Protestanisme Islam dan Reformasi Protestan 
Tanggapan untuk Sukidi

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0504/06/Bentara/1661648.htm

Robert W Hefner

SALAH satu karakteristik utama budaya Islam di Indonesia modern terletak pada 
kemampuannya melahirkan sarjana dan aktivis Muslim yang punya kapabilitas 
intelektual tinggi dalam menanggapi tantangan politik, ekonomi, dan budaya di 
dunia modern. Entah itu Kiai Haji Achmad Dahlan (1910-an), Kiai Hasyim Asy’ari 
(1920-an), entah Nurcholish Madjid, Harun Nasution, dan Abdurrahman Wahid 
(1990-an), para pemimpin Muslim Indonesia telah menunjukkan kemampuan luar 
biasa melihat tradisi Islam secara mendalam dan mengontekstualkan 
wawasan-wawasan keislaman yang relevan dalam menjawab tantangan dunia modern.

MEMANG sejumlah pengamat menilai bahwa kemampuan mengontekstualkan pesan Islam 
di dunia modern adalah suatu fenomena yang terjadi dalam sejarah Muslim di 
berbagai belahan dunia Islam. Para Muslim revivalis dan reformis benar-benar 
telah muncul di banyak negara. Meskipun demikian, ada semacam kekhasan 
tersendiri untuk model Indonesia. Ini bukan saja fakta bahwa Indonesia telah 
memunculkan para pemikir Muslim, tetapi juga ide-ide dan gagasan pemikiran yang 
mereka kembangkan mendapat perhatian hangat di dalam segmen masyarakat 
Indonesia yang luas. Hasilnya, sebagian ide dan gagasan pemikiran intelektual 
mereka diikuti oleh publik luas, bahkan dipakai sebagai peranti untuk 
meningkatkan dinamika intelektual masyarakat Muslim Indonesia.

Kita hanya perlu membandingkan penerimaan publik atas ide-ide pembaharuan 
keislaman seorang figur seperti Muhammad Abduh di Mesir dengan Achmad Dahlan di 
Indonesia untuk menyadari adanya kekhasan tersendiri model pembaharuan 
keislaman di Indonesia. Dengan segenap pertimbangan, Abduh adalah satu dari 
sekian pembaharu Muslim terbesar di dunia modern. Meskipun ditunjuk sebagai 
mufti besar di Mesir, Abduh sepanjang hidupnya menghadapi oposisi tak kenal 
henti atas ide-idenya dari institusi keagamaan, tak terkecuali institusi 
pendidikan Al-Azhar itu sendiri. Beberapa pembaharuan pendidikannya pada 
akhirnya memang dimasukkan ke dalam kurikulum Al-Azhar, tetapi tidak demikian 
halnya dengan ide-ide besarnya dalam pembaharuan keislaman.

Sama pentingnya, meskipun Abduh berharap mempersiapkan jalan bagi kepemimpinan 
baru dan organisasi kemasyarakatan bagi Muslim Mesir, oposisi dari para 
pemimpin keagamaan di negeri tersebut meyakinkan bahwa ia tidak akan pernah 
bisa melakukannya. Hingga sekarang pun bahkan tak ada yang mampu (di Mesir) 
menyamai pencapaian luar biasa Muhammadiyah yang digagas Achmad Dahlan. 
Organisasi massa Muslim terbesar di Mesir, Ikhwan al-Muslimun, yang dipelopori 
Hasan al-Banna pada mulanya memang mengikuti sedikit di antara ide-ide Abduh 
ini. Namun, sejak dasawarsa 1930-an, Ikhwan telah berpaling dari cita-cita 
ideal Abduh tentang pembaharuan keislaman dan sebaliknya justru mengambil 
komitmen merebut kekuasaan di Mesir. Sebaliknya di Indonesia, Achmad Dahlan 
relatif berhasil mengembangkan organisasi pembaharuan keislaman yang 
berspiritkan, meminjam ungkapan terkenal Amien Rais, "politik tingkat tinggi" 
di bidang pemikiran, pendidikan, dan kesejahteraan sosial. Hasilnya, organisasi 
keislaman yang skala dan visi besarnya tak ada bandingannya di Timur Tengah.

Perbedaan seperti ini tidak hanya terbatas di Mesir dan Indonesia. Meskipun 
ide-idenya masih termasuk kategori reformisme Sunni yang utama, pembaharu 
Muslim asal Pakistan, Fazlur Rahman, dipaksa meninggalkan Pakistan dan 
menghabiskan sisa hidupnya mengajar dan menulis di Universitas Chicago, Amerika 
Serikat. Sekarang ini ide-ide pembaharuan keislaman Rahman didiskusikan lebih 
luas dan bebas di Indonesia ketimbang di negerinya sendiri. Persis dengan kasus 
Rahman, ide-ide pembaharuan keislaman reformis besar asal Suriah, Muhammad 
Shahrour, juga lebih bebas didiskusikan di Indonesia. Namun, di negerinya 
sendiri pembaharuan Shahrour menghadapi tentangan yang begitu sengit dari 
segelintir kaum militan hingga pemikir yang berbahasa halus ini dipaksa 
menjauhi kegiatan-kegiatan publik dan harus ditemani pengawal saban bepergian 
ke luar.

Masyarakat Muslim di Indonesia modern tentu saja tak luput dari kontroversi, 
bahkan kekerasan. Namun, ketika melihat lanskap penuh abad XX, orang dikejutkan 
dengan fakta bahwa sekalipun disibukkan dengan kontroversi dan kekerasan, 
masyarakat Muslim Indonesia secara konsisten kembali berada di jalan lurus 
moderasi, pluralisme, dan debat berspirit kebebasan. Meskipun 
organisasi-organisasi keislaman seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama digoda 
oleh rayuan politik kekuasaan, faktanya mereka secara konsisten kembali pada 
garis moderat, pluralisme, dan nasionalisme keagamaan.

DALAM era keterbukaan masyarakat Muslim di Indonesia yang ditandai dengan 
suburnya ide-ide pembaharuan dan rekontekstualisasi wacana keislaman itulah 
esai Sukidi (Lembaran Bentara, Kompas, 2/3/2005) yang cemerlang tentang seruan 
pada pentingnya gagasan Protestanisme Islam membangkitkan butir-butir sangat 
penting untuk refleksi pembaharuan keagamaan ke depan. Beberapa butir penting 
sebaiknya ditekankan sejak awal.

Pertama, mutu esai Sukidi sendiri yang bagus dan fakta bahwa esai tersebut 
telah merangsang diskursus keislaman yang hangat dalam komunitas Muslim dengan 
sendirinya mengilustrasikan keterbukaan yang terus-menerus berlangsung di 
kalangan Muslim Indonesia.

Kedua, dan sedikit agak menyadarkan, sebagian alasan mengapa esai Sukidi 
mengundang debat adalah bahwa ada kekhawatiran yang terus berkembang di 
lingkaran intelektual Muslim bahwa sejak akhir rezim Orde Baru masyarakat 
Muslim telah kehilangan beberapa elemen keadaban dan energi intelektualnya 
sebagai akibat dari percekcokan publik dan tindakan intimidasi beberapa 
individu yang berpikiran radikal. Berdasarkan percakapan dengan kawan-kawan di 
Indonesia, saya percaya bahwa persepsi inilah yang menyebabkan para intelektual 
muda berpikir mengenai apakah Indonesia juga membutuhkan hal-hal yang 
didiskusikan oleh Sukidi dengan sangat baik dalam esainya: sebuah reformasi 
Protestan Islam yang mampu merangsang kehidupan intelektual dan organisasi 
sosial masyarakat Muslim secara keseluruhan.

Catatan Sukidi berhasil dengan cemerlang menggarisbawahi tuntutan gagasan 
Protestanisme Islam yang diserukan Jamal al-Din al-Afghani, Ali Shariati, dan 
Hashem Aghajari. Ketiga pemikir Muslim ini tentu saja orang-orang Iran. 
Ketiganya, seperti ditunjukkan Sukidi, menyerukan pentingnya Protestanisme 
Islam sebagai usaha meneguhkan komitmen masyarakat Muslim terhadap kemajuan, 
rasionalitas keagamaan, dan di atas semua itu adalah suatu keyakinan bahwa 
setiap Muslim menjadi "Imam bagi dirinya sendiri". Ide-ide pembaharuan seperti 
itu telah muncul dan muncul kembali di dunia Islam modern. Dengan makna 
demikian, Protestanisme Islam benar-benar memiliki beberapa karakteristik 
terjadinya suatu "pengembaraan gagasan".

Bagaimanapun juga sangat bermanfaat untuk diingat, sesungguhnya ide 
Protestanisme Islam telah menjadi subyek diskusi yang lebih hangat di Iran 
dewasa ini ketimbang di dunia Muslim Sunni. Mengapa hal ini terjadi? Mungkin 
pertanyaan ini akan sedikit terbantu dengan cara menambahkan travelling theory 
Edrward Said dengan beberapa isu dari sejarah sosial Islam di Iran.

Pada abad XVIII dan XIX Islam Shi’ah Iran mengalami transformasi doktrin dan 
organisasi yang tak ada bandingannya dengan yang terjadi di dunia Sunni. Secara 
lebih khusus, setelah konflik antara mazhab Akhbari dan Ushuli, sebuah 
konsensus baru lahir di antara para intelektual agama yang berpusat pada 
kewajiban semua mukmin untuk menaati doktrin tentang marja’. Menurut konsep 
ini, setiap Muslim saleh diwajibkan tunduk kepada seorang mujtahid yang 
berfungsi sebagai marja’ taklidnya, rujukan keagamaannya. Beberapa dekade 
setelah doktrin marja’ disebarluaskan, otoritas keagamaan di Iran Shi’ah 
mengalami evolusi lebih jauh. Perubahan itu berpusat pada ide bahwa tidak hanya 
setiap orang awam yang harus memiliki sebuah marja’, tetapi juga harus ada 
sebuah marja’ tunggal tempat para intelektual Muslim bersandar. Yang paling 
terhormat adalah seseorang yang disebut sebagai Ayatullah, secara literal 
berarti ’tanda Tuhan’.

Dalam konteks ini Shi’ah abad XIX mengembangkan beberapa karakteristik yang 
hierarkis dan sentralistik yang secara umum lebih dekat diasosiasikan dengan 
Kristen di Barat ketimbang Islam. Namun, tak dapat disangkal pula bahwa 
struktur hierarkis Shi’ah Iran tak sekental dan sehierarkis Gereja Katolik 
Roma. Seorang intelektual menjadi seorang Ayatullah bukan karena dipilih atau 
diangkat oleh ulama, melainkan melalui sebuah proses intelektual informal dan 
pendapat publik. Namun, dalam 200 tahun terakhir, Islam Shi’ah telah 
mengembangkan tingkat hierarki intelektual dan sentralisasi yang jauh lebih 
kompleks ketimbang tipikal Islam Sunni. Fakta inilah, ketimbang faktor lain, 
yang membantu menjelaskan mengapa di saat-saat krisis sosial-politik beberapa 
orang di Iran menjadi tidak sabar dengan status quo Shi’ah dan seperti Afghani, 
Shariati, dan Aghajari, mereka mulai mengimpikan Shi’ah yang mirip dengan 
Reformasi Protestan.

Tak ada satu negara pun di kalangan Islam Sunni yang mengambil jalan 
sebagaimana ditempuh kaum Shi’ah Iran dengan mandat hierarki marja’ dan 
kepatuhan buta. Kecenderungan utama dalam otoritas keagamaan abad XIX dan XX di 
dunia Sunni ternyata bukanlah hierarki mandat keagamaan, tetapi lebih 
perjuangan kelompok-kelompok Muslim tentang hubungan yang sebaiknya dimiliki 
antara ulama dan umat dalam kaitannya dengan negara. Tentu saja ada sejarah 
panjang atas perdebatan-perdebatan seperti itu di Islam Sunni. Selama apa yang 
dikenal sebagai "inkuisisi" atau mihna di masa kekuasaan Khalifah Abasiyah 
al-Ma’mun (813-833) dan diteruskan pada Khalifah al-Wathiq (842-847), para 
pejabat kekhalifahan mencoba memaksa kehendaknya kepada para ulama. Konflik 
terutama terpusat pada masalah keterciptaan Alquran. Namun, yang menyedot pusat 
perhatian dalam konflik mihna adalah pertanyaan tentang siapa yang memiliki 
otoritas terakhir untuk membicarakan masalah-masalah keislaman: ulama atau 
khalifah (penguasa). Kegagalan khalifah memenangi misi perjuangannya menandai 
suatu kemenangan definitif bagi ulama dan menobatkan ulama sebagai pemegang 
otoritas prinsipiil dalam masalah teologi Islam dan hukum.

Kegagalan mihna juga meniscayakan bahwa tradisi sentral di Islam Sunni tetap 
menjadi sebuah pola "multipusat" otoritas keagamaan, tidak terpusat pada satu 
otoritas keagamaan. Yang saya maksudkan dengan hal ini adalah komunitas 
intelektual dan orang beriman secara lebih luas, ketimbang hanya seorang 
pendeta, khalifah, atau seorang Ayatullah yang bertanggung jawab dalam 
masalah-masalah keagamaan. Di awal Kekhalifahan Utsmani, beberapa negara Muslim 
modern telah berusaha menolak pendahulu Sunni ini dan menghubungkan komunitas 
ulama lebih dekat kepada gerbong kekuasaan. Beberapa Islamis sekarang juga 
berpendapat adanya kemiripan etatisasi otoritas keagamaan. Meskipun ada 
upaya-upaya demikian, titik sentral otoritas keagamaan di Islam Sunni masih 
bersifat multipusat dan komunitarian, tidak tersentralisasi, otoritarian, 
ataupun hierarkis.

Inilah perbedaan mendasar antara Sunni dan Shi’ah yang membantu menjelaskan 
mengapa ide Protestanisme Islam menjadi sedemikian populer di Shi’ah Iran dan 
kurang bergema di dunia Sunni. Kristen prareformasi diorganisasikan di atas 
struktur Imam gereja yang hierarkis dan terkontrol secara terpusat, yang status 
dan otoritas keimamannya telah ditentukan bukan berdasarkan konsensus 
intelektual dan komunitas yang bersifat informal, melainkan melalui struktur 
formal institusi dan komando. Karena otoritas keagamaan di Kristen Roma diatur 
melalui cara yang korporatis seperti ini, maka Luther dan para pendukungnya 
merasa terpanggil memisahkan diri secara keseluruhan dari Gereja Katolik Roma 
dan mendirikan Gereja tersendiri yang sepenuhnya terpisah. Islam Sunni kurang 
rentan terhadap perpecahan sektarian seperti ini karena, ketimbang hierarkis 
eklesiastikal, Islam Sunni memiliki sebuah pola pusat yang beragam dari 
otoritas keagamaan.

ARTIKEL Sukidi mengangkat satu isu terpenting lain mengenai relevansi ide 
Protestanisme untuk perkembangan Islam kontemporer. Sukidi dengan benar 
menunjukkan bahwa Afghani, Shariati, dan Aghajari menekankan bahwa Reformasi 
Protestan sangat penting bagi modernisasi Eropa. Afghani melihat konservatisme 
ulama sebagai penyebab utama jatuhnya peradaban Islam setelah masa keemasan 
Nabi Muhammad dan masa kekhalifahan empat (khulafaurrasyidin). Dijiwai oleh 
keyakinan demikian, cukup mudah bagi Afghani menyimpulkan bahwa Islam akan 
meraih manfaat positif jika Ia juga mengalami reformasi sebagai alternatif 
pembaharuan atas konservatisme ulama. Aghajari telah memberikan kritik 
selangkah lebih maju dengan menegaskan bahwa ulama tidak harus diperlakukan 
sebagai komunitas yang sakral dan setiap Muslim seharusnya menjadi imam bagi 
dirinya sendiri.

Pandangan Afghani tentang Reformasi Protestan, seperti diungkapkan Sukidi, 
dipengaruhi oleh sejarawan Perancis, Francois Guizot (1787-1874), yang juga 
berasal dari keluarga Protestan. Jika kita menilai relevansi Reformasi 
Protestan terhadap Muslim modern bagaimanapun juga kita perlu bertanya apakah 
pernyataan-pernyataan Guizot mengenai reformasi pada kenyataannya akurat secara 
historis. Apakah Reformasi menjadi batu loncatan penting bagi pembaharuan 
intelektual dan politik Eropa? Jika jawaban atas pertanyaan itu adalah ya, maka 
Guizot dan Afghani benar dan Protestanisme barangkali benar-benar menawarkan 
pelajaran yang berharga bagi Muslim Modern. Namun sebaliknya, jika jawabannya 
adalah tidak, relevansi Protestanisme barangkali lebih terbatas.

Terhadap pertanyaan tentang sumbangan Reformasi Protestan terhadap peradaban 
Eropa, para sejarawan Barat telah menuliskan catatan yang lebih teliti 
ketimbang yang dilakukan Guizot, bahkan sekalipun dibandingkan dengan yang 
dilakukan sosiolog besar Jerman, Max Weber. Reformasi Protestan bukan sekadar 
pencapaian intelektual yang mendorong para penganut agama untuk lebih 
bertanggung jawab terhadap iman mereka masing-masing. Reformasi Protestan juga 
merupakan peristiwa politik yang kompleks, yang memicu krisis politik dan 
kultural yang besar. Pendukung tulen toleransi dalam usia mudanya, seperti 
terekam dalam On Secular Authority (1523), Martin Luther menjadi kurang toleran 
pada tahun-tahun belakangan. Pecahnya the Peasants War di Jerman tahun 1524 dan 
meningkatnya popularitas Protestanisme radikal menginspirasi Luther mengambil 
kesimpulan bahwa otoritas negara memiliki kewajiban bertindak atau menghukum 
secara tegas para penghujat dan pemberontak agama. Eropa sendiri menyaksikan 
pecahnya kekerasan massal yang dahsyat dan pembersihan etnik-keagamaan beberapa 
dekade setelah Reformasi.

Disetujui di wilayah Jerman pada tahun 1555, Perjanjian Augsburg berupaya 
mengakhiri perang Katolik-Protestan dengan mewajibkan setiap orang dalam setiap 
teritori mengikuti agama dari raja yang berkuasa di daerahnya. Sambil 
mengakomodasi pluralisme agama yang sedang tumbuh di Eropa, perjanjian itu juga 
memperkuat hubungan antara Gereja dan negara, dan mempertebal komitmen para 
pejabat negara untuk menegakkan ortodoksi keagamaan. Di kedua belah pihak, baik 
Katolik maupun Protestan Eropa, ribuan pemikir yang (dianggap) menyimpang 
dikutuk sebagai "orang-orang bidah" dan dieksekusi. Seabad setelah Reformasi 
juga ditandai dengan serangan yang mengerikan kapada orang Yahudi, juga para 
pemikir yang menyimpang dan orang-orang eksentrik dari berbagai agama yang 
secara umum dikenal sebagai "para penyihir". Serangan terhadap orang-orang yang 
secara sosial dikategorikan eksentrik ini berlangsung dari tahun 1560 hingga 
tahun 1660 dan mengakibatkan korban jiwa yang lebih parah dari kampanye 
antibidah. Perkiraan yang konservatif memperkirakan korban jiwa 30.000 orang di 
Eropa Barat. Namun, perkiraan lain menyatakan jumlahnya tiga hingga empat kali 
lebih besar dari angka tersebut.

Dari akibat kekerasan Reformasi inilah beberapa penguasa di Republik Belanda, 
Prusia, Inggris, dan Wales menyimpulkan bahwa di tangan kepentingan politik 
mereka terletak kekuasaan meminimalkan rangsangan Reformasi menuju purifikasi 
agama dan untuk mengizinkan para penganut berbagai sekte keagamaan dalam 
wilayah kekuasaan mereka. Argumen-argumen untuk hal demikian sering kali 
bersifat pragmatis. Di Prusia, misalnya, raja yang berkuasa mempromosikan 
multikonfesionalisme (multiekspresi keberagamaan) sebagai metode untuk memikat 
daya tarik orang-orang kaya dan industri. Di Belanda dan Inggris toleransi 
terhadap agama minoritas ditegakkan dengan adanya kesadaran yang semakin tumbuh 
bahwa upaya-upaya negara menegakkan konformitas agama telah mengakibatkan 
korban jiwa yang dahsyat. Berkat tumbuhnya toleransi pasca-Reformasi dan 
hilangnya program purifikasi agama yang dipaksakan oleh negara, maka hal itu 
memungkinkan ilmu pengetahuan Eropa maju dengan pesat, bisnis berkembang, dan 
orang dari berbagai latar agama dan etnis hidup berdampingan secara damai.

Karena itu, ada sejumlah dasar untuk lebih berhati-hati mengambil secara 
literal seruan Protestanisme Islam Afghani, Shariati, dan Aghajari. Sudah 
pasti, seseorang dapat memahami daya tarik gagasan Protestanisme Islam, 
sebagaimana terjadi di Iran modern, tempat tradisi marja' dipakai untuk 
membungkam para sarjana kritis dan pendukung pembaharuan keagamaan. Dalam 
masyarakat Sunni, ajakan reformasi model Protestan barangkali kurang terkait 
dengan hierarki otoritas keagamaan per se, tetapi lebih karena rasa frustasi 
pada konservatisme ulama tertentu dalam Islam. Sebab itu, cukup dapat dipahami 
bahwa beberapa intelektual Muslim dan ulama menyerukan Reformasi Protestan 
dalam Islam karena mereka merasakan kolaborasi yang terlampau dekat antara 
ulama dan penguasa justru mendiskreditkan agama Islam itu sendiri.

Kendatipun permasalahan terakhir ini barangkali cukup serius di sejumlah 
negara, dalam pengertian literal, Reformasi Protestan tampaknya tidak akan 
menyelesaikan masalah itu. Reformasi Protestan memang berhasil membersihkan 
Kristen Barat dari beberapa inovasi (bidah) abad pertengahan, dan mendorong 
individu beriman untuk bertanggung jawab atas imannya masing-masing. Namun, 
semangat melakukan purifikasi skripturalis juga meningkatkan tekanan akan 
adanya konformitas keagamaan dan menghilangkan gelombang persekusi dan 
pembersihan etnik-keagamaan. Tentu ini bukanlah Protestanisme yang terekam 
dalam pemikiran Afghani, Shariati, dan Aghajari. Namun, sejarah yang lebih luas 
tentang Reformasi Protestan mengingatkan kita bahwa pembaharuan agama yang 
dilakukan dengan niat mulia pun dapat memudarkan semangat irreligius ketika 
otoritas keagamaan bercampur baur atau di bawah kekuasaan negara. Bagi pengikut 
Islam Sunni, upaya pertahanan terbaik melawan ancaman ini barangkali kurang 
terletak pada pembaharuan iman seperti pada Reformasi Protestan, melainkan 
lebih pada pendalaman iman tentang pluralisme dan pemikiran yang menjadi ciri 
utama kaum Islam Sunni sejak dahulu kala, tetapi justru telah dirusak oleh 
mereka yang mengingkari warisan besar tradisi Islam Sunni.

Robert W Hefner Profesor Antropologi Agama di Universitas Boston, Amerika 
Serikat; Penulis Buku Civil Islam, [Princeton, 2000]; dan Editor Tamu pada New 
Cambridge History of Islam, Volume VI

 
Khairurrazi
Aligarh Muslim University
Uttar Pradesh, India

-- 
India.com free e-mail - www.india.com. 
Check out our value-added Premium features, such as an extra 20MB for mail 
storage, POP3, e-mail forwarding, and ads-free mailboxes!

Powered by Outblaze


------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Give underprivileged students the materials they need to learn. 
Bring education to life by funding a specific classroom project.
http://us.click.yahoo.com/4F6XtA/_WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke