http://www.kompas.com/kompas-cetak/0501/25/opini/1511867.htm
Selasa, 25 Januari 2005

Prinsip Kesetaraan
Oleh A Prasetyantoko

TERKAIT dengan persetujuan penundaan pembayaran utang (debt-relief) oleh 
Paris Club (12/1), salah satu isu yang mengemuka adalah penerapan prinsip 
kesetaraan (comparability) pinjaman pemerintah dengan utang swasta. Inilah 
salah satu pokok keprihatinan pemerintah.

Dalam KTT tsunami di Jakarta (6/1), yang dihadiri 25 kepala negara dan para 
menteri serta sembilan petinggi organisasi regional/internasional (seperti 
Bank Dunia, Perserikatan Bangsa-Bangsa/ PBB, dan ADB), disepakati berbagai 
paket bantuan (hibah dan pinjaman) dengan alasan kemanusiaan. Namun, dalam 
Paris Club (konsorsium 21 negara kreditor), penangguhan pembayaran 3 miliar 
dollar AS utang Pemerintah Indonesia yang jatuh tempo pada tahun ini 
mensyaratkan kesetaraan dengan utang swasta. Adakah kontradiksi di sana?

Sebenarnya, prinsip kesetaraan menjawab kerisauan beberapa ekonom dan 
pejabat teras soal moratorium. Mereka khawatir penundaan pembayaran utang 
akan menurunkan peringkat utang Indonesia sehingga kredibilitas Indonesia di 
mata investor dan pemerintah asing akan menurun. Jika peringkat utang turun, 
pemerintah akan kesulitan meminta komitmen pinjaman baru, sementara pasar 
finansial bisa bereaksi negatif dan brutal. Menteri Ekonomi Jerman Wolfgang 
Clement dan Menteri Keuangan Jerman Hans Eiclel mengatakan, prinsip 
kesetaraan dengan utang swasta ditempuh agar moratorium tidak menurunkan 
peringkat utang Indonesia. Jadi, siapa yang tidak konsisten?

Kalau para pejabat konsisten dengan keprihatinannya, mereka seharusnya 
menerima prinsip kesetaraan tersebut. Kita mau moratorium, tetapi tidak 
ingin peringkat utang melorot. Kita sangat peduli dengan "penilaian pasar", 
tetapi kita menolak prinsip-prinsip pasar.

Logika pasar
Sudah sejak semula, terkait dengan komitmen bantuan sebesar 3 miliar dollar 
AS dari peserta KTT tsunami di Jakarta, Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan 
mengingatkan adanya gejala adu kecantikan (beauty contest). Uni Eropa 
memberi komitmen pinjaman dan hibah sebesar 1,5 miliar euro (2 miliar dollar 
AS), sementara Jepang 500 juta dollar AS, Inggris 180 juta dollar AS, dan 
Singapura 10 juta dollar AS. Kita seperti dibuai oleh janji para pemimpin 
negara maju.

Begitu bertemu dalam forum Paris Club, suasananya menjadi berbeda. Bersama 
Sri Lanka dan Seychelles, Indonesia mendapat persetujuan penjadwalan utang 
(moratorium) sebesar 3 miliar dollar AS yang jatuh tempo pada tahun 2005 
ini. Sebagaimana ditegaskan oleh Presiden Paris Club Jean-Pierre Joyuet, 
moratorium mencakup total utang senilai 270 miliar dollar AS. Dia 
menambahkan, penangguhan tersebut diberikan tanpa syarat apa pun.

Terhadap tawaran tersebut, Thailand dan India menyatakan menolak. Sementara 
Indonesia menerima tawaran tersebut dan sekarang berupaya keras menagih 
janji para kreditor yang katanya "dermawan" itu. Dan kali ini, kita harus 
berhadapan dengan "logika pasar" sebagai latar belakang dari seluruh 
keputusan terebut.

Prinsip kesetaraan diberlakukan dengan maksud agar penangguhan pinjaman 
tidak diselewengkan untuk keperluan yang lain. Negara yang pernah memperoleh 
moratorium adalah Irak. Selain memiliki utang kepada negara-negara yang 
tergabung dalam Paris Club, Irak juga memiliki utang terhadap Arab Saudi dan 
pihak-pihak swasta lain. Prinsip kesetaraan diterapkan agar penangguhan 
utang dari Paris Club tidak digunakan Irak untuk membayar utang mereka 
terhadap Arab Saudi atau kreditor swasta lainnya.

Dalam kasus Irak, JP Morgan (salah satu lembaga pemeringkat utang) 
menyatakan, "..., non-Paris Club officials creditors will provide a similar 
level of debt relief."Artinya, ada kesetaraan antara skema penundaan utang 
yang diberikan oleh Paris Club dan pihak lain. Hanya dengan cara ini, 
kredibilitas Irak dalam sistem finansial global dapat terpelihara, demikian 
menurut JP Morgan.

Dalam kasus moratorium terhadap negara-negara korban gempa bumi dan tsunami, 
para kreditor (Paris Club) menginginkan agar penangguhan tersebut 
benar-benar digunakan untuk membantu para korban, bukan untuk membayar utang 
pada kreditor lain. Tanpa prinsip kesetaraan, manfaat yang akan didapat 
Indonesia akan jauh lebih kecil ketimbang biaya yang muncul akibat hilangnya 
reputasi di pasar finansial global.

Sementara itu, kredibilitas sangat dibutuhkan manakala pemerintah berniat 
menerbitkan surat utang baru (obligasi pemerintah), misalnya. Demikian para 
analis keuangan menggunakan logika pasar mereka.

Kredibilitas

Pasar finansial telah menjadi hukum tertinggi abad ini. Tak salah jika 
banyak ahli menyebut metamorfosis sistem kapitalisme telah memasuki generasi 
ketiga, yaitu "kapitalisme finansial". Rajan & Zingales (2003) menjelaskan, 
berkembangnya sistem pasar finansial global merupakan parameter semakin 
sempurnanya pengakuan terhadap hak milik pribadi (private property right). 
Hanya dalam sistem di mana hak milik pribadi diakui secara penuh, sistem 
finansial akan tumbuh secara pesat.

Bahkan di Amerika, di awal tahun 1970-an, pasar uang belum ada, tetapi 
sekarang mencapai 2 triliun dollar AS. Di kuartal keempat tahun 2001 saja, 
omzet (turn-over) perdagangan seluruh produk derivasi pasar uang telah 
mencapai 163 triliun dollar AS (setara dengan 16 kali pendapatan domestik 
bruto tahunan AS). Demikian juga di awal 1960-an, pasar kartu kredit nyaris 
belum muncul, tetapi pada akhir 2001 sudah mencapai 700 miliar dollar AS.

Sama halnya dengan perusahaan penyalur modal bagi pembukaan usaha-usaha baru 
(venture capital). Di tahun 2000, sudah tersalur sekitar 100 miliar dollar 
AS untuk membiayai 5.606 perusahaan baru. Perkembangan ini menandai semakin 
sempurnanya sistem kapitalisme finansial global.

Melihat konstelasi ini, institusi negara, korporasi, apalagi individu tak 
lagi bisa mengelak dari hukum pasar finansial global. Jadi, reputasi dalam 
pusaran finansial global menjadi orientasi utama setiap pilihan kebijakan. 
Dalam konteks ini, prasyarat kesetaraan (comparability treatment) yang 
diterapkan para kreditor dalam kasus moratorium utang Indonesia merupakan 
sesuatu yang wajar saja. Kalau tidak ingin masuk dalam logika ini, lebih 
baik mengambil sikap seperti Thailand dan India yang menolak moratorium.

Meski sudah menerima tawaran moratorium, ada baiknya jika pemerintah tidak 
tunduk begitu saja dengan berbagai prasyarat yang diminta para kreditor. 
Asalkan, pemerintah berani memberikan jaminan (collateral) berupa 
kredibilitas dalam pengelolaan pinjaman. Sayangnya, media barat telanjur 
memiliki keraguan terhadap Pemerintah Indonesia dalam rangka rekonstruksi 
Aceh.

Michael Vatikiotis (International Herald Tribune, 11/1/ 2005) ragu 
Pemerintah Indonesia mampu mengelola seluruh pasokan dana ke Aceh secara 
benar mengingat korupsi sudah merajalela di seluruh birokrasi. Sementara The 
Financial Times (10 dan 11/1/2005) menyangsikan integritas Presiden Susilo 
Bambang Yudhoyono terkait dualisme kepemimpinan sipil- militer di Aceh. 
Mengingat latar belakang militer sang presiden, sedangkan Aceh pernah 
menjadi daerah tertutup yang menyembunyikan sejarah kekejaman militer di 
daerah itu.

Pendeknya, media Barat pada umumnya tidak begitu percaya akan kredibilitas 
Pemerintah RI dalam rangka memulihkan Aceh, termasuk di dalamnya mengenai 
pengelolaan bantuan (hibah/pinjaman). Dengan demikian, ketika pemerintah 
masuk dalam skema tawaran moratorium, mau tidak mau harus menerima prinsip 
kesetaraan. Kecuali, pemerintah masih akan memobilisasi kekuatan politisnya 
untuk menolak logika pasar tersebut.

Dalam sistem pasar finansial global ini, tidak mudah berkelit dan mengelak 
dari prinsip- prinsip fleksibilitas pasar. Sekali masuk dalam pusaran itu, 
dan mencoba mengikuti hukumnya, tak lagi bisa menghindar untuk tersedot 
masuk sampai ke pusat pusarannya. Hanya dengan kemauan dan kesungguhan yang 
didukung oleh kredibilitas yang tinggi, pemerintah bisa terlepas dari arus 
tersebut.

A Prasetyantoko Pengajar di Universitas Atma Jaya-Jakarta 



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Help save the life of a child.  Support St. Jude Children's Research Hospital's
'Thanks & Giving.'
http://us.click.yahoo.com/mGEjbB/5WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Reply via email to