REPUBLIKA
Jumat, 01 April 2005

Perkawinan, Agama, dan Negara 

Salahuddin Wahid
Ketua Majelis Pengurus Pusat ICMI

Perkawinan adalah sesuatu yang sakral, bahkan umat Islam menganggapnya sebagai 
ibadah. Perkawinan adalah sesuatu yang amat penting bagi kehidupan kita 
termasuk kehidupan agama. Karena itu umat Islam di Indonesia ingin agar 
perkawinan itu sah menurut hukum agama dan sah menurut hukum negara. Untuk 
tujuan itu, sejak akhir 1950-an semua parpol Islam memperjuangkan lahirnya UU 
yang mengakomodasi syariat Islam yang partikular dalam masalah perkawinan. 
Tetapi perjuangan itu tidak berhasil. 
Pada tahun 1973 Fraksi Karya Pembangunan (FKP) mengajukan RUU Perkawinan yang 
sama sekali mengabaikan syariat Islam. Tentu parpol dan ormas Islam menolak RUU 
yang bertentangan dengan syariat Islam itu. Berkat perjuangan para tokoh Islam 
untuk meyakinkan Presiden Soeharto, akhirnya pasal-pasal yang bertentangan 
dengan syariat Islam dihilangkan. Maka UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan 
menjadi UU pertama yang mengandung ketentuan partikular syariat Islam.

Selanjutnya, lahirlah Instruksi Presiden No 1 Tahun 1991 tentang penyebarluasan 
Kompilasi Hukum Islam (KHI). Didalam KHI ada tiga bidang hukum Islam yakni 
hukum perkawinan (munaakahat), hukum kewarisan (mawaarits), dan hukum 
perwakafan (waqf) yang menjadi pedoman bagi hakim agama dalam memutuskan 
perkara dan juga menjadi pedoman bagi umat Islam dalam mengamalkan hukum Islam 
pada tiga bidang tersebut. 

Sejak akhir 1990-an muncul berbagai kritik dari beberapa cendekiawan muslim 
terhadap KHI yang dianggap mengandung banyak ketentuan yang tidak sesuai dengan 
perspektif jender, pluralisme, dan demokrasi. Beberapa tahun terakhir muncul 
gagasan untuk meningkatkan status KHI dari Inpres menjadi UU. Dalam kaitan itu, 
Pokja Pengarusutamaan Gender Departemen Agama RI membentuk tim kajian untuk 
menyususn Counter Legal Drafting KHI. Tim kajian itu terdiri dari 10 
cendekiawan yang dipimpin oleh Prof Dr Siti Musdah Mulia dan dibantu oleh 15 
cendekiawan sebagai kontributor aktif termasuk dua pengasuh pondok yaitu KH 
Husen Muhammad (Ponpes Arjawinangun) dan KH Afifudin Muhajir (Ponpes Asembagus 
Sukorejo).

Usulan dari Tim CLD-KHI itu ternyata banyak mengandung hal kontroversial yang 
memancing protes dari berbagai pihak antara lain dari MUI yang mengirim surat 
penolakan kepada Menteri Agama. Beberapa cendekiawati (seperti Prof Dr Huzaemah 
T Yanggo, Prof Dr Nabilah Lubis, dan Prof Dr Zakiah Drajat) yang tergabung 
dalam Majelis Internasional Ilmuwan Muslimah juga menyampaikan keberatan 
terhadap 16 masalah kontroversial yang terkandung dalam CLD-KHI. Menteri Agama 
Maftuh Basuni membatalkan usulan Tim CLD-KHI. Tetapi kemudian Komnas Perempuan 
meminta Menag mencabut pembatalan itu. 

Tulisan ini tidak ingin bicara tentang perbedaan dalam hukum agama. Tulisan ini 
ingin mencoba melihat bagaimana kaitan hukum agama dan hukum negara dalam 
masalah perkawinan, mana batas wilayah hukum agama dan mana batas wilayah hukum 
negara. Juga ingin mencoba mendudukkan prinsip HAM pada proporsi yang tepat 
ketika berhadapan dengan hukum agama.

Pernikahan lintas agama
Di antara usulan kontroversial yang diajukan oleh CLD-KHI ialah dijinkannya 
pernikahan lintas agama. Tentu saja muncul penolakan terhadap isu tersebut 
antara lain oleh ketiga ilmuwati yang disebutkan di atas. Isu itu telah lama 
menjadi bahan perdebatan dalam sejarah Islam. Pada prinsipnya pandangan para 
ulama terbagi menjadi tiga bagian. Pertama, melarang secara mutlak pernikahan 
antara Muslim dan non-Muslim baik yang tergolong musyrik maupun ahlul kitab. 
Larangan itu juga berlaku bagi perempuan maupun lelaki.

Kedua, membolehkan secara bersyarat. Sejumlah ulama membolehkan pernikahan 
laki-laki muslim dengan perempuan non-Muslim dari kelompok ahlul kitab. Tetapi 
perempuan Muslim tidak boleh menikah dengan lelaki non-Muslim walaupun 
tergolong ahlul kitab. Pendapat ketiga, membolehkan pernikahan antara Muslim 
dan non-Muslim yang berlaku untuk perempuan dan lelaki Muslim. Sejauh 
pengamatan saya, di Indonesia mayoritas termasuk kedalam kelompok kedua. 

Di dalam kenyataan sosial kita melihat masih banyak terjadi pernikahan antara 
muslimah dengan lelaki non-Muslim. Mereka tidak bisa menikah di KUA dan kantor 
catatan sipil juga tidak bersedia melayani mereka. Maka mereka (yang mampu) 
melakukan pernikahan di luar negeri, baru setelah itu mendaftar di kantor 
catatan sipil.

Musdah Mulia menyatakan bahwa larangan pernikahan lintas agama bagi perempuan 
beragama Islam sebenarnya telah menempatkan perempuan dalam posisi marjinal. 
Menurutnya, di tengah situasi tersebut, negara terbukti gagal memberikan solusi 
atas praktik pernikahan lintas agama. Pernikahan lintas agama yang dilakukan di 
luar negeri hanya bisa dilakukan oleh pasangan yang mempunyai ekonomi kuat. 
Karena itu, Musdah Mulia dkk mengusulkan diperbolehkannya pernikahan lintas 
agama di Indonesia dengan memasukkan ketentuan itu kedalam KHI yang akan 
ditingkatkan menjadi UU.

Dalam menyikapi persoalan ini, kita harus bisa memilah-milah masalah. Mayoritas 
ulama dan umat Islam saat ini menganggap bahwa pernikahan muslimah dengan 
non-Muslim dilarang oleh ketentuan agama, tetapi sebagian memperbolehkannya. 
Dengan sendirinya ada muslimah yang berpendapat bahwa mereka dapat menikah 
dengan lelaki non-Muslim. Dan itu adalah hak asasi mereka sehingga tidak bsia 
kita larang.

Tetapi dengan alasan menghormati HAM dan menolak diskriminasi kita tidak bisa 
membuat UU yang mengizinkan pernikahan lintas agama itu. UU No 1/74 memuat 
ketentuan bahwa pernikahan itu sah kalau sesuai dengan ketentuan agama. Karena 
itu mereka tidak dapat menikah di depan KUA. Tindakan membuat UU yang 
mengijinkan pernikahan lintas agama berarti intervensi oleh negara terhadap 
ketentuan agama yang diyakini oleh mayoritas umat Islam yang menolak pernikahan 
semacam itu.

Dari sudut pandang HAM, negara harus menghormati hak asasi muslimah yang ingin 
menikah dengan lelaki non-Muslim itu. Soal penilaian boleh tidaknya dari sudut 
hukum agama menjadi hak pribadi yang bersangkutan, akibat yang timbul (masalah 
keluarga, dosa, dll) adalah urusan pribadinya dan bukan urusan negara. Cara 
menghormatinya ialah dengan memberi izin untuk mendaftar atau mencatat 
pernikahan itu di kantor catatan sipil. Saat ini pencatatan itu tidak diterima 
oleh kantor catatan sipil karena dianggap bertentangan dengan UU No 1/1974. 
Perkawinan yang juga tidak dapat didaftarkan ke kantor catatan sipil ialah 
perkawinan antara pengikut agama d luar agama yang resmi diakui oleh pemerintah 
seperti agama Kong Hu Chu, agama Sunda, penganut aliran kepercayaan, dan 
sebagainya.

Kini sedang dimatangkan draf RUU tentang Catatan Sipil yang mengizinkan 
pendaftaran ke kantor catatan sipil seluruh perkawinan yang dilakukan di 
Indonesi, baik perkawinan lintas agama maupun perkawinan pemeluk agama yang 
secara resmi tidak diakui oleh negara. Diharapkan RUU tersebut akan segera 
dibahas di DPR dengan melibatkan masyarakat. Diperkirakan debat tentang pasal 
yang mengatur pencatatan perkawinan akan sangat seru karena akan terjadi 
pro-kontra yang cukup tinggi. Para penganjur HAM akan mendukung RUU itu tetapi 
pihak yang lebih mengutamakan hukum agama (Islam) mungkin akan menolaknya. 

Poligami
Usul lain yang diajukan oleh Tim CLD-KHI adalah pelarangan terhadap poligami. 
Menurut mereka, teks didalam Alquran mengandung pesan bahwa prinsip pernikahan 
itu monogami, karena itu poligami harus dilarang. Selain itu diperoleh begitu 
banyak fakta tentang dampak buruk dari poligami. Karena itu mereka mengusulkan 
supaya poligami itu dilarang melalui UU.

Secara pribadi saya bukan penganut poligami, tetapi saya tidak sependapat 
dengan usul tentang pelarangan poligami itu. Memang betul agama Islam tidak 
menyuruh poligami, tetapi juga tidak melarang poligami. Yang lebih utama itu 
tidak melakukan poligami, tetapi tidak ada larangan terhadap poligami. Memang 
banyak terjadi dampak negatif dari poligami, tetapi kita juga melihat adanya 
pasangan keluarga poligami dimana para isteri bisa rukun dan memberikan izin 
kepada suami untuk melakukan poligami walaupun jumlah keluarga seperti itu 
tidak banyak.

Poligami diizinkan dengan persyaratan yang sebenarnya berat dan sulit untuk 
memenuhinya. Jadi dapat dikatakan bahwa poligami itu adalah suatu jalan keluar 
dari keadaan darurat. Tetapi kita melihat fakta bahwa banyak lelaki melakukan 
poligami padahal tidak dalam keadaan darurat. Jadi yang perlu dilakukan ialah 
memberi persyaratan ketat terhadap lelaki yang akan melakukan poligami. Juga 
perlu diberikan sanksi yang berat --sebaiknya sanksi badan-- terhadap lelaki 
yang tidak memenuhi syarat dan sanksi itu diterapkan secara tegas dan 
konsekwen. 

Kalau UU KHI mengandung ketentuan yang melarang poligami yang notabene tidak 
dilarang oleh agama Islam, maka hal itu berarti kita membawa negara untuk 
mengintervensi ketentuan agama Islam. Intervensi seperti itu jutru merupakan 
sesuatu yang ditolak oleh kawan-kawan yang menyusun CLD-KHI. Mungkin cara yang 
efektif untuk menangkal poligami ialah menumbuhkan etika di dalam kalangan 
Islam yang menekankan bahwa poligami itu bukan sesuatu yang utama menurut agama 
dan pada dasarnya agama Islam mengandung pesan bahwa perkawinan menurut Islam 
itu cenderung ke arah perkawinan monogami.


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Give the gift of life to a sick child. 
Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks & Giving.'
http://us.click.yahoo.com/lGEjbB/6WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Reply via email to