Membaca Kematian dalam Sastra

Oleh Sudarmoko

TAK dapat dimungkiri bahwa kematian menjadi bagian
yang sangat intim dalam karya sastra. Baik itu dalam
pengungkapan tema, sebagai kenyataan dalam cerita,
peristiwa, maupun pandangan tokoh terhadapnya.
Demikianlah, maka segala genre sastra banyak berbicara
tentangnya. Lebih nyata lagi, pada media lain,
misalnya dalam film-film kartun untuk anak-anak,
adegan kematian dan ’kehancuran’ itu disajikan dengan
sangat gamblang dan seakan-akan menjadi sangat lucu.
Dan dalam kehidupan masyarakat budaya kita pun
terdapat banyak ritual yang berkaitan dengan kematian.
Bahkan yang menghabiskan sejumlah besar dana dan masa
sekalipun.

Kenyataannya, dalam kehidupan kita pun selalu
berhadapan dengan tema ini. Kematian menjadi bagian
tak terpisahkan dalam hidup kita. Sebuah risiko pasti
dari hidup adalah mati. Ia menjadi bagian yang sering
kali tak lagi diperhatikan karena ia sudah menjadi
sesuatu yang lumrah. Media massa setiap hari
mengabarkan kematian. Entah dengan cara bagaimana dan
sebab apa, nyatanya kematian menjadi sebuah kabar yang
tak lagi membuat kita berduka atau berkabung. Ya,
sebab kita begitu kebal karenanya.

Dalam sastra, hal ini menarik untuk dilihat bagaimana
pengarang memperlakukan kematian yang dihadapi
tokoh-tokohnya, atau ia menjadi tema, atau ketika
kematian tersaji sebagai menu tambahan saja. Eka
Kurniawan, misalnya, dalam Cantik Itu Luka (AKY Press
dan Jendela, 2002) menggambarkan kematian sebagai
sebuah kelumrahan. Pada paragraf-paragraf pertama pun
dia sudah memberikan gambaran yang menyuramkan tentang
kematian, tentang kebangkitan, tentang kelahiran, yang
menciptakan sebuah sublimitas peristiwa sekaligus.

Kemudian, di sana-sini ia menghadirkan lagi kematian
itu, dalam perang, karena cinta tak sampai, duel
preman, penyakit dan kelaparan, atau hanya karena usia
yang telah sampai di ujung. Gambaran yang lebih detail
adalah dengan kehadiran hantu-hantu komunis akibat
pembantaian luar biasa itu. Sebuah gambaran yang
tereksplorasi dengan baik dan luar biasa untuk
menunjukkan sebuah teror atas dan dari kematian yang
dipaksakan, protes atas pengambilalihan hak mencabut
nyawa dari malaikat elmaut. Tak dapat dibayangkan
bagaimana sibuknya malaikat ketika itu, gambaran ini
tak terdapat dalam novel tersebut, seperti juga ketika
kematian massal terjadi karena sebab dan di tempat
lain.

Sementara Kurnia Effendi lebih lembut lagi dalam
melihat kematian dalam cerpen-cerpennya. Dalam
antologi Senapan Cinta (Gagas Media, 2004), beberapa
cerpen menjadikan kematian sebagai tema utama. Dan
yang menarik, tokoh-tokoh dalam cerpen-cerpen Kurnia
memiliki pandangan yang positif terhadap kematian.
Lihatlah bagaimana perjalanan yang ditempuh seorang
gadis ABG untuk menonton sebuah konser musik ("Alyesha
Tak Mau Tidur"). Alangkah indahnya perjalanan dan
berbagai metafor yang digunakan Kurnia dalam
menceritakannya. Saya pikir ini sebuah cerpen yang
sangat berhasil dalam antologi ini, dan salah satu
capaian yang bernilai dari Kurnia. Atau juga ketika
seseorang menemani ayahnya yang menunggu ajal,
bercerita, merokok, seperti sebuah jamuan bagi seorang
tamu agung yang bakal datang, namun si tuan rumah
harus mengumpulkan dan menunggu kelengkapan anggota
keluarganya (dalam "Menemani Ayah Merokok"). Pada
cerita tentang pembuangan abu jenazah ("Abu Jenazah
Ayah"), Kurnia menghadirkan sebuah humor terhadap
ritual itu, ada sisi lucu pada kematian. Terutama
dalam hal bagaimana pandangan dan sikap kita terhadap
orang yang sudah meninggal. Demikianlah, kematian
dihadapi dengan berbagai cara, berbagai rasa.

AA Navis dalam cerpennya "Dokter dan Maut" (dalam
antologi Bertanya Kerbau pada Pedati, Gramedia Pustaka
Utama, 2002) membuat sebuah gambaran lain yang
menyenangkan ketika sang Dokter dikunjungi seorang
bekas pasiennya yang ternyata adalah malaikat maut.
Mungkin terinspirasi oleh novel A Chrismast Carol
karya Charles Dickens, sebuah novel yang sangat
populer dan banyak difilmkan dalam berbagai versi dan
adaptasi, jalan ceritanya seperti sebuah persahabatan
antara seorang manusia dan malaikat maut. Yang
membedakan keduanya adalah akhir cerita. Pada cerpen
Navis sang Dokter memilih untuk pergi bersama malaikat
maut, sementara pada A Chrismast Carol, Scrooge tak
mau mati dan ingin membayar perbuatannya dulu baru
bersedia mati.

Contoh-contoh di atas hanyalah sebagian kecil dari
fenomena kematian dalam karya sastra, dan belum dapat
dikatakan dapat mewakili keseluruhan fenomena yang
terjadi. Namun paling tidak, hal itu dapat menunjukkan
bahwa tema ini mendapatkan perhatian dari pengarang
seperti ditunjukkan dalam sejumlah karya. Namun, meski
tema kematian ini juga menjadi tema dalam filsafat
yang tak pernah habis dibahas, hal ini, dan tulisan
ini, tidak berpretensi untuk sampai pada bahasan
tentang penyebutan atau kategorisasi karya sastra
filsafat. Ia hanya menjadi sebuah penunjuk bahwa pada
dasarnya karya sastra menawarkan sebuah pandangan
mendasar, sesederhana apa pun dia, dan karena itu ia
penting bagi manusia.

Kematian dalam sastra kadang menjadi sebuah tanda dari
realitas sikap masyarakatnya. Pada cerpen Navis, motif
kebersediaan sang Dokter untuk pergi bersama malaikat
maut adalah karena sang Dokter sudah tua dan tak
memiliki tenaga lagi untuk mengubah keadaan
sekitarnya. Meski sang Dokter memiliki pilihan untuk
tetap tinggal, setelah menyaksikan bagaimana rakus
sanak familinya untuk menguasai harta warisannya
dengan berbagai tipu muslihat, sang Dokter tak memilih
untuk tinggal. Jika kita simak kutipan di bawah ini,
akan nyatalah bagaimana motif itu digunakan oleh
Navis.

"Bagaimana Dokter? Apa Tuan masih ingin hidup lebih
lama lagi?" tanya Sang maut itu tetap dengan
senyumnya. Senyum itu kian manis dalam pandangan
dokter itu.

"Jika aku boleh mengulang hidupku sebagai orang muda,
akan lain yang aku kerjakan. Takkan aku biarkan
kebobrokan ini berlangsung terus. Tapi untuk hidup
lebih lama sebagai orang tua, tanpa daya, oh, minta
ampun," katanya yakin.

Kini tubuhnya terasa demikian ringannya. Mati itu
tidak dirasakannya seperti yang dikiranya selama ini.
Mati hanyalah suatu perpindahan hidup. Namun hatinya
sedih juga. Sedih yang lain. Sedih melihat tingkah
laku orang-orang yang jadi sahabat dan kerabatnya
sesudah kematiannya. (Navis, hal 23-24).

Sikap menyerah dan apatis ini merupakan sikap yang tak
begitu susah ditemui dalam realitas. Dan alasan alami
seperti ketuaan merupakan sebuah alasan yang juga
jamak ditemukan.

UPACARA-upacara kematian masih dapat ditemukan dalam
masyarakat kita. Selain menjadi tuntutan adat, upacara
itu juga dilakukan dengan alasan lain semisal agama,
institusional (seperti militer yang memiliki cara
tersendiri dalam menghormati prajurit yang gugur),
maupun negara (saya teringat tabur bunga atau
penghormatan pada pahlawan dalam sejumlah upacara).
Cukup banyak alasan untuk melakukannya, meski upacara
itu, seperti disebut di atas, sering tak berpengaruh
dalam mengganggu rutinitas hidup yang memang sudah
cukup sibuk.

Akan tetapi, bagaimana dengan tema ini dalam sejarah
kelam kejahatan manusia atas manusia lain yang
berujung pada hilangnya nyawa orang lain? Tentu saja
tumpukan ingatan akan hal itu lari pada karya-karya
yang berlatar belakang, atau dihasilkan, dari sebuah
cuplikan periode kelam berbagai peristiwa kejam;
keganasan perang dan pembantaian di berbagai belahan
dunia. Catatan menarik diberikan oleh Matthew D
Coffman dalam "Dark Matters: Death, Language, and
Human Limitation in British First World War Poetry"
(2003: 74): Death itself remains unknowable. Rather
than assume an impossible understanding of death, the
war poems explore the fuzzy territory that lies
between the dead and the denial of death. Although the
effect of life by death may not be dramatic effect the
writer or reader was expecting, death may nevertheless
cause subtle inflections in the lives of those who
survive close contact with it. Di bagian lain Coffman
mempertanyakan adakah puisi lahir dari kekejaman dan
hilangnya nyawa banyak orang, seperti Perang Dunia I
dan II, dan bagaimana puisi bisa lahir dari sebuah
kedahsyatan kesengsaraan dan kekejian yang dilakukan
manusia. Sebuah pertanyaan yang rasanya sangat ironis,
namun terbukti bahwa sastra kadang bertugas mencatat
berbagai peristiwa, bahkan yang paling keji dan busuk
sekali pun.

Coffman memang mengkhawatirkan adanya akibat dari tema
ini dalam kehidupan manusia. Sebagaimana juga bahwa
karya sastra dibaca oleh orang-orang yang masih hidup,
dan karena itu akan memiliki efek bagi kehidupannya.
Bukan berarti bahwa kekejaman dan kematian akan begitu
saja dimaknai oleh pembaca dan memiliki pengaruhnya
dalam kehidupan. Pembaca memang diharapkan akan
memperoleh makna dan manfaat dari bacaannya. Dan
dengan begitu, karya sastra akan memiliki arti dan
fungsinya yang penting.

Namun, kekejaman seperti itu tak harus mengambil
contoh pada kebrutalan masif. Ia bisa saja hadir dalam
kekejaman atas individu yang dilakukan baik secara
personal maupun institusional. Dan kita sudah cukup
akrab dengan ini semua. Berbagai peristiwa tentang itu
dapat dengan mudah kita dapati dalam surat kabar
maupun setiap siang dan senja hari di
televisi-televisi. Anehnya, kita menikmatinya dengan
senang sambil makan siang, minum jus atau es teh,
mengisap rokok, atau bercanda dengan orang di sekitar,
mungkin.

Sudarmokosedang belajar di Department of Languages and
Cultures of Southeast Asia and Oceania, Leiden.

http://www.kompas.com/


__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 


------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Help save the life of a child.  Support St. Jude Children's Research Hospital's
'Thanks & Giving.'
http://us.click.yahoo.com/mGEjbB/5WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke