http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2005/5/1/opini.html




''Khayalan Tingkat Tinggi''
Begitu banyak sistem moral dan politik telah ditemukan, lalu dilupakan, 
ditemukan kembali, dilupakan lagi, muncul lagi sebentar kemudian, selalu 
menarik dan mengejutkan dunia, seolah-olah mereka merupakan sesuatu yang baru 
dan menjadi saksi bagi ketidaktahuan atau kedunguan manusia dan bukannya saksi 
bagi keaktifan semangat manusia.

(Alexis de Tocqueville)

--------------------

RUBAG menyimak pendapat mentor bangsa Amerika dalam berdemokrasi, Alexis de 
Tocqueville itu, sebagai hal yang tidak mengada-ada. Di paruh kedua abad XVIII 
saja, "Bapak Demokrasi" tersebut sudah merasa bahwa sistem moral dan politik 
bukan barang baru, apalagi kalau dia masih hidup hingga sekarang, mungkin 
politik dan moralitas dianggapnya sudah cocok dijadikan artefak museum.

Memang tidak bisa dipungkiri kalau ajaran politik dan moral membuat spesies 
homo erectus ini bisa mempertahankan eksistensinya di planet biru, yang 
dipenuhi suasana persaingan kejam dan insting saling meniadakan, baik antara 
maupun antarspesies. Berkat ajaran moral dan politik yang diulang-ulang lewat 
proses penemuan kembali apa yang dilupakan, peradaban manusia lahir meski 
sekali-sekali diselingi kebiadaban yang mengerikan. Karena dengan dalih 
keteraturan dan ketertiban, ajaran moral direkayasa untuk memuluskan ambisi 
politik, sehingga sepanjang masa ada segelintir orang yang berstatus "Tuan" di 
atas orang banyak yang berstatus "budak". Kedua polaritas status tersebut 
kemudian dipulas eufemisme bahasa menjadi pemimpin dan rakyat.

Paradigma moral dan politik Ken Arok, anak janda Ni Ndok  dari Desa Pangkur, 
Malang Selatan, yang menjadi raja Tumapel  dari tahun 1222-1227, bisa dijadikan 
contoh sistem rediscovery yang dimaksud Tocqueville. Bila saja Ken Arok tidak 
memiliki ambisi, egoisme dan kelicikan luar biasa untuk berkuasa, mungkin saja 
dia akan meninggal seperti rakyat biasa, baik karena dibunuh maupun digerogoti 
usia atau sakit. Pengarang kitab Pararaton dan Negarakretagama pun tidak akan 
memberikannya gelar "Sri Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi", bahkan menganggapnya 
sebagai anak Bhatara Brahma, padahal asal-usulnya tidak jelas. Atau, bisa jadi 
karena takut setelah mengetahui sepak terjang Ken Arok yang menghalalkan segala 
cara dalam merebut kekuasaan Tunggul Ametung, termasuk mengorbankan dan 
mengambinghitamkan sobat karibnya Kebo Ijo, sehingga pujian dan sanjungan 
bernuansa "ABS" diberikan setinggi langit.

Rubag terbayang wajah "Bapak Pembangunan" rezim Orde Baru yang selalu 
bersungging senyum sehingga disebut "The Smiling General", serta beberapa buku 
yang dikarang para penulis untuk memujinya, di antaranya "Pikiran, Ucapan dan 
Tindakan Saya". Juga kisah "Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta" yang 
kemudian diluruskan jalan ceritanya oleh mantan narapidana politik Kol. Latief.

Simulakrum atas gaya dan paradigma politik Ken Arok sudah dipentaskan selama 
Orde Baru dengan hasil kehancuran tatanan politik, ekonomi dan budaya di akhir 
kisahnya. Padahal, politik modern sudah dimulai sejak Revolusi Industri di 
Inggris tahun 1750-1850 dan Revolusi Prancis tahun 1789. Tidak mengherankan 
kalau generasi Bung Karno yang sebagian besar tidak pernah melihat dan 
merasakan dinginnya salju Eropa, sudah bisa berbicara soal Machiavellisme, 
Bonapartisme, Marxisme, Bolshevikisme dan laissez faire-nya Adam Smith, jauh 
sebelum kemerdekaan Republik Indonesia diproklamasikan. Lewat penjajahan dan 
penderitaan berabad-abadlah yang mendorong Generasi Pra-Kemerdekaan belajar 
teori politik sekaligus mempraktekkannya. Mereka sudah paham bahwa kapitalisme 
menyebarkan modernisme dan globalisasi yang monokultural, menyebabkan 
terjadinya penghisapan oleh manusia terhadap manusia lainnya. Heterogenitas 
politik, ekonomi dan budaya distandarisasi dan digiring ke kapitalisme 
konsumtif.

"L'exploitation de l'homme par l'homme!" ungkapan untuk mengejek kolonialisme 
yang digandrungi Bung Karno, justru dilupakan generasi penerus yang lebih dari 
tiga dekade  dibesarkan hedonisme dan konsumerisme dengan biaya utang luar 
negeri dari tahun ke tahun terus bertambah. Lucunya, setelah terjadi 
multikrisis dengan berbagai masalah saling berkelindan, justru muncul ide-ide 
pembaruan, perubahan dan modernisasi, padahal dunia "seberang" sudah menginjak 
tahap pascaindustri dan postkorporasi di bidang ekonomi politik dan 
postmodernisme serta poststrukturalisme di bidang budaya. Thema yang diobral 
para pembaru tersebut adalah "anti status quo" padahal mereka sendiri merupakan 
bagian dari kemapanan, seperti tidak malu pada sindiran iklan Joshua, "jeruk 
kok makan jeruk?".

***



BAGI Rubag, apa yang disebut pembaruan dan perubahan, sebenarnya pengulangan 
dari teori dan praktik politik serta ajaran moral yang berasal dari ribuan 
tahun silam. Tidak ada lagi penemuan baru, sebab yang disebut baru hanyalah 
assembling akibat standarisasi atau monokulturalisme.   Kebaruan cuma pada 
manusia dan aktor-aktor politiknya, baik karena kepongahan maupun 
intelektualitas yang di atas rata-rata manusia lain, lalu dicatat sebagai 
aktor-aktor sejarah.  Malah ketika dunia semakin gencar dihujani serbuan 
informasi dari berbagai arah, khususnya dari media elektronik, kesempatan untuk 
memilah yang asli dan yang palsu, bagi para konsumen pasif, kian tidak tersedia.

Nalar dan rasio mereka yang dibungkus ketat lemak konsumerisme dan hedonisme, 
menyuburkan perkembangan budaya pop sehingga budaya tinggi dan budaya rakyat 
tersingkir.  Kedalaman dan isi dikalahkan bentuk dan penampilan permukaan atau 
virtualitas. Hukum ekonomi klasik tentang penawaran dari produsen dan 
permintaan dari konsumen, tidak berlaku.  Lewat iklan dan promosi, produksi 
mempengaruhi konsumsi, sehingga orang membeli bukan karena butuh, tapi karena 
ingin. Motto Nietzsche, "Karena berpikir, saya ada!" dimodifikasi "Karena 
shopping, saya ada!".

Budaya pop ini pula melahirkan politisi dan moralis pop, yang fasih melontarkan 
konsep perubahan dan pembaruan yang fantatis dan ilusif. Sayangnya, kata-kata 
dan wacana sering dilontarkan seperti membuang ingus atau bersin. Tanpa makna, 
cenderung menunjukkan gejala sakit. Jarang sekali janji dan komitmen dipenuhi 
sebagai tanggung jawab moral. Ini merupakan ciri dari hadirnya zaman 
pascaindustri, yang mengganti transaksi barang dengan jasa atau mengubah 
industri metalurgi dengan semiurgi. Dengan menjual kata-kata, tanda, citra dan 
ikon, banyak yang menjadi politisi terkenal atau selebriti.

Namun setelah rezim yang dituduh status quo digusur, penggantinya yang mengaku 
agen-agen pembaruan dan perubahan dalam setiap penyelesaian masalah, cuma bisa 
melagukan "Khayalan Tingkat Tinggi" dari Peterpan. Akibatnya, sebagian orang 
yang dulu sangat fanatik jadi pendukungnya, karena malu menelan ludah yang 
keburu disemburkan, cuma bisa menggumam, "Ada apa denganmu?". Sebagian lainnya, 
yang cuma ikut-ikutan memilih, baik karena terpengaruh citra yang ditampilkan 
iklan, maupun karena uang atau tiada pilihan lain, mulai kehilangan kepercayaan 
pada siapa pun dan cenderung menjadi nihilis.

***



RUBAG menangkap fenomena golongan putih akan semakin menggejala di masa-masa 
yang akan datang. Sebab, dalam Pemilu Legislatif Tahun 2004 lalu, pemenangnya 
adalah Golput yakni sebanyak 34.537.955 suara atau 23,34 persen dari pemilih 
terdaftar.

Tajuk sebuah koran terbitan Denpasar, Kamis 28 April lalu, cukup menarik dibaca 
Rubag. Sebuah parodi tentang tindak-tanduk calon bupati dan wakil bupati 
beberapa kabupaten di Bali, yang kendati belum masa kampanye, sudah menebar 
janji dalam kunjungan minta dukungan yang diistilahkan dengan medharma suaka. 
Kepada setiap kelompok profesi dan golongan yang didatangi, dijanjikan 
perbaikan nasib serta privelese, bila masing-masing pasangan cabup dan cawabup 
tersebut kelak terpilih. Sulit dibayangkan, apakah dengan kedudukan hanya 
sebagai kepala daerah mereka bisa memenuhi semua janji-janji di segala sektor 
kehidupan yang kini terpuruk? Padahal di tingkat nasional dengan kekuasaan 
lebih tinggi, pemimpin puncak negara republik ini belum bisa memenuhi 
janji-janji yang pernah dilontarkannya saat kampanye, meskipun kekuasaan telah 
enam bulan dipegang.

Makanya, ketika sebuah pernyataan terlontar, bahwa kemiskinan di Indonesia bisa 
diatasi dalam tempo tiga tahun, banyak orang tergerak menghafal lagu "Khayalan 
Tingkat Tinggi", yang kini sudah menjadi judul sebuah sinetron. 
Pertimbangannya, lebih baik mengkhayal daripada bunuh diri!

* aridus




[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Ever feel sad or cry for no reason at all?
Depression. Narrated by Kate Hudson.
http://us.click.yahoo.com/LLQ_sC/esnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Reply via email to