http://www.kompas.com/kompas-cetak/0505/03/opini/1724822.htm

 
Keadilan di Era Dikotomi Pendidikan 

Oleh Waras Kamdi

PENDIDIKAN kita bolah dikata sedang berada di era dikotomi. Pembedaan oleh 
pemerintah maupun masyarakat seperti tercermin dalam pemberian status 
terakreditasi versus tidak terakreditasi, unggul vs tidak unggul, modern vs 
konvensional, mahal vs murah, dan favorit vs tidak favorit, berpotensi 
menumbuhkan diskriminasi sosial yang tidak berkeadilan.

Dalam Rencana Strategis (Renstra) Depdiknas 2005-2009 yang diajukan ke DPR, 
muncul dikotomi baru, membedakan pendidikan formal mandiri dan formal standar 
atas dasar kemampuan ekonomi dan akademis (Kompas, 6/4). Pendidikan formal 
mandiri merepresentasi pendidikan bagi masyarakat berkemampuan ekonomi, 
pendidikan elite, mahal, bermutu, dan menjadi tempat anak-anak yang memiliki 
kemampuan akademis tinggi. Sebaliknya, pendidikan formal standar merepresentasi 
pendidikan "biasa saja", tempat berkumpulnya anak-anak yang tidak memiliki 
kemampuan akademis, miskin, dan disubsidi pemerintah.

Ada dua faktor yang melandasi perumusan dikotomi pendidikan formal mandiri vs 
formal standar itu. Pertama, keterbatasan kemampuan pemerintah menyediakan 
anggaran pendidikan. Sehingga, masyarakat yang mampu secara ekonomi, yang 
memandang pendidikan sebagai investasi ekonomi, perlu dimobilisasi melalui 
jalur pendidikan formal mandiri untuk menanggung biaya pendidikan sendiri. 
Sedangkan, masyarakat miskin yang tidak mampu berinvestasi disediakan jalur 
pendidikan formal standar yang biaya pendidikannya ditanggung pemerintah 
bersumber dari APBN.

Kedua, kenyataan 30 persen siswa (menurut Richard Felder) berkemampuan akademis 
tinggi, dirasa perlu mendapat perhatian khusus untuk masuk universitas. Selain 
memberi akses bagi anak-anak dari keluarga mampu secara ekonomi, pendidikan 
formal mandiri dimaksudkan memberi layanan kelompok anak yang memiliki 
kemampuan akademis itu. Dengan demikian, mereka yang memiliki kemampuan 
akademis tetapi berasal dari keluarga miskin akan mendapat "kemudahan akses".

Kian jelas, terpeliharanya dikotomi yang berkembang dalam dunia pendidikan 
menjadi fakta sosial yang tak terantitesis. Kebijakan dikotomi pendidikan 
formal mandiri dan formal standar itu tampaknya tidak akan menjadi masalah bagi 
masyarakat lapis menengah ke atas. Selain akibat aneka kebijakan pemerintah, 
aspirasi masyarakat, terutama lapis menengah ke atas juga cenderung menumbuhkan 
dikotomi-dikotomi itu selaras dengan kian berkembangnya sistem budaya 
kapitalistik di masyarakat.

SEBAGAI unsur keragaman sistem sosial, aneka dikotomi itu sah-sah saja dibuat. 
Masalah menjadi lain saat aneka kebijakan pemerintah di bidang pendidikan 
cenderung memberi ruang gerak sebagian kecil masyarakat kelas menengah ke atas 
untuk mengambil keuntungan sebanyak mungkin; mengabaikan kepentingan serta hak 
orang-orang miskin yang kian terpinggirkan oleh ketidakberdayaannya. Keadilan 
menjadi barang yang harus diperjuangkan oleh sebagian besar masyarakat miskin.

Fenomena ini dengan mudah bisa kita lihat. Kenyataan kini, sekolah-sekolah 
bermutu, unggul, favorit, dan kelas "akselerasi" dihuni anak-anak dari keluarga 
kaya yang mampu berinvestasi secara ekonomis, dan nyaris tidak ada akses bagi 
anak-anak dari keluarga miskin. Padahal, rendahnya nilai ujian (kemampuan 
akademik) anak-anak miskin, tidak terlepas dari faktor rendahnya kualitas hidup 
orang-orang miskin. Kalaupun ada sebagian kecil anak-anak keluarga miskin yang 
mampu berkompetisi, mereka mendapatkannya dengan usaha atau kerja keras 
berlipat ganda daripada usaha yang dikeluarkan anak-anak keluarga kaya.

Dikotomisasi pendidikan formal mandiri dan formal standar ini ditengarai akan 
berjalan mulus, karena pemerintah daerah juga memiliki nafsu sama. Daerah 
kabupaten/kota sedang bernafsu membuat minimal satu "sekolah unggul". Penajaman 
dikotomi sekolah bermutu-tidak bermutu, sekolah bagi orang kaya dan orang 
miskin, sekolah bagi anak bernilai ujian tinggi dan rendah sudah tidak tabu 
bagi sebagian besar pengambil keputusan di tingkat daerah.

Meski berstatus mandiri, pemerintah daerah tak segan-segan mengalokasikan 
anggaran pendidikan dari APBD guna mewujudkan sekolah elite. Para birokrat 
eksekutif dan legislatif daerah dengan mudah akan melakukan kompromi, karena 
sosok sekolah ini juga menjadi bagian aspirasi mereka sebagai anggota 
masyarakat kelas menengah atas. Tak menutup kemungkinan segala sumber dan 
energi pendidikan (human maupun nonhuman) akan dikerahkan ke sekolah kebanggaan 
ini, dan keran anggaran untuk mengurus sekolah-sekolah lain dikecilkan karena 
dipandang tidak penting. Di era otonomi daerah, bupati/wali kota akan mudah 
menggunakan tangannya mengatur dan mengumpulkan sumber-sumber potensialnya guna 
memenuhi ambisi daerahnya memiliki sekolah elite.

Jika itu yang terjadi, mimpi masyarakat bawah untuk dapat menggapai pendidikan 
bermutu kian jauh dari angan-angan. Kebijakan pemerintah kian menjauhkan 
keadilan dari jangkauan tangan-tangan orang miskin. Demi keadilan dan 
perlindungan bagi yang lemah, harus ada jaminan pemerintah yang mempertegas 
akses bagi orang miskin menjangkau sekolah-sekolah terbaik di daerahnya. Maka, 
kebijakan pemerintah harus memihak masyarakat miskin.

KEBIJAKAN pembedaan pendidikan formal mandiri dan formal standar harus menjadi 
keberpihakan pemerintah kepada masyarakat miskin. Penghematan APBN dan aneka 
bentuk aset pendidikan potensial lainnya yang seharusnya disubsidikan kepada 
sekolah formal mandiri, tidak boleh dikalkulasi sebagai penghematan guna 
mengurangi beban finansial pemerintah, tetapi harus dialihkan untuk menambah 
subsidi pemerintah dalam kerangka mempercepat peningkatan mutu pendidikan 
formal standar. Dengan demikian, keberpihakan pemerintah kepada pendidikan 
formal standar merupakan wujud keberpihakan berkeadilan kepada sebagian besar 
masyarakat lemah.

Seperti kata John Rawls dalam Theory of Justice (1971), selain mengandung makna 
kejujuran, kebenaran, dan rasionalitas, keadilan juga mengandung manfaat dan 
kebajikan (ethic). Kejujuran, kebenaran, dan rasionalitas, mengandung prinsip 
persamaan hak dan kewajiban dalam situasi sama. Tetapi, jika kesamaan itu 
berakibat ketidaksamaan keuntungan, terutama jika mengakibatkan kurang 
beruntungnya pihak yang lemah, maka agar adil perlu ada pemihakan tegas kepada 
yang lemah.

Di tengah dikotomi yang umumnya tidak memberi peluang bagi yang lemah, aneka 
kebijakan pemerintah yang hanya menggunakan asas kesamaan hak dan kewajiban, 
belumlah cukup. Dalam kondisi seperti ini, demi keadilan sejati, aneka 
kebijakan pemerintah tentang pendidikan seharusnya selalu berpihak kepada 
masyarakat miskin, terpinggirkan, yang menjadi mayoritas penghuni negeri ini.


Waras Kamdi Dosen FT, bertugas di Lembaga Pengembangan Pendidikan dan 
Pembelajaran Universitas Negeri Malang (LP3-UM)




[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Give the gift of life to a sick child. 
Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks & Giving.'
http://us.click.yahoo.com/lGEjbB/6WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Reply via email to