http://www.kompas.com/kompas-cetak/0503/29/opini/1646121.htm
Politik "Kewahyon" Oleh Sukardi Rinakit SEANDAINYA Megawati Soekarnoputri mengatakan, "Saya yakin, saya pasti akan terpilih kembali menjadi Ketua Umum PDI-P. Tetapi justru karena itu, saya memutuskan untuk menyerahkan tongkat kepemimpinan pada kader muda partai, siapa pun dia!" Jika dari Bali Megawati mengayunkan langkah politik itu, sama seperti langkah yang dilakukan Nelson Mandela (juga akan dilakukan oleh Amien Rais), maka bukan saja ia akan meninggalkan keteladanan yang luar biasa bagi generasi penerus, tetapi juga nama harum. Rakyat akan menilai bahwa cita-cita Megawati ternyata jauh lebih besar dari dirinya sendiri. Tetapi jika Megawati melakukan langkah politik sebaliknya, bahkan memaksakan kehendak untuk bekerjanya sistem formatur tunggal dan hak prerogatif ketua umum, ia bukan saja akan mengerdilkan partai yang dicintainya, tetapi juga membonsai pohon teduh demokrasi. Pendeknya, apa pun bentuknya, masa depan PDI-P ada di tangan kearifan Megawati. Kalau Megawati bersikap bijaksana, ada peluang bagi kader PDI-P, siapa pun dia, untuk didekati oleh wahyu kekuasaan pada pemilu mendatang. DALAM pendekatan budaya politik, wahyu kekuasaan cenderung tidak bisa diputar balik dan ditarik-tarik untuk kembali mendekat. Hampir tidak ada catatan di Nusantara yang menggambarkan bahwa seorang raja bisa berkuasa kembali setelah ia lengser atau ditumbangkan lawan politiknya. Salah satu sebab dari menjauhnya wahyu tersebut adalah karena sang penerima dan orang-orang yang ada di jejaringnya tidak resolved. Padahal wahyu itu hanya bertahan dengan senang hati apabila sang penerima tetap bisa terharu, prihatin, menangis dan bekerja keras demi kepentingan rakyat. Tanpa sikap itu, wahyu kekuasaan akan cepat hilang diserap kembali oleh suara rakyat. Suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi vox Dei). Sejak reformasi bergulir, tongkat kekuasaan telah estafet di tangan empat tokoh (Habibie, Gus Dur, Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono/SBY). Apakah para pemimpin Republik tersebut adalah tokoh-tokoh yang kewahyon (menerima wahyu kekuasaan)? Jika jawabannya ya, mengapa kehidupan rakyat kok tidak juga membaik sampai hari ini? Di pedesaan Jawa dan kampung-kampung kumuh perkotaan, euforia pemilu sudah mulai mengering saat ini. Orang-orang tua, meskipun hanya berbisik-bisik dan tidak berteriak lantang ala mahasiswa, mulai ragu dengan eksistensi pasangan SBY-Jusuf Kalla sebagai pemimpin yang mendapatkan wahyu kekuasaan sejati. Mereka meraba-raba bahwa banyaknya masalah bangsa mulai dari kecelakaan, bencana alam, mencuatnya konflik perbatasan dan kelaparan merupakan tanda-tanda bahwa jangan-jangan "dwitunggal" SBY-JK sebenarnya tidak lebih dari sekadar presiden dan wakil presiden. Mereka hanya pemegang kekuasaan administratif dan bukan pemimpin yang kewahyon. Bisik-bisik seperti itu secara hipotesis akan semakin sulit dibendung apabila kenaikan harga BBM ternyata justru akan memukul masyarakat kelas bawah dan bukan membuat mereka menjadi lebih sejahtera meskipun tersedia dana kompensasi (yang baru dikucurkan tiga bulan setelah kenaikan harga BBM). Keraguan akan wahyu kekuasaan itu juga terjadi karena kurang bijaknya komentar-komentar sebagian penguasa. Aburizal Bakrie, misalnya, dengan enteng mengatakan, "Kalau tidak bisa beli gas ya jangan beli." Sedangkan SBY dengan mantap mengatakan, "I don't care (with my popularity)" dan Jusuf Kalla menantang, "BBM naik, kita tunggu demonstrasinya." Karena karakter masyarakat kita adalah paternalistik, maka seperti obat nyamuk bakar, komentar-komentar seperti itu cepat merambat ke lingkaran luar, yaitu jajaran birokrasi yang lebih rendah. Kini Menteri Keuangan Jusuf Anwar sudah mengatakan "I don't care" mengikuti SBY (seperti akhiran "-ken" dan kata "mangkin" yang dipakai Soeharto dan latah ditirukan pejabat-pejabat lain). Besok akan semakin banyak birokrat yang akan mengucapkan kalimat yang sama untuk mempertahankan kepentingan masing-masing. Pergantian empat kali presiden tanpa menghasilkan peningkatan kesejahteraan rakyat merupakan suatu ironi dalam praktik kekuasaan politik. Mungkin betul apa yang dikatakan Frans Seda (Kompas, 24/3) bahwa semua persoalan di Republik bersumber pada birokrasi. Dengan demikian, mempunyai presiden yang baik saja tidak cukup tanpa dukungan birokrat yang bersih. Tetapi birokrat yang bersih saja tidak ada artinya apabila mereka tidak mempunyai perasaan bernegara. Sulit untuk mengatakan bahwa birokrat kita mempunyai perasaan bernegara. Buktinya, dari dulu sungai tetap kotor, selokan mampet, bus kota tidak manusiawi, trotoar rusak, warung-warung asal tempel, illegal logging jalan terus dan impor gula ilegal tidak terbendung. Padahal, rumah mereka dipelihara untuk tetap bersih dan mewah. Tetapi sikap memiliki seperti itu tidak diterapkan dalam pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. Kita menjadi miris karena jangan-jangan para menteri, direktur jenderal, gubernur, bupati, wali kota, camat dan lain-lain memang tidak merasa mempunyai negara. Itu sebabnya mereka tidak pernah memikirkan secara serius persoalan-persoalan yang dihadapi rakyat. Bahkan tanah Republik diambil oleh bangsa lain pun mereka tidak peduli. Perasaan tidak bernegara dari para birokrat itulah yang menjadi sumber kemiskinan dan perasaan tidak adil yang berkembang di hati rakyat. Oleh sebab itu, siapa pun yang mendapatkan wahyu kekuasaan, ia tidak akan bisa berbuat apa-apa apabila mengabaikan reformasi birokrasi. Itulah alasan mengapa Habibie, Gus Dur, dan Megawati akhirnya gagal mengemban amanat penderitaan rakyat. Akibatnya, sampai sekarang mayoritas rakyat masih belum beranjak dari kemiskinan. KALAU SBY tidak mau bernasib sama seperti ketiga pendahulunya itu dan ingin membuktikan bahwa ia kewahyon, maka ia harus melakukan double-click. Istilah yang sejatinya menunjuk pada tindakan menekan mouse komputer agar program yang diinginkan cepat berproses tersebut menggambarkan perlunya tindakan progresif dan tegas dari presiden. Tanpa double-click, seluruh program kebijakan termasuk yang menjadi prioritas utama sekalipun tidak akan pernah terimplementasikan dalam program aksi. Karena itu, hal terpenting yang harus dibangun SBY untuk menjaga optimisme publik dan untuk menunjukkan bahwa ia adalah seorang presiden yang kewahyon, yakni mengasah sensitivitas perasaan bernegara para birokrat. Selain itu, SBY juga harus mulai berani "membungkam" mulut para pembantunya yang biasa berkomentar sembarangan. Tanpa langkah itu, operasi besar SBY untuk mengurangi kemiskinan, pengangguran, peningkatan mutu pendidikan dan lain-lain akan lebih bersifat utopis daripada realistis. Pendeknya, untuk segala hal yang baik untuk bangsa, SBY sebagai pemegang wahyu kekuasaan harus berani melakukan aksi double-click. Sebagai catatan akhir (setulusnya ini membuat saya prihatin), SBY harus tahu bahwa sekarang ini berkembang folklore sindiran seperti ini: "Menurut Anda apa kesuksesan SBY selama ini?" Jawabnya, "Ia sukses menunjukkan pada kita dan dunia internasional bahwa ia berhasil 'mengurangi' jumlah orang miskin." Buktinya? Satu demi satu orang miskin meninggal atau tewas bunuh diri karena dililit kesulitan hidup. Contoh mutakhir adalah Yusuf bin Ahmad, pedagang bubur ayam yang Sabtu lalu tewas gantung diri karena frustrasi gerobaknya digaruk Tramtib DKI Jakarta. Sukardi Rinakit Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicate [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Give the gift of life to a sick child. Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks & Giving.' http://us.click.yahoo.com/lGEjbB/6WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/