Analisis Christianto Wibisono: Tragedi BCA Dan Nonpri 

JAKARTA - Masuknya BCA dalam perawatan darurat BPPN
merupakan bagian dari siklus suksesi berdarah pola
Keris Empu Gandring, bunuh membunuh dan pengkhianatan
yang sangat tidak bermoral. Wangsit atau cakrawati
restu kekuasaan dari Tuhan Yang Maha Kuasa sebetulnya
sudah mulai dicabut dari diri Soeharto ketika masa
anarkis digerakkan oleh oknum elite yang bersaing
merebut kuasa di bawah Soeharto sejak pendudukan
kantor PDI 27 Juli 1996. 

Jika seorang raja atau penguasa telah mengerahkan
sebagian aparatur negara untuk menculik, menembaki dan
melibas warga negaranya sendiri, maka menurut pakar
politik Mancur Olson, penguasa itu secara modern telah
kehilangan legitimasi dan sumber moral untuk
melanjutkan pemerintahan. 

Korban-korban 27 Juli menurut Megawati masih belum
tuntas diungkapkan. Sementara rentetan pembakaran
gereja dan insiden SARA juga mewarnai periode pra
kampanye pemilu 1997 mulai dari Situbondo,
Tasikmalaya, Rengasdengklok dan berakhir dengan
kebakaran di Banjarmasin yang nyaris menelan tumbal
Menseskab Saadilah Mursyid waktu itu. 

Pada periode Sidang Umum MPR Maret 1998, terjadi
ledakan SARA di Pantura dan Medan yang baru berhenti
setelah utusan khusus Presiden Clinton, Walter Mondale
mengancam bahwa AS akan menyetop bantuan AS bila
rekayasa huru hara SARA itu tidak segera distop.
Soeharto tersinggung dengan ultimatum Mondale, karena
itu melontarkan isu bahwa paket IMF adalah liberalisme
yang bertentangan dengan UUD 1945. Isu ini disampaikan
oleh FPP ketika mereka menghadap ke Cendana dalam
rangka pencalonan kembali Soeharto untuk ketujuh
kalinya 9 Maret 1998. Klimaks dari kekejaman dan
petualangan rezim Soeharto ialah ketika mahasiswa
Trisakti ditembaki dalam kampus pada 12 Mei dengan
kalkulasi bahwa jika mahasiswa Trisakti mati yang
secara random sebagian adalah nonpri, reaksi massa
tidak akan terlalu gegap gempita dibanding jika
mahasiswa UI yang mati ditembak. 

Tragedi biadab yang meledak pada 13 dan 14 Mei sebagai
retaliasi atas gugurnya Pahlawan Reformasi merupakan
konspirasi antara sebagian oknum pengalih sasaran
dengan kebringasan massa. Retaliasi ditujukan kepada
golongan non pribumi sebagai kambing hitam, sapi perah
tradisional pada setiap terjadinya vakum dan suksesi
kekuasaan dari satu rezim ke rezim yang lain. 

Tampaknya dendam kesumat antara golongan pri dan non
pri telah demikian dalamnya tertanam, sehingga insiden
SARA mudah sekali muncul hanya dari sengketa
perorangan soal tetek bengek, sampai teori konspirasi
mirip Kenpetai/KGB meledak menjadi huru hara dahsyat
yang memakan korban harta dan jiwa orang yang tidak
berdosa. 

Massa yang beringas tidak ingat lagi kepada agama dan
Tuhan, yang dilihat hanya penampilan fisik orang
berkulit kuning dan bermata sipit, untuk digebuki,
sebagian wanitanya diperkosa, dibakar hidup-hidup
karena tidak sempat keluar dari rumah serta dirampok
hartanya habis-habisan, sehingga tidak mempunyai
pakaian atau milik pribadi apa pun. 

Saya bisa menulis begini karena anak dan dua cucu saya
yang masih bayi (1,5 tahun dan 2 bulan) mengalami
penjarahan dan pembakaran rumahnya di Pantai Indah
Kapuk pada tragedi biadab 14 Mei tersebut. 

Sebagai pengamat politik yang telah mempelajari
tingkah laku politik rezim Soeharto saya menyatakan
bahwa tragedi 14 Mei adalah suatu konspirasi
kontra-reformasi untuk mendiskreditkan gerakan
mahasiswa yang menolak Soeharto. Saya menyesalkan
bahwa massa pribumi dengan kebencian membakar dan
menjarah milik non pri dipelopori oleh oknum-oknum
terorganisir yang mengeksplotir sentimen primordial
massa dengan motivasi Machiavelis. 

Memahami konspirasi politis di balik tragedi biadab 14
Mei, saya mendesak pemerintah dan Komnas HAM agar
menyidik aktor intelektual, penggerak dan pelopor
tragedi biadab tersebut. Para penembak mahasiswa
Trisakti yang akan diadili juga harus diusut sampai ke
atasannya, siapa di belakang instruksi atau prosedur
biadab membunuh nyawa anak bangsa yang sudah kembali
ke kampus. Amuk massa 14 Mei yang biadab, merupakan
akumulasi akibat politik Machiaveli rezim Soeharto
yang penuh intrik pilih kasih dan fitnah adu domba
yang saling mematikan calon pesaing potensial. 

Kru BBC World Service yang datang dari Belfast
meninjau reruntuhan rumah Jasmine, dengan surprise
menyatakan bahwa puing kebakaran ini mirip dengan
adegan perang gerilya kota di Bosnia. BBC menanyakan
apakah kebencian itu sekadar akibat isu dominasi
ekonomi Indonesia oleh keturunan Cina atau oleh sebab
lain yang lebih berat? Saya terus terang tidak bisa
menjawab tapi membaca wawancara Intenational Herald
Tribune 29 Mei dengan massa pribumi yang anti Cina,
kita memang harus mengakui bahwa proses pembinaan
kesatuan dan persatuan bangsa lintas SARA telah lama
terkontaminasi oleh politik adu domba Machiavelis
rezim Soeharto. 

Di zaman Bung Karno, pemerintah memberi fasilitas
kepada pengusaha istana yang hampir seluruhnya pribumi
yakni AM Dasaad, Hasyim Ning, Abdurachman Aslam, Bram
Tambunan dan Markam. Tiga yang terakhir ini disita
hartanya oleh Orde Soeharto, dijadikan PTPP Berdikari.
Sedang AM Dasaad sebetulnya sudah merupakan pengusaha
kawakan sebelum Bung Karno jadi presiden, tapi
kemudian menjadi kawan akrab Bung Karno sampai akhir
hayatnya. 

Pada periode demokrasi liberal hingga tahun 1965,
Indonesia mengenal 7 menteri nonpri dalam pelbagai
kabinet. Waktu revolusi kemerdekaan, Mr Tan Po Goan
dari PSI dan Siauw Giok Tjhan pernah menjadi Menteri
Negara urusan peranakan. Pada Kabinet Ali Arifin Dr
Ong Eng Die dari PNI menjadi Menteri Keuangan dan Dr
Lie Kiat Teng alias Mohamad Ali dari PSII menjadi
Menteri Kesehatan pada kabinet terakhir yang dipimpin
Bung Karno sendiri, terdapat tiga menteri nonpri yaitu
Mr Oei Tjoe Tat, Tan Kiem Liong alias Mohamad Hassan
sebagai Menteri Pendapatan, Pembiayaan dan Pengawasan
serta IR David G Cheng sebagai Menteri Cipta Karya dan
Konstruksi. 

Setelah Soeharto menjadi presiden, tidak ada satu
menteri pun dari keturunan Cina kecuali Bob Hasan yang
dipilih secara melawan arus, dan membuktikan sikap
hardiliner Soeharto terhadap gejolak anti KKN. 

Saya ingin menegaskan kepada seluruh elite pribumi,
bahwa keturunan Cina adalah bagian tak terpisahkan dan
tak mungkin juga dideportasikan mengingat jumlahnya
dan peranannya dalam sistem ekonomi Indonesia. Kepada
sebagian elite yang dengan pongah selalu mengklaim
bahwa keturunan Cina adalah economic animal, tidak
punya andil dalam sejarah perjuangan bangsa, selalu
oportunis dan plin plan saya ingin menyerukan agar
membaca buku sejarah secara benar. 

Keturunan Cina adalah pendiri, pemilik dan pewaris sah
negara Republik Indonesia. Dari 62 anggota Badan yang
mempersiapkan kemerdekaan Indonesia yaitu BPUPKI, 4
orang adalah dari keturunan Cina yang mewakili
spektrum luas. Pertama ialah Ketua Partai Tionghoa
Indonesia, Mr Liem Koen Hian. Kedua konglomerat Oei
Tjong Hauw, putra dan pewaris Oei Tiong Ham Concern,
MNC pertama di bumi Asia Tenggara. Ketiga, Oei Tiang
Tjoei tokoh masyarakat Cina Betawi dan keempat Mr Tan
Eng Hoa mewakili cendekiawan Tionghoa. 

Jadi ada segelintir yang memihak Nica, maka dari
pribumi pun ada oknum yang malah menjadi delegasi Nica
dalam berunding dengan RI seperti Abdulkadir
Wijjatatmaja. Sedang tokoh seperti Dr Tjoa Sik Ien
membantu delegasi RI di PBB memperjuangkan eksistensi
RI di dunia internasional. 

Jika sekarang ini terjadi rush dan penjarahan terhadap
Salim Grup dan BCA, maka biang keladi dari krisis ini
sebetulnya merupakan kolusi politisi pribumi bernama
Soeharto dengan pedagang non pri bernama Liem Sioe
Liong. Jika oknum militer menembaki mahasiswa Trisakti
maka yang diadili ialah penembak atau atasan langsung
dan bukan seluruh ABRI dibubarkan. 

Demikian pula jika memang ada oknum non pri yang
kolusi atau bersalah, silakan dihukum secara
individual. Tapi tidak ada fatwa dalam agama apa pun
yang bisa membenarkan perampokan dan penjarahan kepada
orang lain hanya karena orang itu berbeda fisik, etnis
dan agamanya. Karena itu kita mengutuk keras tragedi
biadab kontra reformasi 14 Mei 1998. 

Aktor intelektual tragedi biadab yang memalukan citra
dan nama bangsa Indonesia sebagai bangsa yang tidak
berperikemanusiaan dalam opini publik global, harus
diseret ke Mahmilub. 

Kepada elite pribumi yang mayoritas dan dominan,
sekaranglah saatnya untuk memberikan kepemimpinan
kaliber negarawan dengan menghormati hak asasi dan hak
hidup golongan minoritas apa pun dalam tubuh bangsa
Indonesia yang majemuk. Mereka bukan hasil karya
monopoli satu golongan mayoritas, sebab terbukti di
Konstituante tidak ada ideologi mayoritas di
Indonesia, semuanya harus berkoalisi secara bijaksana.


Indonesia merdeka bukan monopoli pejuang satu agama
tertentu, melainkan merupakan aliansi pluralistik
pelbagai agama dan golongan termasuk etnis Cina.
Memang tidak semua warga Cina yang 5 juta bisa
berpolitik seperti Yap Thiam Hien atau Kwik Kian Gie
atau Arief Budiman. Sebab di mana-mana di seluruh
dunia, yang namanya massa itu selalu memang mengambang
dan tidak begitu antusias berpolitik. 

Di AS sekalipun yang tingkat intelektual dan daya
belinya tinggi, tidak semua rakyat AS berpolitik.
Tokoh politik memang hanya bisa dihitung dengan jari,
apalagi dari golongan minoritas yang secara sengaja
dipojokkan oleh mayoritas untuk hanya berkecimpung di
bidang bisnis saja. Sejak trauma Baperki yang
dibubarkan Orde Soeharto maka golongan non pri alergi
dan sensitif terhadap politik. Hanya satu dua tokoh
yang sadar terjun ke dunia politik seperti Harry Tjan,
Wanandi bersaudara dan kolega saya dari SMA Loyola
Djoko Sudyatmika. 

Arief Budiman dicap sebagai oposan yang tidak populer
di mata penguasa dan rezim Soeharto karena vokal dan
kritis. Kwik Kian Gie baru muncul sejak tahun 1988
sedang tokoh-tokoh intelektual juga bisa dihitung
dengan jari seperti Mely Tan, Thee Kian Wie dan Lie
Tek Tjeng, tiga tokoh peneliti senior LIPI. 

Mereka ini oleh golongan pribumi yang berpandangan
simplistis selalu disebut sebagai exception orang Cina
yang sadar politik dan kepedulian makro. Tapi saya
ingin mengingatkan bahwa di seluruh dunia, pada bangsa
apa pun termasuk pribumi, yang namanya massa itu
memang floating, mengambang dan pasrah kepada elite.
Tidak mungkin mengharapkan semua non pri harus menjadi
patriot dan intelektual serta tokoh seperti Kwik Kian
Gie semua. Atau seluruhnya 5 juta harus jadi Arief
Budimanan atau Ong Hok Kam semua. 

Mayoritas rakyat di mana-mana ya hanya berpikir untuk
hidup bermasyarakat secara damai. Pemimpin-lah,
elite-lah yang harus berpikir ke arah kesejahteraan
dan kebersamaan dalam memimpin bangsa secara
demokratis dan modern. Karena itu budaya oposisi,
menghargai pendapat orang yang berbeda dengan latar
belakang berbeda harus dihormati dan dijamin. 

Sebab jika sistem politiknya hanya melestarikan pola
devide et impera rezim Soeharto yang sudah dikenal
dengan intrik adu domba yang Machiavelistis, maka saya
khawatir bangsa ini akan terus dilanda tawuran model
SARA yang salah satu klimaksnya kita alami pada
tragedi biadab 14 Mei 1998. 

Saya ingin menyerukan kepada segenap elite nasional
kita untuk menghayati tantangan ekonomi yang memburuk
ini dengan memulihkan kepercayaan pada seluruh warga
negara, bahwa elite yang benar, menolak dan mengutuk
tragedi biadab 12-14 Mei 1998. Hanya dengan jiwa besar
elite pribumi dan pemerintah untuk mengakui bahwa
telah terjadi konspirasi atau perselingkuhan politik
haram dalam tragedi biadab 12-14 Mei, maka luka bangsa
ini bisa disembuhkan. 

Mengembalikan kepercayaan kepada orang yang rumahnya
habis dibakar, sebetulnya tidak semudah sekadar
mengganti rugi rumahnya kembali. Rasa aman dari putri
saya tidak akan pulih walaupun pemerintah membangun
kembali rumah yang telah dibakar habis oleh penjarah
biadab 14 Mei 1998. Luka itu tidak bisa diobati
meskipun dengan kucuran dana dari pemerintah, sebab
yang terhilang pada hari itu menurut istilah Sri
Sultan Hamengkubuwono adalah kepercayaan yang nilainya
jauh lebih mahal, lebih besar dari nilai material dan
nilai buku triliunan rupiah. Suatu permintaan maaf dan
jaminan tidak akan terulang lagi, serta penuntutan
aktor intelektual tragedi biadab 12-14 Mei merupakan
syarat minimum yang diperlukan agar masyarakat percaya
lagi bahwa bangsa ini akan dapat bangkit dan mentas
dari kebiadaban politik Machiaveli. 

Tragedi BCA yang di-rush sebetulnya merupakan bagian
dari penyakit kronis, masalah nonpri yang belum pernah
dipecahkan secara fundamental oleh rezim Soeharto.
Justru dengan pola kolusi Soeharto-Bob Hasan-Salim,
masyarakat terutama pribumi merasa muak dengan kolusi
yang mengeksploitasi rakyat. 

Nonpri yang jujur juga tidak senang dengan kolusi,
tapi mereka tergolong silent majority yang tidak
mungkin bersuara di tengah sistem politik yang apriori
tidak memberi tempat bagi nonpri untuk menjalankan
peranan politik secara fair. 

Karena itu saya tidak melihat jalan keluar lain bagi
BCA kecuali nasionalisasi dengan buy back option bagi
pemilik lama dan setelah itu go public untuk survival
dan eksistensi yang lebih solid. *** 

SUARA PEMBARUAN DAILY 
Monday, Jun/01/1998 

--

Sudah Tujuh Tahun, Kasus Trisakti Tak Juga Selesai 


Jakarta, Kompas - Kelanjutan penanganan kasus Trisakti
dan Semanggi I-II bergantung pada sikap Kejaksaan
Agung dan Dewan Perwakilan Rakyat 2004-2009. Kehadiran
wajah baru di dua lembaga ini diharapkan bisa membawa
harapan bagi upaya penuntasan kasus tersebut.

Harapan ini terungkap dalam seminar nasional "Mencari
Penyelesaian Hukum Terbaik untuk Menuntaskan Kasus
Trisakti, Semanggi I-II" yang digelar Badan Eksekutif
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Senin
(9/5) di Jakarta.

Tampil berbicara dalam seminar tersebut Gayus Lumbuun
(Anggota Komisi III DPR), Usman Hamid (Koordinator
Kontras), Zoemrotin K Susilo (Wakil Ketua Komnas HAM),
dan John Muhammad (Sekjen Tim Penuntasan Kasus 12
Mei).

Menurut Usman, tujuh tahun berlalu tanpa ada
penyelesaian, menunjukkan penanganan kasus peristiwa
penembakan mahasiswa yang dikenal dengan tragedi
Trisakti dan Semanggi I-II diwarnai aspek politik.

Penembakan mahasiswa Trisakti 12 Mei 1998 itu memicu
kerusuhan di Jakarta dan mencapai puncak dengan
mundurnya Presiden Soeharto.

Mandeknya penyelesaian kasus tersebut berawal dari
kesimpulan Pansus DPR yang menyatakan tidak ada
pelanggaran HAM berat, sehingga penyelesaiannya
dilakukan lewat peradilan umum/militer. Sikap tersebut
membuat Kejaksaan Agung enggan menangani kelanjutan
kasus tersebut.

Usman berharap di tangan Jaksa Agung yang baru dan
anggota DPR, kasus ini bisa dituntaskan dan tidak
mengulang pengalaman DPR dan Jaksa Agung yang lalu.

Zoemrotin menegaskan, dengan berlarut-larutnya kasus
tersebut, justru perlu dipertanyakan siapa sebenarnya
yang tidak bekerja. Karena itu, ia berharap ada
komitmen untuk menuntaskan kasus tersebut.

John Muhammad menyatakan dengan tegas pihaknya menolak
penyelesaian lewat Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Penyelesaian tersebut lebih merupakan langkah putus
asa dan tidak berpihak pada korban.

Gayus mengakui pendekatan yang dilakukan DPR adalah
pendekatan politik karena DPR tidak dalam kapasitas
secara teknis untuk melakukan investigasi kasus
tersebut. Tidak heran, jika suara di DPR untuk
menyatakan kasus tersebut pelanggaran HAM berat atau
tidak, tidak pernah bulat.


Di hari yang sama, dalam acara deklarasi '98 Center,
Sekjen '98 Center, Adian Napitupulu mengingatkan,
setelah tujuh tahun reformasi, rakyat Indonesia tetap
miskin, korupsi makin merajalela, aksi teror dan
pelanggaran HAM terus berlangsung. (son/win)

Kompas
Selasa, 10 Mei 2005 

http://kompas.com/kompas-cetak/0505/10/Politikhukum/1737836.htm





------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
In low income neighborhoods, 84% do not own computers.
At Network for Good, help bridge the Digital Divide!
http://us.click.yahoo.com/HO7EnA/3MnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke