http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=164294
Kamis, 31 Mar 2005, Lebih Baik Awasi Penyaluran Subsidi Oleh Widya Wibisono * Dengan diumumkannya kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) 1 Maret 2005 yang tertuang dalam Peraturan Presiden No 22/2005, mulai saat itulah pro- dan kontra- semakin mencuat, baik dari kalangan masyarakat maupun kaum intelektual, termasuk mahasiswa. Naiknya harga BBM secara otomatis menimbulkan efek domino, yaitu harga BBM yang semakin melambung akan diikuti kenaikan harga kebutuhan pokok lain. Kebijakan yang sama selalu diambil pada era sebelum kepemimpinan SBY-Kalla. Alasan yang diberikan pun hampir sama, yaitu keuangan negara sudah tidak mampu lagi menyubsidi sektor BBM. Bedanya, pada pemerintahan SBY-Kalla, kenaikan harga BBM juga dipicu naiknya harga minyak dunia. Pemerintah mencontohkan, asumsi harga minyak dunia dalam APBN USD 24 per barel. Namun kenyataanya saat ini, harga minyak dunia USD 52 per barel. Karena itu, dengan melonjaknya harga minyak dunia, pemerintah terpaksa menyesuaikan harga minyak melalui kebijakan menaikkan harga BBM dalam negeri. Tapi, alasan yang dilontarkan pemerintah itu mendapat respons lain dari kalangan mahasiswa. Mahasiswa menyebutkan, kelangkaan minyak di pasaran disebabkan adanya penimbunan minyak oleh cukong-cukong hitam dan bakal dijual ke luar negeri untuk mencari keuntungan besar. Toh, pemerintah tidak berani menangkap para mafia minyak tersebut. Terkait dengan pro- dan kontra- tersebut, toh pemerintah tetap teguh pada pendiriannya untuk menaikkan harga BBM. Tampaknya, aksi demo yang dilakukan mahasiswa untuk menentang kenaikan harga BBM tidak akan mengubah kebijakan yang telanjur diambil pemerintah. Saat ini, yang seharusnya dilakukan mahasiswa adalah mengawal dan mengawasi janji pemerintah mengenai pengalokasian dana kompensasi BBM. Sebagaimana disebutkan pemerintah, pencabutan subsidi untuk BBM akan dialihkan pada bidang pendidikan, kesehatan, dan penghidupan yang layak. Pemerintah beralasan bahwa subsidi BBM saat ini telah salah sasaran karena yang menikmatinya adalah kalangan ekonomi menengah ke atas. Karena itu, dengan dicabutnya subsidi BBM, pemerintah berharap agar subsidi tersebut bisa dimanfaatkan masyarakat yang memang benar-benar tidak mampu. Dana program kompensasi pengurangan subsidi (PKPS) BBM yang mencapai Rp 17 triliun bukanlah sedikit. Dari jumlah itu, pemerintah mengalokasikan Rp 5,6 triliun untuk bidang pendidikan dan mulai April akan dikucurkan. Sebanyak Rp 3,3 triliun akan digunakan untuk dana desa tertinggal yang berjumlah 11.400 desa di 419 kabupaten atau kota dan 31 provinsi. Dengan demikian, masing-masing desa akan mendapatkan Rp 200 juta-Rp 300 juta. Selain dua sektor tersebut, dana kompensasi BBM akan dialokasikan untuk sektor lain, seperti penyediaan beras murah untuk masyarakat miskin (raskin) Rp 765 miliar, subsidi pembangunan rumah sederhana sehat (RSH) Rp 400 milliar, usaha mikro bergulir Rp 200 miliar, pelayanan kontrasepsi untuk keluarga berencana (KB) Rp 100 milliar, dan beberapa sektor lain. Pengalokasian itulah yang seharusnya menjadi fokus perhatian. Belajar pada pengalaman sebelumnya, ternyata dalam penyaluran dana kompensasi, telah terjadi banyak penyimpangan. Bentuk-bentuk penyimpangan tersebut meliputi: Pertama, alokasi dana yang tidak tepat sasaran. Sebagai contoh, pada tahun lalu, 22 persen penerima raskin bukan termasuk keluarga miskin. Selain itu, dari dana yang tersedia, seharusnya tiap keluarga mendapat jatah Rp 30 ribu per bulan, namun kenyatannya yang diterima rata-rata hanya Rp 7.500 per bulan/KK. Kedua, tidak tepat waktu. Untuk kasus pada 2001, dana kompensasi BBM baru cair lima bulan setelah harga BBM naik. Ketiga, penyaluran dana yang rumit. Seolah sudah menjadi kebiasaan pemerintah, segala urusan selalu dipersulit dengan berbagai macam prosedur yang tidak efektif dan efisien. Untuk program pengalokasian dana kompensasi BBM, pemerintah masih mensyaratkan adanya konsultan, pendamping, kontraktor, yang sebenarnya tidak perlu. Akibatnya, selain jalur penyalurannya lebih panjang, dananya tidak langsung diterima keluarga miskin. Jadi, kemungkinan untuk menyelewengkan dana yang ada sangat besar. Di situlah sebenarnya, fungsi mahasiswa sebagai agent of change sangat dibutuhkan. Jadi, fungsi mahyasiswa tidak hanya mendemo atau menolak kebijakan yang diambil pemerintah. Tapi yang tidak kalah penting, bagaimana mahasiswa dapat berperan serta mengawasi kinerja pemerintah dalam mengimplementasikan kebijakan yang telah dibuat. Bagaimana roda bangsa bisa berputar bila tiap keputusan yang diambil pemerintah selalu di tentang. Juga perlu diingat bahwa segala sesuatu, termasuk pembangunan, memerlukan proses. Tanpa adanya proses, kita tidak mungkin bisa menikmati hasil pembangunan. * Widya Wibisono, mahasiswa FISIP Universitas Jember [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Help save the life of a child. Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks & Giving.' http://us.click.yahoo.com/mGEjbB/5WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/