http://www.suarapembaruan.com/News/2005/05/06/index.html

SUARA PEMBARUAN DAILY 
Peradilan Pertanahan, Perlukah?
Oleh Triesakti dan Moshedayan Pakpahan 

PADA proses transisi yang sedang berlangsung di Indonesia, telah bergulir ide 
reformasi di segala bidang. Ada kecenderungan, masyarakat semakin menyadari hak 
dan kewajibannya. Dan, salah satu akibatnya ialah tuntutan masyarakat yang 
merasa hak keperdataannya diabaikan selama ini, secara signifikan juga 
berpengaruh terhadap peningkatan masalah pertanahan. 

Masalah yang timbul tidak hanya menyangkut dua pihak, melainkan dapat tiga, 
empat pihak atau lebih. Masalah pertanahan yang terjadi banyak diakibatkan 
adanya gesekan atau benturan kepentingan dalam hubungan antara negara dan 
rakyat. 

Tingginya masalah pertanahan tidak hanya meresahkan masyarakat tetapi juga 
sangat mempengaruhi kinerja Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai institusi 
yang mempunyai tugas pokok melaksanakan administrasi pertanahan. 

Masalah pertanahan dapat dipandang dari dua perspektif yang bertolak belakang. 
Dari kaca mata masyarakat ada anggapan bahwa masalah yang terjadi itu 
disebabkan buruknya administrasi pertanahan dan kinerja aparat BPN yang tidak 
profesional. Sedang dari kaca mata BPN ada sinyalemen kuat bahwa hal ini 
terjadi karena adanya pemalsuan keterangan dari masyarakat, kepala desa bahkan 
PPAT. 

Untuk mengatasi hal tersebut, upaya penanganan masalah pertanahan yang telah 
dilakukan selama ini melalui dua cara yaitu secara musyawarah dan di depan 
pengadilan. Sebagai negara yang berasaskan Pancasila dan menjunjung tinggi asas 
musyawarah untuk mufakat, pertama-tama jika terjadi sengketa diupayakan 
penyelesaiannya secara musyawarah. 


Mediator 

Peran BPN sebagai mediator dalam menyelesaikan sengketa sangat diperlukan agar 
para pihak dapat mengetahui kelemahan dari alat bukti yang dimiliki dan 
kesulitan yang akan diperoleh jika tidak diselesaikan secara musyawarah. Cara 
ini cukup efektif untuk menyelesaikan kasus-kasus sederhana dan tidak 
melibatkan banyak pihak seperti sengketa batas penguasaan/pemilikan tanah. 

Pada penjelasan Undang-Undang No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 
3 ayat 1 jelas tidak menutup kemungkinan penyelesaian perkara dilakukan di luar 
peradilan negara melalui perdamaian atau arbitrase. 

Kelebihan dari penyelesaian secara musyawarah terutama dari segi biaya tidak 
mahal, jangka waktu tidak lama dan prosesnya tidak berbelit-belit. Sedangkan 
kelemahannya apa yang sudah disepakati para pihak yang bersengketa dalam 
musyawarah ternyata kemudian dilanggar oleh salah satu pihak. 

Jika para pihak tidak menemukan kesepakatan dalam musyawarah, pengadilan 
merupakan jalan terakhir yang harus ditempuh. Sengketa pertanahan dapat 
dipandang dalam tiga aspek yakni perdata, pidana dan administrasi. 

Dalam aspek perdata dan pidana, sengketa pertanahan merupakan kompetensi 
peradilan umum, sedang dalam aspek administrasi merupakan kompetensi peradilan 
tata usaha negara (PTUN). Sehingga ada kemungkinan kasus-kasus yang sudah 
diputuskan dalam peradilan tata usaha negara dapat kembali digugat di peradilan 
umum, demikian pula sebaliknya. 

Putusan inkracht (berkekuatan hukum tetap) satu kasus dapat memakan waktu 
bertahun-tahun lamanya. Hal ini menambah beban waktu dan tenaga aparat 
pertanahan dalam berperkara di pengadilan yang dapat mengganggu kelancaran 
pelayanan pertanahan kepada masyarakat. Selain itu juga menimbulkan rasa 
was-was atau khawatir adanya kemungkinan gugatan terhadap produk sertifikat hak 
milik atas tanah yang dihasilkan. 

Putusan Hakim diharapkan mampu memberikan kepastian hukum dan memenuhi rasa 
keadilan yang didambakan semua pihak. Namun, adanya perbedaan putusan hakim 
peradilan tata usaha negara dengan putusan hakim peradilan umum terhadap kasus 
yang sama menimbulkan persoalan tersendiri bagi BPN yang akan melaksanakan 
putusan tersebut. 

Dalam setiap pertimbangan hukum putusan hakim sering tidak mengacu pada hukum 
tanah nasional dan lebih mengedepankan hukum perdata dan hukum administrasi. 
Hal ini tentu saja akan menimbulkan perbedaan karena dalam melaksanakan tugas 
BPN berpegang dan mengacu pada hukum tanah nasional (HTN) dan perangkat 
peraturan pelaksanaannya. 

Demikian juga terhadap hasil putusan hakim karena dimungkinkannya sengketa 
pertanahan diperiksa di dua badan peradilan, dalam pelaksanaannya sering 
menimbulkan adanya pertentangan karena perbedaan putusan, pihak yang 
dimenangkan dalam putusan peradilan tata usaha negara dapat berbalik menjadi 
pihak yang kalah dalam putusan peradilan umum. 

Sehingga, ada dua hal yang menjadi persoalan. Pertama, adanya inkonsistensi 
putusan hakim terhadap kasus-kasus yang sama. Kedua, tidak digunakannya hukum 
tanah nasional dalam hal ini Undang-Undang Pokok Agraria dan perangkat 
peraturan pelaksanaannya sebagai acuan dalam memeriksa perkara pertanahan. 

Kedua hal ini terjadi karena para hakim dalam menyelesaikan sengketa pertanahan 
masih banyak yang belum menguasai dan memahami hukum dan peraturan pertanahan 
(kalaupun ada, jumlahnya relatif sangat terbatas). Hal ini disebabkan 
hakim-hakim Indonesia tidak diarahkan kepada spesialisasi permasalahan, mereka 
adalah hakim perdata sekaligus hakim pidana. 

Mencermati fenomena tersebut timbul pemikiran atau harapan perlunya dibentuk 
suatu Lembaga Khusus, yaitu Peradilan Pertanahan yang diharapkan 
putusan-putusannya akan mengacu pada hukum tanah nasional dengan tetap 
memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam hukum perdata dan hukum administrasi. 

Hal ini sejalan dengan arahan TAP MPR IXIMPRI/ 2001 yang telah memberi perintah 
perlunya penanganan masalah pertanahan dengan menyelesaikan konflik-konflik 
pertanahan yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang timbul selama ini 
sekaligus dapat mengantisipasi konflik dimasa mendatang guna menjamin 
terlaksananya penegakan hukum. 

Sehingga, kebutuhan akan keberadaan peradilan pertanahan sudah sangat mendesak 
dan tidak dapat ditawar lagi, agar keinginan masyarakat untuk mendapatkan 
proses peradilan yang sederhana, biaya ringan, cepat dan konsisten dapat 
terlaksana. 

Permasalahannya adalah, apakah mungkin dibentuk suatu peradilan pertanahan. 
Menurut Bambang Widjojanto dalam Pengadilan Korupsi: Gagasan dan 
Implementasinya, ada tiga kecenderungan yang tengah terjadi dalam konteks 
penegakan supremasi hukum di Indonesia melalui pembentukan lembaga peradilan. 

Pertama, dewasa ini puncak kekuasaan kehakiman bertumpu pada Mahkamah Agung dan 
Mahkamah Konstitusi. Kedua, Adanya kebijakan satu atap yang mengintegrasikan 
kewenangan administratif pengadilan dengan kewenangan yudisial atau dikenal 
konsolidasi kekuasaan diperadilan non-Mahkamah Konstitusi. 

Ketiga, Konstitusi memberikan justifikasi untuk membentuk berbagai jenis 
pengadilan tertentu yang bersifat khusus dan spesifik sesuai kebutuhan yang 
berkembang. 

Lebih jauh, pada Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 ditegaskan bahwa kekuasaan 
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya 
dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan 
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah 
Mahkamah Konstitusi. 

Pada ayat 3 disebutkan badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan 
kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang. Berkaitan dengan hal itu pasal 
15 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan 
bahwa Pengadilan Khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan 
peradilan tersebut di atas yang diatur dengan undang-undang. 

Ini berarti pembentukan peradilan pertanahan dimungkinkan dengan syarat 
pembentukannya ditetapkan dengan undang-undang. 


Kedudukan 

Pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana kedudukan peradilan pertanahan itu 
nantinya. Apakah akan berada di bawah peradilan umum atau peradilan tata usaha 
negara tentunya harus diperhatikan materi dari sengketa pertanahan itu sendiri, 
apakah bobot perdata dan pidananya jauh lebih besar dari pada administrasi atau 
sebaliknya? Tentunya hal ini memerlukan suatu kajian yang lebih mendalam. 

Secara umum ada lima hal yang perlu diperhatikan dalam pembentukan peradilan 
pertanahan. Yaitu: (1) tempat kedudukan dan kompetensi peradilan, (2) hukum 
acara yang digunakan, (3) kualitas para hakim yang akan duduk sebagai majelis 
hakim, tentunya diharapkan para hakim yang menguasai tidak hanya hukum perdata 
dan pidana tetapi juga hukum tanah nasional, keberadaan hakim ad hoc 
sebagaimana yang terdapat pada Pengadilan HAM mungkin perlu dipertimbangkan. 

Kemudian, (4) waktu pada proses pengadilan dan tahapannya dibatasi misalnya 
pada tingkat pertama waktunya enam bulan, pada tingkat banding tiga bulan, 
tingkat kasasi dua bulan atau proses pengadilan hanya melalui tingkat pertama 
kemudian kasasi sehingga tidak perlu ada banding sebagaimana yang diterapkan 
pada Pengadilan Hubungan Industrial. Dan (5) keinginan masyarakat untuk 
mendapatkan proses peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan dapat 
terwujud. 


Kedua penulis bekerja di Puslitbang BPN 


Last modified: 6/5/05 

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Ever feel sad or cry for no reason at all?
Depression. Narrated by Kate Hudson.
http://us.click.yahoo.com/LLQ_sC/esnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Reply via email to