http://www.indomedia.com/bpost/042005/30/opini/opini1.htm


Moral Pilkada
Oleh: Harun Utuh

Di era reformasi sejak 1999 sampai sekarang, Indonesia melakukan tiga macam 
pemilu. Pertama pemilu legislatif (DPR-DPD-DPRD), kedua pemilu eksekutif 
(presiden dan wakil presiden), dan yang ketiga nanti pada 2005 yaitu pemilu 
kepala daerah (gubernur, walikota dan bupati beserta wakilnya). Dalam rangka 
pemilu legislatif dan eksekutif, pelaksana dan penanggung jawabnya adalah KPU 
dan KPUD, bersama-sama satu kesatuan dari atas ke bawah berdasarkan prinsip 
subordinasi dan koordinasi. Sedangkan eksekutif dan legislatif tak ikut campur, 
agar pemilu itu berjalan jujur dan adil.

Tetapi dalam pemilu kepala daerah (pilkada), KPU pusat tidak diikutsertakan 
(beristirahat). Pilkada hanya dilaksanakan KPUD propinsi, kota dan kabupaten. 
Mula-mula menurut UU No 32/2004 pasal 67, KPUD bertanggung jawab kepada DPRD, 
yaitu menyampaikan laporan untuk setiap tahap pelaksanaan pilkada, dan laporan 
penggunaan anggaran untuk pilkada tersebut. Tetapi hubungan KPUD dengan kepala 
daerah (gubernur, walikota dan bupati), tidak ada aturannya dalam UU No 32/2004 
dan PP No 6/2005. Berarti, KPUD tak bertanggung jawab kepada pemerintah atau ke 
KPU Pusat.

Selanjutnya pasal 67 UU No 32/2004 jo pasal 6 PP No 6/2005, berdasarkan 
yudicial review oleh kelompok parpol di Sulawesi Utara kepada MK, 22 Maret 
2005, diputuskan bahwa hubungan tanggung jawab kepada KPUD dengan DPRD dianggap 
tidak ada (BPost, Kamis 24/3/2005). Berarti, KPUD menjadi lembaga pilkada 
mandiri, terlepas dari KPU (pusat), pemda dan DPRD. Namun dengan dibentuknya 
desk pilkada di Departemen Dalam Negeri, pemerintah ikut serta memonitor 
pelaksanaan pilkada. Sebenarnya adalah tugas KPU (pusat) yang dipreteli 
sedemikian rupa, sehingga tak mempunyai kewenangan apa-apa, dan otomatis tak 
mendapat bagian anggaran dalam rangka pilkada.

Pembentukan desk pilkada, menunjukkan adanya intervensi pemerintah terhadap 
kemandirian KPUD. Di mana nanti mungkin akan timbul peraturan bahwa penanggung 
jawab pilkada adalah pemerintah, sedangkan KPUD hanya sebagai pelaksana. Jika 
ini terjadi maka merupakan suatu kemunduran pilkada, dibanding pemilihan 
legislatif dan pilpres.
***

Mengenai pencalonan kepada daerah dalam pilkada, menurut pasal 59 UU No 
32/2004, hanya parpol atau gabungan parpol yang mempunyai paling sedikit 15 
persen kursi di DPRD yang berhak mencalonkan pasangan calon kepala daerah. 
Tetapi setelah diadakan yudicial review, MK menentukan bukan hanya gabungan 
parpol yang mendapat kursi di DPRD yang berhak, tetapi gabungan parpol yang 
tidak mendapat kursi di DPRD juga dapat mengajukan calon kepala daerah, jika 
gabungan parpol tersebut dalam pemilu legislatif mempunyai perolehan suara 
lebih 15 persen.

Hal ini jika dibandingkan dengan pemilu eksekutif, pilkada sekarang mengalami 
kemajuan cukup berarti. Tetapi keinginan calon yang tidak melalui partai yang 
mempunyai kemampuan dan memenuhi syarat untuk menjadi calkada, tak dapat 
dipenuhi.

Alasannya, pertama, untuk menghindari membludaknya perseorangan yang ingin 
mencalonkan diri. Kedua, kepala daerah adalah jabatan politik, karenanya parpol 
yang berhak memperebutkannya. Ketiga, di dunia tidak ada negara yang tanpa 
parpol. Keempat, negara yang memakai sistem kerajaan. Raja memang bukan orang 
parpol, tetapi bukan kepala pemerintahan, kecuali raja-raja di Timur Tengah.

Dengan demikian, perseorangan yang ingin menjadi kepala daerah atau mungkin 
menjadi presiden, tanpa dukungan parpol, adalah suatu impian yang sampai dunia 
kiamat tak akan dapat diwujudkan. Yang menjadi harapan rakyat adalah, karena 
parpol sudah ditakdirkan bergelimang kerja dan hidup di lapangan politik, 
hendaknya parpol berpegang kepada moral objektif dan moral subjektif, yaitu UUD 
negara yang berlaku, dan agama masing-masing yang dianutnya.

Moral objektif dan subjektif ini meliputi persoalan: 1. Untuk mencapai tujuan 
tidak boleh menghalalkan segala cara. 2. Negara adalah dari, oleh dan untuk 
rakyat. Oleh karena itu parpol bukan milik pribadi, perorangan, dan golongan. 
3. Manusia secara objektif kekal, kecuali dunia kiamat. Oleh karena itu hukum 
harus ditegakkan oleh manusia yang bermoral. 4. Secara subjektif manusia pasti 
mati, pengadilan Tuhan pasti berlaku. 5. Secara objektif dan subjektif, manusia 
adalah pemimpin. 6. Secara subjektif manusia adalah ciptaan dan hamba Tuhan.
***

Persoalan politik uang (money politics), tidak terdapat aturannya dalam UU dan 
PP. Politik uang jika atas inisiatif calkada, disebut suap. Jika inisiatif 
datang dari parpol disebut pungutan liar (pungli), atau mungkin bisa dianggap 
pemerasan. Suap dan pungli diatur oleh KUHP dan UU Korupsi. Jadi politik uang 
adalah perbuatan melanggar hukum. Cuma untuk membuktikannya sangat sulit, 
karena tidak ada bukti tertulis dan saksi yang melihatnya. Tetapi masyarakat 
menyakini bahwa politik uang itu ada.

Di dalam hukum, keyakinan masyarakat tidak dapat dipakai sebagai alat bukti. 
Tetapi masyarakat berdasarkan keyakinannya dapat melaporkan kepada yang 
berwajib bahwa terjadi politik uang dalam pilkada. Di tangan polisi laporan 
masyarakat ini tentu akan kandas, karena polisi berpegang kepada pembuktian 
konvensional.

Jika polisi dan juga nanti jaksa berani mengajukan perkara politik uang itu ke 
pengadilan berdasarkan keyakinan masyarakat, dan kemudian dalam pengadilan 
hakim menggunakan keyakinannya yaitu keyakinan hakim bahwa politik uang telah 
terjadi, maka persoalan ini menjadi kasus yang menarik dalam kehidupan hukum 
dan perpolitikan di Indonesia.

Tadi sudah dikemukakan bahwa politik uang tidak diatur dalam UU dan PP. Tetapi 
kalau dicari dan dipelajari secara jelimet, berdasarkan penafsiran yang 
mendalam, maka dalam PP No 6/2005 diatur syarat calkada pada pasal 38 ayat (a) 
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, ayat (b) setia kepada Pancasila sebagai 
Dasar Negara, UUD 1945, cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945, dan kepada negara 
kesatuan Republik Indonesia.

Pasal 38 PP No 6/2005 ini memuat ketentuan moral objektif sekaligus moral 
subjektif. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah moral subjektif. Moral 
subjektif sekaligus juga hukum karena diatur dalam PP, maka diharapkan tidak 
akan terjadi politik uang. Tetapi bila ternyata ada dan terjadi, berarti 
calkada dan parpol yang mendukungnya melanggar moral sekaligus melanggar hukum 
yang berlaku.

Selain itu, politik uang itu terjadi karena adanya syarat tersembunyi dari 
calkada, yaitu mempunyai banyak modal untuk kepentingan dana kampanye dan 
pelipur lara pengurus parpol. Karena dana pelipur lara inilah pengurus parpol 
sering berpecah belah berkeping-keping. Jika syarat pasal 38 (a) PP No 6/2005, 
yaitu bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dapat diperiksa oleh tim dokter 
rohani (ulama dan kiai) yang dibentuk KPUD seperti tim dokter kesehatan 
fisik/jiwa, tetapi ternyata tidak bisa, karena soal beriman dan bertakwa kepada 
Tuhan Yang Maha Esa hanya Tuhan yang mengetahuinya. KPUD hanya disodori 
pernyataan bermaterai, bahwa calkada bersangkutan beriman dan bertakwa, yang 
ditandatangani sendiri tanpa saksi. Pernyataan calkada bersangkutan sebenarnya 
adalah sumpah bukan kepada KPUD saja, tetapi juga kepada masyarakat dan Tuhan.
***

Kembali kepada soal moral pilkada, yang menjadi judul tulisan ini. Pilkada 
tampaknya tidak akan berjalan jujur dan adil, tetapi langsung dapat 
dilaksanakan sebagaimana mestinya. Soal kejujuran atau keterbukaan kelihatannya 
ada usaha untuk mempretelinya. Pertama KPU Pusat tak diikutsertakan bertanggung 
jawab melaksanakannya. Otomatis KPU Pusat tak mendapat jatah anggaran pilkada. 
Padahal KPU adalah komisi pemilihan umum, sedangkan di Depdagri dibentuk desk 
pilkada yang bertugas memonitor pelaksanaan pilkada, yang tentu dibantu 
gubernur, walikota, dan bupati.

Oleh karena itu, mau tidak mau KPUD nanti akan 'lapor' kepada kepala daerah 
tentang pelaksanaan dan penggunaan anggaran yang telah digunakan. Mengenai 
kekosongan aturan dalam UU No 32/2004 dan PP No 6/2005 tentang penanggungjawab 
pelaksanaan pilkada, mungkin nanti pemerintah akan membuat perpu untuk 
pembenaran adanya desk pilkada pada pemerintah. Jika perpu tak dibikin, berarti 
pembentukan desk pilkada merupakan pelanggaran UU dan PP.

Sementara itu, KPU Pusat saat ini diobok-obok oleh penegak hukum. Salah seorang 
wakil ketuanya dicurigai, malah tertangkap tangan akan melakukan penyogokan 
(suap) kepada salah seorang anggota BPK. Jika ini semua semata-mata dilakukan 
demi penegakan hukum untuk memberantas korupsi, maka hal ini patut diacungi 
jempol. Tetapi jika dari tindakan tersebut tersembunyi unsur politis dengan 
tujuan agar KPU tak berdaya, sehingga akhirnya pemerintah nanti mengangkat 
dirinya sebagai penanggung jawab Pilkada.

Jika ini terjadi, pilkada mengalami kemunduran dibanding pemilu legislatif dan 
pilpres, walaupun dilegitimasi dengan menertibkan perpu. Perpu sebenarnya tidak 
boleh dibuat sekendak hati, tapi harus dibuat berdasarkan keadaan darurat dan 
mendesak. Soal kekosongan ketentuan dalam UU dan PP karena adanya yudicial 
review, sehingga DPRD tak menjadi penanggung jawab pilkada, tampaknya terdapat 
unsur rekayasa dari pihak pembentuk UU sendiri.

Untuk hal ini, MK tidak dapat melakukan yudicial review walaupun ada gugatan 
dari masyarakat. Peraturannya memang tidak ada. Peraturan yang tidak tertulis 
tidak dapat diyudicial review. Selain itu, jika ternyata berdasar pemeriksaan 
petugas di dalam tubuh KPU benar-benar terbukti adanya tindak pidana korupsi, 
yang dilakukan oleh orang-orang yang dianggap 'bersih', sesuai komentar salah 
seorang ketua KPU sendiri, maka adalah hal yang sangat memalukan.
Guru Besar Unlam, tinggal di Banjarmasin

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Help save the life of a child.  Support St. Jude Children's Research Hospital's
'Thanks & Giving.'
http://us.click.yahoo.com/mGEjbB/5WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke