QUO VADIS, SASTRA SEKOLAH BANTEN! Oleh Gola Gong* Saya tidak tahu siapa yang mengatakan bahwa para novelis membaca novel-novel karya orang lain hanya untuk membayangkan bagaimana mereka menulis. Namun, saya yakin perkataan ini benar. Kita tidak perlu kecewa dengan rahasia-rahasia yang ada di balik permukaan buku: kita harus membalik-balik buku untuk menemukan lapisan rahasia itu. Dalam satu cara yang tidak mungkin dijelaskan, kita mengurai buku menjadi bagian-bagian penting dan kemudian menyatukannya kembali setelah kita memahami misteri-misteri kerumitan personal di dalamnya. (Gabriel Garcia Marquez)
*** Suatu siang, 9 Pebruari 2005, saya diundang oleh "Saung Paguyuban Mancak". Bertempat di depan SMAN 1 Mancak, di sebuah saung panggung terbuat dari bambu dan beratapkan rumbia. Saung itu berada di lahan seluas seribuan meter persegi, menghadap persawahan dan dikelilingi perbukitan hijau yang menghadap pantai Anyer. Peserta diskusi kebanyakan para pemuda dan pemudi kampung Mancak, yang merasa masih dipandang sebelah mata oleh "pusat", warga Serang, sebagai ibukota provinsi Banten. Mereka rata-rata mahasiswa perguruan tinggi negeri favorit di Bandung, Bogor, dan Jakarta. Saya cukup tercengang menyadari itu. Sekedar gambaran, jika kalian ke pantai Anyer, selepas kota Cilegon akan melihat di sisi kanan (utara) kawasan pabrik dan di sisi kiri (selatan) perbukitan. Nah, di perbukitan itulah kecamatan Mancak berada. Saat saya kecil, sekitar 1970-an, saya sering ke Mancak bersama Bapak, mengunjungi muridnya jika sedang musim duren. Hanya bisa dengan sepeda motor, karena angkutan kota belum ada. Jalannya pun masih tanah dan berkelok-kelok. Saat saya lulus SMA tahun 1982, hanya bisa dihitung dengan jari yang bisa lolos ke perguruan tinggi negri sekelas UNPAD atau ITB. Dan itu hanya bisa dilakukan oleh para siswa dari SMAN 1 Serang seperti saya, yang lolos di sastra UNPAD. Tapi sekarang, para siswa lulusan SMAN 1 Mancak, yang lokasinya jauh di pelosok kampung, bisa menembus UNPAD, ITB, dan IPB! Dan pertanyaan langsung muncul di benak saya, "Apakah mereka juga membaca sastra?" Kegelisahan saya mendapatkan jawaban memuaskan dari seorang guru bahasa dan sastra Indonesia SMAN 1 Mancak. Rata-rata mereka mengenal novel-novel sastra mutakhir. Ayu Utami, Dee, Jenar, Seno Gumira, Ahmadun, dan para penulis islami dari Forum Lingkar Pena. "Saya mengenalkan mereka pada sastra mutakhir. Bahkan kadang saya membawa para siswa belajar sastra di luar kelas. Kebetulan di depan sekolah kami ada persawahan dan sungai." Saya sangat terkesan dengan penjelasan sang guru. Tapi nanti dulu! "Sayangnya, kurikulum berbasis kompetensi yang saya terapkan, tidak sejalan dengan para pejabat dindik pusat. Soal-soal yang keluar saat ulangan semester atau UAN, masih saja merujuk ke novel-novel pujangga lama dan baru. Atau jauh kebelakang lagi. Saya suka bingung dan jadi serba salah!" kata sang guru, yang jebolan UPI Bandung. "Kasihan jadinya anak-anak." *** Di Rumah Dunia beberapa kali pernah digunakan sebagai kelas jauh pembelajaran sastra. Biasanya pada hari Sabtu atau Mingu dimana saya ada. Sebelum kelas jauh berlangsung, pihak guru menghubungi Rumah Dunia, apakah saya bisa menerima mereka. Why not? Dengan menggunakan beberapa mobil angkutan, sekitar 45 pelajar berkunjung ke Rumah Dunia. Mereka membawa bekal makan siang. Suasana santai hinggap di wajah mereka. Novel-novel sastra serius dan populer yang terpajang di rak buku, mereka serbu. Di bawah pohon Arem, duduk lesehan di lantai, serta tidur-tiduran di panggung sambil membaca novel. Sangat menyenangkan melihat wajah-wajah yang bahagia saat membaca novel. Andai saja di sekolah pun mereka mendapatkan hal sama seperti di Rumah Dunia. Di koran komunitas "Rumah Dunia" edisi Pebruari 2005 menurunkan laporan utama "Selamat Tidur Sastra Sekolah". Disana disinggung kualitas guru, kurikulum, dan perpustakaan menjadi keluhan jika berbicara tentang pembelajaran sastra. Guru yang diharapkan menjadi panutan, seringkali berbuat lain dari apa yang dikatakan. Penerapan Kurikulum yang bombastis dan penganaktirian sastra sebagai sisipan pelajaran Bahasa Indonesia, juga menjadi masalah utama. Di laporan utama itu juga masih ditulis, bukankah saat ini pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia sudah mengarah pada Kurikulum Berbasis Kompetensi? Kurikulum yang menggawangi guru untuk memberikan bahan pelajaran kepada anak didik, sesuai basis yang dimiliki. Artinya, kurikulum yang memberikan kebebasan kepada guru atau murid untuk memberikan materi dan mempelajari sesuatu sesuai dengan kemampuan. Dengan demikian, guru dituntut untuk lebih kreatif dan siswapun (seharusnya) tak mustahil menjadi aktif. Tapi pada kenyataannya, salah seorang guru yang ditemui wartawan koran komunitas Rumah Dunia, tak bisa memungkiri, kalau pembelajaran sastra disekolahnya jauh dari tujuan yang disebutkan diatas. Malah justru yang 'membunuh' kreatifitas, lagi-lagi disebabkan kurikulum yang mendiskriminasikan sastra sebagai materi sisipan dalam pelajaran Tata Bahasa. Jadi secara tidak langsung, bisa dipastikan kalau KBK yang diterapkan pemerintah hanya slogan atau lebih tepat bila dikatakan bohong. *** Saya mencoba berangan-angan, bahwa jadi guru bahasa dan sastra Indonesia dengan otoritas KBK sangatlah menyenangkan. Pertama-tama yang akan saya lakukan adalah, saya tidak akan jadi guru yang otoriter, yang disebut Paulo Frier, doktor Sejarah dan Filsafat di Universitas Receife, "Guru bercerita, murid mendengarkan; guru mendiktekan, murid mencatat; guru menentukan peraturan, murid diatur." Saya akan mengadopsi apa yang pernah saya lihat di SMA Al-Muthahari, Bandung dengan metode diskusi. Guru aktif berbicara, murid juga dipersilahkan bebas menginterupsi jika punya pandangan yang berbeda. Bahkan di Rumah Dunia lewbih bebas lagi. Hal yang pada zaman mutakhir ini sering disebut sebagai metode "accelerated learning"; yaitu cara belajar yang alamiah, yang akarnya telah tertanam sejak jaman kuno; begitu Dave Meier mengawali bab pertama buku The Accelerated Learning Handbook. Ingat film bioskop "Dead Poets Society"? Di sana digambarkan, bagaimana seorang guru bernama Keating, mengajak para siswanya berpikir dengan cara berbeda. Apakah untuk sekedar berbeda saja? Tidak. Tetapi bebeda dalam arti positif, berbeda untuk sesuatu yang lebih baik, bebeda agar tidak tergerus oleh kerasnya zaman untuk kemudian mati begitu saja. Pak guru Keating mengarahkan murud-muridnya untuk tidak memandang segala hal dari wujud fisiknya saja, ttapi lebih pada sesuatu yang dalam dan inti: kemanusiaan. Nah, saya ingin sekali para siswa saya kelak bisa berpikiran maju, tidak hanya jadi robot-robot pegnhapal teori. Saya akan mengatur strategi dengan langkah-lankah: 1) Membuat silabus materi pelajaran bahasa dan sastra perbulan, yang meliputi tata bahasa, jurnalistik dan sastra. Kenapa saya memasukkan jurnalistik? Karena jurnalistik juga menggunakan media bahasa. Dan bukankah metode jurnalistik dengan unsur berita 5W + 1H sangat ampuh diterapkan untuk pembelajaran sastra? Bagi saya, sastra adalah membaca buku (novel) dan membuat buku (pengarang). Di bulan pertama, saya akan mengajarkan tentang tata bahasa dan majas (gaya bahasa). Bulan kedua, saya akan memperkenalkan teori-teori dasar jurnalistik, terutama tentang unsur berita (5W + 1H ) dan nilai berita (CHOPPT ). Di bulan ketiga, saya akan menyuruh setiap siswa membaca novel (sastra serius atau populer) seminggu 1 buku. Setelah itu menerapkan teori jurnalistik itu ke dalam pelajaran mengarang. Aplikatif dari teori itu perlu. Kata Ibnu, kuncen Rumah Dunia, dalam "Andai Saya Guru Bahasa dan Sastra Indonesia" di majalah Matabaca menulis, "Teori itu jangan hanya mengawa-awang di langit, tapi harus membumi." 2) Jumpa penulis sangat perlu. Setiap semester, saya akan mengundang penulis profesional ke sekolah saya. Ini mudah. Tinggal menghubungi penerbit saja. Tentang siapa penulis yang akan didatangkan, saya tidak akan egois. Saya akan bertanya pada para siswa saja. Setelah ditentukan, saya akan meminta mereka iuran seorang Rp. 1000,- untuk honor si penulis. Dengan acara ini, saya yakin para siswa saya akan bisa merasakan proses kreatif si pengarang, spiritnya, suka-dukanya. Apa yang ditulis Gabriel Garcia Marquez ada di sini. Para siswa saya kelak, bisa membuka tabir misteri dari halaman demi halaman setiap buku, ketika bertemu dengan penulisnya. 3) Saya akan berkoordinasi dengan pustakawan yang menjaga perpustakaan sekolah. Saya akan meminta dia untuk tidak melarang para siswa membaca buku sambil tertawa-tawa. Bahkan yang mojok pacaran juga tidak apa-apa. Tentu saya akan menyuruh semua siswa untuk menyumbangkan buku non fiksi dan novel sastra populer atau sastra serius ke perpustakaan sekolah setahun 1 buku saja. Berarti dalam 3 tahun sekolah, setiap siswa menyumbangkan 3 buku. Silahkan dihitung saja. Dalam 1 tahun, koleksi buku perpustakaan sekolah akan bertambah sebanyak 3 kali jumlah siswa sekolah. Bisa ribuan buku! 4) Setiap bulan saya akan mengadakan lomba meresensi novel apa saja dengan hadiah voucher hand phone atau fast food. Caranya gampang saja. Saya akan meminta outlet-outlet handphone di kota saya untuk jadi sponsor. Atau saya akan menyebar proposal ke para angota dewan terhormat, agar mau menyumbang Rp.10.000,- saja perbulannya. Hitung-hitung zakat, infak, dan sedekah-lah. Jika ada 45 anggota dewan, berarti sudah terkumpul Rp.450.000,- Uang itu bisa digunakan untuk hdiah lomba. Lomba lainnya, menobatkan "Raja dan Ratu Perpustakaan Sekolah Bulan Ini". Hadiahnya, disesuaikan dengan situasi keuangan saja. *** Nah, berani mencoba? Saya yakin, jika pembelajaran bahasa dan sastra dibuat sebaik dan sesantai mungkin, para siswa juga akan dengan santai meyerapnya. Jangan ada lagi korban seperti saya, yang belajar bahasa dan sastra sepanjang hidup saya sekolah: SD, SMP, SMA, bahkan di Unpad, tapi tidak mendapatkan apa-apa. Bahkan saya memutuskan keluar dari Unpad, karena saya merasa tidak mendapatkan sesuatu yang mengajarkan saya untuk bisa jadi pengarang. Hal yang kemudian disadari oleh kawan-kawan saya, yang sekarang jadi dosen di Unpad. Mereka kini sedang berpikir keras, bahwa harus ada 1 mata kuliah yang pengajarnya adalah praktisi. Jika mata kuliah mengarang, dosennya adalah dosen tamu: pengarang! *** *) Gola Gong adalah novelis, dan pengelola Rumah Dunia. Dibacakan di Festival Seni Tangerang, Pemkot Tangerang, 26 Pebruari 2005. [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Give the gift of life to a sick child. Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks & Giving.' http://us.click.yahoo.com/lGEjbB/6WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/