REPUBLIKA

Sabtu, 30 April 2005

Dilema Menghadang PT-BHMN 




Ali Khomsan
Guru Besar IPB

Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT-BHMN) harus memberi contoh yang 
baik bagi perguruan tinggi lain. Empat perguruan tinggi: IPB, ITB, UI dan UGM 
dengan status BHMN adalah pioneer yang tingkat keberhasilannya masih harus 
dievaluasi dari waktu ke waktu. Dengan terbatasnya subsidi pemerintah, 
hendaknya semangat mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya untuk mendanai 
keberlangsungan universitas tidak menafikan bahwa core business PT-BHMN adalah 
pendidikan untuk seluruh lapisan masyarakat. Ini tetap harus dipertahankan 
dengan prinsip TQM (Total Quality Management). 

PT-BHMN sebaiknya tidak mengkomersialkan pendidikan karena setiap warga negara 
mempunyai hak yang sama untuk meraih pendidikan setinggi-tingginya. Kalau 
sebuah PT-BHMN kemudian memutuskan bahwa sekian bangku di universitasnya adalah 
untuk orang-orang kaya yang mampu membayar puluhan juta, barangkali merupakan 
konsekuensi logis akibat negara mengurangi alokasi pembiayaan pendidikan tinggi 
di PT-BHMN. Kadang-kadang ini memunculkan suara sinis di masyarakat, bahwa 
pendidikan tinggi sekarang hanya untuk orang-orang kaya.

Sebagai gambaran misalnya jalur Ujian Saringan Masuk (USM) ITB menghendaki 
sumbangan minimal Rp 45 juta-Rp 60 juta. ITB menawarkan tiga jenis saringan 
masuk mahasiswa yaitu USM-ITB, SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru), dan 
Kemitraan Nusantara. USM-ITB mungkin adalah jalur mahal versi ITB, SPMB jalur 
biasa, dan Kemitraan Nusantara jalur beasiswa dari pemda. Di UI jalur mahalnya 
disebut PPMM yang intinya adalah mahasiswa membiayai seluruh biaya 
pendidikannya secara penuh dan mandiri tanpa subsidi. Beragam fakultas di UI 
menawarkan jalur mahal ini dengan sumbangan berkisar dari Rp 25 juta-Rp 75 juta.

Mau kemana?
Kalau benar apa yang dirisaukan oleh masyarakat bahwa orang miskin semakin 
sulit masuk universitas, maka bagaimana bangsa ini mampu mensejahterakan 
rakyatnya? Orang pintar tapi miskin jatahnya untuk masuk ke perguruan tinggi 
telah dikurangi oleh orang pintar dan sekaligus kaya. Padahal, kita semua 
menyadari bahwa pendidikan yang baik merupakan pintu masuk untuk meraih 
kesejahteraan dan mengentaskan kemiskinan. 

Semangat yang menggebu-gebu untuk menjaring dana dapat menyebabkan Perguruan 
tinggi besar (PT-BHMN) terjebak membuka program studi yang sifatnya hanya 
meraup recehan. Nama besar PT-BHMN akan tenggelam kalau terlalu sibuk mengurus 
program diploma, program eksekutif, atau program ekstensi. Padahal, core 
business perguruan tinggi tersebut adalah S1 reguler, S2, dan S3 yang semuanya 
merupakan jalur akademik. Kecenderungan perguruan tinggi yang semula 
bercita-cita ingin membangun universitas riset, tetapi pada kenyataannya 
menerima banyak mahasiswa diploma menunjukkan adanya kebingungan. Dan hal ini 
akan menjadi dilema besar bagi perguruan tinggi tersebut ketika mereka harus 
banting stir mengikuti visi dan misi awal yang semula dirumuskan untuk menjadi 
perguruan tinggi terkemuka di bidang riset.

Jalur diploma terus dikembangkan karena bisa menjadi mesin uang bagi perguruan 
tinggi. Kalau alasannya hanya ini, maka keberadaan jalur profesional (diploma) 
sungguh patut dipertanyakan. Pembukaan program diploma harus selalu disertai 
feasibility study untuk mengetahui sejauh mana permintaan pasar akan 
tenaga-tenaga trampil yang kelak akan diluluskan. Ironisnya, lulusan diploma 
yang kini jumlahnya semakin banyak malah berlomba-lomba untuk masuk jalur S1 
dengan menambah waktu kuliah 2 tahun. Sementara perguruan tinggi yang mempunyai 
jalur S1 senang-senang saja menerima mereka. Jadi mau dibawa ke mana sistem 
pendidikan tinggi di Indonesia?

Keberadaan kelas-kelas eksekutif (baik jalur akademik maupun profesional) tidak 
luput dari motivasi untuk menggalang dana SPP yang relatif lebih mahal dengan 
perkuliahan hanya pada Jumat dan Sabtu. Hal ini juga tidak bisa dilepaskan dari 
masalah supply-demand. Mereka yang sibuk bekerja baik sebagai birokrat atau 
staf swasta mempunyai keinginan untuk meningkatkan wawasan keilmuannya, namun 
ketersediaan waktu sangat terbatas. Perguruan tinggi menganggap hal ini sebagai 
peluang yang harus ditangkap, maka jadilah kelas eksekutif. Tidak diketahui 
apakah penyelenggaraan kuliah nonstop dua hari dengan materi yang serba 
dipadatkan tidak mengganggu daya serap mahasiswa. 

Program pascasarjana pun tampaknya juga mengalami kebingungan untuk memisahkan 
jalur akademik dan profesional secara tegas. Calon mahasiswa bergelar MM (jalur 
profesional) tidak ragu-ragu untuk melamar ke program S3 jalur akademik untuk 
menjadi Doctor of Philosophy (PhD). Padahal, program PhD harusnya diikuti oleh 
mereka yang sudah lulus sebagai Master of Science (MSi)yang memang dirancang 
sebagai jalur akademik. PT-BHMN yang mengelola program pascasarjana jalur 
akademik harus berhati-hati. Jangan hanya karena calon mahasiswa memperoleh 
gelar MM dari perguruan tinggi terkemuka, maka yang bersangkutan bisa leluasa 
mengikuti program PhD. Kalau hal ini sampai terjadi, program pascasarjana 
tersebut mungkin hanya akan menghasilkan doktor-doktor setengah jadi. 

Kompleks
Hal lain yang terkait dengan dilema pendidikan di perguruan tinggi adalah 
semakin banyaknya peminat jalur pendidikan doktor by research. Jalur ini 
dianggap jalan pintas untuk meraih gelar doktor dalam waktu singkat. Doktor by 
research juga dianggap garansi bahwa gelar doktor pasti sudah di tangan asal 
kita bisa terdaftar sebagai calon mahasiswa. 

Sebenarnya iklim akademik di banyak perguruan tinggi di Indonesia belum siap 
untuk menyelenggarakan doktor by research yang tanpa kuliah. Memang 
kelihatannya implementasi jalur ini mudah dan sederhana. Namun yang sering lupa 
diperhatikan adalah bahwa jalur doktor by research mensyaratkan adanya komitmen 
tinggi dari dosen yang menjadi promotor, tersedianya sarana dan prasarana riset 
yang menunjang dan berkualitas, dan calon mahasiswa yang brilian serta mau 
bekerja keras.

Coba simak jawaban seorang mahasiswa ketika ditanya mengapa tertarik memilih 
jalur doktor by research? Jawabannya, karena tidak punya waktu untuk mengikuti 
perkuliahan yang terstruktur. Jadi, dikiranya program doktor by research adalah 
pendidikan yang serba santai, bertemu dosen pembimbing kapan semaunya, dan 
dianggap sebagai pendidikan sambilan karena sang mahasiswa masih bisa menekuni 
pekerjaan di kantornya. Ini salah besar!

Idealnya pendidikan pascasarjana adalah perpasangan antara dosen (promotor) 
dengan mahasiswa untuk menekuni penelitian tertentu dalam periode tertentu. 
Jadi keterikatan dosen-mahasiswa dalam proyek penelitian yang sama tidak 
memungkinkan mahasiswa doktor by research untuk keluyuran ke mana-mana, 
menghilang dari kampus dan asyik mengerjakan pekerjaan lain. Sangat penting 
bahwa jalur doktor by research dilakukan dengan mekanisme seleksi yang ketat. 
Kita jangan menerima mahasiswa yang tidak punya waktu untuk belajar tetapi 
menginginkan gelar doktor secara instan tanpa kerja keras. Calon mahasiswa yang 
berasal dari birokrasi atau pejabat-pejabat penting umumnya tidak mempunyai 
cukup waktu untuk berlama-lama belajar di kampus. Jadi kalau sasaran doktor by 
research adalah para birokrat dengan alasan keterbatasan waktu, maka filosofi 
pembukaan jalur pendidikan ini sudah melenceng.

Pada dasarnya seorang calon mahasiswa doktor by research diterima di suatu 
perguruan tinggi karena track record akademiknya dan karena prestasi ilmiahnya. 
Yang bersangkutan dianggap tidak perlu lagi mengikuti perkuliahan karena 
prestasinya yang luar biasa di bidang ilmu yang ditekuninya, atau riset-riset 
dan publikasinya selama ini dinilai sangat meyakinkan. Penambahan teori melalui 
perkuliahan bagi orang-orang seperti ini menjadi tidak diperlukan dan dia layak 
mengikuti jalur pendidikan doktor by research.

Interaksi yang intens antara dosen dengan mahasiswa menjadi syarat keberhasilan 
doktor by research. Proses pembimbingan berlangsung sepanjang waktu di 
kampus.Jadi kondisinya menjadi tidak ideal kalau ternyata dosen (promotor) 
jarang datang ke kampus dan lebih banyak sibuk di luar, sementara mahasiswanya 
yang kebetulan memiliki jabatan penting juga tidak pernah menyempatkan diri ke 
kampus. Lengkap sudah risiko kegagalan atau ketidakbermutuan jalur doktor ini. 
Persoalan-persoalan yang dihadapi pendidikan tinggi di Indonesia dan khususnya 
PT-BHMN memang kompleks. Semua ini menuntut kekonsistenan dalam pengelolaan dan 
komitmen dari seluruh dosen dan mahasiswa untuk menjadikan perguruan tingginya 
sebagai pencetak SDM berkualitas. Keinginan yang kuat untuk mengumpulkan dana 
sumbangan masyarakat hendaknya tidak mengabaikan hak-hak orang miskin (yang 
memiliki kemampuan intelektual) untuk meraih pendidikan yang setinggi-tingginya.


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Help save the life of a child.  Support St. Jude Children's Research Hospital's
'Thanks & Giving.'
http://us.click.yahoo.com/mGEjbB/5WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Reply via email to