REPUBLIKA
Sabtu, 26 Maret 2005

Konservatisme Pemeriksaan Keuangan Negara 
Oleh : Arifin P Soeria Atmadja
Guru Besar Hukum Anggaran Negara dan Keuangan Publik Fakultas Hukum Universitas 
Indonesia



Membaca tulisan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan RI Baharuddin Aritonang dalam 
Republika (7 Maret 2005) yang berjudul BPK dan Pemeriksaan BUMD, ada beberapa 
hal yang perlu ditanggapi sekaligus diluruskan untuk memberikan pemahaman yang 
proporsional terhadap kedudukan BPK dan pengertian keuangan negara dari segi 
yuridisnya. Pemahaman yang kurang tepat mengandung potensi mengurangi 
efektivitas tujuan pemeriksaan keuangan negara dan efisiensi pengawasan 
pembangunan secara keseluruhan. 

Harus diakui pemahaman yang kurang tepat tersebut, antara lain, disebabkan 
adanya rumusan dalam Perubahan Pasal 23 UUD 1945 yang sangat tidak memenuhi 
kadar ilmiah dari segi substansinya dan cenderung mengabaikan segi filosofis, 
yuridis, dan sosiologis materi muatan suatu undang-undang dasar. Sebagai suatu 
contoh Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan APBN sebagai perwujudan dari 
pengelolaan keuangan Negara ditetapkan tiap-tiap tahun dengan undang-undang dan 
dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya 
kemakmuran rakyat hanya merupakan kalimat retorik yang tidak memenuhi segi 
filosofi anggaran. Hal demikian disebabkan APBN bukan sekadar perwujudan 
pengelolaan keuangan negara, tetapi merupakan wujud kedaulatan rakyat yang 
tercermin pada hak budget DPR.

Disorientasi fungsi
UUD 1945 melegitimasi perubahan fungsi pemeriksaan BPK yang tidak hanya 
ditujukan pada tanggung jawab keuangan negara, tetapi juga pengelolaan keuangan 
negara. Perubahan demikian jelas menciptakan disorientasi fungsi BPK yang 
melebar ke segala arah dalam melakukan pemeriksaan keuangan negara. Dari segi 
hukum keuangan publik, disorientasi fungsi pemeriksaan keuangan negara yang 
terlalu luas akan melemahkan rentang kendali (spent of control), inmodernisasi, 
penyalahgunaan wewenang, dan menjadi tidak tanggap terhadap munculnya 
penyimpangan keuangan negara secara efektif. Dengan kata lain, disoerientasi 
pemeriksaan keuangan negara yang dilegitimasi UUD 1945 hanya akan mendorong 
ketidakberdayagunaan BPK dalam menjangkau segi strategis tanggung jawab 
keuangan negara dibandingkan berkutat menjelajah segi teknis pengelolaan 
keuangan negara.

Dengan demikian, tepat penyusun naskah asli Pasal 23 ayat (5) UUD 1945 yang 
menempatkan BPK sebagai lembaga yang memeriksa tanggung jawab keuangan negara 
agar orientasi BPK tidak lepas dari pemeriksaan yang bersifat makro strategis. 
Penyusun naskah asli UUD 1945 mempunyai pemahaman yang lebih strategis dan 
sangat memahami prinsip dasar efektivitas kinerja organisasi. Dengan fungsinya 
sebagai pemeriksa tanggung jawab keuangan negara, BPK menempatkan secara 
sejajar kedudukannya sebagai lembaga negara. 

Sebagai lembaga negara yang memeriksa tanggung jawab keuangan negara, BPK 
merupakan lembaga yang langsung mengawasi dan memeriksa kebijakan keuangan 
negara (fiscal policy audit) yang dilakukan pemerintah. Fungsinya yang sangat 
strategis dan terhormat tersebut menempatkan BPK sebagai lembaga negara yang 
sejajar dengan lembaga negara lainnya, termasuk pemerintah, untuk menjaga 
obyektivitasnya. Oleh sebab itu, secara yuridis pemberian fungsi pemeriksaan 
BPK untuk memeriksa pengelolaan keuangan negara melalui Pasal 23E ayat (1) UUD 
1945 justru melemahkan kedudukannya sebagai lembaga negara. Apabila mendasarkan 
pada konsep hukum administrasi negara, BPK telah berubah dari bentuk organisasi 
negara menjadi organisasi administrasi negara, sehingga kedudukannya melemah 
sebagai bagian dari unsur pemerintah dan bukan sebagai lembaga yang mandiri. 
Salah satu bukti perubahan bentuk tersebut adalah dimungkinkannya BPK membuka 
perwakilan di setiap provinsi.

Dari segi hukum administrasi negara, lembaga negara, guna menjaga citra 
kewibawaan dan pengaruhnya, tidak mungkin membuka perwakilannya di luar ibu 
kota negara. Hal ini dilakukan agar lembaga negara tetap berfungsi hanya pada 
inti pokok tugasnya sebagai bagian dari lingkup masalahnya (kernzaken en 
problemen) dan menjaga kualitas kinerja dibandingkan hanya mengejar kuantitas. 
Berdasarkan hukum keuangan publik, pengutamaan kuantitas dalam pemeriksaan 
cenderung menyebabkan temuan atas penyimpangan keuangan negara dilakukan secara 
kebetulan (by-chance), dan tidak secara sistematis (by-system). 

Oleh sebab itu, kebertahanan BPK pada perubahan fungsinya sebagai pemeriksa 
tanggung jawab sekaligus pengelolaan keuangan negara dan kedudukannya yang 
''menurun'' sebagai organisasi administrasi negara mengingatkan kembali pada 
keberadaan Algemenee Rekenkamer (ARK), lembaga pemeriksa zaman kolonial 
Belanda, yang merupakan lembaga di bawah Gubernur Jenderal Hindia Belanda. 
Sebagai lembaga pemeriksa di bawah pemerintahan Gubernur Jenderal Hindia 
Belanda, ARK memeriksa pengelolaan keuangan pemerintah dan mempunyai perwakilan 
di setiap daerah. Oleh sebab itu, secara yuridis-historis, fungsi dan kedudukan 
BPK berdasarkan Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 memutar kembali fungsi dan 
kedudukannya seperti 350 tahun yang lalu. Konservatisme pemeriksaan ini tentu 
tidak diinginkan semua pihak, termasuk BPK itu sendiri. 

Distorsi arti keuangan negara
Satu hal yang perlu juga memperoleh pemahaman yang proporsional adalah mengenai 
pengertian keuangan negara. UU Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara 
mendistorsi pengertian keuangan negara menjadi kabur dan cenderung mereduksi 
pengertian keuangan daerah, keuangan BUMN dan BUMD, bahkan keuangan badan lain 
yang memperoleh fasilitas dari pemerintah, di mana pengelolaan dan 
pertanggungjawaban keuangannya telah diatur secara rinci dalam peraturan 
perundang-undangan tersendiri. Distorsi arti keuangan negara demikian hanya 
mengaburkan esensi otonomi daerah dan mengurangi kemandirian yang menjadi ciri 
dasar suatu badan hukum dan badan usaha. 

Bahkan, Pasal 2 UU No 17 Tahun 2003 yang merumuskan secara lengkap keuangan 
negara cenderung menimbulkan kerugian keuangan negara dan membangkrutkan 
negara. Hal ini khususnya ditujukan pada Pasal 2 huruf I UU No 17 Tahun 2003, 
yang menyatakan salah satu arti keuangan negara adalah kekayaan pihak lain yang 
memperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah. Dengan 
rumusan ketentuan tersebut, negara akan turut bertanggung jawab terhadap 
kekayaan pihak swasta yang memperoleh fasilitas pemerintah. 

Dengan demikian, apabila pihak swasta yang memperoleh fasilitas pemerintah 
dalam keadaan insolvensi, dan dinyatakan pailit, negara harus turut bertanggung 
jawab atas utang swasta. Hal ini disebabkan kekayaan pihak lain yang 
dimilikinya itu diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan 
Pemerintah. Situasi inilah yang kini dihadapi pemerintah dalam kasus PT Karaha 
Bodas (KBC). 

Oleh sebab itu, perlu segera dilakukan penelahaan kembali terhadap keuangan 
negara yang proporsional. BPK seharusnya menjadi pihak yang pertama menolak 
arti keuangan yang salah kaprah menurut UU No 17 Tahun 2003 tersebut, dan 
bukannya menyatakan pihak yang menolak arti keuangan negara tersebut sebagai 
pihak yang tidak paham. Dengan dasar inilah, sudah sepantasnya UU No 17 Tahun 
2003 harus dilakukan perubahan untuk menghindari kerugian keuangan negara yang 
lebih besar di saat beban keuangan negara yang semakin berat. 

Progresivitas pemeriksaan
Dengan memposisikan kembali orientasi pemeriksaan dan arti keuangan negara, 
pemeriksaan terhadap BUMN dan BUMD, khususnya yang berbentuk perseroan 
terbatas, tentu bukan menjadi kewenangan BPK. Sebagai lembaga negara, secara 
ideal, BPK harus memusatkan orientasi pemeriksaan terhadap kebijakan keuangan 
negara yang bersifat strategis. Dengan demikian, pemeriksaan terhadap BUMN dan 
BUMD yang berbentuk perseroan terbatas diserahkan kepada akuntan publik, yang 
kemudian pelaporannya diserahkan kepada rapat umum pemegang saham (RUPS). BPK 
hanya dapat melakukan pemeriksaan terhadap BUMN/BUMD jika dikehendaki RUPS. Hal 
inilah merupakan esensi dasar kemandirian BUMN/BUMD sebagai badan hukum. 

Dengan dasar pemahaman yang proporsional mengenai pemeriksaan ini, menjadi 
jelas adanya pemeriksa internal dan eksternal tetap dibutuhkan. BPK tidak dapat 
menutupi keterbatasan fungsi dan kedudukannya dengan jalan menguasai semua 
obyek pemeriksaan dari hulu ke hilir. Menjadi kodrat hukumnya bagi BPK untuk 
memeriksa tanggung jawab keuangan negara dengan tetap menjaga hubungan yang 
konstruktif dengan jajaran lembaga pemeriksaan internal. Suatu hal yang pernah 
disadari ketua BPK pada 1999 yang menyatakan di dalam semua sistem pengawasan 
keuangan yang berjalan baik, auditor eksternal harus mampu bertumpu pada 
hasil-hasil pemeriksa auditor intern. 


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Give the gift of life to a sick child. 
Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks & Giving.'
http://us.click.yahoo.com/lGEjbB/6WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke