Suara Karya 28/2/2005 Kenaikan Harga BBM dan Kesejahteraan Rakyat Oleh Yusuf Ari Kusmanto
Senin, (28-02-'05) Pemerintah melalui Menteri Komunikasi dan Informasi Sofyan Djalil, beberapa waktu belakangan ini sibuk mensosialisasikan alasan kebijakan kenaikan harga BBM (bahan bakar minyak) mulai awal Desember 2004. Rencananya, kebijakan tersebut akan disusul kenaikan harga komponen BBM, seperti bensin, solar, dan minyak tanah pada awal Maret 2005. Alasan atau bahasa apologetis pemerintah yang "nekad" membuat kebijakan apopulis tersebut, antara lain sebagai berikut. Pertama, kenaikan harga BBM dalam rangka mengurangi defisit APBN sebesar Rp 72 trilun per tahun yang selama ini diperuntukkan untuk mensubsidi BBM. Yakni, subsidi yang bagi pemerintah dianggap menguntungkan kelompok masyarakat menengah ke atas serta menyebabkan ketergantungan rakyat atas proteksi pemerintah. Kedua, bagi pemerintah penghapusan subsidi BBM secara bertahap dan kebijakan menaikkan harga BBM tahun 2004-2005 hingga mencapai 75% merupakan langkah strategis untuk menyelamatkan kondisi Pertamina dari kebangkrutan akibat naiknya harga dasar minyak dunia. Ketiga, kebijakan kenaikan harga BBM akan diimbangi dengan crash program pemberian kompensasi berupa dana bantuan pengganti biaya kenaikan BBM bagi rakyat miskin, dalam bentuk beasiswa pendidikan, voucher pengobatan murah, dan sebagainya. Namun argumentasi "membela diri" pemerintah yang didukung oleh kalangan praktisi atau teoritisi ekonomi yang memiliki paradigma neoliberal (pro pasar), tetap saja tidak menggemingkan tekad, nurani berbagai komponen civil society untuk terus menggelar aksi unjuk rasa dan berbagai bentuk protes sosial. Bagi komponen civil society yang menolak kebijakan kenaikan harga BBM -- sampai kapan pun -- memiliki dasar argumentasi yang beragam. Ada yang berargumen bahwa kebijakan kenaikan harga BBM tidak konteks dengan situasi di mana rakyat kebanyakan masih berada dalam garis kemiskinan. Kenaikan BBM tidak tepat karena akan ber-multiplier effeck pada kenaikan harga bahan pokok, serta kenaikan BBM dianggap sebagai akibat kebangkrutan Pertamina karena banyaknya praktik korupsi yang membuat in-efesiensi dan menguras aset keuangan perusahaan minyak nasional itu. Padahal Pertamina, selama 3 dekade cukup meraih keuntungan besar dari ekspor minyak ke luar negeri. Namun keuntungannya diduga dipakai oleh elite politik "masa lalu" sebagai modal mendirikan kongsi bisnis raksasa. Kebijakan Neo-liberal Kebijakan kenaikan harga BBM sebagai konsekuensi penghapusan subsidi BBM, juga dikritisi oleh berbagai komponen gerakan mahasiswa dan Ornop sebagai bentuk kebijakan ekonomi-politik neo-liberal. Kebijakan kenaikan harga BBM, sepaket dengan kebijakan privatisasi perusahaan negara, rescheduling utang luar negeri, liberalisasi impor, dan sebagainya yang di akhir 1997 dianjurkan oleh IMF melalui kesepakatan LoI (Letter of Intent). Anjuran IMF yang dikenal sebagai model kebijakan SAP (Structural Adjusment Policy) tersebut dipraktikkan oleh pemerintahan Soeharto, Gus Dur, Mega dan SBY sampai sekarang ini. Kebijakan neo-liberalisme sendiri memiliki inti makna, penghapusan campur tangan negara (baca: pemerintah) dari segala kebijakan menyangkut perkembangan dan dinamika ekonomi pasar dan sektor privat (swasta) dengan mendukung proses liberalisasi perdagangan global yang bebas dari proteksi dan subsidi negara atas kemampuan ekonomi rakyatnya. Kebijakan neoliberalisme mendogmakan tuntutan "ekonomi-politis" bagi negara yang masih memproteksi kehidupan ekonomi masyarakatnya, dengan program penghapusan subsidi, pro-privatisasi, serta pro-liberalisasi impor. Indonesia, yang termasuk negara yang berpaham ekonomi "kerakyatan" sesuai mandat konstitusi, UUD'45 (dalam amandemen) Pasal 33 sebenarnya secara filosofis kenegaraan menolak arus neo-liberalisme. Namun paradigma kekuasaan, yang didominasi kalangan pengusaha, tentara, birokrat, dan ekonom cenderung pro terhadap "ideologi" ekonomi neo-liberalisme. Asumsi para "aristokrat" kekuasaan adalah bahwa laju perdagangan bebas dan konstruksi "ideologisnya" -- globalisasi -- tidak bisa dihindari dan sistem ekonomi nasional harus, built-in terhadap pasar bebas dan liberalisasi global. Apalagi negeri ini, termasuk bagian dari organisasi kerjasama ekonomi internasional, sebagai anggota GATT, APEC, WTO, IMF, dan sebagainya. Namun paradigma neo-liberal yang mulai deras diimplementasikan dalam kebijakan ekonomi-politik semenjak fase akhir kekuasaan Soeharto di tahun 1997 hingga awal kepemimpinan pemerintahan SBY-JK sebenarnya telah "menguras" aset ekonomi nasional dan justru semakin mempurukkan ekonomi masyarakat. Ada beberapa fakta "sosial", yang bisa direferensikan: Pertama, kebijakan restrukturisasi Perbankan yang dianjurkan IMF sebagai langkah memperbaiki kinerja Perbankan nasional yang collaps sebelum diprivatisasi, telah menguras anggaran negara sebesar Rp 600 triliun dalam paket kredit BLBI. Ironisnya, dana tersebut banyak dikorup bankir bermasalah, yang tidak "tersentuh" hukum. Kedua, kebijakan pemerintah transisi Gus Dur-Mega yang meminta tambahan utang luar negeri kepada IMF dan CGI untuk menutup defisit APBN sepanjang tahun 2000-2003 telah menaikkan kuantitas utang luar negeri sebesar Rp 1.500 triliun. Dan, pola pembayaran utang luar negeri yang dibebankan pada pos pengeluaran APBN setiap tahunnya telah menguras pendapatan negara lebih dari Rp 80 triliun per tahun. Padahal utang luar negeri tersebut merupakan "utang najis" (odius debt) Orde Baru, yang banyak kebocoran karena megalomia korupsi elite politik. Ketiga, kebijakan privatisasi berbagai perusahaan negara dan swasta nasional -- termasuk perbankan -- yang telah dilegalisasi "sehat" oleh BPPN ternyata membawa kerugian besar bagi negara, karena dana penyehatan tersebut jauh lebih besar dari harga jualnya. Keempat, kebijakan privatisasi sektor publik seperti bidang kesehatan, pendidikan telah memacu komersialisasi dan menjulangnya harga fasilitas pendidikan dan kesehatan yang semakin tidak terjangkau oleh masyarakat miskin. Logika Sederhana Aksi, protes, demonstrasi penolakan kebijakan kenaikan harga BBM boleh jadi akan terus menggulir pada awal 2005 dan berpotensi memunculkan social resistency masyarakat sipil terhadap negara (pemerintah). Masyarakat sendiri sebenarnya memiliki argumentasi rasional, mengapa mereka terus menolak kebijakan kenaikan harga BBM "sampai kapan pun"? Sampai kapan pun, di sini memiliki makna, sampai kondisi kesejahteraan rakyat memadai untuk membayar social impact kenaikan harga BBM. Argumentasi masyarakat yang menolak kenaikan BBM adalah sebagaai berikut: Pertama, masyarakat beranggapan bahwa kenaikan harga BBM yang konon untuk mengurangi defisit APBN setiap tahun dan menyelamatkan Pertamina dari kebangkrutan adalah tidak masuk akal. Karena sebenarnya, 80% pos pengeluaran APBN selama ini diperuntukkan untuk membayar utang luar negeri, serta belanja gaji pegawai. Bagi masyarakat awam dan kalangan massa mahasiswa sebenarnya sudah selayaknya negara (pemerintah) mensubsidi BBM rakyatnya sebagai konsekuensi masyarakat yang terus dikenai pajak progresif setiap hari/tahun/bulan di segala bidang. Demikian bagi masyarakat dan mahasiswa adalah rasional jika negara menyejahterakan rakyatnya dalam bentuk subsidi sosial, karena negara bukanlah mencari keuntungan dari rakyat. Alasan menyelamatkan Pertamina dari kebangkrutan adalah "penyesatan" opini publik. Mengingat selama 3 dekade ini Pertamina selalu diuntungkan oleh aktivitas ekspor minyak mentah Indonesia ke luar negeri, dan "kemakmuran" elite pejabat Pertamina begitu luar biasa dibanding rakyat kebanyakan. Pertamina bagi masyarakat bangkrut karena megalomania korupsi sebegaimana institusi ekonomi lain seperti Bulog. Kedua, masyarakat dan mahasiswa menolak kenaikan harga BBM karena kenaikan harga BBM akan mendorong kenaikan harga bahan pokok kebutuhan masyarakat. Dan, struktur harga bahan pokok msyarakat selama ini tidak stabil karena pemerintah tidak serius dalam mensubsidi biaya dasar kebutuhan bahan pokok -- seperti sembako -- masyarakat. Ketiga, kenaikan BBM yang konon karena pemerintah enggan lagi membayar subsidi BBM dianggap sebagai bentuk kebohongan publik. Menyitir analisis Kwik Kian Gie, yang menganggap "subsidi" BBM oleh pemerintah sesungguhnya tidak lebih dari selisih harga minyak mentah dalam negeri yang akan diekspor dengan harga BBM internasional yang justru diimpor oleh negara ini. Masyarakat selain berargumentasi "rasional" menolak kenaikan harga BBM di atas juga memiliki dalil umum, bahwa kenaikan harga BBM akan memicu kenaikan harga serta akan mempurukkan tingkat kesejahteraan sosial mereka yang selama ini tidak meningkat. Pula, kenaikan BBM akan mendorong maraknya praktik korupsi yang tidak jua bisa "diberantas". Para birokrat bawahan yang hidupnya pas-pasan akan semakin intens "berjamaah" korupsi, karena dililit oleh kebutuhan pokok yang harganya merambat naik. Demikian dana kompensasi BBM untuk rakyat miskin juga berpotensi terkorupsi, karena budaya korupsi telah benar-benar menjadi "kultur" dan jiwa bangsa ini. Solusi Rakyat Masyarakat dan mahasiswa -- serta komponen civil society lainnya -- memiliki solusi "politik" yang diajukan jika pemerintah memang serius ingin menyejahterakan rakyat dan justru tidak men-tidaksejahterakan-rakyat melalui kebijakan penghapusan subsidi BBM, ada beberapa solusi "sederhana" rakyat yang bisa ditangkap dari bahasa pesan dalam poster/ orasi/graffiti action/selebaran para demonstran yang masuk akal. Pertama, jika dalih kenaikan harga BBM karena menghemat defisit APBN sebesar Rp 7, 2 trilun per bulan, kenapa pemerintah tidak tegas memberantas korupsi dan menyita aset para koruptor kelas kakap yang konon asetnya total mencapai lebih dari Rp 1.000 triliun? Bukankah mereka selama ini telah "menguras" dana negara untuk mendirikan kongsi bisnis keluarga dan "konco-konco"-nya? Kedua, jika dalih kenaikan harga BBM untuk menghemat APBN agar bisa selekasnya pemerintah (negara) melunasi utang luar negeri, beberapa tahun ke depan, mengapa pemerintah Indonesia tidak mencontoh Meksico, Argentina yang menuntut penghapusan utang luar negeri? Bagaimanapun utang tersebut sebenarnya telah dikompensasi dengan konsesi pengeksploatasian SDA dan SDM negeri ini oleh negara-negara donor dan lembaga donor. Ketiga, jika kenaikan harga BBM konon untuk menutup defisit APBN kenapa pemerintah tidak berani memotong gaji para elite birokrat dan politik yang sesungguhnya telah menyedot 60% pos pengeluaran negara? Jika gaji mereka dipotong akan didapat setidaknya Rp 3 triliun per bulan. Jika korupsi bisa diberantas, penerimaan negara akan bertambah Rp 10 triliun per bulan. Bukankah cukup untuk mensubsidi BBM rakyat, yang sesungguhnya bukan "subsidi"? Andaikata pemerintah menolak solusi sederhana rakyat yang demikian, dengan alasan terlampau membahayakan "eksistensi" pemerintahan dan akan membuat kegoncangan struktur ekonomi-finansial negara yang masih dependen terhadap rezim ekonomi global, maka penolakan terhadap kebijakan kenaikan harga BBM akan terus mengemuka. Sampai kapan? Sampai kesejahteraan ekonomi rakyat menjadi realitas dan bukan imaji? *** (Penulis adalah aktivis Komite Mahasiswa Pemuda Untuk Perubahan, kuliah di UNS Solo, Jawa Tengah). ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Give underprivileged students the materials they need to learn. Bring education to life by funding a specific classroom project. http://us.click.yahoo.com/4F6XtA/_WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/