-----Original Message-----
From: Moria  
Subject: Tantangan Berat Paus Benediktus XVI


Tantangan Berat Paus Benediktus XVI
Selain banjirnya liberalisme di tubuh Kristen, mereka juga menghadapi
masalah serius menyangkut dasar-dasar teologi mereka. Mampukah
Benediktus XVI menghadapinya? baca CAP Adian Husaini

Habemus papam (Kita punya Paus). Begitu kata penganut Katolik Roma,
menyusul terpilihnya Joseph Ratzinger sebagai Paus baru menggantikan
Paus Yohannes Paulus II, Selasa (19/4). Ratzinger yang memilih
gelarnya "Paus Benedictus XVI" dikenal sebagai teolog konservatif,
sehingga meruntuhkan harapan banyak kaum liberal dalam Katolik. Paus
yang oleh kaum Katolik dijuluki sebagai "Bapa Suci" atau "Wakil
Kristus", memegang peran sentral dalam agama Katolik.

Meskipun berbagai persoalan teologis masih mengganjal di benak banyak
teolog Katolik, namun keputusan Paus adalah penentu. Begitu sentralnya
peran Paus sebagai Wakil Kristus di bumi, maka sampai abad ke-17,
masih ada kepercayaan bahwa bumi adalah pusat tata surya dan seluruh
alam semesta bergerak mengelilingi Mahkota Paus.

Dalam tradisi Katolik, dikenal doktrin infalibilitas/infallibility,
yang menyatakan bahwa Gereja bebas dari kemungkinan sesat dalam
hal-hal yang berkaitan dengan iman dan kesusilaan yang diwahyukan.
Sifat ini dianugerahkan kepada seluruh Gereja dengan perantaraan Roh
Kudus, khususnya kepada Dewan Uskup dalam kesatuan dengan Paus,
pengganti Petrus. Konsili Vatikan I (1869-1870) mengajarkan bahwa Paus
tidak dapat sesat kalau sebagai gembala seluruh orang Kristiani dan
pengganti Petrus.

Akan tetapi doktrin infalibilitas itu tidak mampu mencegah terjadinya
konflik dan perpecahan dalam Kristen. Oleh para penentangnya dari
kalangan Kristen lain, Paus dinilai banyak melakukan kesalahan yang
fatal, sehingga Gereja tidak mampu lagi mempertahankan sifatnya yang
"satu, kudus, katolik, dan apostolik", sebagaimana diputuskan dalam
Konsili Konstantinopel tahun 381. Dari sekitar 1,8 milyar orang
Kristiani di seluruh dunia kini, pemeluk Katolik berjumlah sekitar 1,1
milyar, Ortodoks 173 juta, Protestan 382 juta, dan Anglikan 75 juta.

Perpecahan - bahkan konflik-konflik berdarah antara Katolik dan
Protestan- telah memunculkan pertanyaan mendasar tentang 'kebenaran
dan keselamatan' internal Kristiani. Gereja manakah yang benar? Jika
Gereja Katolik saja yang benar, apakah Gereja-Gereja lain - yang juga
mengakui Ketuhanan Yesus - merupakan Gereja yang sesat? Tokoh
Protestan Martin Luther menyebut Paus sebagai sosok anti-Kristus yang
dalam berbagai karikatur ketika itu digambarkan sebagai monster jahat.
Balasan Katolik terhadap Protestan juga tidak tanggung-tanggung.
Sejarah mencatat, pada 1527, misalnya, terjadi "The St. Bartholomew's
Day Massacre", yaitu pembantaian sekitar 10.000 kaum Protestan diParis
- termasuk wanita dan anak-anak- oleh kaum Katolik.

Beban sejarah yang kelam dari Gereja Katolik semacam itu tidak mudah
dilupakan, dan berpengaruh besar dalam pengambilan kebijakan di masa
kemudian. Kekejaman insitusi Gereja yang bernama Inquisisi sangat
terkenal. Karen Armstrong mencatat, bahwa salah satu dari institusi
Kristen yang paling jahat adalah Inquisisi, yang merupakan instrumen
teror dalam Gereja Katolik sampai dengan akhir abad ke-17.

Kesalahan Gereja Katolik dimasa lalu akhirnya diralat oleh pemuka
gereja di masa kemudian. Tentu saja, fakta-fakta kesalahan Gereja
Katolik di masa lalu memunculkan pertanyaan yang mendasar tentang
keabsahan doktrin infalibilitas.

Ketika mengobarkan Perang Salib, 1095, misalnya, Paus Urbanus II
menyatakan bahwa bangsa Turki (Muslim) adalah bangsa terkutuk dan jauh
dari Tuhan. Maka, Paus menyerukan, "membunuh monster tak bertuhan
seperti itu adalah suatu tindakan suci; adalah suatu kewajiban
Kristiani untuk memusnahkan bangsa jahat itu dari wilayah kita."
Dampak seruan Paus itu memang luar biasa pada sikap dan tindakan
pasukan Salib di Jerusalem dan berbagai wilayah lain. Di Jerusalem,
hampir semua penduduknya dibantai. Laki-laki, wanita, anak-anak, tanpa
pandang bulu dibantai di jalan-jalan, lorong-lorong, rumah-rumah, dan
di mana saja mereka ditemui. Apakah tindakan Paus dan kaum Kristen
seperti itu merupakan perwujudan doktrin infalibilitas?

Perubahan sikap yang besar ditunjukkan Gereja Katolik saat Konsili
Vatikan II, 1962-1965. Kaum Yahudi tidak lagi diburu.
Literatur-literatur anti-Yahudi disisihkan dari perpustakaan Vatikan.
Terhadap kaum Muslim, Gereja Katolik juga secara formal mengubah
pendekatan. Dialog-dialog antar agama digalakkan. Eksklusivisme Gereja
Katolik 'melunak', dan secara

verbal meninggalkan jargon "extra ecclesiam nulla salus" (di luar
Gereja tidak ada keselamatan). Konsili memang tetap menekankan
kewajiban menjalankan misi Kristen kepada seluruh bangsa (ad gentes).
Tapi, hal itu dilakukan dengan cara-cara yang jauh lebih halus
dibandingkan pada masa lalu. Tidak lagi menggunakan cara-cara
pembaptisan paksa.

Meskipun Konsili Vatikan II sudah banyak mencoba 'berkompromi' dengan
'modernitas', namun, masalah dalam Gereja Katolik bukan berarti
selesai. Paus-paus setelah Konsili Vatikan II terus dihadapkan pada
masalah-masalah pelik, khususnya ketika harus berhadapan dengan
nilai-nilai sekularisme dan liberalisme Barat. Sebagai salah satu
aktor penting dalam politik internasional, Paus tentu saja harus
terlibat dalam berbagai problema politik yang didominasi nilai-nilai
sekular-pragmatis.

Tidak jarang, dalam pengambilan keputusan, nilai-nilai pragmatis
tampak lebih dominan. Sikap Vatikan terhadap Israel adalah contohnya.
George Emile Irani, dalam tulisannya berjudul "The Holy See and the
Israeli-Palestinian Conflict" memaparkan kecenderungan sikap pragmatis
Vatikan tersebut. Pada tahun 1947, Vatikan mendukung sikap PBB untuk
melakukan 'internasionalisasi' terhadap Kota Jerusalem. Sikap ini
kemudian bergeser, setelah Israel mengokohkan cengkeramannya terhadap
Jerusalem. Tahun 1948, menyusul diproklamasikannya Negara Israel 14
Mei 1948, Vatikan menyatakan bahwa Zionisme bukanlah perwujudan
Israel, sebagaimana disebutkan dalam Bibel. Vatikan juga menegaskan,
bahwa Kota Jerusalem bagian dari Dunia Kristen. Namun, sejak Israel
menduduki Jerusalem tahun 1967, sikap Vatikan mulai melunak. Pada
akhirnya Vatikan mengakui eksistensi faktual dari Israel, haknya untuk
eksis, sebagaimana negara-negara berdaulat lainnya.

Hebatnya sambutan dan pemberitaan tentang kematian Paus Yohannes
Paulus II di media massa internasional, sebenarnya sebuah fenomena
paradoks diera globalisasi yang didominasi nilai-nilai sekular-liberal
Barat. Betapa tidak, dalam wacana sekularisasi dan

liberalisasi -termasuk yang dijejalkan kepada dunia Islam- terdapat
keharusan untuk memisahkan antara agama dengan politik. Namun, Vatikan
adalah pengecualian. Kaum Katolik diberi hak untuk memiliki negara dan
agama sekaligus. Vatikan mendapat hak satu suara di PBB. Vatikan juga
diberi hak untuk menempatkan dua besarnya di berbagai negara.
Disamping kepala Gereja Katolik Roma, Paus adalah kepala Negara
Vatikan. Memang kekuasaan Paus tidak sebesar seperti di zaman
Pertangahan Eropa, dimana Paus menjadi penguasa di atas semua kepala
pemerintahan di dunia Kristen ketika itu. Sekarang, setelah mengurangi
banyak lingkup kekuasaannya oleh kekuatan sekuler Barat, Vatikan masih
terus dihadapkan pada masalah-masalah yang pelik dan rumit menyangkut
eksistensi teologisnya sendiri. Sekularisasi dan liberalisasi masih
'belum puas' memakan mangsanya. Apalagi, borok-borok di kalangan
pemuka agama Katolik juga terus diekspose di media massa.

Sebelum meninggalnya Paus Yohannes Paulus II, Gereja Katolik dan kaum
Kristen pada umumnya digoncang novel "The Da Vinci Code" karya Dan
Brown. Isinya -sebagaimana dipaparkan dalam catatan sebelumnya--
membongkar dasar-dasar teologi Kristen dan memporak-porandakan sebuah
susunan gambar yang bernama Kristen. Novel ini berusaha meyakinkan
pembacanya, bahwa umat manusia telah dibohongi Gereja selama 2000
tahun. Yesus yang dipuja sebagai Tuhan, ternyata sempat mengawini Mary
Magdalena dan punya keturunan dari Mary.

Beberapa tahun terakhir, citra Gereja Katolik juga sempat babak belur
dihajar isu skandal seks sejumlah tokohnya di AS. Prof. Hans Kung,
teolog Katolik terkenal asal Jerman, misalnya, menutup bukunya, The
Catholic Church: A Short HIstory (New York: Modern

Library, 2003), dengan sebuah epilog: "Can The Catholic Church Save
Itself"? (Mampukah Gereja Katolik Menyelamatkan Dirinya Sendiri?).
Pesimisme Hans Kung didasari banyaknya laporan tentang skandal seks
para pemuka Gereja Katolik, sehingga ia mengusulkan agar

Vatikan mencabut doktrin 'celibacy' (larangan menikah bagi pastor).
Menurut Hans Kung, doktrin celibacy bertentangan dengan Bible (Matius,
19:12, 1 Timotius, 3:2). Doktrin ini, katanya, juga menjadi salah satu
sumber penyelewengan seksual di kalangan pastor. Karena itu Hans Kung
menyerukan, "Celibacy sukarela, Yes! Celibacy paksaan, No!"

Dunia Katolik sangat terpukul ketika media massa membongkar ribuan
kasus pedopilia (pelecehan seksual terhadap anak-anak) yang dilakukan
oleh para tokoh Gereja. Pada 27 Februari 2004, The Associated Press
wire menyiarkan satu tulisan berjudul Two Studies Cite

Child Sex Abuse by 4 Percent of Priests, oleh Laurie Goodstein, yang
menyebutkan, bahwa pelecehan seksual terhadap anak-anak dilakukan oleh
4 persen pastur Gereja Katolik. Setelah tahun 1970, 1 dari 10 pastur
akhirnya tertuduh melakukan pelecehan seksual itu. Dari tahun 1950
sampai 2002, sebanyak 10.667 anak-anak dilaporkan menjadi korban
pelecehan seksual oleh 4392 pastur. Studi ini dilakukan oleh The
American Catholic Bishops tahun 2002 sebagai respon terhadap tuduhan
adanya penyembunyian kasus-kasus pelecehan seksual yang dilakukan para
tokoh Gereja.

A.W. Richard Sipe, seorang pendeta Katolik Roma, menulis buku berjudul
"Sex, Priests, and Power: Anatomy of A Crisis" (1995). Buku ini
menceritakan perilaku seksual di kalangan para pendeta dan pastor.
Sebagai gambaran, pada 17 November 1992, TV Belanda menayangkan
program 17 menit tentang pelecehan seksual oleh pemuka agama Kristen
di AS. Esoknya, hanya dalam satu hari, 300 orang menelepon stasiun TV,
dan menyatakan, bahwa mereka juga mengalami pelecehan seksual oleh
para pendeta di Belanda.

Tahun 2002, The Boston Globe, juga menerbitkan sebuah buku berjudul
"Betrayal: The Crisis in the Catholic Church", yang membongkar
habis-habisan pengkhianatan dan skandal sex para pemuka agama Katolik.
Pembongkaran skandal-skandal sex ini telah memunculkan krisis paling
serius dalam Gereja Katolik. Pelecehan seksual - khususnya terhadap
anak-anak - memang sangat serius. Sebagai contoh, tahun 1992, di
Tenggara Massacusetts, ditemukan seorang pastor saja -bernama James R.
Porter- melakukan pelecehan seksual terhadap lebih dari 100 anak-anak
(pedofilia).

Kini tugas berat berada di pundak Paus Benediktus XVI. Sebagai teolog
konservatif yang menolak berbagai paham liberalisme, Ratzinger harus
berhadapan dengan realita, bahwa mayoritas masyarakat Kristen sendiri
sudah menjadi sekular dan liberal. Di tengah arus globalisasi dan
liberalisasi yang mengarah pada terbentuknya satu 'teologi global', ia
haruscxmempertahankan dekrit "Dominus Jesus" yang menolak paham
pluralisme agama, dan menegaskan, bahwa satu-satunya jalan keselamatan
adalah melalui Yesus Kristus.

Paus juga masih harus berhadapan dengan derasnya tuntutan agar wanita
diberi peran yang lebih besar dalam Gereja. Hingga kini, wanita
menjadi warga 'kelas dua' dalam Gereja Katolik. Gereja tidak
mengizinkan wanita ditahbiskan menjadi pelayan Gereja. Menyusul
perdebatan sengit masalah ini, tahun 1994, Paus Yohannes Paulus II
mengeluarkan deklarasi "Ordinatio Sacerdotalis" yang menegaskan:
"Gereja tidak mempunyai otoritas untuk memberi tahbisan imam kepada
wanita dan bahwa keputusan ini harus ditaati oleh semua umat beriman."

Maka, dunia kini sedang menunggu corak dan kebijakan Paus Benediktus
XVI dalam merespon berbagai masalah dan tantangan yang melingkupi
Gereja Katolik saat ini. Akankah ia bertahan dengan gaya "panzer" nya
menolak liberalisme, atau akan berkompromi dengan liberalisme?

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
What would our lives be like without music, dance, and theater?
Donate or volunteer in the arts today at Network for Good!
http://us.click.yahoo.com/MCfFmA/SOnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke