http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=103866
Membangun Infrastruktur Ala Cina Oleh Lalu Mara Satria Wangsa Jumat, (25-02-'05) Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina, demikian yang selalu dikatakan oleh orang bijak. Melihat kinerja ekonomi yang ditunjukkan oleh Negeri Tirai Bambu tersebut, layaklah bila pemerintahan SBY mengikuti apa yang dilakukan oleh Pemerintah Cina dalam membangun ekonomi domestiknya.Cina sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar dunia berhasil menggerakkan ekonomi domestiknya dengan memberikan komitmen yang jelas pada prioritas pembangunan infrastruktur. Hasilnya, Cina merupakan negara di kawasan Asia yang paling banyak menyedot investasi asing dengan nilai sekitar 50 miliar dolar AS dari total 75 miliar dolar AS investasi asing yang masuk ke seluruh Asia. Kini, Cina tercatat sebagai negara yang tumbuh sangat cepat dan menjadi kekuataan ekonomi baru yang diperhatikan oleh seluruh dunia. Dan, selama sepuluh tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Cina dapat dipertahankan di atas rata-rata tujuh persen. Dengan masuknya Cina ke dalam World Trade Organization (WTO) pada 11 Desember 2001, perekonomian Cina semakin maju pesat. Prestasi yang dicapai Cina tersebut merupakan buah dari dilaksanakannya program reformasi ekonomi yang dimulai tahun 1978. Salah satu prioritas utama yang dilakukan Cina dalam memperbaiki kondisi ekonomi negaranya adalah dengan melaksanakan pembangunan infrastruktur. Ini dilakukan karena Pemerintah Cina menyadari infrastruktur ekonomi merupakan syarat utama dalam membangun perekonomian. Pada tahun 1978 total panjang jalan raya di Cina hanya 89.200 km, dan pada tahun 2002 meningkat tajam menjadi 170.000 km. Pada tahun 1988, jalan tol pertama dibuka dengan total panjang 185 km, sementara pada tahun 2001 sudah mencapai 19.000 km. Untuk pelabuhan, setidaknya saat ini Cina memiliki 3.800 pelabuhan angkut, 300 di antaranya dapat menerima kapal berkapasitas 10.000 MT. Tahun 2001, Cina menghasilkan tenaga listrik sebesar 14,78 triliun kwh. Dan, direncanakan pada tahun 2009, Cina bakal mengoperasikan PLTA terbesar di dunia yang menghasilkan tenaga listik sebesar 84,7 triliun kwh. Sementara, untuk saluran telepon (fixed line), pada tahun 2002 Cina memiliki 207 juta sambungan. Padahal, tahun 1989 hanya ada 5,68 juta sambungan. Sebuah studi terakhir menunjukkan bahwa negara-negara berkembang di Asia Timur membutuhkan lebih dari 200 miliar dolar AS per tahunnya selama 2006-2010 untuk membangun infrastrukturnya. Dari total kebutuhan tersebut, sebagian besar (80%) merupakan kebutuhan Cina dalam membangun infrastruktur (lihat, misalnya, mega proyek Three Gorges Dam, Kereta Api Super Cepat Beijing-Shanghai, dan sebagainya). * * * Kinerja ekonomi nasional pasca tumbangnya rezim Pak Harto sampai saat ini belum juga menunjukkan hasil optimal untuk menekan jumlah pengangguran dan penduduk miskin. Hal ini disebabkan belum berhasilnya ekonomi nasional tumbuh di atas 7 persen, sebuah angka yang sangat diperlukan untuk menekan pengangguran dan kemiskinan secara nasional. Seperti diketahui, dari 220 juta penduduk Indonesia, 40 juta di antaranya berada di bawah garis kemiskinan dan setiap tahunnya 2,5 juta calon pekerja baru memasuki pasar tenaga kerja. Meski demikian, kita optimis ekonomi nasional mengarah pada perbaikan yang sangat signifikan. Hal ini tercermin dari pertumbuhan ekonomi nasional pada tahun 2004 yang mencapai 5,13%, sebuah pertumbuhan tertinggi sejak krisis ekonomi melanda Indonesia pada tahun 1997. Selain itu, investasi dan ekspor tumbuh secara signifikan pula, masing-masing 15,8% dan 8,47%. Kontribusi investasi terhadap PDB mengalami kenaikan dari 18,9% pada tahun 2003 menjadi 20,1% pada tahun 2004. Sedangkan kontribusi ekspor terhadap PDB mencatat kenaikan dari 30,7% pada tahun 2003 menjadi 30,9% pada tahun 2004. Peningkatan di sektor investasi dan ekspor menunjukkan pertumbuhan ekonomi nasional tidak ditopang sepenuhnya lagi oleh sektor konsumsi, seperti tahun-tahun sebelumnya. Dengan pertumbuhan ekonomi sebesar itu, sepanjang tahun 2004, pemerintah berhasil menciptakan lapangan kerja bagi 2,3 juta pekerja, tapi masih jauh dari jumlah tenaga kerja yang masuk ke pasar sebesar 2,5 juta orang per tahun. Dan, tantangan untuk menciptakan lapangan kerja yang luas merupakan tantangan terbesar dalam pemerintahan Presiden SBY. Untuk memacu dan memicu investasi swasta, sebuah negara membutuhkan pra kondisi untuk membuat iklim investasi yang kondusif dan business friendly. Iklim investasi itu sendiri sejatinya merupakan rangkaian faktor-faktor khusus yang ada pada suatu lokasi. Faktor-faktor tersebut diharapkan mampu menciptakan peluang dan insentif bagi entitas bisnis dalam melakukan kegiatan usaha produktif, menciptakan lapangan kerja, dan mengembangkan usaha. Tapi peluang dan insentif tidak bisa hadir begitu saja. Peluang dan insentif tidak turun dari langit. Peluang dan insentif bagi suatu perusahaan harus diciptakan segenap komponen bangsa. Maka dalam konteks ini, peran pemerintah sebagai fasilitator sangatlah penting. Pemerintah dituntut melakukan regulasi dan deregulasi seperti yang dilakukan negara-negara kompetitor, Cina, Vietnam, Malaysia, Thailand dan negara-negara lain di Asia dalam menarik masuknya investasi. Bila tidak, Indonesia akan ditinggalkan oleh investor. Uang ibarat semut yang selalu mencari gula untuk tumbuh dan berkembang biak, tapi selalu menghindari genangan air. Melihat berbagai kebijakan yang telah ditempuh pemerintah, tampak jelas bahwa pemerintahan SBY menjadikan perbaikan iklim investasi sebagai fokus utamanya. Untuk beberapa hal, pemerintah sudah melakukan seperti meninjau kembali Peraturan Derah (Perda) yang menghambat investasi, meningkatkan daya saing industri dengan menciptakan grand design strategi industri nasional 20 tahun ke depan, menerbitkan berbagai peraturan pemerintah yang sangat business friendly di bidang perpajakan melalui reformasi perpajakan, menciptakan berbagai aturan tenaga kerja yang tidak memberatkan investor dan menciptakan kepastian hukum tidak hanya memberikan rasa aman dan nyaman bagi kehidupan 220 juta penduduk Indonesia, tetapi juga memberikan imbas positif bagi iklim investasi. Sementara di bidang politik, Indonesia sudah berhasil menciptakan citra positif di mata dunia internasional dengan berhasilnya Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden secara langsung meski itu membutuhkan waktu tujuh bulan. Selain membutuhkan iklim investasi yang kondusif, pemerintah perlu memperbaiki dan membangun infrastruktur baik, jalan, pelabuhan, listrik, telekomunikasi, rel kereta api, dan lain sebagainya untuk mendorong masuknya investasi ke Indonesia. Sebagai catatan pada tahun 1994/1995, panjang jalan yang rusak masih berkisar pada 109.820 km. Namun, hingga tahun 2003 ini panjang jalan yang rusak sudah mencapai hampir 170.000 km. Jalan lintas Sumatera yang panjangnya 2343,5 km dan Pantura yang panjangnya 1.172,2 km tingkat kerusakannya hingga saat ini sudah mencapai 25 persen dan 22 persen. Itu baru di bidang jalan, belum lagi di bidang pelabuhan, listrik, telekomunikasi, air bersih, dan lain sebagainya, Indonesia masih tertinggal jauh dibanding dengan Cina atau Malaysia. Sadar akan hal itu, Kantor Menko Perekonomian, Bappenas dan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) menggelar Infrastrucutre Summit dengan langsung menawarkan 91 proyek senilai 22,5 miliar dolar Amerika Serikat. Harus diakui pelaksanaan Infrastructure Summit ini merupakan yang pertama dalam sejarah pemerintahan Indonesia. Dengan menawarkan infrastruktur yang commercially viable kepada swasta diharapkan pemerintah dapat memiliki keleluasaan fiskal (fiscal space) untuk membangun proyek-proyek infrastruktur yang dinilai tidak commercially-viable, khususnya di daerah pedesaan dan daerah tertinggal. Dengan format ini maka apa yang dilakukan pemerintahan SBY dalam membangun ekonomi nasional dengan memprioritaskan pembangunan infrastruktur sudah tepat dan sesuai dengan resep-resep ekonom terkemuka. Kunci utama keberhasilan pembangunan ekonomi domestik dan peningkatan kemampuan kompetitif suatu bangsa terletak pada ketersediaan infrastruktur yang handal dan efisien. Sayangnya, apa yang dilakukan oleh pemerintahan SBY dalam pembangunan infrastruktur masih dilihat sebagai upaya untuk bagi-bagi proyek atau "bancaan" proyek. Padahal KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) terjadi karena tidak tersebar dan meratanya informasi. Dalam hal ini pemerintah sudah melakukan dengan benar dengan menyiapkan informasi proyek-proyek yang ditawarkan secara terbuka dan bisa diperoleh atau diakses oleh siapa pun juga melalui situs ataupun saluran media lainnya. Namun demikian informasi yang disajikan itu masih dirasakan belum lengkap, misalnya, apakah yang dibutuhkan pemerintah dalam membangun infrastruktur tertentu, pemerintah membutuhkan investor yang menyiapkan dana segar, penyuplai barang, pengerjaan konstruksi, ataukah pengerjaan konstruksi sekaligus membawa dana segar. Ini masih belum dijelaskan secara lengkap oleh pemerintah kepada publik. Selain itu, pemerintah belum mengemas satu informasi yang komprehensif kepada publik tentang, misalnya, dampak pembangunan infrastruktur terhadap penyerapan tenaga kerja. Juga dalam hal seberapa besar kontribusi pembangunan infratruktur dalam peningkatan PDRB regional dan nasional. Hal-hal seperti ini sepatutnya disampaikan oleh pemerintah sehingga dapat dipahami dengan jelas manfaat pembangunan infrastruktur oleh publik. Meski demikian kecurigaan tersebut harus dijadikan energi positif bagi pemerintah untuk melakukan hal-hal yang benar untuk memuaskan investor baik yang menang maupun yang kalah. Karena selama ini praktik-praktik yang memberikan fasilitas bagi investor tertentu sudah berlangsung lama. Kita sepakat pembangunan infrastruktur merupakan kunci utama dalam keberhasilan pembangunan ekonomi nasional, sekaligus mampu menciptakan lapangan kerja yang sangat luas bagi rakyat Indoensia. Dampaknya pada ekonomi pun sangat luas mengingat efek dominonya. Untuk bangkit seperti Cina, Indonesia perlu meningkatkan alokasi dana untuk pembangunan infrastrukturnya. Sebagai perbandingan saja, Cina membelanjakan 6.9% dari GDP-nya untuk membangun infrastruktur, bandingkan dengan negara berkembang lainnya yang rata-rata membelanjakan sekitar 6.3% (low income) dan 3.6% (middle income). Sementara kondisi Indonesia saat ini sudah jauh menurun ke angka sekitar 2% dari GDP. Kita berharap melalui pembangunan infrastruktur yang dicanangkan pemerintahan SBY dapat kembali pada tingkat 5% GDP, sama halnya dengan kondisi sebelum krisis. Keberhasilan Cina dalam membangun ekonomi domestiknya patut menjadi pelajaran kita bersama. Lantas, kenapa kita masih melihat pembangunan infrastruktur tidak berkaitan dengan penciptaan lapangan kerja, menekan jumlah penduduk miskin dan peningkatan kesejahteraan rakyat? Jadi, tidak salah bila apa yang dikatakan oleh orang bijak, kita ikuti pula dengan baik. *** (Penulis adalah pengamat sosial-ekonomi, tinggal di Jakarta). [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Take a look at donorschoose.org, an excellent charitable web site for anyone who cares about public education! http://us.click.yahoo.com/O.5XsA/8WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/