Refleksi: Kalau RUU TNI mempunyai konterversi dalam pandangan untuk negara berdemokrasi berazaskan HAM adalah hal yang bukan lagi aneh bin ajaib dan asing dalam memcerminkan doktrin "dwi fungsi" sebagai faktor fiktif stabilisator dan dinamisator negara tetap dipertahankan.
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0408/05/opini/1190473.htm Kamis, 05 Agustus 2004 Kontroversi RUU TNI Oleh Rizal Sukma SETELAH sempat "menghilang" akibat kontroversi dalam masyarakat, RUU TNI kembali menjadi bahan pembicaraan hangat. Kalau sebelumnya perhatian publik lebih terfokus pada soal "Pasal 19", kali ini kontroversi yang muncul jauh lebih luas. RUU TNI itu dilihat sebagai naskah yang secara keseluruhan sarat dengan berbagai persoalan yang dapat mengganggu jalannya demokratisasi di Indonesia. Secara keseluruhan, RUU TNI itu tidak memberi road-map yang jelas bagi terwujudnya suatu TNI dengan peran, fungsi, dan kedudukan yang tepat dalam tatanan demokrasi. Bahkan, hampir semua pasal yang termuat dalam RUU TNI mengandung masalah dan mengundang pertanyaan. Namun, dari sejumlah persoalan yang ada, terdapat beberapa bagian dengan tingkat permasalahan yang cukup serius, baik secara politik maupun strategis-pertahanan. Tulisan ini ingin menunjukkan bahwa dari dua segi tersebut, RUU TNI memang memerlukan kritik dan masukan dari publik demi kebaikan Indonesia dan TNI sendiri. DARI segi politik, penerapan prinsip supremasi sipil dalam RUU TNI masih terasa kabur. Kekaburan itu, misalnya, terlihat dalam ketidaktegasan kedudukan TNI dalam hubungannya dengan Presiden. Pasal 4 RUU TNI menyebutkan bahwa "dalam penggunaan kekuatan militer, TNI berkedudukan di bawah Presiden". Rumusan ini mengesankan adanya pembatasan kewenangan Presiden atas TNI dan seolah-olah TNI berada di bawah kendali Presiden hanya dalam hal "penggunaan kekuatan" (gunkuat), namun belum tentu demikian dalam hal "pembinaan" dan "pembangunan" kekuatan (binkuat dan bangkuat). Kedudukan Panglima TNI di bawah Presiden juga berarti jabatan tersebut masih merupakan jabatan setara kabinet. Artinya, TNI tetap terlibat dalam proses kebijakan dalam tataran politik yang seharusnya murni merupakan kewenangan pemerintah. Seharusnya Panglima TNI sebagai pelaksana kebijakan pemerintah berada di bawah Menteri Pertahanan yang menurut Pasal 16 UU No 3/2002 tentang Pertahanan Negara berwenang untuk "menetapkan kebijakan tentang penyelenggaraan pertahanan negara" (Ayat 3) dan "merumuskan kebijakan umum penggunaan kekuatan TNI" (Ayat 5). Mekanisme bagi TNI untuk mewarnai kebijakan dapat dilakukan melalui kedudukan Panglima TNI sebagai anggota tetap Dewan Pertahanan Nasional yang dipimpin oleh Presiden. Melalui mekanisme ini, Pasal 15 Ayat (2) UU No 3/2002 menjamin keikutsertaan TNI untuk memberi masukan bagi Presiden dalam "menetapkan kebijakan umum pertahanan dan pengerahan segenap komponen pertahanan negara." Pasal-pasal yang mengatur hubungan DPR dan TNI juga problematik. Pasal 14 Ayat (2) menegaskan bahwa Presiden mengangkat dan memberhentikan Panglima setelah mendapat persetujuan DPR. Namun, dalam penjelasannya, kewenangan DPR itu dibatasi pada "alasan dan pertimbangan kuat tentang aspek moral dan kepribadian, dan tidak termasuk aspek-aspek kemampuan profesi." Ketentuan demikian jelas rancu karena keputusan DPR seharusnya juga didasarkan pada penilaian obyektif atas kemampuan profesi calon yang diajukan Presiden. Pembatasan itu juga mengesankan adanya ketidakpercayaan terhadap kemampuan DPR dalam menilai aspek-aspek profesionalitas militer. RUU TNI juga tidak mengatur hak, kewenangan, dan mekanisme oversight dari parlemen, yang sesungguhnya merupakan komponen penting dari prinsip supremasi sipil. Masyarakat juga khawatir RUU TNI dapat menghidupkan kembali praktik dwifungsi. Pasal 45 Ayat (1) memungkinkan prajurit untuk menduduki "jabatan tertentu dalam struktur departemen dan lembaga pemerintah nondepartemen" meskipun disertai dengan embel-embel "atas permintaan pimpinan departemen dan lembaga pemerintah nondepartemen" (Ayat 2). Dalam penjelasan memang disebutkan bahwa ketentuan tersebut dilaksanakan sesuai dengan peraturan pemerintah yang berlaku. Seharusnya ditegaskan pula departemen dan lembaga pemerintah non-departemen mana saja yang dapat diduduki oleh prajurit TNI. Terakhir, TNI masih ditempatkan sebagai entitas yang memiliki privilege dalam hal-hal yang berkaitan dengan pertahanan negara. Dalam Pasal 7 Ayat (2), misalnya, TNI ditempatkan sebagai "komponen utama dalam sistem pertahanan negara untuk menghadapi ancaman" tanpa ada kualifikasi mengenai sumber, bentuk, dan sifat ancaman yang akan dihadapi. Rumusan demikian mengabaikan peran komponen bangsa dan lembaga negara lainnya, yang oleh UUD 1945 Pasal 30 dijamin memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam usaha pertahanan negara. Lagi pula, Pasal 7 Ayat (2) UU No 3/2003 menegaskan bahwa TNI menjadi komponen utama sistem pertahanan negara hanya dalam menghadapi ancaman militer. Kemudian, Pasal 2 Ayat (2) yang menyebutkan bahwa dalam mengabdi dan membela kepentingan negara dan bangsa, TNI melakukannya secara sukarela. Padahal, sebagai alat negara, tugas mengabdi dan membela kepentingan negara dan bangsa merupakan suatu keharusan atau kewajiban. DALAM konteks strategis-pertahanan, kelemahan dari RUU TNI juga cukup menonjol. Pertama, RUU TNI tidak membuka ruang bagi kemungkinan terwujudnya modernisasi pertahanan, yang sejalan dengan dinamika ancaman, kemajuan teknologi, dan kemampuan negara. RUU TNI masih menganut doktrin perang rakyat (people's war), dan bukan pertahanan semesta (total defense) sebagai inti kekuatan pertahanan negara. Hal itu terlihat dalam Pasal 2 Ayat (1) mengenai kemanunggalan TNI dengan rakyat. Rumusan ini menjadi problematik ketika Pasal 8 Ayat (2c) menyebutkan upaya "mewujudkan kemanunggalan TNI dengan rakyat" itu dilakukan dengan "melaksanakan pembinaan teritorial sesuai dengan peran dan wewenang TNI". Ketidakjelasan mengenai kondisi yang disebut sebagai "kemanunggalan TNI dan rakyat" dalam RUU TNI itu mengaburkan fungsi dan tugas yang seharusnya dijalankan oleh TNI. Kedua, rumusan tugas TNI dalam Pasal 8 mengandung kerancuan dalam menjelaskan hubungan antartugas, yang menyebutkan TNI memiliki tiga tugas, yakni operasi militer untuk perang, operasi militer selain perang, dan pembinaan teritorial. Dari konteks doktrin pertahanan rakyat, konstruksi ini problematik karena pembinaan teritorial (binter) seharusnya merupakan aspek inheren bagi pengembangan kemampuan TNI dalam menjalankan operasi militer, baik untuk perang maupun selain perang, dan bukan sebagai kategori tugas yang terpisah dari kedua jenis operasi militer tersebut. Ketiga, penegasan atas kemanunggalan TNI dengan rakyat dan penempatan binter sebagai bagian tugas tersendiri, berimplikasi bagi pembakuan atas postur pertahanan nasional. Postur, yang terdiri dari kekuatan (strength), kemampuan (capability), dan gelar (deployment) bersifat dinamis. Pembakuan binter sebagai tugas TNI dalam perspektif doktrin perang rakyat jelas mempermanenkan komando teritorial (koter) sebagai wadah dan instrumen pelaksana binter. Pada gilirannya, pembakuan koter akan mempersulit pengembangan postur pertahanan yang sesuai dengan tantangan keamanan nasional dan kebutuhan pertahanan. Apabila kebutuhan akan modernisasi dan pembangunan postur pertahanan dibatasi oleh sebuah undang-undang, maka kemampuan pertahanan Indonesia tidak akan pernah beranjak maju dari sistem pertahanan yang mengandalkan kekuatan manusia (perang rakyat). DI samping kelemahan di atas, masih terdapat sejumlah kelemahan lainnya yang terlalu panjang untuk dibahas dalam tulisan ini. Misalnya, banyak rumusan yang tidak konsisten dengan ketentuan yang ada dalam UU No 3/2002. Hal ini antara lain terlihat dalam hal pemaknaan ancaman dan pembagian kewenangan antara presiden dan panglima. Yang juga menonjol adalah minimnya ketentuan mengenai hak-hak kesejahteraan prajurit. Misalnya, tidak ada ketentuan mengenai hak-hak pensiun, hak mendapatkan asuransi, dan tunjangan cacat. Melihat berbagai kelemahan di atas, pemerintah sebaiknya segera menarik kembali RUU tersebut dari DPR. Pemerintah sekarang sebaiknya menyerahkan kewenangan untuk menyusun RUU TNI tersebut kepada pemerintahan baru hasil pemilu September 2004. Kalau pemerintah tetap bersikukuh, sebaiknya DPR tidak memaksakan diri untuk menyelesaikan pembahasan sebelum tanggal 30 September 2004. Pembahasan terhadap sebuah RUU TNI yang begitu penting maknanya bagi masa depan demokrasi Indonesia, dan bagi kemajuan TNI sendiri, jelas membutuhkan waktu yang lebih lama. Yang berkepentingan terhadap RUU TNI bukan hanya TNI saja, tetapi juga seluruh bangsa. Oleh karena itu, konsultasi publik dan partisipasi masyarakat dalam menyampaikan pandangannya perlu didorong secara luas, bukan disikapi dengan umpatan "geblek" seperti yang dilontarkan KASAD Jenderal Ryamizard Ryacudu. Rizal Sukma Direktur Studi CSIS, Jakarta ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Give underprivileged students the materials they need to learn. Bring education to life by funding a specific classroom project. http://us.click.yahoo.com/4F6XtA/_WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/