Dul nyang baru ikut2an masuk beberapa milis, ini juga saktelah liat kawan ngutak ngutik dan saktelah baca2 ya ikut tertarik juga.
Saktelah mbaca ini itu, sana sini, topik diatas ini koq sangat mengena.Saktelah ber-abad2 mardika, dan banyak pamerintahan nyang kedodoran kerjanya untuk memperbaikin nasibnya rakyat dengan seribu janji dan langkah tapi kenapa ya koq nageri ini tetap kere begini ya? Saktelah telah banyak rakyat nyang bisa mbaca koran dan kamudian bisa liat berita2 mlalui tipi dan banyak pula anak bangsa nyang ngeritik segala macam pamerintahan dan sampai pamerintah sakarangpun kena kritik tapi koq ngak mempan aja ya kritik2 itu. Apa nyang salah kritik2nya atawa gimana ya. Kalau gitu kan milis2 ini ngak ada gunanya ya. Lha saktelah coba2 perbaiki kinarjanya pemerintah2 sakgala zaman, malalui ikut2an milis dengan visi nyang gandrung mau mamparbaikin nasib rakyat dan nageri, tapi kritik2-an koq ngak mempan ya. Siapa nyang ndablek ini ya, urang nyang ngeritik atawa pamarintah nyang ndablek? Dul koq jadi bingung sih, abis sampai kapan Dul dan kawan2 maluangkan waktu baca2 kritik2an dengan arapan masa depan jadi baik karena dapet kritikan, tapi asilnyanya koq.................nagara tambah butut kayak kenthut gini ya! Mana nyang salah sih ini, nyang ngeritik apa kurang pedes kritikan-nya atawa nyang dikritik itu "rai gedeg" ya Dul Bingung yang godeg2 kepala aja nih! Ambon <[EMAIL PROTECTED]> wrote: http://www.mediaindo.co.id/cetak/berita.asp?id=2005012823140635 Sabtu, 29 Januari 2005 100 HARI SBY-KALLA Seratus Hari Seribu Janji Indra J. Piliang; Analis Politik CSIS, Jakarta Lontaran Program 100 Hari Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) telah dimulai sebelum hari pemungutan suara dalam pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Wacana itu berkembang dalam kampanye masing-masing calon. Tanggal 9 Oktober 2004, lima hari setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan kemenangannya, SBY juga menyampaikan pidato di Cikeas, Bogor. SBY menyampaikan agenda pentingnya, antara lain menentukan program dan aksi 100 hari pertama pemerintahannya. Untuk itu tak masuk akal apabila ada kalangan pemerintahan sendiri yang berkilah soal tidak jelasnya asal-muasal Program 100 Hari ini. Singkatnya, program 100 hari berasal dari materi kampanye SBY sendiri. Bagi kalangan yang getol dengan arahan konstitusional atas produk pemerintahan, tentu sandaran hukum tentang program 100 hari tidak ditemukan. Namun, terdapat semacam konvensi menyangkut sistem presidensial yang memungkinkan presiden yang dipilih secara langsung untuk diberi waktu 'bulan madu' selama 100 hari untuk menjalankan programnya. Pihak DPR tidak menyadari hal ini, terbukti dengan berbagai langkah untuk melakukan interpelasi atas presiden, justru dalam 100 hari kinerja DPR yang juga tak bagus. Celakanya lagi, DPR tidak seirama dengan pemerintah. Bukti teranyar adalah belum selesainya Rancangan Undang-Undang Lembaga Kepresidenan dan RUU Kementerian Negara. Padahal, kedua UU itu diperlukan untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan eksekutif. Presiden SBY sendiri belum mengeluarkan amanat presiden menyangkut kedua UU penting ini, agar dilema hukum lembaga kepresidenan dan kabinet bisa diselesaikan. Lewat rapat-rapat yang maraton, program 100 hari pemerintahan baru pun disusun. Semula, masing-masing menteri di bawah menteri koordinator menyampaikan secara terpisah kepada masyarakat lewat pers. Pada akhirnya, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) diberi wewenang untuk melakukan kompilasi atas program-program itu. Terdapat tiga agenda pemerintahan baru ini, yakni mewujudkan Indonesia yang aman dan adil, mewujudkan Indonesia yang adil dan demokratis, dan mewujudkan Indonesia yang lebih sejahtera. Ketiganya dipilah lagi masing-masingnya menjadi tiga, sehingga tersusun sembilan program utama, yakni penyelesaian masalah konflik, penanggulangan terorisme, penanggulangan aktivitas ilegal, penguatan institusi Kejaksaan Agung dan Polri, penyelesaian kasus-kasus korupsi, melanjutkan reformasi birokrasi, perbaikan iklim investasi, menjaga stabilitas ekonomi makro, serta peningkatan kesejahteraan rakyat dan penanggulangan kemiskinan. Pelaksanaan agenda dan program itu membutuhkan 41 peraturan perundangan, mulai dari UU sampai surat keputusan dan surat edaran menteri. Dari agenda dan program yang disusun Bappenas itu, terlihat bahwa unsur terapi kejut yang menjadi dasar pelaksanaan program 100 hari justru mengalami proses konseptualisasi menyangkut aspek-aspek jangka menengah dan panjang. Sampai pertengahan Desember 2004, Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) baru berhasil melaksanakan tiga program yang berjalan 100% dalam 50 hari pemerintahan SBY-JK. Sementara empat program baru jalan 50%, 58 sedang berjalan dan satu program belum berjalan dari 66 program yang ditargetkan dalam 100 hari, sebagaimana disampaikan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas, Sri Mulyani, usai Sidang Kabinet Paripurna di Kantor Presiden, tanggal 17 Desember 2004. *** Kesulitan awal yang dihadapi juga tidak kecil. Komposisi KIB yang didominasi oleh preferensi politik dengan cara menampung kalangan dari partai politik menyebabkan lambannya upaya konsolidasi. Setidaknya, terdapat lima sumber perekrutan KIB, yakni Pertama, dari kalangan partai-partai politik. Kompromi politik menjadi landasan pembentukan kabinet yang gemuk ini. Uniknya, unsur partai politik yang diambil banyak dari luar Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang dan Partai Keadilan Sejahtera yang mendukung SBY-JK untuk putaran kedua. Presiden SBY memberi tempat kepada politisi Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional, Partai Golkar, dan Partai Persatuan Pembangunan. Hanya politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Bintang Reformasi dan Partai Damai Sejahtera yang tidak kebagian jatah menteri. Kedua, sekalipun ingin melakukan perubahan, termasuk dalam penyelenggaraan pemerintahan, Presiden SBY ternyata masih mengangkut lima orang menteri dalam Kabinet Gotong Royong yang dibentuk oleh Megawati Soekarnoputri. Bersama SBY dan JK, berarti ada tujuh menteri kabinet Mega-Hamzah yang masuk pemerintahan baru. Artinya, pemerintahan belum benar-benar berubah. Dengan tujuh personel kabinet Mega-Hamzah dalam tubuh KIB, terlihat pemerintahan yang mengusung 'perubahan' ini tidak terlalu radikal dalam mengambil keputusan-keputusannya. Ketiga, kabinet ini bukan hanya berisi menteri-menteri era Megawati, melainkan juga menteri era Habibie dan Abdurrahman Wahid. Inilah kabinet yang diisi oleh mantan-mantan menteri. Kalaupun terdapat sejumlah wajah-wajah baru yang berasal dari partai politik dan birokrat karier, pos yang mereka huni juga butuh kerja yang lebih keras untuk mengelolanya. Dengan kehadiran sejumlah mantan menteri ini, Presiden SBY terlihat mencoba untuk menonjolkan unsur senioritas. Keempat, kehadiran lima orang purnawirawan TNI/Polri dalam tubuh KIB menunjukkan belum maksimalnya upaya pemberian ruang besar kepada kalangan sipil. Jabatan Mendagri, misalnya, tidak juga diberikan kepada kalangan sipil murni, sejak 30 tahun terakhir ini. Dengan hadirnya purnawirawan TNI/Polri ini sepertinya akan memberikan keseimbangan antara loyalitas dan kedisiplinan dengan politisasi dan profesionalisme. Kelima, dari kalangan profesional, baik birokrat murni, ilmuwan, dosen, maupun orang-orang dekat SBY-JK sendiri yang membantu keduanya meraih posisi sebagai presiden dan wakil presiden terpilih. Kontroversi sempat merebak, terutama atas pengangkatan Sri Mulyani Indrawati. Kontroversi itu dilakukan oleh para politikus yang ingin mendapatkan peran di Kabinet. Dengan keberadaan kalangan profesional ini, Presiden SBY setidaknya ingin memberikan pesan bahwa kabinetnya tidak hanya akomodatif terhadap kalangan politikus. *** Persoalannya, selain yang disusun oleh Bappenas itu, pada awalnya terlihat euforia berlebihan atas program 100 hari ini. Masing-masing menteri seolah berlomba menunjukkan kinerja awalnya paling baik, paling tidak di tingkat wacana, inspeksi mendadak, sampai kehadiran di kementeriannya di luar hari kerja. Janji-janji langsung melangit. Di luar apa yang disusun oleh Bappenas, masih saja terdapat sejumlah janji lainnya yang diucapkan (lihat tabel). Kenyataannya, terdapat sejumlah program yang realistis. Misalnya, program Menteri Dalam Negeri M. Ma'ruf berupa sosialisasi UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah; Persiapan pemilihan kepala daerah secara langsung tahun 2005; Pembuatan peraturan pemerintah (PP) mengenai pemilihan kepala daerah secara langsung; dan mengambil tindakan tegas terhadap pejabat daerah yang terbukti terlibat KKN, termasuk Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Abdullah Puteh. Namun, parameter terapi kejutnya sebetulnya tidak ada, mengingat program-program itu memang harus dilaksanakan, baik di masa awal, tengah atau akhir pemerintahan. Sementara, terdapat program yang terlalu percaya diri. Misalnya, program Kapolri D'ai Bachtiar berupa pengungkapan pelaku peledakan bom di depan Kedutaan Besar Australia, Jakarta, dan memburu tersangka teroris Dr Azahari dan Noor Din M Top. Memang, publik sudah disuguhi dengan berbagai proses rekonstruksi ulang atas aksi teror itu, namun keberadaan Dr. Azahari dan Noor Din M. Top sendiri sampai sekarang masih misterius. Padahal, kepercayaan masyarakat kepada institusi kepolisian bisa didapatkan kalau mampu menangani soal ini. Anehnya, dengan program yang banyak itu, mulai dari tataran konseptual sampai teknis, Presiden SBY sendiri terlihat lebih mendahulukan faktor kemasan. Dengan judul pidato "Mengenali Masalah, Menetapkan Agenda, dan Arah" pada tanggal 17 November 2004, terlihat Presiden SBY menegaskan diri sebagai pemerintahan baru. Namun, kalau dilihat dari komposisi KIB, sebetulnya presiden tidak sepenuhnya merasa harus memulai dari nol lagi. Parameter yang digunakan untuk menyusun agenda pemerintahan sebetulnya sudah terang benderang. Pertama, berasal dari materi kampanye dan paparan visi-misi yang diserahkan oleh pasangan SBY-JK kepada KPU. Paparan visi misi itu tidak perlu berlama-lama untuk dipahami oleh para menteri KIB. Sejak awal sudah disadari oleh para penganut paham konstitusionalisme, betapa ketiadaan GBHN yang ditetapkan oleh MPR telah menjadikan visi-misi calon presiden dan wakil presiden sebagai acuan program pemerintah. Kedua, berasal dari UU Nomor 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. UU ini merupakan karya Bappenas yang dikepalai oleh Kwik Kian Gie. Karena pemerintahan melaksanakan program-programnya berlandaskan UU, maka kewajiban presiden melaksanakan UU itu. Kalaupun pemerintahan baru ingin memasukkan sejumlah program baru, selayaknya partai-partai politik pendukung presiden atau presiden sendiri mengajukannya ke DPR, sehingga UU ini perlu direvisi. Namun, pilihan ini sangat makan waktu. Ketiga, berasal dari program kerja masing-masing kementerian, baik kementerian negara, departemen atau lembaga setingkat menteri sebelumnya. Kecuali kementerian baru, program-program itu tinggal diteruskan. Kalaupun muncul prioritas-prioritas baru, sebagai akibat dari janji-janji kampanye dalam pemilu langsung, tidaklah berarti agenda-agenda lama yang menjadi kewajiban birokrasi pemerintah diabaikan begitu saja. Dengan tiga parameter itu saja, sudah cukup bagi pemerintah untuk langsung bekerja. Sembari bekerja, tentu terjadi proses pengenalan atas masalah-masalah yang terjadi, terutama yang muncul belakangan. Sebagai pengambil keputusan tertinggi, dengan dibantu oleh tim yang terlihat baik dan memberi harapan, mestinya Presiden SBY tidak menyampaikan nada pidato yang terkesan apologetik. Yang diperlukan adalah ketegasan sikap Presiden SBY. *** Manusia yang berencana, Allah SWT yang punya kuasa. Di tengah keinginan kuat untuk melaksanakan seribu janji yang telah diucapkan, justru datang banyak petaka dan bencana. Tragedi gempa disertai tsunami di Aceh dan Nias turut menenggelamkan program 100 hari itu. Beban pemerintahan langsung menggunung. Tiadanya unit khusus yang bisa menangani bencana kemanusiaan yang luar biasa sepanjang Republik Indonesia ada ini menyebabkan persoalan-persoalan lain terabaikan. Persisnya, sejak tanggal 26 Desember 2004, pemerintahan baru memutar haluan dan programnya untuk melakukan tanggap darurat di Aceh dan Nias. Pemerintahan SBY-JK memang harus memilih, yakni terfokus dalam mengatasi persoalan-persoalan di Aceh dan Nias, atau tetap bertahan dengan program umum. Kenyataannya, pemerintah tetap berjalan dalam keadaan normal. Hanya saja, intensitas pekerjaan sejumlah kementerian ditambah. Akibatnya, sempat muncul kesimpangsiuran, terutama akibat lambannya penanganan korban bencana. Boleh dikatakan bahwa bencana ini ternyata membuka banyak sekali persoalan dalam tubuh pemerintahan. Namun, justru kesempatan untuk memperbaiki kinerja kian terbuka. Program-program yang lebih realistis juga bisa disusun, dengan arah yang lebih konkret. Diperlukan lebih banyak aksi, ketimbang terus berjanji di depan khalayak. Miskinnya aksi dari anggota KIB menunjukkan bahwa pemerintahan baru benar-benar sedang berupaya menyesuaikan diri. Mumpung besi masih panas, diperlukan keberanian pemerintah untuk mengeluarkan terobosan-terobosan kebijakan yang tidak populis, katakanlah keberanian berhadapan dengan DPR. Kalau dianggap tidak bagus kinerjanya, sejumlah menteri bisa saja diberhentikan oleh presiden. Yang diperlukan adalah pemerintahan yang efektif, sekaligus lincah bergerak cepat, di tengah badai bencana yang terus saja datang. Adanya bencana di Aceh dan Nias juga membuka kesempatan bagi pemerintah untuk mendapatkan dukungan kerja sama dari masyarakat dalam dan luar negeri. Bahkan, secara politis kedudukan pemerintah menjadi kuat. Persoalannya, jangan sampai krisis ini justru menghasilkan sebuah rezim yang menutup diri dari masyarakat. Sebagai pemerintahan yang lahir dari proses demokratis, tentu partisipasi masyarakat amatlah diperlukan. Dalam konteks itulah Presiden SBY perlu menyampaikan agenda dan program pemerintahan terbaru. Wacana program 100 hari selayaknya dilupakan, digantikan dengan program-program yang tidak hanya berpatokan kepada waktu, namun lebih kepada aksi-aksi yang bisa menggerakkan bangsa dan masyarakat Indonesia bangkit dari guncangan persoalan yang muncul bertubi-tubi. Jauh lebih baik presiden menjadikan momentum tragedi yang terjadi sekarang untuk mengelola sentimen publik, ketimbang terus terpaku kepada program 100 hari yang justru masih dalam tahapan penyesuaian keadaan. Secara politik, pascaterpilihnya JK sebagai Ketua Umum Partai Golkar, muncul berbagai isu di masyarakat tentang adanya dua matahari kembar di eksekutif. Selayaknya presiden menyingkirkan isu ini, termasuk dengan cara negosiasi politik baru. Otoritas politik tertinggi tetap berada di tangan presiden, terutama fungsinya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Dalam masa darurat perang dahulu, wakil presiden Muhammad Hatta sempat mengeluarkan sejumlah kebijakan, termasuk apa yang disebut sebagai Maklumat X. Bahkan, restrukturisasi dan rasionalisasi terhadap militer juga dijalankan, ketika Muhammad Hatta diberikan otoritas berupa jabatan perdana menteri. Yang diperlukan bukanlah model pemerintahan awal Republik Indonesia itu, melainkan satu adagium yang perlu dihidupkan, yakni adanya dwitunggal: SBY-JK. Upaya ini perlu dimatangkan, dengan proses politik yang terukur, transparan dan demokratis. Kerja sama politik lebih diperlukan di dalam tubuh eksekutif, ketimbang berpikir secara politis untuk memperebutkan pengaruh yang sebetulnya bukan persoalan gagah-gagahan. Pelaksanaan sedikit saja dari janji-janji yang ditebar selama ini adalah bagian terpenting dari masa-masa paling suram sejak 1998 ini. Catatan: sebagian naskah ini adalah bagian dari Program Pengawasan 100 Hari Pemerintah Baru yang dilakukan oleh Koalisi Media untuk Pemilu Bebas dan Adil. [Non-text portions of this message have been removed] *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links --------------------------------- Find local movie times and trailers on Yahoo! Movies. [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Give the gift of life to a sick child. Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks & Giving.' http://us.click.yahoo.com/lGEjbB/6WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/