http://www.kompas.com/kompas-cetak/0505/04/opini/1726449.htm
Demokrasi atau Bangkitnya "Preman"? Oleh Satjipto Rahardjo DUNIA memuji-muji ketertiban dan keamanan Pemilu Indonesia 2004 sebagai prestasi menuju masyarakat demokratis yang luar biasa, mengingat latar belakang situasi Indonesia yang centang-perenang dan bayangan kekerasan serta terorisme. Namun, belum ada setahun sesudah itu, kita sudah harus berpikir kembali, pantaskah puja-puji itu? Benarkah kita sudah berhasil membangun demokrasi? Apakah hanya sampai di situ makna demokrasi itu? Sulit untuk mengatakan bahwa perilaku para elite politik seperti diperagakan oleh "yang mulia" melalui pentas publik telah berbanding lurus dengan apa yang disebut sebagai sukses demokrasi. Saling teriak dan tuding "kampungan" di antara mereka sendiri sungguh mengguncang perasaan kita yang mengharapkan demokrasi menampilkan orang- orang baik, arif, dan berperilaku bermartabat serta terkendali. Ataukah demokrasi memang harus seperti itu? Apakah demokrasi itu memang tidak berurusan dengan perilaku bermartabat dan terpuji? Kita mulai melihat bayang-bayang kejadian itu juga berkelebat dalam muktamar-muktamar partai politik untuk memilih pengurus baru. Perpecahan, adu kekuatan, juga berulang. Pemilihan kepala daerah secara langsung yang dikatakan akan lebih demokratis juga sudah melakukan pemanasan yang penuh bayang-bayang bernuansa kekuatan, kekerasan, pengerahan massa, dan materi. SEIRING dengan kejadian-kejadian itu, Indonesia diperkaya dengan masuknya istilah "preman" dalam kosakata kehidupan sehari-hari. Preman dipakai untuk mewadahi perilaku kasar, tidak berpendidikan, menyukai solusi kekerasan, mengandalkan otot, mengabaikan kesantunan, dan seterusnya. Istilah preman tidak lagi menjadi monopoli mereka yang berkerah biru, tetapi juga yang berkerah putih. Seraya sekaligus merenungkan keadaan itu, kita teringat pada buku kecil yang ditulis Jose Ortega y Gasset tiga puluh tahun silam. Ortega menulis banyak buku, salah satu yang amat terkenal adalah La Rebelion de las Masas (1930), yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, seperti The Revolt of the Masses dan De opstand der horden. Ortega berbicara dan memprihatinkan situasi Eropa di masa itu, termasuk kemunculan naziisme. Massa bukan lapisan dalam stratifikasi sosial, tetapi manusia dengan kualitas tertentu, yang oleh Ortega disebut barbarisme modern. Mereka ingin mencapai tujuan dengan segala cara dan mengabaikan standar kehidupan yang bermutu. Dalam massa tidak muncul individu dan kualitas mulia individual, tidak ada diskusi, tidak ada kaidah sosial. Kalau ada kaidah, itu adalah kemauan dari massa itu sendiri yang tak ingin dikontrol oleh kekuatan dari luar. Kebangkitan massa seperti itu bergandengan dengan ketiadaan standar mutu, merebaknya vulgarisme intelektual. Massa menghancurkan semua yang terpuji (excellent), individual, bermutu (qualified), dan berkelas (selected). Kalau benar, sejarah terulang kembali. Maka, barangkali apa yang sekarang kita hadapi di negeri kita sedikit banyak merupakan bayangan dari situasi Eropa awal abad ke-20, seperti dirisaukan Ortega. Kualitas kehidupan makin merosot, siaran TV tidak mencerdaskan dan menghaluskan bangsa, otak tidak penting yang penting gebyar dunia, kekuatan fisik, dan uang. TENTU bukan maksud demokrasi untuk memunculkan sekalian hal yang tidak bermutu dan kasar itu. Namun, jikalau memang stok atau persediaan serta modal sosial/manusia yang ada pada kita hanya sampai di situ, apa boleh buat. Alih-alih demokrasi membawa kita kepada peningkatan kesejahteraan dan kualitas kehidupan, malah mendongkrak bangkitnya kehidupan berkualitas kasar dan rendah. Kita menjadi makin sadar, demokrasi adalah untuk membangun kehidupan yang berkualitas, dan untuk menjamin itu kehadiran partai politik, pemilu, dan lain-lain kelengkapan demokrasi sama sekali tidak cukup. Di atas itu kita membutuhkan pembangunan dan kehadiran manusia berkualitas. Membangun demokrasi berdampingan dengan sekolah-sekolah yang ambruk, anak-anak telantar tak dapat bersekolah adalah suatu anomali. Media massa/elektronik yang kurang membantu memberi pendidikan bangsa, tetapi hanya memancing gebyar keduniaan, hura-hura, dan janji kemewahan juga merupakan ironi tersendiri. Di tengah-tengah Jepang yang sudah maju sekarang ini, stasiun TV NHK (Nihon Hoso Kyoku) masih tekun menyediakan banyak waktu untuk terus mendidik bangsanya. Kita juga tidak heran, mengapa Thailand dapat lebih cepat mengatasi krisis negerinya. Kita tidak heran karena mengetahui kualitas manusia Thailand yang bekerja penuh dengan kegigihan, kreativitas, dan daya inovasi. Di tengah-tengah itu, bangsa Indonesia hanya kampiun menjadi konsumen durian bangkok dan lain-lain produk bioteknologi berlabel Bangkok. Namun, kita belum kalah, ini adalah tantangan. Kiranya sulit bagi kita untuk mengelak dari pilihan, meneruskan demokrasi dan demokratisasi seperti ini atau membangun manusia Indonesia berkualitas lebih dulu. Mungkin kita sedikit berhasil membangun institusi demokrasi, tetapi gagal mengangkat bangsa kita menjadi bangsa yang berkualitas di dunia. Apa tidak sebaiknya prioritas kita balik saja, atau setidaknya menjadikan kedua pembangunan itu sejalan? Satjipto Rahardjo Guru Besar Sosiologi Hukum Universitas Diponegoro, Semarang [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Ever feel sad or cry for no reason at all? Depression. Narrated by Kate Hudson. http://us.click.yahoo.com/LLQ_sC/esnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/