http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=766

 Achmad Chodjim:

Agama Adalah Jalan Hidup, Bukan Alat Penguasaan

Tanggal dimuat: 21/2/2005

Tak selamanya Islam dapat berkembang menjadi basis moral yang menuntun 
umatnya ke arah hidup yang lebih baik. Islam dan agama apapun, ada kalanya 
justru berkembang sebagai identitas sektarian, serta alat kekuasaan dan 
penaklukan atas otonomi dan kebebasan masyarakat. Tren seperti itu selalu 
terjadi, baik di masa Siti Jenar maupun di era sekarang. Itulah antara lain 
refleksi keagamaan Achmad Chodjim, pegawai sebuah perusahaan Jepang di 
Jakarta, yang telah banyak menulis buku tentang aspek-aspek esoteris dalam 
Islam.

Tak selamanya Islam dapat berkembang menjadi basis moral yang menuntun 
umatnya ke arah hidup yang lebih baik. Islam dan agama apapun, ada kalanya 
justru berkembang sebagai identitas sektarian, serta alat kekuasaan dan 
penaklukan atas otonomi dan kebebasan masyarakat. Tren seperti itu selalu 
terjadi, baik di masa Siti Jenar maupun di era sekarang. Itulah antara lain 
refleksi keagamaan Achmad Chodjim, pegawai sebuah perusahaan Jepang di 
Jakarta, yang telah banyak menulis buku tentang aspek-aspek esoteris dalam 
Islam. Kepada Ulil Abshar-Abdalla dari KIUK, lulusan IPB yang telah menulis 
buku Syekh Siti Jenar, Islam Esoteris, dan Mistik dan Makrifat Sunan 
Kalijaga, itu mengungkap pergulatan imannya, Kamis (10/02) kamarin. Berikut 
petikannya.

ULIL ABSHAR-ABDALLA: Pak Chodjim, Anda telah mengarang beberapa buku agama, 
terutama aspek-aspek yang esoterik Islam. Mengapa Anda tertarik pada 
aspek-aspek yang bersifat mistikal atau esoteris dalam agama?

ACHMAD CHODJIM: Sejauh pengamatan saya, ada pemahaman yang keliru selama ini 
tentang kaitan antara unsur yang mistis atau makrifat dalam agama dengan 
kehidupan nyata. Ketika orang menceburkan diri ke dalam khazanah mistik, 
seolah-olah dia akan menjadi orang terasing, hidup di awang-awang, dan 
memisahkan diri dari hidup yang ramai. Maka saya lalu coba mencari tokoh 
yang sangat intens bergaul dengan manusia lain, sekaligus seorang mistikus. 
Di situlah saya berjumpa dengan sosok Syeh Siti Jenar dan Sunan Kalijaga. 
Kebetulan, kedua tokoh itu asli Indonesia, dari tanah Jawa, dan akrab dengan 
budaya lokal.

ULIL: Mengapa memilih Siti Jenar, sosok kontroversial yang oleh Walisongo 
dianggap penyebar aliran sesat, kurang tepat, dan tuduhan lainnya?

CHODJIM: Saya menyadari, selama masa Orde Baru, orang Indonesia sangat 
alergi mendengar nama Siti Jenar. Belum-belum sudah muncul statement bahwa 
dia adalah wali yang sesat, melawan arus, mbalelo, dan seterusnya. Bagi 
saya, situasi semacam itu tidak bisa kita biarkan. Kita harus mampu mendidik 
masyarakat secara terbuka. Kalau Siti Jenar dianggap sesat, kita mesti tahu 
di mana letak sesatnya. Mungkin saja dia justru orang yang berusaha membuka 
cakrawala kehidupan secara lebih luas. Hanya karena sudah ada cap sesat yang 
tergesa-gesa, orang tidak pernah mengenal pola atau alam pikirannya secara 
tepat.

Bagi saya, selama ini kita lebih banyak "mendengar" dari pada "tahu" tentang 
Siti Jenar ataupun Sunan Kalijaga. Kita mendengar cerita sana-sini, tapi 
sebenarnya tidak tahu. Banyak juga yang menulis buku tentang Siti Jenar 
selama ini, tapi umumnya yang ditulis hanya berupa kisah, hanya 
cerita-cerita. Sementara soal doktrinnya hampir tidak ada yang mau 
membahasnya. Selama ini, orang mengenal Sunan Kalijaga sangat intens 
bergumul dengan kebudayaan, tapi orang tidak pernah tahu reasoning-nya atau 
alasan mengapa dia intens bergulat dengan budaya.

ULIL: Sejak kapan Anda menaruh perhatian terhadap tokoh-tokoh seperti Siti 
Jenar dan Sunan Kalijaga?

CHODJIM: Dimulai ketika masih kecil. Bagi saya yang terlahir sebagai orang 
Jawa Timur, tepatnya Surabaya, cerita-cerita tentang Sunan Kalijaga, Sunan 
Ampel, dan lainnya, sudah sangat akrab sejak saya masih kecil. Saya dulu 
sering nonton ludruk maupun ketoprak. Dan di situ pasti ada lakon tentang 
Siti Jenar. Nah, melalui refleksi pengalaman hidup sendiri, saya kemudian 
mulai bertanya: mengapa cuma cerita-cerita saja? Apa betul cerita itu 
sebagaimana adanya? Jangan-jangan cerita-cerita itu tidak ada 
juntrungannya?!

ULIL: Bagi Anda, apa ajaran Siti Jenar yang masih relevan untuk saat ini dan 
jarang dikenal banyak orang khususnya dalam soal agama dan makna 
keberagamaan?

CHODJIM: Makna agama dalam refleksi hidup Siti Jenar tidak begitu terkait 
dengan soal-soal seperti ibadah murni. Misalnya, dia menerjemahkan makna 
salat sebagai "kewajiban orang muslim dalam konteks hubungannya dengan 
Tuhan." Namun demikian, seseorang sudah bisa dianggap salat bila aktivitas 
hidupnya (seperti bertani atau apapun) selalu dilandasi oleh rasa ingat akan 
Tuhan.

ULIL: Semacam eling, begitu?

CHODJIM: Ya. Tapi eling itu sekadar kepercayaan. Yang diinginkan Siti Jenar, 
semua tindakan real kita antar sesama manusia, harus merupakan wujud dari 
refleksi keimanan kepada Tuhan. Siti Jenar juga beda dalam menerjemahkan 
makna zakat. Menurutnya, zakat tidak harus fokus pada pengeluaran 2,5 % dari 
harta yang kita punya. Ketika seseorang merasa punya harta dan menemukan 
orang yang patut dibantu, maka dia harus segera keluarkan sebagian hartanya. 
Itulah yang dia sebut zakat. Jadi, zakat baginya tidak bergantung pada waktu 
(setahun sekali atau haul) dan jumlah (volume yang mesti dikeluarkan 
sebagaimana ketentuan formal fikih).

ULIL: Kalau Anda ringkaskan, apa pokok soal yang membedakan pandangan 
keagamaan Siti Jenar dengan umumnya umat Islam?

CHODJIM: Kalau kita giat menelaah pandangan-pandangan keagamaan Siti Jenar 
dan Sunan Kalijaga, kita akan menemukan bahwa agama bagi mereka merupakan 
basis moral kehidupan. Untuk itu, tingkah laku, perbuatan dan tindakan 
seseorang, baik untuk dirinya sendiri maupun lingkungannya, haruslah 
merupakan perwujudan dari penghayatan keagamaan. Sementara umumnya 
masyarakat selalu menganggap agama dalam bingkai tersendiri. Makanya, kadang 
kita melihat masjid penuh terisi, tapi korupsi tetap bersemi. Masjid penuh 
terisi, pencuri bisa lari di mana-mana. Nah, kondisi seperti itulah yang 
tidak dikehendaki Siti Jenar maupun Sunan Kalijaga.

ULIL: Pak Chodjim, Anda pernah mengecap pendidikan di IPB, bukan di 
perguruan tinggi agama. Mengapa Anda punya minat dan perhatian begitu besar 
terhadap masalah agama?

CHODJIM: Memang agak aneh, karena di IPB saya belajar pertanian. Kita tahu, 
bukan hanya di IPB, tapi di semua universitas-terutama yang memiliki 
fakultas sains-soal agama bukan perhatian utama. Namun dalam 
perkembangannya, banyak sekali kalangan agamawan yang begitu intensif 
berusaha menerobos fakultas-fakultas ini. Makanya, ada orang yang terbawa 
arus besar islamisasi kampus, dan ada juga yang justru prihatin akan arus 
besar itu. Terus terang, saya termasuk yang prihatin akan arus besar itu. 
Makanya, dengan jernih saya selalu berusaha membedakan antara bagaimana 
mestinya beragama, dan bagaimana belajar untuk mendapat ilmu yang saya tuju. 
Jadi saya tidak terbawa arus.

ULIL: Apakah minat Anda pada kajian agama berkembang selama di IPB?

CHODJIM: Selama di IPB, saya lebih memfokuskan diri untuk belajar ilmu 
pertanian. Prinsip itu tentu sudah absolut. Hanya saja, supaya tidak 
ketinggalan isu, waktu-waktu senggang saya gunakan untuk menelaah kembali 
cerita-cerita tentang Siti Jenar dan lainnya. Buku-buku babad yang selama 
ini asing, saya beli dan pelajari. Jadi saya mempelajari dua tokoh itu 
secara otodidak dan mencari sendiri bahan-bahannya.

ULIL: Pak Chodjim, kini kegiatan agama di kampus-kampus sekuler marak 
sekali. Bagaimana Anda melihat gejala ini menurut wawasan Islam yang 
esoteris Siti Jenar?

CHODJIM: Bagi saya, dalam hidup ini kita tidak pernah bisa lepas dari tren 
yang terjadi di dalam masyarakat. Ketika saya masuk IPB sekitar tahun 
1980-an, tren Usrah cukup menguat, meski belum sampai seperti tahun 1990-an. 
Hanya saja, pada masa itu mereka belum bisa melakukan kooptasi seperti yang 
bisa kita lihat sekarang ini. Makanya, dalam pergaulan sehari-hari di 
kampus, friksi-friksi belum terlalu timbul meski perbedaan pandangan tetap 
ada. Konflik juga belum timbul, sekalipun potensinya ada. Potensinya disebut 
ada, karena masing-masing orang selalu ingin mempertahankan kebenaran 
versinya sendiri. Padahal, kita mestinya bisa membedakan antara kebenaran di 
tingkat intelektual dan kebenaran di tingkat realitas. Jangan sampai 
kebenaran di tingkat intelektual mematikan kebenaran pada tingkat realitas. 
Umpamanya, orang yang berpandangan A benar, pada tingkat realitas mungkin 
belum tentu nyata. Tapi kebenaran intelektual itu kemudian dipaksakan untuk 
benar juga pada tingkat realitas. Akhirnya terjadilah kekerasan yang tidak 
kita inginkan.

ULIL: Dari sudut padang Islam esoteris, apa yang kurang tepat dari pandangan 
keagamaan yang berkembang di kampus-kampus sekuler saat itu?

CHODJIM: Pada masa itu, saya menyaksikan agama yang dikampanyekan tidak 
sebagai basis moral kehidupan, tapi lebih bernuansa politis. Berdirinya 
Usrah waktu itu menurut saya tidak bisa dilepaskan dari jangkauan-jangkauan 
politis dan kekuasaan. Maksudnya, berdirinya mereka sebetulnya lebih 
bertujuan politik ketimbang semata-mata untuk tujuan agama. Mungkin karena 
itulah mereka lebih mudah berfriksi dengan kelompok-kelompok lain.

ULIL: Kalau dikaitkan dengan pemikiran Siti Jenar, bagaimana Anda melihat 
pola keberagamaan di kampus-kampus kini?

CHODJIM: Dari hasil pengamatan saya, Siti Jenar lebih menekankan pola 
kehidupan keagamaan yang lebih bernuansa merdeka. Dia tidak ingin dikuasai 
orang lain dan terus menerus menyerukan agar orang lain juga tidak berambisi 
menguasai orang lain. Makanya dia berontak terhadap kekuasaan Demak di 
masanya, karena dia tidak mau mengikuti satu pakem tertentu, baik dalam 
beragama ataupun pola kekuasaan. Bagi Siti Jenar, agama merupakan jalan 
hidup, bukan alat kekuasaan dan penguasaan. Agama baginya menuntut orang 
untuk menjalani hidup yang benar dan bahagia. Kalau kita telaah lebih jauh, 
banyak sekali ajaran-ajaran Siti Jenar yang menyinggung soal hak dan 
kemandirian manusia.

ULIL: Apakah Siti Jenar juga punya pandangan keagamaan yang menekankan soal 
kemerdekaan manusia?

CHODJIM: Ya. Bahkan pandangannya dalam soal itu bisa dikatakan jauh melompat 
ke depan. Soal hak kemandirian ada dalam pelajaran Siti Jenar tentang 
pribadi. Ajarannya tentang pribadi, dalam ukuran zaman sekarang hampir sama 
dengan ajaran filsafat eksistensialis. Padahal, filsafat eksistensialis masa 
kini justru digunakan untuk wacana bantahan atas filsafat rasionalis zaman 
Kant, atau filsafat Kantian dan Cartesian.

Siti Jenar juga mengajarkan manusia untuk hidup secara nyata, tidak di dalam 
ilusi. Makanya Siti Jenar pernah melontarkan kritik yang lebih kurang 
berbunyi: "Jangan-jangan pikiran Anda hanyalah buah dari ilusi Anda pribadi, 
bukan betul-betul buah dari rasa ingat pada Tuhan!"

ULIL: Kenapa dia melontarkan kritik seperti itu?

CHODJIM: Karena banyak sekali orang yang pada masa itu, di awal perkembangan 
Islam di bawah kekuasaan Raden Fatah, yang sangat intensif melakukan zikir 
di masjid-masjid sebagai wujud dari angan-angan atau ilusi dalam kehidupan. 
Itu semua tidak terkait dengan praktik nyata kehidupan, seperti bagaimana 
usaha untuk bisa hidup lebih mandiri. Nah, yang diinginkan Siti Jenar 
adalah: orang boleh berzikir, tetapi tidak semata-mata karena itu dianjurkan 
di bawah otoritas tertentu dan karena orang beragama dituntut untuk begini 
dan begitu.

Zikir yang diinginkan Siti Jenar adalah yang membuat orang bisa hidup dengan 
benar. Jadi dia selalu mengaitkannya dengan hidup secara benar. Bagi Siti 
Jenar, sungguh suatu nista bila seseorang terlihat bersembahyang dan 
berdzikir, tapi masih mencuri, memaksa, dan berhasrat tinggi untuk menguasai 
orang lain. Saya kita, ajaran seperti itu cukup relevan dengan kehidupan 
keagamaan kita saat ini. Sebab kini, kita menyaksikan agama cenderung 
digunakan sebagai alat politik untuk menguasai orang lain, atau untuk 
memaksakan kebenaran sendiri-sendiri.[] 



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Help save the life of a child.  Support St. Jude Children's Research Hospital's
'Thanks & Giving.'
http://us.click.yahoo.com/mGEjbB/5WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke