http://www.kompas.com/kompas-cetak/0504/01/opini/1656587.htm
Proyek Pemilu di Indonesia Oleh Riswandha Imawan SIKAP hati-hati tidak selalu identik dengan ketelitian dan kesempurnaan. Pengaturan tentang pilkada 2005 membuktikannya. Kesemrawutan yang terjadi antara UUD 1945, UU No 32/2004, dan PP No 6/2005 memaksa Mahkamah Konstitusi atau MK turun tangan. Namun, keputusan yang diambil memanjangkan masalah sekaligus membuka kemungkinan intervensi pemerintah dalam pilkada. Kata Mendagri, kelambanan Presiden menandatangani PP No 6/2005 "semata- mata agar ketelitian dan kesempurnaan dalam proses pembuatan PP Pilkada langsung terjamin sehingga tidak menimbulkan multitafsir di lapangan" (Kompas, 22/2). Namun, begitu PP No 6/2005 dikeluarkan, banyak kontradiksi logika terjadi yang mengarah ke multitafsir di lapangan. Pangkal soalnya adalah dasar pelaksanaan pilkada. Apakah Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan kepala daerah "dipilih secara demokratis", ataukah Pasal 22E yang menyatakan pemilu legislatif, DPD, dan pilpres dilaksanakan oleh KPU. Sebetulnya kaitan dua pasal ini sudah jelas. Pasal 18 Ayat (4) menegaskan substansi demokrasi dari pemilu, yakni freedom and fairness. Pasal 22E Ayat (5) menyatakan KPU sebagai pelaksananya. Terhadap persoalan ini sikap MK sangat ambigu. MK mengakui asas pilkada sama dengan asas pemilu, tetapi sepakat dengan pandangan pemerintah bahwa pilkada bukan pemilu. Sangat sulit memahami sikap ini. Di alam demokrasi pengisian semua jabatan publik yang mensyaratkan legitimasi politik harus dilakukan lewat pemilu. Jabatan kepala daerah masuk dalam kategori ini. Hingga sangat jelas bahwa pilkada adalah bagian dari pemilu. Anehnya MK menolak uji materi terhadap Pasal 1 Ayat (21) tentang KPUD sebagai pelaksana pilkada, tetapi mengabulkan Pasal 57 Ayat (1) dan Pasal 67 Ayat 1 Huruf (e) yang sebenarnya merupakan penjabarannya. Akibatnya hubungan antara KPUD dan KPU tetap terputus. Logisnya, MK mengembalikan hubungan KPU dengan KPUD mengingat KPUD dibentuk dan disahkan oleh KPU. Namun, sikap MK kembali rancu. KPU bertanggung jawab ke publik, tanpa menjelaskan siapa yang dimaksud "publik" itu serta bagaimana mekanisme pertanggungjawabannya. MK hanya memberi petunjuk bahwa dalam melaksanakan tugasnya KPUD mengacu pada peraturan pemerintah, dalam hal ini PP No 6/2005. Repotnya, PP ini tidak cukup rapih. Banyak pasal dari UU No 12/2003 tentang Pemilu dan UU No 32/2004 yang diturunkan begitu saja dengan fasilitas copy and paste tanpa menyimak unit analisis dari pasal-pasal itu. SIMAK saja. Ada perbedaan yang sangat prinsip antara judul PP No 6/2005 dengan judul penjelasannya. Judulnya, "Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah". Judul penjelasannya, "Tata Cara Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah". Tampaknya sepele, hanya beda kata "Tata Cara". Namun, ini membawa konsekuensi hukum yang sangat berat. Bisa saja PP ini dinilai cacat hukum. Padahal ia dijadikan landasan pelaksanaan pilkada. Berbagai kontradiksi pun mengalir. Paling krusial adalah Pasal 61 Ayat (1) yang menyebutkan: "Dalam kampanye, pasangan calon atau tim kampanye dilarang melibatkan: (a) hakim pada semua peradilan; (b) pejabat BUMN/BUMD; (c) pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri; (d) kepala desa". Pasal 61 Ayat (2) menyebutkan, "Larangan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), tidak berlaku apabila pejabat tersebut menjadi calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah". Jelas sekali Ayat (2) menihilkan eksistensi Ayat (1) dari Pasal 61 PP No 6/2005. Artinya, pejabat dipersilakan memobilisasi hal-hal yang dilarang pada Ayat (1). Ini kontradiksi paling fatal yang terjadi, yang berpotensi melahirkan tidak saja multitafsir bahkan pelanggaran aturan pemilu. Akibat berantainya adalah maraknya judicial review, penundaan pelantikan kepala daerah yang definitif dan berujung pada tersendatnya pelaksanaan pemerintahan di daerah. Selain persoalan yang secara eksplisit ada di PP No 6/2005, setting sosial dan politik lokal yang berpotensi mengganggu jalannya pilkada tampaknya tidak diantisipasi. PP 6/2005 tampaknya didasari pandangan yang sangat legalistik, kurang mencermati dinamika politik yang berkembang dalam masyarakat. Misalnya, "perjanjian kultural" antarsuku-suku bangsa yang ada dalam satu daerah. Sebut saja Kabupaten Timor Tengah Selatan. Tiga suku besar yang ada, Mollo, Amanuban, Amanatu, membuat perjanjian kultural bahwa kepala daerah digilir dari ketiga suku itu. Perjanjian kultural inilah yang membangun stabilitas politik di sana (George Bella, 2004). Sekarang, melalui pilkada, terbuka kemungkinan rotasi pergantian menjadi tidak teratur. Demikian pula klaim tokoh daerah sebagai kader partai, sekalipun dia tidak pernah ikut partai itu, maupun kebiasaan masyarakat menampilkan calon tunggal untuk menjaga harmoni sosial (Widiyahseno, 2004) merupakan persoalan lain yang tidak diantisipasi oleh PP 6/2005. DARI paparan di atas tampak bahwa kerangka formal pilkada 2005 belum cukup menjamin hajatan demokrasi ini menopang demokratisasi di Indonesia. Aturannya compang-camping, namun dipaksakan penggunaannya, menunjukkan bahwa pemilu di Indonesia masih saja dipahami sebagai sebuah proyek yang harus selesai dalam waktu tertentu. Substansi yang hendak dicapai maupun akal sehat tidak terlalu penting. Pokoknya pilkada terselenggara dan ada pertanggungjawaban dana yang digunakan. Melalui mekanisme regulasi yang eksesif, dimungkinkan kucuran dana untuk hal-hal yang sebenarnya tidak perlu karena sudah tersedia pada pemilu legislatif maupun pilpres 2004. Misalnya, sistem TI maupun pembuatan kartu pemilih. Standar kualitas persyaratan yang ditetapkan pemerintah, yang membutuhkan biaya tinggi, yang tidak mungkin dipenuhi oleh masyarakat daerah sebagai aktor utama pilkada, memudahkan intervensi pemerintah melalui kontrol anggaran maupun bantuan teknis. Hal-hal ini yang justru luput dari kajian MK. Hingga harapan Ketua MK bahwa keputusan MK ini harus menjadi solusi terhadap kontradiksi aturan pilkada tampaknya justru akan terus berlanjut. Lalu kapan kebiasaan memproyekkan pemilu di Indonesia ini berakhir hingga bangsa ini benar-benar menikmati kehidupan politik yang demokratis? Siapa yang harus mengakhirinya? Riswandha Imawan Guru Besar Ilmu Politik UGM [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> DonorsChoose. A simple way to provide underprivileged children resources often lacking in public schools. Fund a student project in NYC/NC today! http://us.click.yahoo.com/5F6XtA/.WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/