http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=793

KH Husein Muhammad:
Perempuan Boleh Mengimami Laki-Laki
04/04/2005
Salat Jum'at bersejarah yang dipimpin Dr. Amina Wadud (sebagai imam sekaligus 
khatib) yang berlangsung di gereja Anglikan, Manhattan, New York, AS, dua 
minggu lalu (18/3) masih menyisakan kontroversi. Gebrakan revolusioner pengajar 
studi Islam di Virginia Commonwealth University, AS, itu, tidak hanya membuka 
kembali perdebatan fikih tentang boleh-tidaknya perempuan memimpin salat yang 
disertai makmum laki-laki, tapi juga menuai ancaman mati. Bagaimanakah 
sesungguhnya pertimbangan fikih Islam dalam kasus seperti ini?


Optimisme  yang dipimpin Dr. Amina Wadud (sebagai imam sekaligus khatib) yang 
berlangsung di gereja Anglikan, Manhattan, New York, AS, dua minggu lalu (18/3) 
masih menyisakan kontroversi. Gebrakan revolusioner pengajar studi Islam di 
Virginia Commonwealth University, AS, itu, tidak hanya membuka kembali 
perdebatan fikih tentang boleh-tidaknya perempuan memimpin salat yang disertai 
makmum laki-laki, tapi juga menuai ancaman mati. Bagaimanakah sesungguhnya 
pertimbangan fikih Islam dalam kasus seperti ini? Untuk mendalami persoalan 
dari sudut fikih, Ulil Abshar-Abdalla dari JIL berbicang-bincang dengan KH 
Husein Muhammad (Pengasuh Pondok Peantren Darut Tauhid, Arjowinangun, Cirebon) 
dan Dr. Nur Rofi'ah (alumnus Ankara University Turki yang kini menjadi dosen 
UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta) pada Kamis (24/3) kemarin. Berikut petikannya.
ULIL ABSHAR-ABDALLA (UAA): Kang Husein, Anda pernah menulis artikel tentang 
perdebatan ulama soal hukum perempuan menjadi imam salat (imâmatul mar'ah) bagi 
laki-laki, yang kemudian di muat di buku Fiqh Perempuan. Anda bisa memberi 
penjelasan singkat tentang soal ini?

KH Husein Muhammad (HM): Saya tidak hanya menulis soal itu dalam buku Fiqh 
Perempuan, tapi juga sering menyampaikannya di pelbagai forum. Sejauh ini 
pandangan saya cukup jelas: perempuan dibolehkan menjadi imam salat bagi siapa 
saja, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Saya tidak setuju dengan pernyataan 
bahwa di dalam hukum Islam, perempuan tidak dibolehkan menjadi imam bagi 
laki-laki. Persoalannya menurut saya tidak seperti itu. Pernyataan itu bagi 
saya hanyalah pandangan mainstream ulama saja. 

Makanya, dalam literatur Islam klasik seperti kitab al-Majmû' Syarh 
al-Muhadzzab karangan Imam Syarafuddin al-Nawawi ataupun dari pendapat Umar 
Nawawi Banten (dari kaum muslim Sunni, terutama NU) dikatakan bahwa, seluruh 
ulama dari dulu sampai sekarang, kecuali Abu Tsaur, melarang perempuan untuk 
menjadi imam bagi lak-laki. Ini juga merupakan pendapat Abû Hâmid 
al-Isfirâyaini. Tapi pendapat mainstream ini sebetulnya juga disanggah beberapa 
tokoh besar mazhab Syafi'i, seperti Qâdhi Abu Tayyib, dan al-'Abdari. Mereka 
bahkan mengatakan bahwa yang membolehkan bukan hanya Abu Tsaur, tapi juga Imam 
Mazni dan Imam Ibnu Jarîr al-Thabarî. Perlu diingatkan di sini bahwa, Ibnu 
Jarir al-Thabarî juga seorang mujtahid besar yang kebesarannya sama dengan 
mazhab fikih empat lainnya. Bahkan, Imam Mazni, tokoh besar yang menjadi murid 
utama Imam Syafi'i juga membolehkan. Jadi sebetulnya, tidak hanya Abu Tsaur 
yang membolehkan perempuan menjadi imam bagi laki-laki. Beberapa orang yang 
saya sebutkan itu juga membolehkan perempuan menjadi imam salat bagi laki-laki 
sekalipun. 

UAA: Tapi mengapa pendapat seperti ini kurang populer di masyarakat?

HM: Saya kira, itulah yang perlu dicurigai. Pertanyaan kita: mengapa sejarah 
pemikiran Islam yang sangat panjang ini menyembunyikan banyak sisi lain 
pemikiran Islam yang tidak mainstream? Saya kira, banyak sekali pemikiran dan 
opini hukum Islam yang maju-bukan hanya dalam soal ini, tapi juga soal 
lainnya-yang memang tidak populer dan tidak muncul ke permukaan. Makanya, saya 
selalu mengatakan bahwa Islam yang kita warisi ini adalah Islam politik; selalu 
ada kekuasaan-kekuasaan politik yang memihak pandangan-pandangan tertentu dan 
melenyapkan pandangan lainnya. Dan bagi saya juga, pandangan-pandangan utama 
yang tampil dan didukung penguasa dinasti-dinasti Islam yang berumur panjang, 
juga jelas-jelas memperlihatkan bentuk wacana yang patriarkhis (sangat memihak 
laki-laki, Red). 

UAA: Jadi soal ini juga erat kaitannya dengan kuatnya cengkeraman dan dominasi 
budaya patriarkhi dalam masyarakat Islam?

HM: Ya. Saya heran sekali, mengapa budaya patriarkhi sampai sekarang masih kuat 
mendominasi kita. Padahal, pada era-era awal Islam, pandangan-pandangan nabi 
tentang perempuan sebetulnya sudah cukup progresif. Tapi sayangnya, sejarah 
kemudian membaliknya. Pandangan-pandangan tentang perempuan oleh banyak sebab 
lantas tidak lagi cukup progresif, tapi kembali ke pakem konservatisme. Tapi 
dalam wawancara ini, saya ingin bicara dari sisi kajian ilmiah saja, tidak 
ingin masuk peran politik dalam mengendalikan wacana.

UAA: Kang Husein, apa argumen mereka yang melarang perempuan menjadi imam 
laki-laki?

HM: Argumen yang sering dikemukakan mereka yang melarang sebenarnya diambil 
dari hadis nabi, karena Alquran sendiri tidak menyinggung persoalan ini. Hadis 
yang selalu dikemukakan adalah hadis Ibnu Majah yang bersumber dari Jabir yang 
berbunyi, "Lâ ta'ummanna imra-atun rajulan, wa lâ a`râbiyyun muhâjiran, wa lâ 
fâjirun mu'minan." Artinya, janganlah sekali-kali perempuan mengimami 
laki-laki, Arab Badui mengimami Muhajir (mereka yang ikut hijrah bersama nabi 
ke Madinah), dan pendosa mengimami mukmin yang baik. Hadis inilah yang sering 
dikemukakan di banyak tempat, untuk menopang argumen yang tidak membolehkan 
perempuan mengimami laki-laki dalam salat.

UAA: Jadi dasar pelarangannya adalah bunyi tekstual hadis Jabir ini? 

HM: Ya. Sebab, banyak orang melihat hadis ini secara eksplisit saja. Hadis ini 
juga diterima sedemikian rupa, tanpa melakukan analisis kritis atas matan atau 
isi hadisnya. Kita terlalu sering menggunakan hadis kalau sanad-nya (mata 
rantai periwayatnya, Red) sudah dianggap sahih, tanpa melakukan kritik atas 
matan atau isinya. Padahal, Imam Nawawi sendiri sudah mengatakan dalam kitabnya 
bahwa hadis ini lemah atau dla`îf. 

UAA: Lalu apa argumen mereka yang mebolehkan?

HM: Argumen yang membolehkan justru dilandaskan pada hadis Ummi Waraqah yang 
lebih kuat keabsahan sanad, apalagi matannya. Hadis itu berbunyi, ".Wakâna 
sallalLâh `alaihi wa sallam yazûruhâ fî baitihâ waja`ala lahâ mu'addzinan 
yuaddzinu lahâ wa-amara 'an ta'umma ahla dârihâ." Artinya, nabi pernah 
berkunjung ke kediaman Ummi Waraqah, lalu menunjuk seseorang untuk azan, dan 
memerintahkan Ummi Waraqah untuk mengimami keluarganya. Di antara orang yang 
ada di kediaman Ummi Waraqah tersebut terdapat syaikhun kabîr wa ghulâmuhâ 
wajâriyatahâ atau seorang laki-laki lanjut usia dan seorang budak laki-laki dan 
perempuan. Hadis ini lebih sahih dari pada hadis pertama tadi dari sisi sanad, 
apalagi matan. Untuk dapat dicek lebih lanjut, ini dapat ditemukan di kitab 
Mukhtashar Sunan Abî Dâ'ud.

Nah, berhadapan dengan hadis seperti ini, kita biasanya mereka-reka; mungkin 
saja penghuni rumah tersebut perempuan semua. Tapi saya kira, pernyataan di 
dalam hadis itu sudah sangat jelas, apalagi kalau kita lihat ungkapan zahirnya. 
Di situ jelas dikatakan bahwa, yang ikut salat terdiri dari orang lanjut usia 
(laki-laki), seorang anak laki-laki (ghulâm) dan perempuan (jâriyah).

UAA: Kang Husein, hadis Ummi Waraqah itu secara implisit memang membolehkan 
perempuan menjadi imam bagi laki-laki. Adakah contoh lain dalam praktik nabi 
atau para sahabat?

HM: Secara umum memang tidak muncul contoh dari nabi dan para sahabat. Tapi 
perlu diingat bahwa dalam hadis tadi, Ummi Waraqah sedang berhadapan langsung 
dengan nabi. Bahkan, nabi sendiri yang memerintahkannya untuk mengimami 
keluarganya yang beranggotakan kaum laki-laki. Saya kira, yang menarik dari 
hadis ini adalah kenyataan bahwa nabi justru membolehkan perempuan menjadi imam 
di hadapan makmum lak-laki tua dan seorang budak laki-laki. Saya kira, itulah 
poin yang ingin kita kemukakan. 

UAA: Bagaimana dengan kekhawatiran akan rangsangan seksual yang muncul dari 
suara perempuan dan posisinya di depan sebagai imam, seperti sering 
digembor-gemborkan sebagian orang?

HM: Saya kira kesalahannya pada konstruksi sosial dan seksual masyarakat kita 
yang masih kuat dipengaruhi bias patriarkhi, dan tidak pernah lelah 
memperbincangan soal godaan seksual. Dalam konstruksi sosial dan seksual yang 
patriarkhis seperti ini, laki-laki selalu dianggap rentan akan godaan seksual, 
dan perempuan dianggap selalu menggoda laki-laki. Saya kira, anggapan seperti 
ini terlalu berlebih-lebihan, apalagi ketika kita bicara soal ibadah salat. Dan 
mungkin, dalam konstruksi sosial lain di mana sudah tidak ada lagi asumsi 
goda-menggoda, perkara ini mungkin tidak dianggap penting lagi. Kalau tidak ada 
lagi fantasi atau mitos tentang goda-menggoda, tentu tidak akan ada lagi 
halangan bagi perempuan untuk menjadi imam laki-laki. Soalnya, argumen 
kitab-kitab klasik kita selama ini memang terlalu sering mengekspos persoalan 
itu. Dan asumsi dasarnya selalu memosisikan perempuan sebagai sumber fitnah.

UAA: Kalau begitu, mungkinkan gebrakan Amina Wadud ini diterapkan di Indonesia?

HM: Saya kira, Amina Wadud sudah berani melakukan perlawanan simbolik terhadap 
tradisi yang sudah mapan dalam konstruksi hukum Islam. Lantas, mengapa kita 
tidak menerapkannya di Indonesia? Saya kira, kita masih melihat konteks situasi 
dan kondisi yang berlangsung di negeri ini. Ketika mempraktikkan itu, apakah 
tidak akan muncul perpecahan yang luar biasa? Saya kira, soal itu juga perlu 
dipikirkan lebih lanjut. Makanya, di sinilah letak pentingnya melakukan 
pengondisian terlebih dahulu. Pengondisian itu bisa dilakukan dengan 
menyebutkan atau mengungkap wacana fikih atau pendapat yang membolehkan imam 
perempuan. 

Langkah-langkah seperti ini saya kira selalu penting, karena kita tahu, dulunya 
perempuan juga sulit bisa berpidato di muka publik, karena masih ada 
larangan-larangan keagamaan. Bahkan, untuk membaca Alquran di muka publik pun 
mereka belum dibolehkan. Dulu perempuan kita tidak dibolehkan mengikuti 
Musabaqah Tilawatil Qur'an (MTQ). Tapi sekarang, di sini tidak ada lagi 
larangan, sekalipun di banyak negara Timur-Tengah masih dilarang dan dianggap 
tabu. 

UAA: Jadi pandangan Anda cukup kokoh dan akan masuk proses pembuktian sejarah?

HM: Saya kira dari sudut substansi (lidzâtih), soal boleh-tidak bolehnya dari 
sudut pandang fikih sudah tidak ada masalah. Yang menjadi masalah hanya: apakah 
itu menggangu atau tidak. Jadi dari sudut substansi hukumnya, perempuan boleh 
menjadi imam salat laki-laki sekalipun. Hadisnya sudah jelas membolehkan. 
Kalaupun ada masalah yang tidak membolehkan, mungkin masuk kategori masalah 
eksternal atau efek sampingan saja. Misalnya, kalau makmumnya pemuda-pemuda 
semua apakah masih dibolehkan? Saya kira tergantung apakah pemudanya masih 
berotak ngeres atau tidak terhadap imamnya. Soal itu kan sebenarnya bisa 
ditanggulangi dengan berbagai cara. Gangguan kekhusyukan salat akan datang dari 
banyak hal, bukan hanya karena imamnya seorang perempuan. Kenapa hanya soal 
perempuan yang diributkan; dan mengapa persoalan perempuan lagi-lagi 
didefinisikan atau dilihat dari sudut pandang laki-laki?

UAA: Mbak Nur, sosok Amina Wadud sudah banyak dikenal di Indonesia melalui 
buku-buku terjemahannya, seperti Qur'an and Women. Bagaimana reaksi Anda ketika 
mendengar berita dari Manhattan ini?

Nur Rofiah (NR): Pertama-tama kaget, karena ini kejadian yang sangat baru. Tapi 
saya juga salut pada Amina Wadud, karena tidak hanya berani menentang, tetapi 
juga mendobrak tradisi dan pandangan keagamaan yang sudah mapan selama 
bertahun-tahun, bahkan berabad-abad. Makanya saya berkesimpulan bahwa apa yang 
sesungguhnya dilawan Amina bukanlah pandangan agama itu sendiri, tetapi tradisi 
penghayatan agama yang sudah berlangsung sejak lama. Kita tahu, memang sulit 
melepaskan diri dari tradisi. Orang lebih gampang berada dalam posisi tidak 
menunaikan tuntutan agama daripada melanggar atau mendobrak tradisi agama yang 
sudah mapan. Makanya, apa yang dilawan Amina bagi saya adalah 
pandangan-pandangan agama yang dilestarikan melalui tradisi patriarkhi yang 
begitu panjang.



UAA: Jadi ini sangat terkait dengan tradisi yang memang memandang rendah 
potensi perempuan?

NR: Ya. Sebab secara sosiologis dan kultural, Islam memang hadir pertama kali 
pada masyarakat Arab yang sangat kental berbudaya patriarkhi. Mereka sangat 
mengagung-agungkan laki-laki dan kelelakian, dan sebaliknya merendahkan potensi 
kaum perempuan. Nah, budaya seperti itu ikut mempengaruhi dan membentuk 
kesadaran dan asumsi bahwa perempuan adalah makhluk yang pasif, sementara 
laki-laki ditakdirkan untuk terus aktif. Kesadaran dan asumsi-asumsi seperti 
itu, juga sangat mempengaruhi bentuk-bentuk penghayatan keagamaan yang kita 
warisi sampai saat ini. 

Misalnya dari Kang Husein ataupun ayat-ayat Alquran, kita tahu bahwa Islam 
secara tegas memosisikan laki-laki dan perempuan pada tempat yang setara. Namun 
seiring perkembangan sejarah yang sangat dipengaruhi bentuk pola pikir suatu 
masyarakat, ayat-ayat ataupun hadis yang membolehkan perempuan menjadi imam, 
menjadi kalah populer dan hampir tidak dikenal lagi dalam khazanah fikih. Saya 
kira persoalan ini sangat terkait dengan persoalan tradisi. Dan kita tahu dari 
sejarah, tradisi kita lebih banyak dimainkan atau diperankan oleh kaum 
laki-laki. Makanya tak heran kalau hukum fikih yang berkenaan langsung dengan 
sisi pengalaman perempuan sekalipun, seperti soal haid dan nifas, semuanya 
dikonstruksi dan didefenisikan oleh ulama laki-laki.

UAA: Mbak Nur, pendapat Kang Husein tadi memang kurang populer. Makanya banyak 
yang menganggapnya mengada-ada. Komentar Anda? 

NR: Memang pandangan seperti itu tidak populer, makanya banyak yang tidak tahu. 
Tapi perlu digarisbawahi, jangan karena kita tidak tahu lantas menganggap 
sesuatu itu tidak ada (tidak ada landasannya di dalam Islam). Sebab kita juga 
tahu, ayat-ayat Alquran tentang porsi pembagian waris satu berbanding dua 
antara laki-laki dan perempuan, atau bolehnya seorang suami memukul istri, jauh 
lebih populer dari pada ayat yang memerintahkan laki-laki atau setiap suami 
untuk berbuat baik terhadap istrinya. Dan uniknya, sisi lemah hadis yang 
menyatakan bahwa perempuan tidak boleh menjadi imam, itu pun tidak kita 
ketahui. Makanya, ketidaktahuan ini memang sebuah persoalan besar. Untuk itu 
perlu ada sosialisasi yang seimbang dan berkelanjutan antara laki-laki dan 
perempuan untuk membuat sebuah wacana lebih hidup. []


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Help save the life of a child.  Support St. Jude Children's Research Hospital's
'Thanks & Giving.'
http://us.click.yahoo.com/mGEjbB/5WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke