http://www.sinarharapan.co.id/berita/0504/21/opi01.html


Refleksi Hari Kartini 21 April 2005
Dari Emansipasi Bersimpuh pada Eksploitasi
Oleh SITI NURFAJRIYAH


Berbicara tentang Kartini selalu lekat dengan jargon emansipasi. Pertanyaannya, 
emansipasi seperti apakah yang dicita-citakan Kartini? Untuk menjawab hal itu, 
ada baiknya kita menyimak surat yang ditulis Kartini untuk Prof Anton dan 
istrinya (4 Oktober 1902). ".Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan 
pendidikan bagi anak-anak perempuan.," begitu tulisnya.
Bila mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988: 255), emansipasi 
didefinisikan sebagai pembebasan atau untuk hal isu-isu perempuan ialah 
persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan. Cita-cita Katini dapat dianggap 
sebagai salah satu bentuk emansipasi perempuan. Bukankah dia bercita-cita 
membuka kesempatan pendidikan bagi perempuan, membebaskan perempuan dari 
kebodohan?

Perlahan namun pasti, cita-cita Kartini itu semakin terwujud. Kian hari, 
semakin banyak perempuan yang berpendidikan. Memang benar masih ada perbedaan 
persentase partisipasi pendidikan antara perempuan dan laki-laki. Meski begitu, 
masih terbuka kemungkinan partisipasi pendidikan perempuan akan semakin membaik.

Setidaknya, saat ini, soal itu sudah tampak pada tingkat sekolah dasar, yang 
mendekati gender parity (keseimbangan gender). Apalagi, hal itu ditinjau dari 
segi angka melek huruf. Ternyata, persentase peningkatan angka melek huruf 
perempuan lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki.
Tidak bisa dimungkiri kondisi pendidikan perempuan Indonesia saat ini sudah 
jauh lebih baik daripada masa Kartini dulu. Ketika itu (1897), dari seluruh 
sekolah kelas dua yang ada di Pulau Jawa dan Madura, jumlah siswa perempuan 
hanya 713. Pada 1898, di semua sekolah swasta di seluruh Hindia, hanya ada 
2.891 siswa perempuan (Habis Gelap Terbitlah Terang, terj Armijn Pane, edisi 
18, 2000).

Masalahnya, apakah "kebebasan" dalam menempuh pendidikan yang dirasakan 
perempuan masa kini diimplementasikan sebagaimana yang diangankan Kartini? 
Ternyata tidak.

Masih dalam suratnya kepada Anton dan istrinya, Kartini mengungkapkan 
pendidikan bagi perempuan yang diperjuangkannya itu ".Bukan sekali- sekali 
karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki 
dalam perjuangan hidupnya. Tapi, karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar 
sekali bagi kaum perempuan, agar perempuan lebih cakap melakukan kewajibannya, 
kewajiban yang diserahkan alam (sunatullah) sendiri ke dalam tangannya; menjadi 
IBU, pendidik manusia yang pertama-tama."
Namun, apa yang terjadi pada saat ini? Bekal pendidikan perempuan lebih 
ditujukan sebagai modal untuk "keluar rumah". Entah itu dengan dalih untuk 
menambah pendapatan keluarga, beraktualisasi, berosialisasi, hingga beramal. 
Ironisnya, justru interpretasi yang menyimpang dari cita-cita Kartini inilah 
yang kian mendorong dan membanggakan perempuan.


Refleksi Diri 
Sementara itu, tujuan untuk mengimplementasikan pendidikan sebagai bekal untuk 
mendidik manusia (baca: anaknya) yang pertama dan utama makin ditinggalkan. 
Perempuan (modern?) lebih senang dan merasa lebih dihargai bila mendapat 
jabatan tinggi di kantornya daripada berada di rumah untuk menyusui buah 
hatinya dan menjadi "satu-satunya orang" yang dipercaya anak-anaknya. 
Untuk buah hatinya, perempuan zaman sekarang cukup puas dengan asuhan pembantu 
rumah tangga, yang pasti pendidikannya lebih rendah darinya. Bahkan, perempuan 
semakin berani menyerahkan pengasuhan anak kepada benda mati, semacam botol, 
televisi, komputer, PS, handphone, dan sebagainya.
Kalau pun ada perempuan yang memilih untuk "tinggal" di rumah menjadi pengelola 
rumah tangga guna bekerja memberdayakan anak dan keluarganya, dia harus siap 
mental dianggap sebagai perempuan terpasung, tidak produktif, tidak mandiri, 
bergantung pada eksistensi suami. Dia akan dianggap tidak berperan serta dalam 
membangun masyarakat.

Bahkan, bila perempuan tersebut mampu meraih pendidikan tinggi, dia boleh jadi 
dinilai sebagai perempuan aneh, egois. Dia harus siap dengan cecaran pertanyaan 
mengapa sekolah tinggi kalau hanya di rumah saja? Hal itu terjadi karena 
semakin kuatnya pemikiran bahwa aktivitas domestik dan aktivitas 
kerumahtanggaan merupakan aktivitas sepele dan ketinggalan zaman.

Sedihnya, apriori terhadap peran ibu rumah tangga tersebut juga dilakukan 
pemerintah. Pemerintah mengeluarkan program prakarsa khusus penganggur 
perempuan, yang diprioritaskan bagi ibu rumah tangga. Program itu secara nyata 
menyebut "penganggur" bagi ibu yang tidak bekerja di ruang publik. 

Bahkan, hasil pendataan keluarga pada akhir 2004 menyebutkan 73,72 persen di 
antara 8,89 juta (6,56 juta) perempuan yang telah menikah sama sekali tidak 
bekerja. Itu terjadi hanya karena dia tidak mempunyai penghasilan sendiri.
Gencarnya ajakan untuk "keluar rumah," minimnya penghargaan (termasuk dari 
pemerintah!), apalagi krisis ekonomi yang tidak juga segera pulih secara 
signifikan meningkatkan angka partisipasi perempuan di dunia kerja. Terlebih, 
kini di bidang industri, sedang terjadi tren feminisasi. Dengan demikian, 
tidaklah aneh bila kini angka penyerapan angkatan kerja perempuan justru lebih 
tinggi daripada lelaki. 

Nuansa kebebasan yang semakin membabi-buta itu mesti segera disikapi. Terlebih, 
semakin banyak perempuan yang entah sadar atau tidak, dengan berpayung pada 
jargon emansipasi, mereka justru bertekuk lutut pada aneka bentuk eksploitasi. 
Dengan iming-iming uang, mereka mau menjadi budak seks. Dengan iming-iming akan 
terkenal, mereka mau saja mempermalukan diri dengan membuka baju dan berlaku 
erotis di berbagai media massa.

Mudah-mudahan hari Kartini kali ini memberi kesempatan bagi perempuan untuk 
merefleksi diri. Pantaskah terus mengagung-agungkan Kartini, sementara yang 
dilakukan justru bertolak belakang dengan cita-cita Kartini?


Penulis adalah Aktivis Gender dan Pemerhati Sosial dan Politik Yogyakarta
  
Copyright © Sinar Harapan 2003 
 

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Give underprivileged students the materials they need to learn. 
Bring education to life by funding a specific classroom project.
http://us.click.yahoo.com/4F6XtA/_WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke