, individu dan komunitas (Arendt, 1994). Proses diferensiasi ini mengandung pengertian pemisahan wilayah yang sebelumnya disatukan. Jika semula individu berada dalam komunitas, maka pemisahan wilayah menyebabkan individu tercerabut dari komunitasnya. Di sinilah terjadi individualisasi, sebuah corak kesadaran orang modern selain distansi, progres, rasionalisasi dam sekularisasi. Merujuk kepada van Peursen (1982) individualisasi itu menyebabkan manusia bukan lagi menghuni ruang sosio-mitos tetapi melampaui masyarakat. Dari proses individualisasi itu dapat dijelaskan lebih lanjut bahwa masyarakat modern seolah merasakan dunia itu milik pribadi. 'Legitimasi' itu menjadikannya bisa berbuat apa saja di dunianya, peduli amat dengan terminologi tenggang rasa. Tatkala ingin berpesta di pergantian tahun, peduli amat dengan bencana di belahan dunia lain. Buta lingkungan Individualisasi membuat seseorang tumpul bahkan tak sedikit yang mati--dalam berimajinasi sosiologis. Istilah imajinasi sosiologis dikenalkan oleh C Wright Mills (ketika menulis The Sociological Imagination, 1950). Istilah ini lebih ditujukan kepada ilmuwan sosial yang 'diwajibkan' membangun suatu imajinasi sosiologis supaya dapat melihat segala sesuatu secara baru. Namun begitu masyarakat pun selayaknya membangun imajinasi sosiologis itu demi mengasah kepekaan lingkungan. Pemahaman akan istilah itu bisa dianalogikan dengan seseorang yang menyeruput kopi hangat di pagi hari. Saat dia menikmati kopi itu (semestinya) teringat kepada 'orang-orang yang berjasa' menghantarkan kopi itu. Tentu pertama sekali adalah petani kopi, kemudian industri kopi, hingga pedagang kopi di pasar. Kopi tiba-tiba membawa imajinasinya berkeliaran. Saat itulah dia membayangkan kehidupan petani kopi yang bersusah payah berkejaran dengan matahari agar tanaman mereka tidak terkena frost. Artinya, saat dia sedang menikmati kopi ternyata ada orang yang lebih susah bertarung dengan alam demi kehidupannya. Manusia yang mau berimajinasi sosiologis, maka kepekaan sosialnya terbangun. Saat dia membeli terompet tahun baru, seketika berpikir sejenak bahwa uang Rp5.000 (seharga terompet itu) berharga bagi orang-orang kecil. Ketika dia bermaksud membeli terompet untuk mengekspresikan kegembiraannya, imajinasinya berkeliaran kepada orang-orang kecil yang notabene kebanyakan dalam kondisi susah. Sampailah dia menemukan sebagian masyarakat yang sedang berduka akibat bencana, seketika pula dia mengambil keputusan untuk membatalkan ekspresi kegembiraannya lalu memilih berdiam diri sembari berdoa. Namun kebanyakan orang tidak seperti itu. Sebagian besar masyarakat 'buta lingkungan' akibat kematian imajinasi sosiologis tadi. Sudah saatnya bersama-sama melatih imajinasi sosiologis itu agar menghambat individualisasi. Para orang tua selayaknya melatih kepekaan lingkungan dan mengonstruksi solidaritas maupun tepa salira kepada anak-anaknya. Begitupun para guru punya tugas serupa terhadap anak didiknya, para pemuka agama terhadap umatnya, para atasan terhadap bawahan, para pemimpin terhadap orang-orang yang dipimpin. Semua bersama melanggengkan tepa salira. Dua hal itu, individualisasi akibat modernitas dan kematian imajinasi sosiologis, membuat kejanggalan menjadi tidak aneh lagi alias normal saja. Bergembira di saat orang lain berduka menjadi normal saja. Kalau ada seorang ibu dan kedua anaknya membakar diri lantaran tekanan ekonomi adalah peristiwa normal saja. Jangan-jangan banalitas kejahatan di penjuru kota merupakan hal yang normal. Bangsa ini tak punya keseriusan untuk mengubah 'kenormalan' itu. Bangsa ini, kata Emha Ainun Nadjib lagi, memang tidak serius-serius amat dalam menjalani hidup. Apa mau dikata*** *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Forum IT PPI-India: http://www.ppiindia.shyper.com/itforum/ 5. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 6. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 7. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/