Lampung Post
      Senin, 14 Februari 2005 
     
      OPINI 
     
     
     
Dosa-Dosa Tatanan Pemerintah 

      * Nanang Trenggono, Dosen FISIP Universitas Lampung

      Apakah yang ada di benak kepala gubernur, anggota Dewan, bupati/wali 
kota, camat/lurah, rektor, aktivis LSM, tokoh parpol, ulama, intelektual, 
mahasiswa, dan saudara-saudara yang lain ketika membaca berita Lampung Post 
(Rabu, 2 Februari 2005) dengan judul mencolok, "Dalam Seminggu Empat Warga 
Tanggamus Bunuh Diri?" Tiga orang warga Lampung tersebut bunuh diri karena 
sakit akut dan satu anak umur belia kelas 6 SD karena dimarahi orangtuanya. 
Jangan-jangan di antara warga kelas terhormat Lampung bahkan tidak membaca!

      Sebenarnya, di balik berita tersebut, Lampung Post ingin mengatakan ini 
bukan semata-mata news (warta berita). Ini adalah gejala laten yang menyimpan 
persoalan besar yang tengah melanda bumi Tapis, tanah di mana kita meniti 
perjalanan hidup, makan dan minum air kehidupan, serta membesarkan anak-anak 
generasi masa depan. Mengapa dalam seminggu terjadi peristiwa bunuh diri 
berantai?

      'Suicide Durkheim'

      Jika mau mengingat peristiwa serupa, ingatan kolektif kita akan merekam, 
pernah terjadi di Panjang seorang buruh gantung diri karena PHK. Suatu keluarga 
melakukan inses (kawin sedarah) antara ibu, anak laki-laki, dan saudara 
perempuannya. Angka kematian bayi lahir tinggi secara konsisten dan masih 
banyak lagi peristiwa tragis lainnya. Semua benar-benar terjadi di Lampung. 
Berdasarkan gambaran ini, jelas kasus bunuh diri berantai merupakan salah satu 
saja peristiwa yang tidak bisa dikategorikan sebagai problem individu. Bunuh 
diri berantai adalah problem sosial yang bersifat struktural. Oleh karena itu, 
ada kesalahan dengan tatanan sosial, terutama pada sumbernya yakni tatanan 
pemerintah (suprastruktur) yang memegang kekuasaan dan uang sebagai sumber daya 
pembangunan.

      Buku berjudul Suicide (bunuh diri), karya monumental bapak sosiologi 
klasik Emile Durkheim, merupakan hasil penelitian bertahun-tahun yang dimulai 
dengan pertanyaan sederhana, "mengapa orang bisa atau mampu bunuh diri?" 
Berbagai faktor penyebab bunuh diri diuji. Ditemukan bahwa bunuh diri adalah 
problem sosial karena individu-individu merasa terasing (anomi) dari lingkungan 
atau tepatnya tatanan sosialnya. Anomi bisa terjadi secara individu dan 
kolektif.

      Tatanan sosial telah menekan kehidupan individu sampai pada titik 
nadir--kehilangan kemanusiaannya. Individu kehilangan ikatan sosial dan 
terasing dari lingkungan sosial sekaligus dirinya sendiri. Individu telah 
kehilangan jati diri. Jadi individu kehilangan pengalaman hidupnya yang 
bermakna (nomik). Akhirnya, solusi bagi individu yang anomi dari tatanan sosial 
adalah bunuh diri.

      'Fallacy' Rezim APBD

      Sumber anomali tatanan sosial adalah tatanan pemerintah daerah. Sejak 
reformasi pemerintah daerah sudah diberi otonomi. DPRD memperoleh peran besar. 
Parpol, ormas, organisasi agama, atau masyarakat sudah menikmati ruang publik 
yang terbuka. Secara komprehensif dapat ditengarai akar masalah strukturalnya 
ada di APBD.

      APBD sudah menjadi rezim yang diperebutkan birokrasi pemerintah daerah, 
DPRD, orpol, ormas, perguruan tinggi, organisasi ekonomi, organisasi keagamaan, 
lembaga-lembaga, kelompok-kelompok masyarakat dan individu-individu. 
Singkatnya, dari lapisan paling bawah hingga lapisan paling atas saling berebut 
APBD. Hampir-hampir tidak ada yang tersisa bagi rakyat kebanyakan. Lalu, APBD 
dikuasai--untuk tidak mengatakan dikangkangi--institusi-institusi daerah 
termasuk DPRD-nya dan kelompok-kelompok kecil status quo. Inilah wajah rezim 
APBD yang menafikan nasib orang banyak.

      Akibatnya, individu-individu masyarakat kebanyakan tidak hanya sekadar 
menjadi penonton, mereka terus-menerus terperosok makin dalam di lubang-lubang 
kemiskinan dengan kesendirian lepas dari ikatan-ikatan sosialnya. Kesendirian 
individu warga kebanyakan dipercepat menjadi fenomena anomi karena 
simpul-simpul ikatan sosial (tokoh-tokoh kunci) turut berebut APBD. Sudah jatuh 
ketimpa tangga, rakyat miskin kesulitan mengakses institusi-institusi formal 
bidang kesehatan, pendidikan, sosial budaya, dan ekonomi.

      Inilah fallacy (kesalahan filsafat) rezim APBD. Pada masa perjuangan 
reformasi, dalam suatu diskusi Andy Arief menyatakan dengan lantang bahwa 
kesalahan rezim Orde Baru sudah mencapai sesat pikir (fallacy). Oleh sebab itu, 
sekali lagi, kondisi sekarang ini sudah mengarah berkembangnya, bahkan sudah 
terjadi sesat pikir dalam rezim APBD.

      Dalam praktek, setidak-tidaknya dapat digambarkan suatu fallacy rezim 
APBD secara sederhana dan mudah dilihat dengan mata telanjang. Setiap tahun 
anggaran APBD selalu terjadi redundansi atau pengulangan pos-pos mata anggaran 
belanja dinas-dinas. Dalam pos anggaran belanja daerah selalu terdapat mata 
anggaran perbaikan jalan, menutup lubang-lubang jalan raya, pembangunan 
gorong-gorong, trotoar, rehabilitasi siring jalan, pembatas jalan atau 
pola-pola yang sejenis. Semua jenis pembangunan yang bersifat ecek-ecek semacam 
ini selalu menjadi pola pikir menentukan mata anggaran pembangunan dinas-dinas 
daerah. Jargon-jargon pembangunan yang selalu digembar-gemborkan dipraktekkan 
dalam ritualisasi yang begitu-begitu saja.

      Hampir tidak pernah terpikirkan secara komprehensif membangun jalan raya 
yang sudah dipertimbangkan masak-masak akan memiliki kemampuan layak pakai 
selama satu periode pelita (pembangunan lima tahun). Lalu, pos-pos anggaran 
bisa dialihkan untuk konkretisasi pembangunan lain yang relevan untuk 
kepentingan rakyat banyak. Dari tahun ke tahun, APBD selalu sama, hasilnya juga 
sama dengan kesalahan yang sama juga.

      Sesat pikir rezim APBD mencapai titik akut ketika tiba-tiba DPRD Lampung 
menyepakati dan mengeluarkan keputusan agar semua anggota Dewan tidak berbicara 
tentang APBD di media massa. Sebuah keputusan yang seratus delapan puluh 
derajat menyalahi hakikat Dewan sebagai representasi rakyat karena memotong 
dialog antara rakyat dan wakilnya.

      Spirit Kurban sebagai Solusi

      Dalam kacamata fenomenologis (sosiologi pengetahuan) penjelas dan 
pembenar bagi keseimbangan dan kesinambungan kehidupan sosial antara lain 
legenda, cerita rakyat, pengetahuan, lembaga-lembaga, dan yang terjauh, menurut 
penulis tertinggi, adalah agama. Agama sebagai legitimasi kehidupan sosial 
merupakan realitas sosial yang perlu dipahami sebagai nomik kehidupan yang 
penuh arti.

      Belum lama berlalu kita rayakan hari kurban. "Kurban adalah puncak iman 
seorang muslim," kata seorang pengurus masjid. Ukuran kurban adalah keikhlasan 
dan keutamaan. Belajar dari keikhlasan Ibrahim yang harus mengurbankan anaknya 
Ismail, jika boleh memilih, Ibrahim akan mengurbankan dirinya daripada anaknya. 
Nilai keutamaan diukur dari pemberian kurban atau domba yang terbaik. Selain 
itu, jika zakat diatur terperinci mekanisme pelaksanaannya, petunjuk dalam 
kurban bersifat umum, yaitu berikanlah sebagian daging dan darah kurbanmu 
kepada yang lain. Yang paling penting, kurban dilaksanakan bukan semata-mata 
"menerima" perintah Allah tetapi "mengambil" perintah Allah sebagai wujud 
kesadaran subjektif individu-individu yang melaksanakannya.

      Boleh jadi semua pejabat, tokoh parpol, ormas, agama, pendidik, dan warga 
mampu melaksanakan kurban. Apakah hari besar tersebut akan terlewati begitu 
saja atau menjadi biografi--individu dan sosial--yang menandai kurban sebagai 
wujud berkurban bagi sesama manusia. Oleh karena itu, spirit berkurban untuk 
kepentingan sosial sepatutnya menjadi kriteria bagi kebijakan daerah, pos-pos 
belanja daerah dan kinerja pemimpin. n
     


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Take a look at donorschoose.org, an excellent charitable web site for
anyone who cares about public education!
http://us.click.yahoo.com/O.5XsA/8WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke