http://www.harianbatampos.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=9470
Selasa, 10-Mei-2005, 08:59:16

      Membersihkan Lantai Kotor dengan Sapu Kotor? 
     
                  Oleh: Sigit Rachmat 
              
     
     
     
     
      Membaca tak perlu mengernyitkan kening untuk membaca arti judul di atas. 
Jika, judul tulisan memang benar-benar sebuah pertanyaan dalam arti yang 
sebenarnya atau yang tersurat. Pertanyaan itu akan dengan mudah dijawab 
siapapun, apalagi bagi yang terbiasa atau pernah membersihkan lantai dengan 
sapu. Bagi mereka tentu akan menjawab tidak. Apakah mereka juga akan menjawab 
tidak, jika menjawab yang tersirat dalam pertanyaan itu? Dalam hal terkait 
dengan pemberantasan tindak pidana korupsi yang sedang gencar-gencarnya 
dilaksanakan pemerintah. Mari kita jawab bersama. 

      Tindak pidana korupsi yang seperti sudah menggurita di semua sektor di 
Indonesia, agaknya benar-benar membuat pemerintah Indonesia yang dipimpin 
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) geram, dan mungkin juga bingung untuk 
mengatasinya. Korupsi yang sudah puluhan tahun tumbuh subur itu, sangat sulit 
untuk memberantasnya. 
      Meskipun berbagai Undang-Undang (UU), dan peraturan tentang pemberantasan 
korupsi sudah cukup banyak. 

      Beberapa lembaga anti korupsi juga sudah dibentuk, yang tujuannya untuk 
memperkuat aparatur penegak hukum yang sudah ada. Seperti kepolisian, 
kejaksaan, dan pengadilan. Namun, korupsi seperti sebuah virus AIDS yang belum 
ada obatnya. 

      Mungkin melihat kinerja penegakan hukum untuk memberantas korupsi masih 
belum juga maksimal. Maka, beberapa hari lalu, Presiden SBY membentuk tim 
Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK). 

      Pembentukan tim ini dilaksanakan berdasarkan Keputusan Presiden (Kepres) 
nomor 11 tahun 2005. Di depan tim yang baru dibentuk itu, presiden dengan 
tegas, menegaskan komitmennya untuk memberantas korupsi. 

      "Sekali roda, dan mesin pemberantasan korupsi telah berputar, jangan 
pernah berhenti," kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. 

      SBY terlihat begitu menggebu memberantas korupsi di Indonesia. Mungkinkah 
keinginannya itu, dan keinginan sebagian besar rakyat Indonesia tersebut bisa 
tercapai? Mungkin, dan bisa juga masih antara ya atau tidak. Karena itulah, SBY 
masih merasa perlu membentuk Tim KPTPK. 

      Meskipun kita semua tahu, bahwa di Indonesia sudah ada aparatur penegak 
hukum yang berwenang untuk memberantas korupsi, yaitu kepolisian, kejaksaan, 
dan pengadilan. Jika boleh diibaratkan sapu, merekalah penyapu segala tindak 
kejahatan. Termasuk tindak pidana korupsi. Lalu kenapa presiden masih membentuk 
Tim KPTKP ? 

      Menarik untuk disimak pendapat Guru Besar dan Direktur Pasca Sarjana 
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Jogjakarta, Musa Asyarie (Kompas, Jumat 
6/5). 

      Menurutnya, korupsi yang membuncah di mana-mana mewujudkan situasi yang 
anomalik. Yang bisa mengakibatkan pengusutan korupsi justru menjadi komoditas, 
dan ladang subur korupsi baru. Pendapat Musa seakan memberikan jawaban, bahwa 
untuk membersihkan lantai yang kotor diperlukan sapu yang bersih, bukan sapu 
yang kotor. 

      Senang tidak senang, suka tidak suka, inilah wajah kita semua sekarang. 
Korupsi seakan bukan dianggap sebagai kejahatan. Bahkan, korupsi seakan sudah 
menjadi sebuah kebanggaan yang pantas untuk dipamerkan kepada siapa saja. Sebab 
itu, seorang presiden sekalipun, bisa merasakan betapa sulitnya memberantas 
korupsi itu. 

      Padahal, seorang presiden memiliki kekuasaan untuk memimpin, dan 
menjalankan pemerintahan yang bersih. Bayangan sulitnya untuk membersihkan sapu 
kotor, maka lebih baik membuat sapu yang baru, dan bersih. 

      Bangga Bisa Korupsi 
      Korupsi memang sudah menggejala seperti gurita di semua sektor di 
Indonesia, dan sudah dianggap sebagai sebuah perbuatan biasa. Bahkan 
membanggakan, dan harus dipamerkan. Bisa dalam bentuk mobil, tanah atau rumah 
megah berharga miliaran rupiah. Walaupun, pemiliknya hanya seorang pegawai 
negeri biasa. 

      Tapi, memiliki kewenangan karena jabatannya untuk mengurus hal-hal yang 
bersifat finansial atau berhubungan dengan uang. Korupsi saat ini tidak hanya 
dilakukan sendiri-sendiri, dan sudah bersifat lembaga. Sehingga, terkesan 
bangga jika bisa melakukan korupsi. 
      Pendapat yang disampaikan budayawan, Jacob Sumarjdo (Kompas, Sabtu 7/5), 
menegaskan hal itu. 

      Disampaikannya, pelaku korupsi bangga, dan seolah-olah bisa korupsi itu 
hak istimewanya. Karenanya, korupsi tak perlu disembunyikan tetapi dipamerkan 
lewat pembelian mobil, tanah, dan rumah. 

      Jika disimak kondisi di sekeliling kita, pendapat Jacob ini benar adanya. 
Cukup hanya dengan menjabat jabatan yang basah sekitar dua atau tiga tahun 
saja, si pejabat sudah mampu memiliki semua yang dikatakan Jacob itu. Fakta 
juga menunjukkan, mereka tidak menyembunyikannya, dan justru bangga 
memilikinya. Kesannya, urat malunya sudah putus. 

      Dikatakannya, gejala kejahatan korupsi lembaga dengan mudah dapat dilihat 
dari tingkat kesejahteraan pegawainya. Indonesia adalah negara kesatuan dengan 
sistem penggajian yang satu. Pegawai golongan I-IV di seluruh Indonesia diatur 
dalam sistem penggajian yang satu. Kenyataannya meski sama-sama pegawai negara, 
tiap departemen memiliki tingkat kesejahteraan, dan penggajian yang 
berbeda-beda. 

      Dalam skala yang lebih kecil di daerah, gambaran tersebut dapat terlihat 
dengan jelas. Antara satu dinas dengan dinas lainnya tingkat kesejahteraan 
pegawainya jelas sekali terlihat perbedaannya. Demikian juga antara satu bagian 
dengan bagian lainnya. Seorang pegawai yang sudah mengabdi puluhan tahun, tapi 
tak pernah menjabat jabatan yang terkait dengan uang atau tak pernah dekat 
dengan hal-hal yang berhubungan dengan uang, bisa saja hanya memiliki rumah 
sehat sederhana (RSS). 

      Sebaliknya, seorang pegawai pemerintah dalam arti luas, dan baru mengabdi 
maksimal sepuluh tahun saja bisa memiliki segalanya. Bahkan, pangkatnya mungkin 
belum sampai golongan IV, tapi karena pernah menduduki jabatan empuk. Maka, 
mobil berkelas, tanah di berbagai lokasi, dan rumah megah berharga miliaran 
rupiah dengan bangga akan dipamerkan. Mungkin ceritanya akan berbeda, jika 
semua itu diperoleh karena warisan atau karena memenangkan undian. Jelas bahwa 
korupsi tidak dinilai sebagai aib, tapi sebuah kebanggaan. 

      Presiden seperti sangat paham dengan kondisi seperti ini. Bahwa saat ini 
sangat sulit untuk memberantas korupsi melalui aparatur penegak hukum yang 
sudah ada. Panjangnya, dan berbelitnya penyelesaian sebuah perkara tindak 
pidana kejahatan hingga mendapatkan sebuah keputusan hukum yang berkekuatan 
tetap, semakin menambah ruwetnya penegakan hukum. Uang, dan kekuasaan memiliki 
peran yang sangat signifikan. Walau untuk membuktikannya seperti mencari jarum 
di dalam jerami. 

      Hak Semua Terdakwa Sama Perlakuan Bisa Beda 
      Padahal, di depan hukum kedudukan siapa saja tidak berbeda atau sama. 
Seorang terdakwa pencuri kendaraan bermotor memiliki kedudukan yang sama di 
depan hukum dengan seorang terdakwa korupsi. Keduanya sama berhak untuk 
mendapatkan hak asas praduga tak bersalah sebelum palu hakim jatuh. Keduanya 
juga sama-sama berhak mendapatkan penangguhan penahanan, dan sama-sama berhak 
menyandang status terdakwa atau orang yang didakwa melakukan kejahatan. 

      Yang jelas berbeda, adalah alasannya untuk melakukan tindak pidana yang 
didakwakan. Dalam berbagai persidangan di pengadilan terungkap, bahwa nyaris 
semua alasan pelaku pencurian sepeda motor adalah untuk alasan kebutuhan 
ekonominya, dan karena terdesak harus melakukan pencurian. Mungkin karena 
alasan ini, tak ada orang yang akan mengajukan penangguhan kepadanya. 

      Meskipun, dia berhak untuk mendapatkannya sejak di tingkat penyidikan 
penyidik kepolisian, penuntut umum hingga dari majelis hakim. Kalaupun 
keluarganya mengajukannya, entah apakah akan dikabulkan atau tidak. Apakah hal 
serupa juga terjadi pada terdakwa koruptor, silakan pembaca jawab sendiri 
dengan membaca, dan menyimak berita-berita di berbagai media. Lantas apa 
kaitannya dengan penegakan hukum pemberantasan korupsi. Menarik disimak 
pendapat Koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW), Teten Masduki (Kompas, 
Sabtu 7/5). 

      Menurutnya, dalam penegakan hukum pemberantasan korupsi pemerintah sudah 
memiliki banyak benteng penegak hukum. Mulai dari perangkat undang-undang 
hingga lembaga anti korupsi. Namun menurutnya, secara subtansial yang kurang 
mendapat perhatian, adalah masalah pembersihan aparatur penegak hukum. Padahal, 
tekanannya justru pada penegakan hukum. Undang-undang, aturan, dan lembaga anti 
korupsi sudah ada. Tapi, itu semua tidak akan efektif karena di tangan aparat 
yang sama. 

      Pembaca, jika seorang presiden merasa perlu membuat sapu baru, dan karena 
masih baru tentu masih bersih, untuk membersihkan lantai yang kotor. Maka, 
jawaban dari pertanyaan di judul di atas, adalah tidak mungkin membersihkan 
lantai yang kotor dengan sapu yang kotor. Diperlukan sapu yang benar-benar 
bersih untuk membersihkan lantai yang kotor.*** 

      *) Sigit Rachmat, Wartawan Batam Pos di Tanjungpinang 


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Ever feel sad or cry for no reason at all?
Depression. Narrated by Kate Hudson.
http://us.click.yahoo.com/LLQ_sC/esnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke