http://www.kompas.com/kompas-cetak/0504/04/opini/1659901.htm

 
Demokrasi Kertas bagi Pedagang Bubur 

Oleh Donny Gahral Adian

AGENDA penertiban kota kembali menunjukkan taringnya. Dibayang- bayangi 
penertiban oleh aparat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Yusuf si pedagang bubur 
mengakhiri hidupnya dengan gantung diri (Kompas, 27/3). Satu nyawa pun hilang 
sia-sia di bawah tatapan mata ketertiban umum. Sebuah frasa magis yang 
senantiasa menyihir para pengambil kebijakan di lingkup pemerintah daerah.

Mereka lupa bahwa di balik frasa itu bersembunyi sebuah kalkulasi moral yang, 
pada tataran kebijakan, berpotensi menggerus hak dasar. Si pedagang bubur 
memiliki hak atas pekerjaan yang mesti dijamin oleh sebuah rezim demokratis. 
Hak yang sayangnya dipandang sebelah mata oleh pengambil kebijakan yang gila 
angka.

Siapakah si pedagang bubur di mata pengambil kebijakan? Dia adalah bagian dari 
kaum urban yang mencari nafkah di sektor informal. Sosok yang harus senantiasa 
ditertibkan. Alasannya sederhana saja. Mereka bukan subyek pajak yang 
berkontribusi bagi pendapatan daerah. Alih-alih berkontribusi, mereka malah 
menambah banyak persoalan bagi administrasi kota besar seperti Jakarta. Angka 
menunjukkan kebesarannya di hadapan hak. Absennya kontribusi revenue 
diterjemahkan sebagai hilangnya hak. Oleh sebab itu, mulai dari pedagang kaki 
lima sampai penjual bubur, semuanya mesti ditertibkan demi terciptanya a good 
society.

ARGUMEN pengambil kebijakan senantiasa berbunyi, "Mereka sebenarnya bisa 
bekerja di sektor formal atau kewirausahaan." "Kami sudah menyediakan balai 
latihan kerja untuk mengasah keterampilan mereka guna memasuki dunia kerja 
baru." Persoalannya, argumen itu tak bersuara di benak si pedagang bubur. 
Baginya, satu-satunya yang dia ketahui adalah berdagang bubur. Di tengah 
kondisi yang semakin sulit dewasa ini, dia tak bisa berpikir untuk beralih 
kerja. Beralih kerja adalah pertaruhan yang tak berani diambil si pedagang 
bubur. Kebutuhan hidup memaksa dirinya untuk bekerja apa saja demi periuk nasi 
rumah tangganya.

Pekerjaan adalah pertama- tama sebuah pilihan. Pilihan dimungkinkan karena ada 
kemampuan. Ini yang tidak dimiliki kaum urban di perkotaan. Kaum urban adalah 
mereka yang tergusur dari kehidupan agraris akibat industrialisasi yang makin 
masif. Dengan kemampuan seadanya, mereka datang ke kota untuk mengadu nasib. 
Tingkat pendidikan mereka yang rendah berkorelasi dengan minimnya kemampuan. 
Itu menyebabkan mereka tak mampu berkompetisi memasuki sektor formal. Kaki lima 
dan pedagang keliling adalah satu-satunya pilihan pekerjaan yang mungkin.

Bukan hanya itu. Bagi mereka sektor formal pun tak menjanjikan kesejahteraan. 
Dengan upah di bawah UMR dan kondisi kerja yang memprihatinkan, mereka masih 
lebih memilih bekerja di sektor informal. Bagaimana dengan kewirausahaan? Itu 
menuntut modal. Modal mengandaikan kredibilitas peminjam. Bank konvensional 
akan berpikir dua kali guna meminjamkan uang pada kaum urban tak terdidik. 
Kepercayaan bank konvensional sangat bertumpu pada kredibilitas peminjam yang 
didasarkan pada tingkat pendidikan. Eksperimen Gramen Bank yang digagas ekonom 
Muhammad Yunus belum diadopsi praktisi perbankan di Indonesia.

Amartya Sen benar saat berhipotesis bahwa kemiskinan bukan karena 
ketakpemilikan barang (resource), tetapi ketiadaan akses pada barang. Kaum 
urban sektor informal bergulat dengan kemiskinan karena tiadanya akses pada 
pekerjaan yang layak. Ini artinya, pemerintah belum menjamin kesetaraan akses 
atas pekerjaan bagi warga negaranya. Warga negara hanya dipersepsi sebagai 
revenue raiser, bukan subyek yang memiliki sederet hak dasar.

Sekali lagi, angka mengalahkan hak. Kalkulasi moral pengambil kebijakan acuh 
terhadap kepedihan Yusuf si pedagang bubur saat gerobaknya disita. Gerobak 
seharga Rp 1 juta sebagai satu-satunya penyambung hidup keluarga di tengah 
hidup yang semakin sulit.

Persoalan si pedagang bubur dipandang sebelah mata oleh pengambil kebijakan di 
pemerintah daerah. Logika ketertiban umum semata memandang si pedagang sebagai 
pengganggu yang tiada harganya. Mau apa lagi? Akses atas pekerjaan (diklaim) 
sudah terbuka lebar. Tidak ada alasan lagi bagi kaum urban sektor informal. 
Namun, pada kenyataannya, terjemahan praktis keterbukaan akses adalah program 
padat karya berupah minimal dan aksidental. Konstrain struktural, seperti 
kemampuan, pendidikan, dan pendapatan, adalah variabel yang luput dari 
kalkulasi pengambil kebijakan.

Ini adalah potret kekuasaan yang buta perbedaan. Kekuasaan yang mengejar segala 
sesuatu yang umum. Manusia diratakan di hadapan singgasana kebijakannya. 
Dilucuti variabel sosial, ekonomi dan budayanya dan dipasung dalam kategori 
manusia individu dengan segala hak dan kewajibannya. Persoalannya, manusia 
tidak pernah lepas total dari segala variabel tersebut. Si pedagang bubur bukan 
manusia umum. Ia adalah manusia konkret dengan segala kebutuhan yang juga 
konkret. Variabel sosial-ekonomi sangat berpengaruh pada keterjaminan hak-hak 
dasar bagi dirinya.

Ini semua bermuara pada sebuah pertanyaan reflektif. Apa artinya demokrasi bagi 
si pedagang bubur? Perkenankan saya menjawabnya dengan gemas, "Demokrasi adalah 
sederet hak dasar yang tergurat di atas kertas!" Sederet hak yang sepertinya 
mengambang di atas pergulatan hidup konkret yang sarat masalah. Hak tidak 
memiliki arti apa-apa jika tak bisa dinikmati. Hak adalah kebutuhan konkret, 
bukan sesuatu yang bersembunyi dalam pasal-pasal. Hak atas pekerjaan baru 
bermakna bagi si pedagang bubur saat dia benar-benar dapat menikmatinya.

Nasib si pedagang bubur membuat saya curiga akan kekosongan substansi yang 
diderita demokrasi republik ini. Sebuah demokrasi di atas kertas yang semata 
bersibuk dengan debat legalitas tanpa menengok dunia konkret. Kita berhadapan 
dengan pemerintahan demokratis yang gemar menertibkan dan bersembunyi di balik 
payung "demokrasi kertas". Alih-alih menjamin kesetaraan akses atas pekerjaan, 
pemerintah (baca: pemerintah daerah) mengabaikan bahkan melanggarnya berulang 
kali.

APA yang harus dilakukan? Ini menuntut jawaban konkret. Sebelum dijawab, ada 
satu yang mesti diingat. Kebijakan penertiban tidak memecahkan masalah. Masalah 
kemiskinan kota justru semakin menjadi dan pada akhirnya berujung pada 
instabilitas sosial.

Persoalan struktural yang mengepung kaum urban sektor informallah yang mesti 
dibenahi. Ini menuntut kebijakan menyeluruh yang menyapu dimensi pendidikan, 
sosial, ekonomi, dan budaya. Kebijakan bukan bertujuan saja mengasah kemampuan, 
tetapi juga memperluas lingkup kebebasan kaum urban.

Pemerintah bisa mulai dengan program pendidikan gratis bersertifikat setingkat 
SMA. Itu bisa membuka peluang kaum urban untuk memilih pekerjaan di sektor 
formal. Namun, ini mesti dibarengi dengan regulasi soal upah dan kondisi kerja 
yang layak di sektor formal. Pemerintah juga bisa menstimulasi mereka untuk 
mendirikan koperasi. Modal awal bisa dipinjamkan pemerintah dan akan dicicil 
dari potongan sisa hasil usaha tiap tahunnya.

Itu adalah sebagian opsi dari sekian banyak opsi yang bisa dijalankan guna 
menjamin akses atas pekerjaan bagi kaum urban. Keterjaminan akses yang menjamin 
bahwa demokrasi bagi kaum urban bukanlah demokrasi kertas. Ketertiban umum 
bukan satu-satunya pemecahan masalah. Itulah pelajaran berharga dari Yusuf si 
pedagang bubur.

Donny Gahral Adian Dosen Filsafat UI


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Give the gift of life to a sick child. 
Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks & Giving.'
http://us.click.yahoo.com/lGEjbB/6WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke