http://www.kompas.com/kompas-cetak/0502/28/opini/1579032.htm Senin, 28 Februari 2005
Cambuk Apartheid Melayu Oleh Tamrin Amal Tomagola DETAK-detak waktu kian cepat merambat, memasuki minggu terakhir batas waktu amnesti untuk tenaga kerja Indonesia ilegal di Malaysia untuk meninggalkan negeri itu. Namun, sebagian dari mereka tetap bergeming untuk berkemas pulang. Ancaman Perdana Menteri Malaysia Abdullah Ahmad Badawi bahwa Operasi (persuasif) Nasihat akan berakhir 28 Februasi, dan setelah itu, ".TKI ilegal yang tertangkap akan langsung diproses sesuai hukum (cambuk?) yang berlaku di Malaysia" (Kompas, 15/2) kelihatannya tidak terlalu diacuhkan. Seakan tak kenal jera oleh pengalaman dirajam dengan cambuk di masa lalu, pekerja Indonesia di bidang konstruksi-seperti dilaporkan (Liputan 6 SCTV, 20/2) sampai awal minggu ini-memilih tetap bertahan dan bermain kucing-kucingan dengan Pemerintah Malaysia. Yang lebih mencengangkan, rombongan tenaga kerja Indonesia (TKI) tetap mengalir ke perbatasan kedua negara, dalam kelompok besar maupun kecil. Seketat apa pun operasi bersama kedua pihak menutup berbagai celah jalur tikus di sepanjang perbatasan, arus pencari kerja kelihatannya akan terus menderas, khususnya ke Malaysia Timur. Apa yang mendasari arus migrasi tenaga kerja yang bersikeras menyongsong cambuk tetangga serumpun Melayu ini? Apartheid global dan regional Tsunami globalisasi yang dimotori lima kekuatan perubah utama (five prime movers of globalization)-modal, teknologi, informasi, birokrasi, dan ideologi-(Tomagola dalam MM Billah dkk, Kelas Menengah Digugat, 1993) meruntuhkan hampir semua sekat pembatas konvensional antarnegara. Tidak hanya lalu lalang modal, teknologi, dan perdagangan menjadi bebas marak, tetapi juga migrasi penduduk, khususnya pencari kerja, lintas batas kian mustahil dibendung (Kenichi Ohmae, The End of the Nation State: The Rise of Regional Economics, 1995). Ironisnya, negara-negara di bagian utara Bumi yang umumnya mempunyai tingkat perkembangan ekonomi tinggi, memperagakan sikap mendua yang diskriminatif. Di satu pihak terdorong kebutuhan untuk terus meluaskan pasar bagi produk industrinya, pemerintah di Eropa Barat, Amerika Utara, Jepang, dan Australia secara agresif mendorong agar semua halangan, tarif, dan nontarif, yang merintangi perdagangan bebas (freetrade) disingkirkan. Di lain pihak, secara bersamaan, mereka terus menolak dan mempersulit dengan berbagai cara, lalu lintas tenaga kerja antarnegara. Padahal, seperti ditegaskan Collinson (dikutip dalam Ramasamy dan Alatas, Globalization and Transnational Migration: The Malaysian State's Response to Voluntary and Forced Migration, 2004:4) proses globalisasi dan regionalisasi ekonomi pasti melahirkan global and regional migrants. Praktik penutupan tapal batas negara terhadap para migran ekonomi inilah yang dikeluhkan negara-negara Selatan sebagai praktik Apartheid Global. Di tingkat regional, Asia Timur dan Tenggara, Korea Selatan, Jepang, Shanghai dan Guandong di China daratan, Hongkong, Malaysia, Singapura, dan Australia juga terus berusaha menutup perbatasannya agar tidak dibanjiri tenaga kerja dari pelbagai wilayah miskin di kedua regio itu. Pemerintah negara-negara ini, terutama Australia, menerapkan politik imigrasi yang ketat terhadap migran ekonomi pencari kerja baik yang berdokumen maupun yang tidak. Saking ketatnya upaya penutupan perbatasan itu sehingga upaya itu patut dikategorikan sebagai praktik Apartheid Regional. Kebijakan amnesti Malaysia Paling kurang telah lima kali Pemerintah Malaysia memperpanjang jangka waktu amnesti terhadap TKI ilegal Indonesia. Tarik ulur kebijakan ini tidak semata-mata demi menjaga hubungan baik dengan tetangga serumpun. Taktik ini sebenarnya lebih banyak didikte tiga benturan dilematis antara berbagai kepentingan domestik Malaysia di bidang ekonomi, politik, dan sosial-budaya. Dilema pertama, di bidang ekonomi. Seperti diakui PM Badawi, Malaysia membutuhkan tenaga kerja asing. Sejak zaman kolonial, penjajah Inggris telah mendatangkan beribu pekerja perkebunan dari India dan China (Ramasamy dan Alatas, 2004:7-8). Sejak Malaysia mulai berjaya ekonominya sebagai salah satu dari the new southeast Asian economic tigers awal 1980, jumlah pekerja asing yang hanya sekitar 200.000 orang melesat menjadi sepuluh kali lipat menjadi dua juta pekerja hanya dalam waktu dua dekade. Derasnya arus migran pencari kerja ini adalah produk kombinasi lima faktor. Pertama, kemiskinan di daerah pengirim. Kedua, daya tarik peluang kerja di Malaysia. Ketiga, beroperasinya mafia pengerah tenaga kerja yang kian berkembang menjadi jenis usaha paling menggiurkan. Keempat, maraknya praktik pungutan liar dan korupsi di kalangan pejabat kedua pihak. Kelima, kebijakan menutup sebelah mata dari Pemerintah Malaysia terhadap arus pendatang haram. Menderasnya arus migran ekonomi ini mustahil berlangsung tanpa pembiaran dari Pemerintah Malaysia (ibid). Pembiaran itu dilakukan guna mengisi kekosongan tenaga kerja di bidang konstruksi, manufaktur, perkebunan, dan domestik rumah tangga. Dari jumlah ini, 60 persen adalah pekerja tanpa dokumen. Mereka datang terutama dari Indonesia, Filipina, dan Banglades. (Ramasamy dan Alatas, 2004:13). Bagi pengusaha Malaysia, biaya mempekerjakan TKI ilegal jauh lebih murah daripada biaya pekerja legal. Para pekerja tanpa dokumen ini amat rentan terhadap penangkapan, pemenjaraan sampai lima tahun, pencambukan enam kali dengan rotan atau denda 10.000 RM (ibid). Dilema kedua, kebutuhan politik sosial-budaya. Paling kurang ada dua kebutuhan politik dari pembiaran tenaga kerja asing di Malaysia. Pertama, saat sebelum Kebijakan Ekonomi Baru Malaysia diluncurkan. Menurut kedua penulis yang telah berulang dikutip di atas, penguasa Melayu mendorong terjadinya arus migrasi Muslim Indonesia dan Filipina untuk bekerja, dan bila mungkin, menetap di negeri itu demi menaikkan proporsi Muslim secara nasional. Kebijakan demi hegemoni Muslim ini diprotes kelompok agama lain di Malaysia. Protes keras itu khususnya datang dari partai politik berbasis China. Namun, protes itu sama sekali tidak diindahkan penguasa Malayu. Kebutuhan politik kedua, kebutuhan legitimasi politik. Dengan semakin membaiknya ekonomi, porsi kelas menengah Malaysia juga kian membesar. Pemerintah membutuhkan dukungan politik dari kalangan ini. Salah satu cara untuk mendapatkan legitimasi politik itu adalah dengan mendorong gaya hidup tertentu dari kelas menengah, yaitu: dengan mempunyai pembantu rumah tangga. Adanya pembantu rumah tangga dapat membebaskan perempuan karier kelas menengah dari beban domestik. Saat ini ada sekitar 100.000 pembantu rumah tangga dipekerjakan di kalangan kelas menengah Malaysia. Mereka umumnya berasal dari Indonesia dan Filipina. Dilema terakhir, Pemerintah Malaysia kian mendapat tekanan publik domestik untuk mengurangi tenaga kerja ini, khususnya yang ilegal, karena tiga sebab. Pertama, kehadiran dua juta tenaga kerja ini cukup membebani pemerintah dalam penyediaan berbagai fasilitas umum. Kedua, media massa kian gencar memberitakan berbagai penyakit sosial dan keamanan yang diduga melibatkan para pekerja asing. Ketiga, penerapan kebijakan imigrasi yang keras dari Pemerintah Malaysia untuk menunjukkan bahwa pemerintah amat serius dalam melindungi kepentingan nasional. Solusi mendasar Dihadapkan pada tiga dilemma ini, Pemerintah Malaysia memutuskan untuk memilih taktik kebijakan tarik ulur perpanjangan amnesti sebagai cara kompromi paling aman. Taktik ini sebetulnya sama sekali tidak memecahkan akar masalah terutama dalam jangka panjang. Bila jujur, harus diakui, tsunami migrasi global dan regional mustahil dibendung. Terintegrasinya ekonomi regional secara total mengharuskan terintegrasinya pasar tenaga kerja regional. Hilangkan semua halangan atas lalu lintas barang, jasa, modal, teknologi, dan tak kalah penting, bebas bergeraknya tenaga kerja lintas batas dalam lingkup ASEAN tanpa halangan apa pun kecuali pertimbangan terorisme regional. Tamrin Amal Tomagola Sosiolog ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Help save the life of a child. Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks & Giving.' http://us.click.yahoo.com/mGEjbB/5WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/